Jumat, 01 November 2013

Karakter Anak Didik Kurang Diperhatikan

Karakter Anak Didik Kurang Diperhatikan
Sistem pendidikan di Indonesia dinilai semata-mata mementingkan kecerdasan intelektual tapi kurang memperhatikan pembentukan karakter anak didik. Walhasil, sikap jujur, rasa empati, sikap bijaksana dan perilaku menghormati orang tua mulai luntur. Generasi penerus bangsa mulai berkesan materialistis, memuja kepentingan duniawi.

Gejala itu merambah semua kalangan meski tidak semuanya seperti itu. Memprihatinkan malah ketika cerdik cendikiawan terang-terangan ikut mengabaikan nilai moral. Gambaran perilaku bangsa Indonesia terekam jelas dari orang-orang pandai namun menjadi biang korupsi, tutur ulama sekaligus budayawan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Psikologi Transpersonal-Spiritual Mengembangkan Spiritualitas dalam Keluarga yang diselenggarakan Rabu (9/10), di Gedung Prof Soedarto Undip, dalam rangka dies natalis ke-56.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhlatul Thalibien Rembang itu duduk dalam satu forum bersama mantan rektor Prof Ir Eko Budiharjo dan psikolog Hastaning Sakti. Rektor Undip Prof Sudharto P Hadi hadir memberikan kata sambutan dan membuka seminar. Kiai yang juga piawai menulis puisi itu menambahkan, pendidikan yang baik seharusnya memperhatikan beberapa hal. Pertama, memperhatikan kualitas keimanan dan ketakwaan. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan keunggulan nonakademik, di dalamnya adalah keunggulan spiritual.
Lemah Akhlak
Gus Mus mencotohkan, banyak kasus korupsi yang melibatkan orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka pintar secara akademik tapi lemah secara akhlak dan moral. Prof Eko Budiharjo juga mengingatkan, dalam budaya Jawa banyak nilai-nilai kehidupan luhur. Intisari ajaran itu cocok diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam keluarga. Lingkungan kecil itu bisa menjadi beteng utama mempertahankan tradisi penuh kearifan lokal.
Adapun Sudharto sepakat keluarga merupakan lingkungan pertama sebagai wahana tumbuh kembang. Jika dalam keluarga itu dipenuhi nilai-nilai spiritualitas yang tinggi maka akan terpancar nilai-nilai positif pada lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas itu adalah masyarakat, bangsa, dan negara, urainya.
Psikolog Hastaning Sakti menyoroti soal perilaku saling asah, asih, asuh yang perlu ditumbuhkan kembali. Perilaku itu berkesan mulai diabaikan padahal meski sederhana, ampuh untuk membentuk masyarakat yang saling menghargai.

Indonesia Masih Butuh Banyak Peneliti

Indonesia Masih Butuh Banyak Peneliti
Indonesia idealnya membutuhkan 200.000 peneliti di berbagai bidang untuk bisa mengejar ketertinggalan kemajuan teknologi dari negara lain. Hal tersebut disampaikan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim saat membuka seminar ilmiah, temu industri dan pameran "Annual Meeting on Testing and Quality" (AmTeQ) di Universitas Airlangga, Surabaya, Jawa Timur. "Sekarang ini jumlah peneliti yang ada di Indonesia masih kecil dan tidak seimbang dengan jumlah penduduknya," kata Lukman Hakim, Rabu (23/10/2013).
Saat ini sumber daya manusia ilmu dan pengetahuan, khususnya peneliti Indonesia yang terdaftar di LIPI sebanyak 8.000 orang dan 16.000 peneliti bekerja di perguruan tinggi. Sedangkan peneliti yang berada di bawah naungan institusi swasta, dia mengatakan, belum dapat dipastikan jumlahnya. Lukman menilai jumlah peneliti tersebut tentu saja terlalu kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang mendekati 240 juta jiwa.
Contohnya, Belarusia sebuah negara kecil di Eropa memiliki 36 peneliti per 10.000 penduduk. Sementara Indonesia masih pada komposisi satu peneliti per 10.000 penduduk. Dikatakan pula, saat ini ilmu pengetahuan selama ini dipercaya sebagai tulang punggung negara maju untuk memenangkan persaingan, baik ekonomi maupun politik.
"Negara-negara maju menyadari peran penelitian ilmu pengetahuan dalam mengembangkan daya saing industri untuk pertumbuhan ekonominya," katanya.
Salah satu peneliti LIPI menyatakan, Indonesia saat ini masih menjadi "raksasa sedang tidur", meski dari sisi PDB sudah masuk dalam 16 besar dunia, bahkan 25 tahun lagi masuk 10 besar kekuatan ekonomi dunia.
Namun tekad itu tetap sebatas impian apabila tidak diikuti kemampuan riset dan teknologi, serta pembiayaan riset yang memadai.
"Oleh sebab itu jumlah peneliti harus diperbanyak karena dengan jumlah peneliti yang masih sedikit sekarang ini dinilai tidak wajar," katanya.