Jumat, 29 Oktober 2010

Qanaah

Hidup mulia dalam pandangan Allah SWT sejatinya dapat dicapai dengan mengedepankan sikap qanaah. Mereka yang bersikap qanaah akan selalu merasa cukup dan ridha atas pemberian Allah SWT. Ini perwujudan rasa syukur yang hakiki. Dalam realitas kehidupan saat ini yang hedonistik, kebanyakan orang akan merasa sulit bersikap qanaah. Sebab, keberhasilan hidup hanya dilihat dari sudut pandang sempit, bertolok ukur dari sekadar atribut duniawi, seperti kekayaan harta, pangkat dan jabatan. Bagi yang tak bersikap qanaah, niscaya pikirannya hanya dipenuhi angan-angan tinggi yang melalaikan. Selalu merasa kurang dan tidak cukup, sehingga muncul sikap serakah. Juga dibarengi rasa dengki atas karunia Allah SWT kepada orang lain. Tak jarang pula untuk mewujudkan keinginannya, seseorang melakukan tindakan menyimpang dari jalan–Nya. Akibatnya, keinginan yang diraih, tak memberikan keberkahan hidup. Sebaliknya, itu akan mengakibatkan seseorang jatuh dalam kehinaan dan kesengsaraan hidup. “Dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, maka tak ada yang dapat menolak karunia-Nya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Dialah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Yunus 10: 107). Ayat di atas merupakan jaminan Allah SWT atas karunia-Nya yang akan memberikan ketentraman hati. Tidak perlu ada kecemasan dan kekhawatiran, sehingga sikap qanaah akan selalu melekat kuat. “Lihatlah kepada orang yang lebih rendah dari kamu dan janganlah melihat orang yang lebih tinggi darimu. Yang demikian lebih layak agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah” (HR Bukhari-Muslim). Dalam hadis itu, Rasullah SAW amat menekankan agar dalam urusan duniawi, kita melihat kepada orang yang lebih rendah. Jangan melihat yang lebih tinggi. Ini akan memberikan kesadaran bahwa karunia nikmat Allah SWT telah banyak diberikan agar umat senantiasa bersyukur kepada Nya, pantang berkeluh kesah maupun pantang berputus asa menjalani kehidupan. Sikap qanaah hendaknya tak diartikan pasif dan pasrah secara total dalam menyikapi keadaan yang dihadapi. “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari kemarin sesungguhnya dia telah beruntung, barang siapa yang hari ini sama dengan kemarin, maka sesungguhnya ia telah merugi. Dan barang siapa yang hari ini lebih buruk dari kemarin, maka sesungguhnya ia terlaknat.” ( HR Dailami ). Rasulullah SAW telah memberikan dorongan dan motivasi untuk meraih kemajuan, tapi masih dalam bingkai qanaah. Selalu bersikap optimistis dalam menghadapi kehidupan dengan ikhtiar dan bertawakal kepada-Nya merupakan jalan terbaik.

Rabu, 27 Oktober 2010

soempah pemoeda

SOEMPAH PEMOEDA
Pertama :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE BERTOEMPAH DARAH JANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA

Kedua :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA, MENGAKOE BERBANGSA JANG SATOE, BANGSA INDONESIA

Ketiga :
- KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGJOENJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA INDONESIA

Djakarta, 28 Oktober 1928



Teks Soempah Pemoeda dibacakan pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di
Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928 1928.

Panitia Kongres Pemoeda terdiri dari :

Ketua : Soegondo Djojopoespito (PPPI)
Wakil Ketua : R.M. Djoko Marsaid (Jong Java)
Sekretaris : Mohammad Jamin (Jong Sumateranen Bond)
Bendahara : Amir Sjarifuddin (Jong Bataks Bond)
Pembantu I : Djohan Mohammad Tjai (Jong Islamieten Bond)
Pembantu II : R. Katja Soengkana (Pemoeda Indonesia)
Pembantu III : Senduk (Jong Celebes)
Pembantu IV : Johanes Leimena (yong Ambon)
Pembantu V : Rochjani Soe'oed (Pemoeda Kaoem Betawi)
Peserta :

1.
Abdul Muthalib Sangadji
2.
Purnama Wulan
3.
Abdul Rachman
4.
Raden Soeharto
5.
Abu Hanifah
6.
Raden Soekamso
7.
Adnan Kapau Gani
8.
Ramelan
9.
Amir (Dienaren van Indie)
10.
Saerun (Keng Po)
11.
Anta Permana
12.
Sahardjo
13.
Anwari
14.
Sarbini
15.
Arnold Manonutu
16.
Sarmidi Mangunsarkoro
17.
Assaat
18.
Sartono
19.
Bahder Djohan
20.
S.M. Kartosoewirjo
21.
Dali
22.
Setiawan
23.
Darsa
24.
Sigit (Indonesische Studieclub)
25.
Dien Pantouw
26.
Siti Sundari
27.
Djuanda
28.
Sjahpuddin Latif
29.
Dr.Pijper
30.
Sjahrial (Adviseur voor inlandsch Zaken)
31.
Emma Puradiredja
32.
Soejono Djoenoed Poeponegoro
33.
Halim
34.
R.M. Djoko Marsaid
35.
Hamami
36.
Soekamto
37.
Jo Tumbuhan
38.
Soekmono
39.
Joesoepadi
40.
Soekowati (Volksraad)
41.
Jos Masdani
42.
Soemanang
43.
Kadir
44.
Soemarto
45.
Karto Menggolo
46.
Soenario (PAPI & INPO)
47.
Kasman Singodimedjo
48.
Soerjadi
49.
Koentjoro Poerbopranoto
50.
Soewadji Prawirohardjo
51.
Martakusuma
52.
Soewirjo
53.
Masmoen Rasid
54.
Soeworo
55.
Mohammad Ali Hanafiah
56.
Suhara
57.
Mohammad Nazif
58.
Sujono (Volksraad)
59.
Mohammad Roem
60.
Sulaeman
61.
Mohammad Tabrani
62.
Suwarni
63.
Mohammad Tamzil
64.
Tjahija
65.
Muhidin (Pasundan)
66.
Van der Plaas (Pemerintah Belanda)
67.
Mukarno
68.
Wilopo
69.
Muwardi
70.
Wage Rudolf Soepratman
71.
Nona Tumbel

Catatan :
Sebelum pembacaan teks Soempah Pemoeda diperdengarkan lagu"Indonesia Raya"
gubahan W.R. Soepratman dengan gesekan biolanya.

1. Teks Sumpah Pemuda dibacakan pada tanggal 28 Oktober 1928 bertempat
di Jalan Kramat Raya nomor 106 Jakarta Pusat sekarang menjadi Museum Sumpah
Pemuda, pada waktu itu adalah milik dari seorang Tionghoa yang bernama Sie
Kong Liong.
2. 2. Golongan Timur Asing Tionghoa yang turut hadir sebagai peninjau
Kongres Pemuda pada waktu pembacaan teks Sumpah Pemuda ada 4 (empat) orang
yaitu :
a. Kwee Thiam Hong
b. Oey Kay Siang
c. John Lauw Tjoan Hok
d. Tjio Djien kwie

Selasa, 12 Oktober 2010

para jagoan hadist

IMAM AL BUKHORI

bernama lengkap Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin al-Mughirah bin Bardizbah al-Ju’fi al-Bukhari. Beliau lahir di bukhara turkistan pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M).
Beliau meninggal pada tanggal 31 agustus 870 M (256 H) pada malam idul fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas shalat dzuhur pada hari raya idul fitri. jenazah beliau dikuburkan di Khartank, nama sebuah desa di Samarkand.
Karya imam bukhari antara lain: • al-jami’ ash-shahih yang dikenal sebagai shahih bukhari • al-adab al-mufrad • adh-dhu’afa ash-shaghir • at-tarikh ash-shaghir dan lain-lain

IMAM MUSLIM

Nama lengkap beliau ialah Imam Abdul Husain bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Dia dilahirkan di Naisabur tahun 206 H.
KARYA-KARYANYA Al-Jamius Shahih 2. Al-Musnadul Kabir Alar Rijal 3. Kitab al-Asma' wal Kuna 4. Kitab al-Ilal dll. imam Muslim wafat pada hari Ahad sore, dan di makamkan di kampong Nasr Abad daerah Naisabur pada hari Senin, 25 Rajab 261 H. dalam usia 55 tahun

IMAM AN-NASA'I

Nama lengkap Imam al-Nasa’i adalah Abu Abd al-Rahman Ahmad bin Ali bin Syuaib bin Ali bin Sinan bin Bahr al-khurasani al-Qadi, Lahir di daerah Nasa’ pada tahun 215 H. Ada juga sementara ulama yang mengatakan bahwa beliau lahir pada tahun 214 H. Beliau dinisbahkan kepada daerah Nasa’ (al-Nasa’i).
Imam al-Nasa’i meninggal pada tahun 303 H dan dikebumikan di Bait al-Maqdis, Palestina

KARYA-KARYANYA ADALAH al-Sunan al-Kubra, al-Sunan al-Sughra, al-Khashais,Fadhail al-Shahabah,al-Manasik.

IMAM TURMUDZI (IMAM TIRMIDZI)

Nama: Muhammad bin ‘Isa bin Saurah bin Musa bin adl Dlahhak, Kunyah (nama panggilan) beliau: Abu ‘Isa.
Nasab beliau: 1. As Sulami; yaitu nisbah kepada satu kabilah yang yang di jadikan sebagai afiliasi beliau, dan nisbah ini merupakan nisbah kearaban 2. At Tirmidzi; nisbah kepada negri tempat beliau di lahirkan (Tirmidz), yaitu satu kota yang terletak di arah selatan dari sungai Jaihun, bagian selatan Iran. Lahir sekitar tahun 209/210 H. Beliau wafat di Tirmidz pada malam Senin 13 Rajab tahun 279 H bertepatan dengan 8 Oktober 892, dalam usia 70 tahun.
karya-karya beliau diantaranya adalah 1. Kitab Al Jami’, terkenal dengan sebutan Sunan at Tirmidzi. 2. Kitab Al ‘Ilal. 3. Kitab Asy Syamail an Nabawiyyah. 4. Kitab Tasmiyyatu ashhabi rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam

Minggu, 10 Oktober 2010

6 syarat agar ilmu bermanfaat

“Menuntut ilmu itu sangat wajib bagi setiap muslim laki-laki dan muslim perempuan” —Al-Hadis—



Dalam kajian hukum Islam, bahwa standar hidup yang ideal bagi manusia adalah Haddul Kifâyah, Lâ Haddul Kafaf (batas kecukupan, bukan batas pas-pasan)[1]. Dan kita tahu bahwa kewajiban dalam menuntut ilmu dimulai dari rahim ibu sampai liang lahat. Dengan demikian untuk memenuhi standar hidup yang ideal hendaknya tidak hanya pas-pasan. Dalam kitab “Ta’lim al-Muta’allim” yang ditulis oleh Imam Al-Zarnuji, beliau menulis bahwa syarat-syarat mencari ilmu ada 6, yaitu:


Cerdas

Cerdas adalah salah satu syarat untuk menuntut ilmu. Kecerdasan adalah bagian dari pengaruh keturunan jalur psikis. Dari ayah dan bunda yang cerdas akan lahir anak-anak yang cerdas, kecuali adanya sebab-sebab yang memungkinkan menjadi penghalang transformasi sifat-sifat tersebut baik situasi fisis maupun psikis.

Sehat jasmani dan lemah jasmani, makanan bayi dalam kandungan maupun situasi psikis ayah bunda seperti semangat dan himmah menuntut ilmu, melakukan kejahatan, emosi, maupun warna pikiran akan ikut memberikan pengaruh yang besar bagi keturunan. Itulah buktinya bahwa dari ayah dan bunda yang sama akan lahir anak-anak dengan kondisi fisik, watak, sifat dan kecerdasan yang berbeda.

Tentang kaitan keturunan dengan ilmu pengetahuan maka kita perlu mengingat bahwa yang diturunkan dari orangtua adalah tingkat kecerdasannya saja bukan kekayaan ilmu pengetahuan. Kekayaan ilmu pengetahuan tidak ada jalan lain kecuali belajar dengan baik. Sabda nabi Saw:



إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ (الحديث (

“Bahwasanya ilmu itu diperoleh dengan (melalui) belajar”. —Al-Hadis—



Dan yang menjadi masalah sekarang bagaimana anak yang cerdas (karena keturunan) tetapi tidak memiliki ketekunan dan kesungguhan dalam menuntut ilmu, jawabannya sudah pasti bahwa dia tidak akan menjadi orang pandai/‘Alim.

Rakus (punya kemauan dan semangat untuk berusaha mencari ilmu)


“Kejarlah cita-citamu setinggi langit”. Peribahasa ini memberikan arti bercita-citalah setinggi-tingginya dan raihlah cita-cita itu sampai dimana pun. Peribahasa tersebut memberikan motivasi kepada kita untuk pantang menyerah mengejar cita-cita (pendidikan) kita.

Orang yang menuntut ilmu haruslah seperti peribahasa di atas: “selalu berusaha dan berusaha menuntut ilmu untuk mencapai cita-cita yang tinggi”.

Bahkan menurut Imam as-Syafi’i, dalam menuntut ilmu janganlah langsung merasa puas terhadap apa yang telah didapat dan jangan hanya menuntut ilmu di satu daerah saja.



مَافِى الْمَقَامِ لِذِيْ عَقْلٍ وَذِيْ أَدَبٍ . مِنْ رَاحَةٍ فَدَعِ اْلاَوْطَانَ وَاغْتَرِبِ

سَافِرْ تَجِدْ عِوَضًا عَمَّنْ تُفَارِقُهُ . وَانْصَبْ فَإِنَّ لَذِيْذَ الْعَيْشِ فِى النَّصَبِ



“Tidak cukup teman belajar di dalam negeri atau dalam satu negeri saja, tapi pergilah belajar di luar negeri, di sana banyak teman-teman baru pengganti teman sejawat lama, jangan takut sengsara, jangan takut menderita, kenikmatan hidup dapat dirasakan sesudah menderita.” (diambil dari kitab Sejarah Hidup dan Silsilah Syekh Kiyai Muhammad Nawawi Tanara Banten yang ditulis oleh H. Rofiuddin. Hal. 4)



Dan ada tiga kategori manusia:

Berjaya: jika hari ini lebih baik dari kemarin, Terpedaya: hari ini sama seperti kemarin, Celaka: hari ini lebih buruk dari kemarin.

Penuh Perjuanagan dan Sabar

Dikutip dari bukunya Prof. KH. Ali Yafie “Manusia dan Kehidupan” bahwa manusia pada hakekatnya dihadapkan kepada pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab (tantangan). Seorang manusia harus mampu menjawab berbagai pertanyaan menyangkut kehidupannya yang terkait dengan berbagai tantangan dan persoalan. —2006: 1

Seorang yang menuntut ilmu sudah barang tentu akan menghadapi macam-macam gangguan dan rintangan. Selain berusaha maka bersabarlah untuk menghadapi semuanya itu, dan perlu diketahui bahwa sabar adalah sebagian dari Iman, “As-Shobru mina al-îmân”. Dan Sabar disini mengandung arti tabah, tahan menghadapi cobaan atau menerima pada perkara yang tidak disenangi atau tidak mengenakan dengan ridha dan menyerahkan diri kepada Allah Swt. Sabda nabi Saw:

اَلصَّبْرُضِيَاءٌ

“Bersabar adalah cahaya yang gilang-gemilang”.

Akan tetapi kesabaran disini harus diartikan dalam pengertian yang aktif bukan dalam pengertian yang pasif. Artinya nrimo——menerima— apa adanya tanpa usaha untuk memperbaiki keadaan. Sesuai ajaran agama pengertian sabar dan kata-kata sabar itu misalnya dapat ditemukan di dalam Al-Qur’an Surat Ali Imran. Yakni satu surat yang terdiri dari 200 ayat yang menjelaskan tentang keseluruhan perjuangan besar dan berat yang telah dilakukan rasulullah Saw sepanjang hidupnya dan itu semua direkam dalam Surat Ali Imran. Ada dua perjuangan berat dan sangat menentukan yaitu pertempuran badar dan uhud. Di dalamnya terdapat banyak kata-kata sabar, tetapi kata-kata sabar itu selalu diletakan dalam konteks perjuangan bukan dalam konteks seseorang ditimpa musibah. Dengan demikian dapat diperoleh gambaran dan kesimpulan pengertian bahwa sabar yang aktif itu artinya suatu mentalitas ketahanan belajar, memiliki mental yang kuat untuk tekun belajar dan berusaha keras seoptimal mungkin dengan penuh daya tahan, tidak jemu, tidak bermalas-malasan, tetapi belajar dengan penuh semangat. Selain itu, dalam belajar harus berkonsentrasi (Khudzurul Qalb) karena jika belajar pikirannya bercabang maka tidak bisa optimal. Salah satu bagian dari sabar adalah Khudzurul Qalb.

Bekal (biaya)

Setiap perjuangan pasti ada pengorbanan, itulah logikanya, manusia menjalani hidup ini butuh pengorbanan begitupun menuntut ilmu.

Biasanya, dalam hal biaya ini menjadi dalih masyarakat yang sangat utama dalam menuntut ilmu khususnya pada pendidikan formal. Sehingga ketika ditanya salah seorang yang tidak belajar di pendidikan formal misalnya, “kenapa kamu atau dia tidak sekolah?” jawabannya sungguh gampang sekali, “saya atau dia tidak sekolah karena tidak punya biaya.

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa pendidikan wajib hukumnya bagi setiap muslim, dan dijelaskan lagi dalam hadis “Tuntutlah ilmu mulai dari rahim ibu sampai liang lahat”. Dari hadis tersebut kita bisa mengetahui bahwa, seumur hidup kita wajib menuntut ilmu. Pendidikan bukan hanya pendidikan formal tetapi non formal pun ada. Rasul menjanjikan kepada para penuntut ilmu,



إنَّ ﺍﷲَتَكَفَّلَ لِطَالِبِ اْلعِلْمِ بِرِزْقِهِ

“Sesungguhnya Allah pasti mencukupkan rezekinya bagi orang yang menuntut ilmu”



Dalam lafal hadis di atas tertulis lafazh takaffala dengan menggunakan fi’il madhy yang aslinya mempunyai arti ‘telah mencukupkan’ yang “seolah-olah” sudah terjadi. Maka lafazh tersebut mempunyai makna pasti, asalkan dibarengi dengan keyakinan terhadap kekuasaan Allah. Dan yakinkanlah bagi para penuntut ilmu walaupun dengan segala kekurangan——biaya— pasti mampu atau bisa menyelesaikan pendidikan. Karena pasti akan ada jalan lain selama manusia berusaha dan yakin terhadap kekuasaan dan pertolongan Allah Al-Yaqinu Lâ Yuzâlu bi as-Syak Artinya: ”keyakinan tidak bisa dihilangkan oleh keragu-raguan”. Dan akhirnya maka tidak ada alasan orang tidak bisa menuntut ilmu karena biaya, seperti keterangan sebelumnya carilah jalan lain, solusi lain untuk bisa menuntut ilmu.

Bersahabat dengan Guru


Ilmu didapat dengan dua cara. Pertama dengan bil kasbi. Yakni didapat dengan cara usaha keras sebagaimana layaknya pencari ilmu biasa. Ia belajar menuntut ilmu dengan tekun belajar dari bimbingan yang benar. Kedua dengan bil kasyfi. Yakni dengan cara mendekatkan diri kepada Allah Swt secara total. Dengan kedekatannya kepada Allah Swt, Allah akan memberi apa yang ia minta. Cara ini adalah cara untuk orang khusus. Sebagai penuntut ilmu berusahalah semaksimal mungkin untuk dapat mengkorelasikan keduanya. Juga, berusaha semaksimal mungkin untuk mendapat petunjuk guru karena tanpa petunjuk guru dan tanpa taqarrub (ibadah mendekatkan diri) total kepada Allah bisa jadi ilmu tersebut datangnya dari iblis la’natullah ‘alaih. Profesionalisme guru artinya seorang guru harus mampu menguasai pelajaran sesuai dengan bidangnya.

Sebagai guru haruslah mempunyai sifat-sifat yang mencerminkan kemuliaan ilmu dan tabi’at——akhlaq—yang baik. Kita analogikan seorang petani profesional akan merawat tanamannya dari rumput pengganggu, ia akan membasmi hama dan penyakitnya. Demikian pula seorang pendidik haruslah membersihkan dirinya dari segala kebiasaan buruk dalam masyarakat. Ia akan tanggap dan waspada dengan para penyeru maksiat. Hendaklah ia membenahi dirinya sebelum ia menebarkan benih-benihnya. Ia harus menanamnya dalam lahan yang subur. Hendaklah ia menyibukkan diri dengan amal kebaikan, kesibukan-kesibukan akhirat yang akan menjadi tameng dari syahwat dan syubhat. Kemudian sebaik-baik pendidik adalah yang konsisten dengan Al-Qur’an dan Al-Sunnah yang tercermin lewat akhlak dan amalan-amalannya yang shalih. Cerdas dalam mendeteksi penyakit hati serta berpengalaman dalam mengobatinya, remaja yang tumbuh dari pendidikan—tarbiyah—yang baik maka akan menjadi buah yang segar nan ranum. Ia bermanfaat bagi diri dan masyarakat sekitar.

Beberapa ciri-ciri tabi’at guru—pendidik—yang harus ditanamkan adalah sebagai berikut:


Mencintai pekerjaannya sebagai guru

Adil terhadap semua murid

Sabar dan tenang

Berwibawa (dilihat dari ilmu dan taqwanya) serta kemampuan memengaruhi orang lain

Selalu ikhlas mendoakan muridnya

Berusaha ikhlas mengajarkan ilmunya



Waktu yang lama

Maksudnya selesaikanlah pendidikan itu samapai tuntas, jangan sampai berhenti di tengah jalan.

Pola Pergaulan dalam Pesantren

Pola Pergaulan dalam Pesantren

PERGAULAN bisa diibaratkan as the core of the pesantren. Sebagaimana kita ketahui, pesantren merupakan tempat berkumpulnya para santri. Jadi kalau kita berbicara mengenai pola pergaulan di pesantren tentunya tidak bisa kita lepaskan dari santri itu sendiri. Perkataan santri digunakan untuk menunjuk pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya, sedangkan untuk orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum "abangan".

Mengenai asal-usul perkataan "santri" itu ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan. Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa "santri" itu berasal dari perkataan "sastri", sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas "literary" bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tldak seorang santri itu bisa membaca al-Qur'an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. Kedua, adalah pendapat yang rnengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian. Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih kisa kita lihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak "sekental" seperti yang pernah kita dengar. Misalnya seseorang seseorang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, dia akan mengikuti orang lain yang sudah ahli, dalam hal ini biasanya dia disebut "dalang cantrik", meskipun kadang-kadang juga dipanggil "dalang magang". Sebab dulu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak terdapat cara yang sungguh-sungguh dan "profesional" dalam mengajarkan kepandaian-kepandaian tersebut. Pemindahan kepandaian itu, sebagaimana juga dengan pemindahan obyek kebudayaan lain pada orang Jawa "abangan", lebih banyak terjadi melalui pewarisan langsung dalam pengalaman sehari-hari.

Pola hubungan "guru-cantrik" itu kemudian diteruskan dalarn masa Islam. Pada proses evolusi selanjutnya "guru-cantrik" menjadi guru-santri. Dan sekalipun perkataan "guru" masih dipakai secara luas sekali, tetapi untuk guru yang terkemuka kemudian digunakan perkataan "kiai", untuk laki-laki, dan "nyai" untuk wanita. Perkataan "kiai" sendiri agaknya berarti tua, pernyataan dari panggilan orang Jawa kepada kakeknya 'yahi, yang merupakan singkatan dari pada kiai, dan kepada nenek perempuannya nyahi. Tetapi di situ terkandung juga rasa pensucian pada yang tua, sebagaimana kecenderungan itu umum di kalangan orang Jawa. Sehingga "kiai" tidak saja berarti "tua” (yang kebetulan sejalan dengan pengertian “syeikh" dalam bahasa Arab), tetapi juga berarti “sakral", keramat, dan sakti. Begitulah, maka benda-benda yang dianggap keramat seperti keris pusaka, dan pusaka keraton disebut juga kiai.

Proses belajarnya santri kepada kiai atau guru itu sering juga sejajar dengan sesuatu kegiatan pertanian. Agaknya arti sesungguhnya dari perkataan “cantrik" adalah orang yang menumpang hidup atau dalam bahasa Jawa juga disebut ngenger. Pada masa sebelum kemerdekaan, orang yang datang menumpang di rumah orang lain yang mempunyai sawah-ladang untuk ikut menjadi buruh tani adalah juga disebut santri. Tentu ini juga berasal dari perkataan cantrik tadi. Dan memang bukanlah soal kebetulan jika seorang kiai adalah juga seorang pemilik sawah yang cukup luas. Umumnya memang demikian. Dengan sendirinya biasanya mereka adalah juga seorang haji.

Kedudukan guru atau kiai sebagai seorang haji (Jawa kaji) itu kiranya dapat menerangkan, mengapa kemudian proses belajar kepada seorang kiai disebut "ngaji". "Ngaji" adalah bentuk kata kerja aktif dari perkataan kaji, yang berarti mengikuti jejak haji, yaitu belajar agama dengan berbahasa Arab. Agaknya karena keadaan pada abad-abad yang lalu memaksa orang yang menunaikan ibadah haji untuk tinggal cukup lama di tanah suci sehingga ini memberi kesempatan padanya untuk belajar agama di Makkah, yang kelak diajarkan kepada orang lain ketika pulang.

Tetapi mungkin juga perkataan "ngaji" itu berasal sebagai bentuk kata kerja aktif dari aji yang berarti terhormat, mahal atau kadang-kadang sakti. Keterkaitan ini bisa kita buktikan dari adanya perkataan aji-aji yang berarti jimat. Jadi "ngaji" dalam hal ini berarti mencari sesuatu yang berharga, atau menjadikan diri sendiri aji, terhormat, atau berharga.

Terlepas dari apa pun asal kata-kata "ngaji", "santri", dan "kiai" ini, ngaji adalah memang merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada seorang kiai yang selain sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan haji karena kemampuan ekonominya.

Pada mulanya seorang santri atau beberapa orang dapat ditampung hidupnya di rumah seorang kiai. Mereka itu bekerja untuk kiai di sawah dan di ladang atau menggembalakan ternaknya. Dan ketika bekerja ini kehidupan mereka ditanggung oleh kiai. Tetapi lama kelamaan hal itu tidak lagi terpikul oleh kiai, dan mulailah para santri mendirikan bangunan-bangunan kecil tempat mereka tinggal. Dalam bahasa Jawa (juga Indonesia), bangunan-bangunan kecil tempat tinggal mereka yang semula sementara itu disebut pondok. Karena itu pesantren juga sering disebut pondok. Pergi ke pesantren adalah pergi ke pondok atau "mondok", bagi orang yang ingin menjadi santri.

Setelah jumlah santri dalam sebuah pesantren menjadi semakin banyak, kiai juga tidak dapat lagi menyediakan pekerjaan bagi mereka yang biasanya digunakan untuk menghidupi mereka. Sebab sawah, ladang, dan ternak yang dimiliki kiai tentunya sangat terbatas dibanding dengan jumlah santrinya. Maka mulailah para santri memikirkan sendiri penghidupan mereka dengan berbagai jalan. Meskipun banyak yang mencari pekerjaan di sekitar pondok, misalnya menjadi tukang setrika, menjadi pembantu di warung, dan menyewakan sepeda kepada sesama santri, tetapi kebanyakan mereka menggantungkan hiaya hidupnya dari kiriman bulanan orangtuanya. Karena alasan menghemat (mereka berasal dari keluarga-keluarga sederhana di desa-desa) atau lainnya kebanyakan para santri mengerjakan sendiri segala sesuatu yang mereka perlukan seperti menanak nasi, memasak, mencuci pakaian, dan menyetrika.

Dalam pengajian biasanya kiai duduk di tempat yang sedikit lebih tinggi dari para santri. Kiai tersebut duduk di atas kursi yang dilandasi bantal dan para santri duduk mengelilinginya. Dari sini terlihat bahwa para santri diharapkan bersikap hormat dan sopan ketika mendengarkan uraian-uraian yang disampaikan kiainya.

Yang menarik adalah metode vang digunakan oleh kiai dalam pengajian. Sebagaimana kita ketahui kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren adalah berbahasa Arab. Sehingga yang namanya ngaji adalah kegiatan mempelajari kitab bahasa Arab itu, dan sering kita dengar dengar ungkapan “ngaji kitab". Di pesantren ini hanya buku-buku yang berbahasa Arab yang disebut "kitab" sedangkan yang berbahasa selain Arab disebut “buku''.

Oleh karena kebanyakan santri belum mengerti bahasa Arab, maka kitab itu diterjemahkan kata demi kata ke dalam bahasa Jawa. Bahasa Jawa yang digunakan agak herbeda dari yang umum digunakan di masyarakat. Ia agak kuno, tetapi tidak dapat disebut sebagai bahasa Jawa Kawi. Terdapat pola-pola yang pasti dalam cara menterjemahkan itu, mengikuti kasus kata-kata Arab yang bersangkutan dalam kalimat. Misalnya kasus nominatif (mubtada’) akan selalu diterjemahkan dengan pendahuluan utawi, kasus sebagai khabar diterjemahkan dengan pendahuluan iku, kasus sebagai penderita diterjemahkan dengan pendahuluan ing, dan seterusnya.

Para santri mengikuti dengan cermat terjemahan kiai itu, dan mereka mencatatnya pada kitabnya, yaitu di bawah kata-kata yang diterjemahkan.Kegiatan mencatat terjemahan ini dinamakan maknani (memberi arti), juga disebut ngesahi (mengesahkan, maksudnya mengesahkan pengertian, sekaligus pembacaan kalimat Arab yang hersangkutan menurut gramatikanya). Kadang-kadang juga disebut njenggoti (memberi janggut), sebab catatan mereka itu menggantung seperti janggut pada kata-kata yang diterjemahkan.

Pengaiian adalah kegiatan penyampaian materi pengajaran oleh seorang kiai kepada para santrinya. Tetapi dalam pengajian ini ternyata segi kognitifnya tidak cukup diberi tekanan, terbukti dengan tidak adanya sistem kontrol berupa test atau ujian-ujian terhadap penguasaan santri pada bahan pelajaran yang diterimanya. Di sini para santri kurang diberi kesempatan menyampaikan ide-idenya apalagi untuk mengajukan kritik bila menemukan kekeliruan dalam pelajaran sehingga daya nalar dan kreatifitas berpikir mereka agak terhambat.

Sebaliknya, tekanan pada hal yang bernilai mistik lebih banyak terasa. Tampak sekali hubungan kiai-santri banyak merupakan kelanjutan konsep hubungan "guru-cantrik" yang ada sebelum Islam datang di Jawa. Karena itu sifatnya banyak dipengaruhi oleh konsep-konsep Hindu-Buddha, atau sekurang-kurangnya konsep stratifikasi masyarakat Jawa sendiri. Santri akan selalu memandang kiai atau gurunya dalam pengajian sebagai orang yang mutlak harus dihormati, malahan dianggap memiliki kekuatan gaib yang bisa membawa keberuntungan (berkah) atau celaka (malati, mendatangkan mudlarat). Kecelakaan yang paling ditakuti oleh seorang santri dari kiainya adalah kalau sampai dia disumpahi sehingga ilmunya tidak bermanfaat. Karena itu santri berusaha untuk menunjukkan ketaatannya kepada kiai agar ilmunya bermanfaat, dan sejauh mungkin menghindarkan diri dari sikap-sikap yang bisa mengundang kutukan dari kiai tersebut. Dalam kesempatan menghadap kiai, misalnya karena minta izin hendak pulang atau pindah tempat santri akan seringkali mendengar ucapan kiai: "Baiklah, dan saya do’akan engkau akan mendapatkan ilmu yang bermanfaat”.

Kitab “Ta’lîm-u ‘l-Muta’allim” karangan Syeikh al-Zarnuji adalah salah satu dari sekian kitab yang sangat mempengaruhi hubungan kiai-santri. Tidak diragukan lagi bahwa setiap santri diharapkan memenuhi tuntunan kitab itu dalam sikapnya terhadap kiai. Satu gambaran yang ideal tentang ketaatan murid kepada guru dalam kitab “Ta’lîm” itu yang banyak diikuti dan diterangkan adalah yang berbunyi: “Salah satu cara menghormati guru adalah hendaknya jangan berjalan didepannya, jangan duduk di depannya, jangan memulai pembicaraan kecuali dengan izinnya, jangan banyak bicara di dekatnya, jangan menanyakan sesuatu ketika sedang kelelahan, dan menghormati guru adalah juga harus menghormati anak-anaknya. Sebagaimana diceritakan oleh guruku Syaykh-u 'l-Islam Burhânuddîn pengarang buku Hidayah, bahwa seseorang dari kalangan ulama besar Bukhara pernah sedang duduk memberi pengajian (mengajar) dan dia berdiri di sela-sela pengajian itu. Para murid bertanya akan hal itu yang kemudian dijawabnya, "Sesungguhnya putra guruku, sedang bermain bersarna anak-anak yang lain di jalanan. Maka jika tampak olehku aku berdiri sebagai penghormatan terhadap guruku.” (Ta’lîm-u ‘l-Muta’allim, hal. 17)

Penghormatan kepada anak kiai ini biasanya juga diikuti dengan panggilan kehormatan untuk anak-anak kiai ini, yaitu "gus”. Anak kiai adalah seorang “gus” (noble, gentle) dan pantas untuk dipanggil demikian.

Segi mistis dalam pengajian juga terbukti dari adanya konsep "wirid” dalam pengajian. Seorang kiai secara konsisten mengai kitab tertentu pada saat tertentu, misalnya kitab Sanusiyah pada malam Kamis, adalah sebaga wirid yang dikenakan kepada dirinya sendiri, sehingga menjadi semacam wajib hukumnya yang kalau ditinggalkan dengan sengaja dianggap akan mendatangkan dosa.

Segi mistis itu juga membawa pada sikap-sikap santri yang berlebihan terhadap kitab-kitab yang dipelajarinya yang sebenarnya sikap ini kurang perlu bila ditinjau dari segi efisiensi dan manfaat yang bisa diperolehnya. Salah satu contoh dari sikap ini adalah para santri ini menghafalkannya di luar kepala. Yang paling banyak dihafalkan ialah kitab-kitab dalam bentuk puisi atau nazham, misalnya Alfiyah karangan Ibnu Malik dalam ilmu nahwu. Malahan hafal Alfiyah ini dianggap suatu prestasi yang sangat dihargai, sehingga perlu diadakan khataman yang biasanya dibuat cukup mengesankan. Ada satu cerita menarik, seorang santri, kebetulan dia anak salah seorang ulama besar di Indonesia, setelah hafal Alfiyah di pondok Tegalrejo, Yogyakarta, kemudian disuruh oleh kiainya untuk "mentashihkan" hafalannya itu ke seorang kiai lain di daerah Kroya. Ia pergi ke sana, tetapi mendapatkan kiai itu sedikit acuh, malahan begitu sampai di dalam dia disuruh pergi ke sawah membantu menanam padi di siang hari bolong, tanpa diberi kesempatan minum, apalagi makan. Tetapi dia taat, dan sepulangnya dari sawah dalam keadaan lelah dia dipersilahkan duduk di tikar seperti hendak mengaji, dan disuruh mulai membuktikan hafalannya. Untung sekali dia masih bisa mempertahankan hafalannya itu dalam keadaan kelelahan dan kelaparan. Kemudian kiai itu menyatakannya lulus. Lalu santri tersebut bersama beberapa orang kawannya berniat hendak menunaikan nazarnya, yaitu pergi jalan kaki ke Bangkalan, berziarah ke makam Syeikh atau Kiai Kholil yang terkenal sebagai seorang wali. Dalam perjalanan itu dia tidak membawa bekal apaapa, dan hanya menyandarkan kepada pemberian orang-orang di surau tempat dia menginap. Santri ini sengaja menghindari jalanan umum, karena kuatir tergoda untuk menumpang kendaraan yang lewat, dlsamping kuatir dikenali orang (karena dia memang terkenal, yaitu karena ayahnya) sehingga bisa membatalkan nazarnya.

Demikian satu contoh sikap seorang santri yang agak berlebihan dalam mempelajari kitab Alfiyah. Tetapi ada lagi yang menghafalnya dengan sedikit aneh, yaitu terbalik urutannya dari akhir ke awal, yang dinamakan “Alfiyah Sungsang”. Seorang santri yang sanggup menghafalkannya secara sungsang ini kemampuannya dianggap lebih tinggi dari yang menghafalkannya secara biasa.

Untuk pengajian biasa pendaftarannya adalah bebas, seorang santri bebas masuk, tanpa harus memberitahukan terlebih dulu. Dernikian juga dia bebas meninggalkan pengajian itu jika dirasa perlu. Waktu pengajian ini menggunakan waktu sembahyang sebagai ukuran. Sehingga pengajian biasanya diadakan sebanyak lima kali sehari, yaitu pada waktu sesudah (ba'da) Subuh, Zhuhur Ashar, Maghrib, dan 'Isya'. Biasanya untuk pengajian ba'da Maghrib agak jarang dilakukan karena waktunya yang terbatas sedangkan untuk pengajian ba'da 'Isya' biasanya digunakan untuk pengajian-pengajian yang penting.

Karena yang disebut "ngaji" adalah membaca kitab bahasa Arab yang ada hubungannya dengan agama —yaitu dengan cara menerjemahkannya— maka orang yang baru menguasai bahasa Arab seperti lulusan Gontor, sekalipun mereka itu bisa memahami isi kitab sepenuhnya, masih disebut belum bisa "ngaji". Sehingga mereka belum memenuhi syarat untuk mendapatkan predikat kiai. Memang pada waktu itu ada sedikit perubahan mengenai ketentuan menjadi kiai ini, tetapi esensinya relatif tidak berubah.

Setelah sebuah kalimat yang membentuk pengertian diterjemahkan, kadang-kadang guru atau kiai menjelaskan maksud kalimat itu dan menguraikannya dalam bahasa Jawa yang biasa dipakai para santri sehari-hari. Tetapi seringkali tidak ada penjelasan samasekali, sehingga santri dibiarkan memahaminya sendiri meskipun sebenarnya banyak yang belum mengerti. Satu hal yang menarik, bila seorang guru atau kiai mampu menguraikan terjemahannya dalam bahasa Indonesia dia bisa disebut cukup "maju". Tetapi dengan begitu proses belajar menjadi agak panjang, karena menggunakan tiga bahasa: Arab, Jawa, dan Indonesia.

Penerjemahan ke dalam bahasa Jawa tersebut tidak hanya dilakukan pada orang-orang Jawa saja, tetapi juga orang-orang Madura Bali, dan Sunda meskipun mereka memiliki bahasa daerah sendiri. Selanjutnya orang-orang ini kemudian menerjemahkannya lagi dalam bahasanya masing-masing. Bahkan hal ini juga dilakukan oleh orang-orang Jakarta (berbahasa Melayu) yang datang "mondok" ke pondok-pondok di Jombang pada waktu itu.

Konsisten dengan segi kearaban yang ada dalam pengajian, maka dalam menulis pun mereka menggunakan huruf Arab. Tulisan Arab untuk bahasa Jawa disebut Pego. Pemakaian huruf Pego ini begitu kuat menjadi ciri pengetahuan di pesantren. Begitu kuatnya ciri penggunaan huruf Pego ini, sebagaimana diceritakan Kiai Musta'in, ketika banyak santri mulai kirim surat dengan huruf Latin sebagai akibat adanya proses "sekularisasi" (didirikannya SMP, SMA, dan PGA) maka banyak wali murid yang mulai gelisah. Mereka gelisah karena menganggap anaknya sudah meninggalkan ciri kepesantrenan. Kegelisahan itu dinyatakan dalam berbagai kesempatan, khususnya pada waktu rapat wali murid yang biasa diselenggarakan tiap akhir tahun ajaran (menjelang bulan puasa).

Kebiasaan menulis dalam huruf Pego membuat masyarakat santri bisa berkomunikasi di antara mereka tanpa diketahui orang lain. "Esoterisme" ini memang semakin kendor, tetapi tidak mustahil akan menguat lagi jika terdapat kesadaran yang lebih mendalam pada masyarakat santri. Dan ini pernah terbukti, yaitu pada masa revolusi melawan Belanda dulu, semua hubungan, termasuk notulen rapat-rapat, banyak yang menggunakan huruf Pego. Contohnya, ketika NU mengadakan rapat di Madiun dengan TNI —pada waktu itu diwakili oleh Jenderal Sudirman— hasil rapat yang berupa fatwa wajibnya jihad melawan Belanda ditulis dengan huruf Pego.

Karena penulisan sebuah kitab hanya dalam bahasa Arab, maka dapat dikatakan praktis masyarakat pesantren, yaitu para kiai dan santri hanya menjadi konsumen objek budaya Arab. Sedikit sekali kiai yang mampu menulis kitab-kitab dalam bahasa Arab, seperti Kiai Ihsan dari Jampes, Kediri yang menulis kitab Siraj-u 1-Thâlibîn. Kitab beliau ini mencapai standar yang sangat tinggi dalam bidang penulisan kitab, dan dijadikan referensi utama di al-Azhar untuk memahami pemikiran al-Ghazali terutama yang terdapat dalam kitabnya yaitu Minhaj-u 'I-'Âbidîn. Kiai-kiai lain yang mampu menulis kitab dalam bahasa Arab adalah Kiai Hasyim, Kiai Ma'shum, dan Kiai Nawawi al-Bantani. Sedangkan kaum "intelek" santri umumnya menulis buku-buku dalam bahasa Jawa berhuruf Pego, dan jarang sekali yang menulis dalam bahasa Indonesia, apalagi yang menggunakan huruf Latin.

Karena sistem pengajian yang harus menerjemahkan terlebih dulu itu maka tidak mengherankan bahwa proses memahami dan menamatkan sebuah kitab begitu sulit dan panjang bagi seorang santri. Tidak jarang seorang santri yang telah mondok bertahuntahun, pulang hanya membawa keahlian “mengaji" beberapa kitab saja. Jika seorang santri rmerasa betul-betul menguasai sebuah kitab, dia bisa menghadap kiainya meminta tashhîh dan ijazah kelulusan. Jika ijazah itu diberikan, maka santri tersebut mempunyai wewenang untuk mengajarkan kitab itu kepada orang lain, dan mulailah dia menjadi seorang kiai baru. Dengan syarat-syarat menjadi kiai yang telah kita singgung di atas maka hanya santri yang benar-benar berbakat, rajin, dan cerdas yang bisa memperoleh predikat kiai tersebut.

Terdapat dua macam pengajian di pesantren yang berkembang pada waktu itu, yaitu weton dan sorogan. Weton adalah pengajian, yang inisiatifnya berasal dari kiai sendiri, baik dalam menentukan tempat, waktu, maupun lebih-lebih lagi kitabnya. Sedangkan sorogan adalah pengajian yang merupakan permintaan dari seorang atau beberapa orang santri kepada kiainya untuk diajari kitab tertentu. Pengajian sorogan biasanya hanya diberikan kepada santri-santri yang cukup maju, khususnya yang berminat hendak rnenjadi kiai.

Untuk mengetahui gambaran kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren pada waktu itu, maka berikut ini saya berikan contohcontoh kitab beserta kategorinya:

A. Cabang Ilmu Fiqh:

1. Safînat-u 'l-Shalah
2. Safînat-u 'l-Najâh
3. Fath-u 'l-Qarîb
4. Taqrîb
5. Fath-u 'l-Mu'în
6. Minhâj-u 'l-Qawîm
7. Muthma'innah
8. Al-lqnâ'
9. Fath-u '1- Wahâb

B. Cabang Ilmu Taw_id:

1. 'Aqîdat-u ‘1-'Awâm (nazham)
2. Bad'-u 'I-Âmâl (nazham)
3. Sanûsiyyah

C. Cabang Ilmu Tasawuf:

1. Al-Nashâ'ih-u 'l-Dîniyyah
2. Irsyâd-u 1-'Ibâd
3. Tanbîh-u'l-Ghâfilîn
4. Minhâj-u 'l-'Âbidî.
5. Al-Da'wat -u '1-Tâmmah
6. Al-Hikâm
7. Risâlat-u ‘l-Mu'âwanah wa 'I-Muzhâharah
8. Bldayat-u 'l-Hidâyah

D. Cabang Ilmu Nahwu-Sharaf:

1. Al-Maqsûd (nazham)
2. 'Awâmil (nazham)
3. 'Imrîthî (nazham)
4. Ajurumiyah
5. Kaylani
6. Mirhât-u'l-l'râb
7. Alfiyah (nazham)
8. Ibnu 'Aqîl

Rabu, 06 Oktober 2010

ENK_Cell all operator

Kenapa Harus Memilih Kami :

1. PRAKTIS : melalui sistem sms dari kartu (pra bayar maupun pasca bayar) dan jenis handphone apa pun, yang memungkinkan Anda bisa menjual voucher kapan pun dan dimanapun. Seluruh jenis pengisian isi pulsa elektronik langsung masuk ke nomor pelanggan Anda, tanpa kerepotan memasukkan secara manual kode voucher pada handset pelanggan.

2. TRANSAKSI 24 JAM NON STOP : Anda dapat melakukan transaksi pada jam tersebut non stop dalam sehari, 7 hari dalam seminggu, termasuk hari libur, sehingga bisnis Anda tidak dibatasi oleh waktu. Kecuali pada masa pemeliharaan terjadwal atau tidak terjadwal dari bimasakti maupun dari penyedia layanan komunikasi. Transaksi pada hari berjalan selain dapat diperiksa melalui handphone Anda, juga dapat diperiksa melalui web report/Operator kami

3. SATU DEPOSIT UNTUK LIMA NOMOR HANDPHONE : Anda dapat mendaftarkan lima nomor handphone untuk satu deposit sehingga Anda dapat menjual voucher dari lima handphone yang berbeda. Ini sangat membantu jika Anda memiliki lebih dari satu tempat usaha, atau Anda bersama teman/keluarga/pasangan Anda ingin menjual voucher dengan satu deposit saja. Cukup satu account deposit untuk melakukan pengisian hampir semua jenis pulsa elektronik.

4. DEPOSIT MUDAH DAN ADIL : Anda dapat menyetorkan deposit Anda dari ATM / Teller / SMS Banking / Phone Banking / Internet Banking Anda, melalui Bank Central Asia, mana pun di seluruh Indonesia, sehingga memudahkan Anda untuk mengisi deposit Anda. Anda sudah bisa memulai usaha Anda sendiri. Tanpa kerugian sedikitpun pada sistem deposit, kami akan mentransfer SELURUH jumlah yang Anda setorkan pada rekening bank kami. Deposit berupa nilai Rupiah, BUKAN produk, lebih flexibel. Deposit tidak terdapat masa kadaluarsa

5. DEPOSIT BERBEDA DENGAN : deposit yang akan Anda gunakan untuk menjual voucher, terpisah dari pulsa pribadi yang dapat Anda pakai untuk telepon / sms. Deposit untuk Anda jual ini tidak dapat Anda gunakan untuk telpon/sms, tapi dapat digunakan untuk mengisi pulsa pribadi Anda. Anda tidak akan bingung antara pulsa pribadi dengan deposit yang Anda gunakan untuk menjual voucher.

6. VOUCHER ELEKTRONIK MURAH : Harga dasar umumnya lebih murah dan praktis dari voucher fisik. Peminat lebih banyak karena pelanggan tidak perlu menggosok voucher dan memasukkan kode voucher pada handset mereka. Voucher elektronik lebih aman dibandingkan voucher fisik karena tidak perlu tempat penyimpanan, tanpa resiko kehilangan. Harga cenderung stabil, jarang berubah tidak seperti voucher fisik

7. OTOMATIS: Seluruh proses pengisian pulsa elektronik dilakukan otomatis oleh sistem bimasakti. Tanpa transaksi ganda, satu nomor pelanggan hanya dapat diisi satu kali dengan denominasi sama . Untuk pengisian lebih dari satu kali dapat dilakukan dengan denominasi berbeda dalam 24 jam.
8. TANPA LIMIT TRANSAKSI : Dapat menjual voucher sebanyak apapun, selama deposit Anda mencukupi.

9. KECEPATAN TRANSAKSI : Kecepatan setiap melakukan Transaksi antara 10 - 15 detik

10. CUSTOMER SERVICE YANG SELALU SIAP MEMBANTU ANDA : Termasuk hari libur, pada Jam kerja di 085-630-630-77

Di Dukung Dengan SERVER Yang Handal Dan Berskala Nasional. Speed/ Kecepatan Transaksi Tidak perlu di ragukan, karena ENK_CELL Di Tangani Oleh Operator Yang Sangat Handal & Profesional Di Bidang Pengisan Pulsa. Voucher Yang Kami Tawarkan sangat lengkap, Seperti: Mentari, IM3, Starone, Simpati, Kartu As, XL, Flexi, Fren, Esia, Smart, Ceria, Hepi, Three dan Axis. Dengan nominal terlengkap dari 5 ribu sampai 150 ribu.

KEISTIMEWAAN ENK_CELL ALL Operator:

* Satu chip bisa isi semua jenis pulsa (all operator)
* Stock Menggunakan Chip Sendiri – sendiri
* Bisa isi pulsa lebih dari 1 kali ke nomor hp yang sama
* Pendaftaran gratis (tidak dipungut biaya)
* Deposit bebas (tidak dibatasi dan Buka setiap hari)
* Saldo tidak hangus – dapat dipakai kapan saja
* Tidak ada target penjualan atau kewajiban lainnya
* Harga dasar pulsa relatif murah
* Stok pulsa lengkap dan bervariatif
* Transaksi 24 jam – nonstop, tidak ada hari libur
* Proses transaksi cepat dan pasti
* Teknologi pendukung mutakhir
* Sistem canggih dan nggak ribet
* Ada fasilitas Web Reporting
* Wilayah pemasaran tidak dibatasi (nasional)

Kami siap memberikan layanan terbaik untuk kemajuan bisnis Anda Pelayanan yang ramah adalah misi utama kami. Kejujuran, kesungguhan, harga yang kompetitif, produk yang lengkap, sistem hardware & software yang handal, kemudahan dan kecepatan transaksi, pelayanan terbaik dan didukung oleh infrastruktur teknologi yang memadai adalah Pondasi Utama Kami, sehingga Anda dapat dengan nyaman bermitra dengan Kami.

Tunggu apalagi? Kini saatnya untuk mengembangkan bisnis pulsa Anda… segera Bergabung dengan ribuan mitra kami di ENK_cell all operator!

some wisdom words today

penjual jamu dan penjual berlian.

Kiai yg berdakwah dg cara bengak-bengok belum tentu lebih banyak pahalanya drpd yg dakwah dg diam2. Penjual berlian, kata KH. Mabarrun, mendapat hasil yg lebih banyak drpd penjual jamu yg menjajakan obatnya dg cara berteriak2.

falsafah pohon kelapa

''Kalo bisa hidup kita seperti pohon kelapa, semakin tua semakin tinggi, semakin burguna dan berwibawa. Jangan sampai kita seperti pohon tebu, yg tdk bisa berumur panjang, dan semakin tua semakin bubrah tdk karu2an.''

Selasa, 05 Oktober 2010

info BIMBEL

mau bimbel?tapi males ke sekolah???
down load aja materi bimbelmu disisni......
(materi bimbel resmi dari diknas prop jatim)

untuk smp/ mts:
http://rapendik.dindikjatim.net/materi-smp-mts.html


untuk sma/ ma:
http://rapendik.dindikjatim.net/materi-sma-ma-smk.html

Senin, 04 Oktober 2010

HIKMAH menjelang akhir SYAWAL 1431 H...

suatu ketika......
malaikat penjaga surga memeriksa satu per satu karcis manusia untuk masuk surga.

di depan pintu syurga sederetan manusia yang beruntung "mendapatkan tiket syurga" telah antri panjang,namun ada fenomena yang menarik saat itu.

orang yang berada paling depan di antrian itu adalah seorang lelaki yang berambut panjang, hitam, bertato hampir sekujur tubuhnya, dan berpakaian kaos oblong serta memakai celana jins compang-camping.

sementara di belakang orang itu seorang kiayi besar yang memakai jubah putih, beruban+jenggot putih serta bersurban.

orang-2 yang di belakang mereka protes kepada malaikat penjaga syurga,karena fenomena tersebut. salah seorang yang protes berkata kepada malaikat " wahai malaikat yang mulia, kenapa kiyai itu antriaannya berada di belakang orang yang kayak berandalan tersebut? padahal kiyai tersebut adalah ahli ibadah, puasanya JOZZZZ, sholatnya MUANTAPZZZ, shodaqohnya TIADA TERTANDINGI, serta sering ceramah dimana?

lantas malaikat itu menjawab: " tahukah kalian, orang yang berambut panjang yang antriannya berada di depan sendiri itu adalah seseorang yang ketika hidupnya dia itu bekerja sebagai sopir bus, setiap dia mengendarai busnya, ia selalu mengebut dan sering menerobos lampu laulintas. namun setiap dia mengendarai busnya itu, seluruh penumpangnya setiap hari mendoakan dia semoga dia beserta penumpangnya SELAMAT DUNIA AKHIRAT, sedangkan busnya itu setiap hariya selalu penuh dengan penumpang (satu bis berisi 52 kursi,
PADAHAL sebuah hadist nabi menagatakan, apabila 40 orang berkumpul untuk berdoa maka itu sama dengan 1 orang wali yang berdoa, seperti kalian ketahui apabila seorang wali berdoa, maka 99 % doanya di kabulkan oleh ALLAH SWT.
nah sopir bis ini memang jarang sholat, puasa, dan kalau menyetir bus UGAL-UGALAN. namun dia setiap hari selalu di doakan oleh banyak orang.

sedangkan kiayi yang berada di belakangnya, itu memang ahli sholat dan puasa, namun ketika ceramah, beliau ceramahnya berjam-jam, sampai-sampai jama'ahnya tertidur semuahampir semua jama'ahnya gelisah karena banyak jama'ah yang harus kehilangan kegiatan serta keawjibannya yang lain, karena apabila dia meninggalkan pengajian itu, mereka sungkan kepada kiyai itu. sampai-sampai beberapa jama'ahnya mengeluh dan berdo'a yang jelek atas kiyai tersebut. makanya sang kiyai tersebut harus atret (mundur kebelakang) ketika mau masuk syurga,

(ihdinash shirothol mustaqim)
wonocolo VIII/ 27 B surabaya, senin habis asyar. tanggal 04-10-2010

kisi-kisi soal UTS smp Khadijah sby 2010

hadist kelas IX:

@ sanad, matan dan rawi hadist adalah?
@ imam hadisaini adalah?
@ biografi singkat perawi hadist, satu saja.
@ jitab-kitab hadist ushulul Khamsah
@ tanggal kelahiran, wafat, tempat kelahiran, wafat dimana dari imam bukhori, muslim, annasaai, turmudzi

alquran kelas VIII:

@ qolqolah adalah?hurufnya apa saja?kubro dan syugra?contohnya 5
@ hukum bacaan basamalah itu apa saja?
@ hukum taawudz dan basmalah?
@ tarqiq dan rafkhim yang kalian ketahui?
@ tulislah lafadz fatihah dan taawud?
@ dalil taawudz dan basmalah