Kamis, 16 Mei 2013

Keberhasilan Kurikulum 2013

Keberhasilan Kurikulum 2013


Sedikitnya ada dua faktor besar dalam ke­ berhasilan kurikulum 2013. Pertama, penen­tu, yaitu kesesuaian kompetensi pendidik dan tenaga kependi­dik­an (PTK) dengan kurikulum dan buku teks. Kedua, faktor pendukung yang terdiri dari tiga unsur; (i) ketersediaan buku sebagai ba­han ajar dan sumber belajar yang mengintegrasikan standar pem­bentuk kurikulum; (ii) penguatan peran pemerintah da­am pembinaan dan penga­wasan; dan (iii) penguatan ma­naj­emen dan budaya sekolah.

iklan5-skema2



iklan5-skema1

Berkait dengan faktor perta­ma, Kemdikbud sudah mende­sain­­ strategi penyiapan guru se­­bagaimana digambarkan pa­da skema penyiapan guru yang me­ibatkan tim pengembang kurikulum di tingkat pusat; instruktur diklat terdiri atas unsur dinas pendidikan, dosen, widya­swara, guru inti, pengawas, ke­­pala sekolah; guru uta­ma me­iputi guru inti, penga­was, dan kepala sekolah; dan guru mereka terdiri atas guru kelas, guru mata pelajaran SD, SMP, SMA, SMK.
Pada diri guru, sedikitnya ada empat aspek yang harus di­beri perhatian khusus dalam rencana implementasi dan ke­terlaksanaan kurikulum 2013, yaitu kompetensi pedagogi; kompetensi akademik (keilmuan); kompetensi sosial; dan kompetensi manajerial atau kepemimpinan. Guru sebagai ujung tombak penerapan kurikulum, diharapkan bisa menyiapkan dan membuka diri terhadap beberapa kemung­kinan terjadinya perubahan.
Kesiapan guru lebih penting­ daripada pengembangan kuri­kulum 2013. Kenapa guru menjadi penting? Karena dalam kurikulum 2013, bertujuan mendorong peserta didik, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar,­ dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), terhadap apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah mene­rima materi pembelajaran.

iklan5-gbr1

Melalui empat tujuan itu diharapkan siswa memiliki kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif. Disinilah guru berperan be­sar di dalam mengimplementa­sikan tiap proses pembelajaran pada kurikulum 2013. Guru ke depan dituntut tidak hanya cer­das tapi juga adaptip terhadap perubahan.

Pembelajaran Teks dalam Kurikulum 2013

Dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau bahasa sebagai teks.
Oleh karena konteks situasi pemakaian bahasa itu sangat beragam, maka akan beragam pula jenis teks. Selanjutnya, proses sosial yang berlangsung selalu memiliki muatan nilai-nilai atau norma-norma kultural. Nilai-nilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya, dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda; tidak berstruktur tunggal seperti dipahami dalam kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP, yang semua jenis teks berstruktur: pembuka, isi, dan penutup (periksa KD BI, kelas XI, semester 2, butir: 12.2).

Pada jenis teks cerita ulang (recount) unsur utamanya berupa peristiwa yang di dalamnya menyangkut siapa, mengalami apa, pada waktu lampau, dengan struktur: orientasi (pengenalan pelaku, tempat, dan waktu) diikuti rekaman kejadian; pada teks anekdot, peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang harus menimbulkan krisis. Partisipan yang terlibat bereaksi pada peristiwa itu, sehingga teksnya berstruktur: orientasi, krisis, lalu diikuti reaksi. Berbeda dengan eksemplum, pada jenis teks ini peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang maupun anekdot memunculkan insiden, dan dari insiden itu muncul interpretasi (perenungan). Dengan demikian, teks jenis ini berstruktur: orientasi, insiden, lalu diikuti interpretasi. Adapun jenis teks naratif, peristiwa yang diceritakan harus memunculkan konflik antartokoh atau konflik pelaku dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungannya. Oleh karena itu, teks naratif berstruktur: orientasi, komplikasi, dan resolusi. Setiap struktur teks dalam masing-masing jenis teks memiliki perangkat-perangkat kebahasaan yang digunakan untuk mengekspresikan pikiran yang dikehendaki dan secara terpadu diorientasikan pada pencapaian tujuan sosial teks secara menyeluruh. Untuk itu, pembicaraan ihwal satuan leksikal, gramatikal (tata bahasa) dalam pembelajaran berbasis teks harus berupa pembicaraan tentang satuan kebahasaan yang berhubungan dengan struktur berpikir yang menjadi tujuan sosial teks, bukan dalam bentuk serpihan-serpihan.

Dalam teori genre, terdapat dua konteks yang melatarbelakangi kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai dan norma kultural yang akan mewejawantahkan diri melalui proses sosial) dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat: pesan yang hendak dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode). Hadirnya konteks budaya dalam teks dapat ditunjukkan, misalnya pada teks laporan dan teks deskripsi. Kedua teks ini sama-sama dikelompokkan ke dalam genre faktual, tetapi memiliki struktur teks dan nilai/norma yang melatarbelakangi berbeda. Teks laporan berstruktur: klasifikasi umum lalu diikuti deskripsi bagian, sedangkan teks deskripsi bersruktur: deskripsi umum diikuti deskripsi bagian-bagian. Satuan leksikogramatikal yang terdapat pada teks laporan harus mendukung nilai-nilai objektif, faktual bukan opini serta bersifat generik, sedangkan pada teks deskripsi satuan leksikogramatika yang merupakan opini ataupun tanggapan yang bersifat subjektif masih dapat dimunculkan dan lebih bersifat spesifik. Itu sebabnya, dalam pembelajaran bahasa berbasis teks tidak boleh dilihat bahasa secara parsial, melainkan secara utuh. Pembelajaran bahasa berbasis teks bukanlah belajar keping-keping atau serpih-serpih tentang bahasa yang cenderung bertujuan menghafal.

Pilihan pada pembelajaran bahasa berbasis teks membawa implikasi metodologis pada pembelajaran yang bertahap. Mulai dari kegiatan guru membangun konteks, dilanjutkan dengan kegiatan pemodelan, membangun teks secara bersama-sama, sampai pada membangun teks secara mandiri. Hal ini dilakukan karena teks merupakan satuan bahasa yang mengandung pikiran dengan struktur yang lengkap. Guru harus benar-benar meyakini bahwa pada akhirnya siswa mampu menyajikan teks secara mandiri.

Kehadiran konteks budaya, selain konteks situasi yang melatarbelakangi lahirnya suatu teks menunjukkan adanya kesejajaran antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa) dengan filosofi pengembangan Kurikulum 2013, khusunya yang terkait dengan rumusan kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI) atas domein sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi inti yang menyangkut sikap, baik sikap spiritual (KI: A) maupun sikap sosial (KI: B) terkait dengan konsep kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta konteks sosial yang menjadi dasar terbentuknya register (bahasa sebagai teks); kompetensi inti yang menyangkut pengetahuan (KI: C) dan keterampilan (KI: D) terkait langsung dengan konsep kebahasaan yang berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai teks). Selain itu, antarkompetensi dasar (KD) yang dikelompokkan berdasarkan KI tersebut memiliki hubungan pendasaran satu sama lain. Ketercapaian KD dalam kelompok KI: A dan B ditentukan oleh ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. KD dalam kelompok KI: A dan B bukan untuk diajarkan melainkan implikasi dari ketercapaian KD dalam kelompok KI: C dan D. Oleh karena itu pula, mengkritisi keberadaan KD-KD dalam Kurikulum 2013, termasuk tentang Kurikulum Bahasa Indonesia secara lepas, berdiri sendiri mengakibatkan munculnya tanggapan yang menyesatkan. Jika rumusan KD tentang sikap dihubungkan dengan KD tentang pengetahuan dan keterampilan, tentu pernyataannya tentang tidak logisnya rumusan KD, dalam Kurikulum 2013, seperti dinyatakan Acep (Kompas, 18 Maret 2013), tidak akan muncul.

Begitu pula jika, KD tentang pengetahuan yang dikritisi itu dihubungkan dengan KD tentang keterampilan, maka pernyataan bahwa Kurikulum 2013 hanya akan menghasilkan siswa penghafal, seperti dinyatakan Bambang (Kompas, 20 Maret 2013) tidak akan lahir. Selanjutnya, jika dibandingkan antara KD yang dirumuskan dalam Kurikulum 2013 dengan KD dalam KTSP, maka terdapat beberapa persamaan dan perbedaan yang mendasar. Persamaannya, kedua kurikulum itu menampilkan teks sebagai butir-butir KD. Sebagai contoh, dalam KTSP (2006) untuk kelas I, dan kelas IV semester 1, ditemukan KD 2.3: “Mendeskripsikan benda-benda di sekitar dan fungsi anggota tubuh dengan kalimat sederhana” dan KD 4.2: “Menulis petunjuk untuk melakukan sesuatu atau penjelasan tentang cara membuat sesuatu”. Bandingkan rumusan KD itu dengan KD dalam Kurikulum 2013 kelas 1 SD pada aspek pengetahuan: (a) KD3.1:“Mengenal Teks deskriptif tentang anggota tubuh dan panca indera …”; (b) KD 3.2: “Mengenal teks petunjuk/arahan tentang perawatan tubuh serta pemeliharaan kesehatan dan …”. Baik pada KTSP maupun pada Kurikulum 2013 teks disajikan sebagai butir-butir yang dicantumkan sebagai KD, tidak seperti yang dinyatakan Bambang. Hanya saja, pada Kurikulum 2013 dibedakan antara KD yang berhubungan dengan aspek pengetahuan, kerampilan, dan sikap. Adapun perbedaannya, KD pada KTSP masih banyak yang disusun berdasarkan pandangan linguistik struktural, misalnya: rumusan KD kelas I semester 1 berikut. KD 3.1: “Membaca nyaring suku kata, kata dengan lafal yang tepat” dan KD 3.2: “Membaca nyaring kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat”. Kedua rumusan KD ini mencerminkan pembelajaran kompetensi berbahasa yang bersifat struktural, dari kemampuan melafalkan unsur bahasa yang terkecil: suku kata, meningkat ke pelafalan kata, dan diteruskan ke pelafalan kalimat, bahkan sampai ke teks (cermati KD kelas II, semester 2, butir 7.1: “Membaca nyaring teks (15-20 kalimat) dengan memperhatikan lafal dan intonasi yang tepat”. Dengan mencermati KD-KD-nya, maka penyusunan kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP dapat dikatakan dilakukan dengan setengah berlandaskan pendekatan struktural dan setengahnya lagi berlandaskan pada pendekatan teks. Bahkan masih terdapat pencampuradukan antara konsep teks dengan paragrap. Cermati KD Kelas X, semester 1: 4.2: “Menulis hasil observasi dalam bentuk paragrap deskriptif”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurikulum bahasa Indonesia sejak Kurikulum 1994 sampai KTSP yang didengung-dengungkan berbasis kontekstual adalah tidak sepenuhnya benar. Berbeda jauh dengan Kurikulum 2013 yang sepenuhnya berbasisi teks. ***

Selasa, 07 Mei 2013

ANGKA NOL DAN EKSISTENSI TUHAN

Manusia hidup dunia ini diberi tugas untuk mempercayai, mengenal dan mengakui adanya Tuhan. Adalah salah jika manusia tidak mau mengakui adanya Tuhan, karena hal itu sudah diperintahkan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 172. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa mempercayai, mengenal dan mengakui adanya Tuhan, sementara eksistensi Tuhan sendiri  tidak diketahui.
Memang sangatlah sulit untuk bisa menggambarkan eksistensi Tuhan. Bahkan, pada abad ke-6 M, di Jazirah Arab, seorang laki-laki dengan tanda-tanda khusus, pernah mengatakan “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah.” Hal itu menunjukkan, orang tidak akan bisa  mengetahui eksistensi Tuhan. Akan tetapi, yang dapat diterima  adalah esensi dari Tuhan, berupa sifat-sifat ketuhanan seperti: “Yang Maha Pencipta, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Berkehendak,  dan sebagainya.
Agar bisa mengakui akan eksistensi Tuhan, salah satunya dapat dilakukan dengan mengenali diri sendiri. Seperti yang diungkapkan pepatah “Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu.” Untuk mengenali diri sendiri, orang dapat belajar dari filosofi angka nol.
Angka Nol
Angka nol pertama kali ditemukan dalam tradisi Hinduisme India. Dalam bahasa India, nol berarti sunya, kosong, nihil, hampa, tidak ada apa-apa. Tradisi Hinduisme India telah mengakui adanya konsep “kehampaan,” sebagai simbol diri manusia yang terbebas dari keinginan-keinginan dan hawa nafsu. Menurut tradisi ini, kehidupan merupakan lingkaran samsara (kesengsaraan). Adanya samsara disebabkan bergabungnya ruh dengan badan. Untuk mencapai kebahagiaan sejati harus dilakukan pembebasan (moksha), sehingga ruh bisa menjadi sunya (terbebas dari badan berupa keinginan-keinginan dan hawa nafsu) (Charles: 2000).
Dari India, sejarah angka nol kemudian beralih Arab. Di Arab, angka nol semakin populer setelah diperkenalkan oleh seorang filsuf muslim bernama Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi merupakan seorang matematikawan muslim yang pernah meneliti sistem perhitungan Hindu (India). Dia kemudia menulisnya dalam buku berjudul Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabala. Dalam buku al-Khawarizmi, “sunya” diberi nama “al-sifr,” berarti kosong, nihil, hampa atau tidak ada apa-apa. Dengan bukunya pula, al-Khwarizmi memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai tempat dalam basis sepuluh. Sistem ini disebut sistem bilangan desimal. Dari angka nol itu pula, kini setiap orang bisa menghitung demikian banyaknya (Rizal:2012).
Pada abad pertengahan, angka nol belum diterima oleh kalangan Barat, karena mereka belum mempercayai adanya sesuatu “yang tidak ada.” Mereka belum  mengakui eksistensi kenihilan. Mereka lebih memilih sistem bilangan Romawi yang tidak memiliki angka nol. Hingga akhirnya pada abad ke-13 M, seorang filsuf Italia–Leonardo Fibonacci–berhasil memperkenalkan angka nol kepada orang-orang Barat.
Filosofi Angka Nol
Angka nol melambangkan ketiadaan. Sebab manusia pada dasarnya diciptakan dari ketiadaan. Ketiadaan untuk memilih siapa orang tua yang akan melahirkan, ketiadaan untuk dilahirkan sempurna atau cacat, ketiadaan untuk memilih menjadi miskin atau kaya, dan ketiadaan untuk memiliki apapun. Dalam agama Yahudi-Kristen dinamakan creation ex nihilo. Seorang filsuf China Zen berkata: “Untuk menemukan diri yang sejati, kita harus kehilangan diri kita sendiri.” Ini artinya, orang perlu mengakui bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa dan tidak berhak untuk memiliki apa-apa. Karena diri orang itu berasal dari ketiadaan, kehampaan dan kekosongan.
Dari alam kekosongan itulah, pada akhirnya orang akan dapat menyaksikan adanya Tuhan. Seorang filsuf Jerman Imanuel Khan berkata: “Untuk mengenal Tuhan secara benar sesuai dengan keagungan dan kebesaranya, aku mengabaikan semua pengetahuanku.” Oleh karena itu agar orang dapat menyaksikan adanya Tuhan, orang harus kembali ke alam kekosongan.  Caranya dengan menghilangkan semua yang ada di dalam dirinya.  Dalam serat Wedhatama bait ke-14 hal tersebut juga diungkapkan:
“ Bali alaming ngasuwung,
Tak karem karamean
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira.”
Artinya kembali ke alam yang mengosongkan, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang bersifat kuasa menguasai, dan kembali ke asal muasalmu.” Dengan kata lain, manusia akan kembali lagi ke asalnya. Oleh karena itu jangan mengumbar nafsu duniawi dan jangan pula mempunyai sifat yang selalu berkuasa.
Kebalikan dari ketiadaan (prinsip angka nol) adalah sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas. Tuhan adalah pemilik ketakhinggaan yang mutlak. Karena ketakhinggaan-Nya tersebut, tak ada seorang atau sesuatu pun yang dapat menghalangi kuasa-Nya dalam berkehendak. “Dan Dia (Allah) adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Maidah: 120).
Ia adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui, yang esensinya tidak memiliki ukuran atau kriteria (Sayid Mujtaba, 1989). Wujud-Nya akan sangat berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya (mukhollafatul lil-hawaditsi). Ia melingkupi seluruh alam semesta dan waktu. Oleh karena itulah, manusia tidak akan mampu melukiskan secara visual wujud dari Tuhan Allah. Di dunia ini Ia tidak dapat dilihat (Imam al-Ghazali, tt). “Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” (Al-An’am: 103). “Dia-lah yang Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiasian, dan penyimbolan. Tak satupun di alam semesta ini yang mampu menyamai-Nya” (Al-Qusyairi, tt). Seseorang hanya dapat mengenali Allah SWT dari sifat-sifat serta bukti-bukti eksisteni-Nya lewat apa yang telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini.
Demikianlah filosofi angka nol. Dengan mengikuti filosofi angka nol, orang akan mengakui eksistensi Tuhan dengan mengakui ketiadaan diri, ketidakmampuan diri, serta ketidakberhakan diri untuk memiliki apapun.


Referensi
Al-Qur’an digital versi 2.1, 2004. Diambil dari http://www.alquran-digital.com 27 Juni 2012.
Al-Ghazali, I. tt. Ihya’ Ulumiddin. Diterjemahkan oleh Moh. Zuhri tahun 1990. Semarang : Asy-Syifa’.
Al-Qusyairi. tt. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Diterjemahkan oleh Umar Faruq tahun 2007. Jakarta: Pustaka Amani.
Charles, S. 2000. Zero: The Biography of A Dangerous Idea. New York: Penguin Books.
Mujtaba, S. 1989. Mengenal Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya. Diterjemahkan oleh Ilham Manshuri dan Mufid Ashfahani tahun 2002. Jakarta: Lentera Basritama.
Rizal, A. 2012. Al-Khawarizmi dan Angka nol. Diambil dari www.al-khawarizmi-dan-angka-nol.htm tanggal 1 Oktober 2012.
Selain referensi di atas, tulisan ini sebagian diambil dari makalah yang ditulis M. Makin dan Lilik Suryani (mahasiswa jurusan pendidikan matematika IAIN Sunan Ampel Surabaya).

GURU 3 K


oleh:
Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar pada Fakultas Dakwah
 
Bulan ini, saya bersyukur kedatangan tiga guru spiritual. Mereka bukan ustad yang biasa mengumandangkan ratusan hafalan ayat Al Qur’an dan hadis nabi. Bukan juga pemimpin kelompok dzikir dengan peci putih di kepala dan tasbih melingkar di jari tangan. Tidak satu ayat atau hadispun terucap dari mulut tiga tamu itu. Tapi, sungguh beberapa kata yang disampaikan di tengah pembicaraan itu  membuat saya sangat haru, sekaligus memperoleh banyak pelajaran. Pertama, orang buta (63 tahun) yang datang jauh dari Lumajang (90 km dari Surabaya). Kedua, pengidap tumor ganas dan gangguan jantung (67 tahun) dari Surabaya. Ketiga, tamu dari Sidoarjo (64 tahun). Sebelumnya, ia tidak bisa berjalan selama lima tahun karena mengalami penyempitan pembuluh darah di balik kedua betisnya.
Ketiga tamu itu datang pada waktu dan tempat yang berbeda, tapi memberi pelajaran yang sama: keikhlasan, keridloan dan kepasrahan.  “Saya ikhlas. Senang saja menerima cobaan ini. Saya tidak minta sembuh. Terserah saja apa kehendak Allah,” inilah inti jawaban mereka ketika saya tanya, “Apa bapak meminta sembuh dari penyakit berat ini?”. Luar biasa.  Itulah penggalan kalimat yang membuat saya merinding dan meneteskan air mata tanpa terasa.
Kehebatan mereka terletak pada penguatan mindset, sehingga mereka “meminum yang pahit dengan rasa manis”. Sekalipun demikian, saya ingin menambah semangat kebahagiaan disamping apresiasi besar. Kepada “guru” pertama yang buta, saya mengatakan, “Saya yakin, bapak adalah orang pertama yang melihat cahaya surga. Orang pertama pula yang diberi kesempatan memandang keindahan “wajah” Allah di akhirat kelak. Sebab, bapak telah terbebas dari dosa mata, dan tercabut dari keindahan alam semesta. Dengan kebutaan, bapak telah memperoleh ketajaman atau kepekaan telinga mendengar kalam Allah.”
Kepada “guru” kedua, saya berbagi, “Keriangan bapak menerima tumor sebagai kado dinar dari Allah pasti ampunan dosa dari-Nya, melebihi pengampunan dari ibadah umrah dan haji puluhan kali.” Bagi saya, riang menerima cobaan bernilai lebih tinggi dari kesabaran.  Sakit sedikit karena tertusuk duri di jalan saja sudah mendatangkan ampunan, kata Nabi SAW.  Apalagi gangguan jantung dan tumor. Sekian lama merasakan sakit fisik. Ratusan juta rupiah ia dikeluarkan untuk pengobatan. Di akhir pertemuan, pria lansia itu masih berpesan, “Saya sehat lebih dari 60 tahun. Maka jika saya sakit hanya tiga tahun, tidaklah pantas bagi saya untuk membesar-besarkan penyakit dan melupakan kesehatan yang dianugrahkan sekian lama.”
Kepada “guru” ketiga, saya tidak hanya haru tapi juga kaget. Setelah menguatkan ridla dan keikhlasan menerima kelumpuhan kaki dan pembulatan pasrah kepada Allah dengan puncak kepasrahan dalam rukuk dan sujudnya, tiba-tiba ketika adzan shubuh, Selasa (lupa tanggal) April 2013 itu, ia bisa berjalan sampai ke masjid untuk shalat berjamaah, sekalipun dengan sedikit menyeret kaki. “Dulu saya tiada henti meminta sembuh. Tapi setelah lama tidak sembuh, saya ikhlas dan ridlo saja. Saya bulatkan lagi kepasrahan kepada Allah dalam setiap rukuk dan sujud saya.  Ternyata, di saat demikian, justru diberi kesembuhan,” katanya dengan wajah sumringah.
Salam takdzim untuk ketiga “guru” saya. Saya bertekad menyontoh keikhlasan, keridloan dan kepasrahan mereka.  Saya kirimkan satu hadis Nabi berikut sebagai hadiah dan kenang-kenangan perjumpaan dengan mereka.  “Suatu saat, Ibnu Abbas berkata kepada ‘Attha’ bin Abi Rabah, “Maukah kamu saya tunjukkan perempuan calon penghuni surga?” “Tentu, dengan senang hati,” jawan ‘Atha’. Lalu Ibnu Abbas menunjuk ke arah perempuan berkulit hitam, dan berkata, “Dia pernah mengadu kepada Nabi SAW, “Wahai Nabi, aku punya penyakit ayan, dan terbuka auratku ketika itu. Berdoalah untuk kesembuhanku.” Nabi SAW menjawab, “Jika mau, bersabarlah dan surga pasti untukmu. Tapi jika tetap ingin sembuh, saya akan berdoa untuk kesembuhanmu.” Perempuan itu menjawab, “Aku memilih sabar, wahai nabi. Hanya doakan aku, agar auratku tidak terbuka ketika ayan” Lalu Nabi SAW berdoa (sesuai harapan si tamu). (HR Bukhari Muslim dari ‘Atha’ bin Abi Ribah r.a) (Dalilul Falihin, Juz I: 119). (Surabaya, 2-5-13)

taken from: 
http://www.sunan-ampel.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=996%3Aguru-3-k&catid=45%3Akolom-p-rektor&lang=in