Senin, 23 November 2009

Guru Besar yang cerdas dan sederhana

Prof Dr HM Roem Rowi, MA (01)
(beliau adalah salah satu dosen penulis di pasca sarjana iain sunan ampel surabaya)

Doktor Ilmu Tafsir, ini seorang berkepribadian ulet, tidak kenal menyerah. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur (2000-2005) ini seorang penyelami rahasia Al-Qur’an terkemuka di Indonesia. Guru Besar Ilmu Al-Quran Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, ini tak pernah berhenti menyelami rahasia Ilahi dan mengkaji sistematika Allah dalam Al-Qur’an.

Prof Dr HM Roem Rowi, MA, putera bangsa kelahiran Ponorogo, 3 Oktober 1947, yang tanpa terasa menitikkan air mata tatkala berkesempatan masuk Ka’bah, itu sebagai
seorang muslim, menjalani kehidupan dengan bersahaja di bawah ridho ilahi. Segala aktivitasnya diserahkan dan dipertanggungjawabkan kepada kehendak Allah.

Selain sebagai guru besar di Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, Roem Rowi juga aktif mengajar di berbagai perguruan tinggi, di antaranya dosen Pascasarjana Unair, Undar, Ikaha, IAIN Sunan Kalijaga dan UMY.

Pengabdiannya juga tidak terbatas hanya pada lingkungan pendidikan tinggi. Dia juga aktif di berbagai kegiatan keagamaan. Tahun 1998-2000, Roem pernah menjabat Plt. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim. Kemudian dia menjabat Ketua MUI Jawa Timur (2000-2005).

Saat ini, alumni Pondok Modern Gontor Ponorogo (1967), IAIN Ciputat, Jakarta (1967), S1 Universitas Islam Madinah (1971) dan S2 Universitas Al-Azhar Cairo (1973), ini aktif sebagai Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.

Direktur Imarah Masjid Agung Al-Akbar, Surabaya, ini pernah menjabat Ketua Dewan Hakim MTQ Jawa Timur dan Nasional. Bahkan tahun 1992 dan 2002, dia terpilih sebagai Anggota Dewan Hakim MTQ Internasional di Mekkah. Kemudian menjabat Ketua Dewan Hakim MTQ Internasional di Jakarta (2003).

Anggota Dewan Pakar ICMI Korwil Jatim, ini juga mengabdikan diri sebagai Ketua Dewan Syari’ah Lembaga Manajemen Infaq Jawa Timur. Dia juga aktif sebagai Ketua Dewan Syari’ah BPRS Amanah Sejahtera Cerme Gresik. Anggota Dewan Syariah BPRS Bakti Makmur Indah Krian Sidoarjo.

Juga aktif sebagai pembimbing dan konsultan agama PT Linda Jaya Tours dan Travel Surabaya, Pembina KBIH Multazam Surabaya, Anggota Pembina Kerohanian Islam pada PT Telkom Divre V Jatim, PT lndosat Divre Indonesia Timur, Surabaya, Dai/Miballigh dan Penyuluh Utama Kanwil Depag Jawa Timur, dan Pembina Tafsir Kafilah Jatim dan Indonesia untuk MTQ Nasional maupun Internasional.

Doktor lulusan Universitas Al-Azhar Cairo (1989), ini juga mengabdikan diri sebagai Promotor dan Co Promotor 2 Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga, serta Penguji Ujian Tertutup dan Promosi Terbuka Dissertasi di IAIN Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga.

Dengan pengabdiannya sebagai dosen di IAIN Sunan Ampel, Surabaya sejak 1977, pada hari Sabtu, 20 Agustus 2005, Roem Rowi dikukuhkan sebagai Guru Besar (Profesor) Ilmu Al-Qur’an Program Pascasarjana. Ketika itu, dia menyampaikan orasi ilmiah berjudul: “Menimbang Kembali Signifikasi Asbab an-Nuzul dalam Pemahaman Al-Qur’an.”

Dia mencoba melakukan kajian singkat sejauh mana signifikasi (posisi dan fungsi) Asbab al-Nuzul dalam pemahaman Al-Qur’an. Dijelaskannya, Dalam kitab-kitab ‘Ulum al-Qur’an atau ‘Ulum al-Tafsir, baik yng klasik ataupun yang kontemporer, hampir semua ulama sepakat tentang pentingnya memelajari dan mengetahui Asbab an-Nuzul dalam rangka memahami atau menafsirkan al-Qur’an.

Hal ini, katanya, karena begitu besar dan banyaknya manfaat Asbab al¬-Nuzul untuk mengantarkan seseorang pada penafsiran yang benar terhadap kandungan ayat-ayat al-Qur’an.

Menurutnya, dari hasil penghitungan terhadap jumlah ayat-ayat yang mempunyai asbab al-nuzul serta jumlah hadith-hadithnya pada kitab Asbab al-Nuzul karya al-Wahidi, Lubab al-Nuqul Fi Asbab al-Nuzul karya al-Suyuti serta kitab al-Musnad al¬-Sahih Min Asbab al-Nuzul karya Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, maka diperoleh beberapa temuan sebagai berikut:

Pertama, tidak semua ayat mempunyai Asbab al-Nuzul. Dari 6234 ayat, yang mempunyai asbab al-nuzul hanya sebanyak 715 ayat / 11,46% (al-Wahidi), 711 ayat / 11,40% (al-Suyuti), dan 333 ayat 5,34 (Muqbil bin Hadi al-Wadi’i). Dengan demikian bisa dikatakan bahwa ayat-ayat yang mempunyai Asbab al-Nuzul sangat sedikit dibanding dengan jumlah ayat al-Qur’an secara keseluruhan.

Kedua, bahwa jumlah surat yang memiliki Asbab al¬-Nuzul menurut ketiga ulama tersebut cukup dominan. Dari 114 surat-surat al-Qur’an, maka jumlah surat yang ayat ayatnya mempunyai Asbab al-Nuzul perinciannya adalah sebanyak: 82 surat / 71,90% (al-Wahidi), 103 surat 90,35% (al-Suyuti), dan 55 surat 48,24% (Muqbil bin Hadi).

Meskipun dari jumlah surat al-Qur’an lebih dari separoh yang mempunyai Asbab al-Nuzul, bahkan bagi al-Suyuti hampir semuanya, namun tetap tidak signifikan karena yang menjadi ukuran adalah jumlah ayat yang mempunyai Asbab al-Nuzul. Padahal jumlah ayat Al-Qur’an yang mempunyai Asbab al-Nuzul, hanya sedikit saja dibanding jumlah ayat Al-Qur’an secara keseluruhan.

“Apalagi jika yang dilakukan seleksi ketat untuk mengambil riwayat¬-riwayat yang terpercaya saja seperti yang dilakukan Shaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i, di mana hanya tinggal 333 ayat,” kata mantan guru Madrasah Aliyah Yayasan Masjid Mujahidin, Surabaya, ini.

Setelah menyelesaikan studi S2 Universitas Al-Azhar Cairo (1973), Roem telah mengabdi dalam profesi guru. Dia menjadi tenaga pengajar di Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, Surabaya sekaligus menjabat Ketua Biro Skripsi Fakultas Adab (1977-1989). Dia juga pernah menjabat Assisten Direktur Lembaga Bahasa IAIN Sunan Ampel, Surabaya Bidang Bahasa Arab (1979-1987).

Sejak 1989 dia pun mengajar di Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Lalu menjabat Ketua Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1990-1994). Kemudian sempat bertugas sebagai Plt. Ketua Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1994-1997), sebelum menjabat sebagai Assisten Direktur II Program Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1997-2005). Sejak 1977, dia juga aktif sebagai dosen Pascasarjana Unair, Undar, Ikaha, IAIN Sunan Kalijaga dan UMY.

Sebagai ahli tafsir, Roem Rowi juga telah menilis berbagai karya ilmiah. Di antaranya: (1) M. Abdul Wahab dan Gerakan Tajdidnya; (2) Surat Yasin, Tafsir, Rahasiadan Hikmahnya; (3) Hamka Dalam Karya Monumental Tafsir Al-Azhar; (4) Al-Qur’an, Manusia, dan Moralitas (Ceramah Nuzul Al-Qur’an oleh Negara di Masjid Istiqlal 1997); (5) Spektrum Al-Qur’an; (6) Sejarah Sosial Rukun Islam; (7) Menafsir Ulum Al-Qur’an; (8) Ragam Tafsir Al-Qur’an; dan (9) Beberapa Artikel dalam beberapa jurnal terakreditasi.

Raih Doktor, Tercepat Setelah Hampir DO
Dia menimba banyak pengalaman dalam perjuangannya yang sangat panjang dan melelahkan, ketika studi, yang akhirnya membuahkan gelar doktor pada program ilmu tafsir Al Qur’an di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.

Setiap kali usulan program doktornya ditolak, Roem tak pernah surut untuk mengusulkannya kembali. Baginya tak ada kata menyerah. Dia berjuang sepuluh tahun agar bisa mengikuti program doktor jurusan tafsir Al-Qur’an. Sebenarnya tidak perlu menunggu sampai 11 tahun jika Roem tidak segera kembali ke Jawa Timur setelah meraih gelar S-2 di Kairo, tahun 1974. Namun berita “kepergian” ayahnya memaksanya tidak bisa menunggu setahun lagi di Kairo.

Roem dipanggil pihak Universitas Al Azhar untuk mengikuti program doktor, tahun 1975, tetapi dia sudah kembali ke Indonesia. Dia mengajar mata kuliah tafsir Al-Qur’an di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Bagi Roem sangat berat meninggalkan ibu dan banyak adiknya yang belum bisa mandiri setelah kepergian ayahnya. Roem memilih menyelamatkan adik-adiknya yang masih kecil, menunda obsesinya untuk menjadi doktor.

Semula Roem ingin melupakan sama sekali mimpinya menjadi doktor, memusatkan diri pada pekerjaannya sambil menulis. Ternyata, selama 10 tahun tak satu pun karya tulis yang dihasilkanya. Sebenarnya, dia melakukan kontak ke Kairo mulai tahun 1976, baru dijawab tahun 1986. Selama 10 tahun tidak ada hasil. Dia pun mengirim surat kepada seorang sahabat di sana. Sahabatnya itu bekerja di Kairo sembari mengikuti program S-3. Sudah 12 tahun berjalan, program doktornya tidak selesai juga.

Roem memutuskan untuk kembali ke Kairo tahun 1987. Tetapi dia tidak diberitahu bahwa batas waktu maksimum agar bisa masuk kembali ke program S-3 adalah 12 tahun. Sedangkan dia sudah 11 tahun meninggalkan bangku kuliah. Artinya, sisa waktunya tinggal setahun. Roem tidak kehabisan akal. Dia meminta perpanjangan batas waktu dengan alasan bahwa dia pulang dan menetap lama di Indonesia lantaran ayahnya meninggal dan mengurus adik-adiknya.

Tetapi alasan tersebut tidak bisa diterima. Satu-satunya alasan yang bisa diterima, kalau dia menderita sakit kronis. Karena itu dia harus ke dokter untuk memberikan keterangan tentang penyakit yang pernah diidapnya. Kebetulan, Roem punya teman yang kuliah di fakultas kedokteran. Temannya itu setuju memberikan Roem surat keterangan menderita penyakit stres (sakit jiwa).

Persoalannya belum selesai sampai di situ. Waktu itu, dia diharuskan kembali ke dokter jiwa. Soalnya dia grogi ketika ditanya, “kamu diberi obat oleh siapa?” Roem datang ke dokter jiwa, diberi obat dan rekomendasi sakit jiwa. Dengan demikian peluang Roem di perpanjang. “Jadi harus berpura-pura gila. Tetapi setelah diberi perpanjangan, saya ngebut,” kata Roem kepada Tim Wartawan Tokoh Indonesia di ruang kerjanya selaku Direktur Masjid Agung Al-Akbar Surabaya.

Sebelum merampungkan disertasinya, Roem terdampar tiga bulan, mempertahankan disertasinya. Persoalan pokok terletak pada promotornya, seorang profesor yang tuna netra. Sang promotor sulit sekali ditemui. Hanya mau ditemui di ruang kantor dosen. Ketika ke ruang dosen, Roem bertemu dengan promotornya, tetapi ketika memulai pembicaraan selalu dipotong oleh tamu. Demikian seterusnya. Kebiasaan orang Arab, bertamu lama sekali.

Roem minta izin ke rumahnya, malah dimarahi, tidak boleh. Keadaan seperti ini berjalan selama tiga bulan. Dia pun sadar, kalau begitu terus tidak akan berhasil. Akhirnya, Roem memberanikan diri datang ke rumahnya. Ketemu. Promotornya meminta Roem menyiapkan sekian pasal. Diuji dari pagi sampai jam sembilan malam, nonstop. Roem membacakan, dosennya mendengarkan sambil memberi petunjuk: “ini boleh, ini tidak boleh, harus begini, harus begitu.” Ketika Roem membaca sebuah pasal, dosennya masih ingat apa yang diujikannya dua tahun lalu. Padahal Roem sendiri sudah lupa.

Tepat dua tahun, Roem menyelesaikan program doktronya. Dia pun melapor ke Kedubes Indonesia di Kairo. Kepada seorang staf Kedubes, teman lamanya, Roem memberitahukan bahwa dia akan menerima promosi doktor. Temannya malah heran karena merasa Roem belum lama berada di Mesir, kok tiba-tiba sudah selesai. Padahal dia sendiri sudah sekian tahun tidak selesai juga. Dan tragisnya, sempat terancam di-DO (drop out).

Setelah melapor, Kedubes memberi respon positif, karena hanya Roem yang lulus tepat waktu, setelah sekian lama tidak ada lulusan doktor. Kata Roem, Al Azhar memang lain dari yang lain. Ijazah asli baru boleh diambil setelah dua tahun. Ini jadi masalah karena setelah selesai kuliah, dia harus kembali ke Indonesia. Dicoba dengan semua cara, ijazah aslinya tetap tidak boleh diambil. Kalau dikirim lewat pos, kadang-kadang tidak sampai, bahkan bisa hilang.

Akhirnya untuk orang asing dibolehkan juga. Setelah mengajukan permohonan dan berbagai alasan, permintaan Roem diproses. Uniknya, menurut Roem, proses itu harus melewati banyak meja. Di belakang ijazah, isinya puluhan paraf. Seperti mainan anak-anak, karena penuh dengan paraf. Setelah menunggu dua bulan, ijazah asli (S-3) Roem dikasih, ukurannya sekoper kecil, susah jika mau difotokopi. Setelah menerima ijazah doktor, Roem berencana segera kembali ke Indonesia.

Sebetulnya, izin belajar dari pemerintah tiga tahun, sehingga bagi Roem masih ada sisa setahun. Ada temannya yang mengajak mengajar di Brunai Darussalam. Tentu dengan imbalan yang cukup besar. Roem hampir tergiur, hampir mengiyakan, karena mengajar di sana cukup lima atau enam bulan, bisa memperoleh imbalan yang cukup besar.

Dia memikirkan tawaran itu dengan sangat serius, soalnya dia pegawai negeri. Jika dia mengambil tawaran tersebut, kemudian ketahuan dan ditulis di koran, akibatnya tidak karuan. Karena itu Roem memutuskan pulang langsung ke Indonesia. Namun di luar dugaannya, sekembalinya di IAIN Sunan Ampel, dia dipindahkan jadi Ketua Jurusan Fakultas Ushuluddin.

Tahun 1994, IAIN Sunan Ampel membuka program Pascasarjana (S-2), dan Roem ditarik ke situ. Dialah “sopir” (ketua) pertama program Pascasarjana IAIN. Roem menjabat sampai tahun 2005. Setelah masa jabatannya selesai, Roem tetap mengajar sebagai ahli tafsir Al-Qur’an.

Kesempatan Masuk Ka’bah
Salah satu pengalaman hidup yang amat berkesan baginya adalah kesempatan tak terduga masuk ke Ka’bah. Kala itu, Roem terpilih masuk ke sebuah tim yang mewakili Asia Tenggara menjadi hakim MTQ Internasional di Mekah, tahun 1993. Indonesia bergiliran masing-masing setahun dengan Malaysia. Pengalaman yang tidak bisa dilupakannya, ketika diberi kesempatan masuk ke Ka’bah. Biasanya yang masuk ke situ hanya kepala negara, presiden dan tamunya raja.

Sebelumnya, dia sendiri dan anggota rombongan lainnya belum tahu akan masuk Ka’bah karena tidak diumumkan. Namun orang-orang Indonesia di Masjidil Haram rupanya sudah tahu. Begitu rombongan MTQ datang dan ditempatkan di satu tempat, mereka malah ngelinap masuk ke rombongan tersebut. Bertambah banyak, akhirnya polisi bingung, digeser ke sana bertambah banyak lagi.

Akhirnya rombongan juri MTQ Internasional itu dibawa masuk lewat Hijir Ismail. Ketika mau masuk, polisi meminta kartu sebagai hakim, peserta dan panitia, diperlihatkan. Yang tidak punya kartu, tentu tidak diperbolehkan masuk. Tetapi orang-orang Indonesia itu tidak kehabisan akal. Mereka meminjam kartu orang-orang yang baru keluar. Diberi, dan mereka masuk. “Itulah canggihnya orang Indonesia,” kata Roem.

Di dalam Ka’bah, Roem mengaku tidak melihat apa-apa, gelap. Yang ada hanya barang-barang peninggalan zaman Nabi Muhammad SAW, seperti, pedang emas peninggalan zaman kerajaan Islam, dan tiang penyanggah dari kayu yang usianya lebih dari 1000 tahun, sejak era sahabat Nabi.
“Ketika berada di dalam Ka’bah perasaan saya biasa saja. Tetapi karena kesempatan itu di luar dugaan saya, tanpa terasa saya menangis,” kata Roem.

Rahasia Al-Qur’an
Selama jadi dosen pascasarjana, Roem sekali waktu pernah menemukan sebuah pengalaman yang dianggapnya cukup aneh. Dalam kesempatan mengajar mata kuliah khusus, Roem berhadapan dengan sebuah pertanyaan aneh dari seorang mahasiswa program pascasarjananya. Si mahasiswa merasa semakin yakin bahwa Al-Qur’an bukan lagi kitab suci. Alasannya: Pertama, Al Qu’ran tidak sistematis; Kedua, banyak sekali pengulangan, misalnya tentang Nabi Adam dan iblis di Surat Al Baqarah.

Roem menjawab dengan sebuah pertanyaan: “Apakah Anda sudah sarapan?”

Mahasiswa itu tersentak kaget. Apa hubungan antara sistematika Al Qur’an dengan sarapan pagi? Tetapi dia menjawab, “Sudah Pak.”

Kata Roem selanjutnya, baiklah kalau sudah sarapan, mulai hari ini dan seterusnya, jangan mengulang lagi sarapan Anda.
“Lho kenapa Pak?” tanya sang mahasiswa.

“Anda kan tidak setuju dengan pengulangan Al-Qur’an,” kata Roem. Lantas Roem meneruskan argumentasinya: “Anda bilang Al-Qur’an itu tidak sistematis. Sistematis itu artinya mengikuti salah satu sistem. Kalau menurut Anda sistematik itu adalah bab satu, dua, tiga dan seterusnya, kesimpulan, saran-saran, dan daftar pustaka. Kalau sistematisnya Al-Quran harus begitu, berarti Anda meminta Allah SWT belajar sama kamu.”

Kata Roem, sistematika Al-Quran seperti adanya sekarang. Surat Al-Fatihah, miniatur-nya Al-Qur’an. Fondasinya, Surat Al-Baqarah, paling panjang. Semakin ke atas semakin kecil, seperti bentuk piramid. Kosa kata dalam dasar itu mudah dipahami. Surat Al-Baqarah, artinya surat tentang seekor sapi.

Semakin ke atas, semakin sulit menangkap maknanya, misalnya, Surat Al-Kausar (inna aktoina kal kausar). Al kausar itu apa? Artinya, nikmat yang banyak. Tetapi apakah hanya itu? Perlu tafsiran yang lebih panjang.

Menurut Roem, Al-Qur’an itu dimulai dari yang mudah. Puncaknya kecil, tetapi penafsirannya lebih sulit. Memang ada rahasia Ilahi di sini. Ternyata, setelah dia teliti di dalam Al-Baqarah, terdapat 80 persen dari seluruh kosa kata Al-Qur’an. Jadi, setiap muslim yang sudah menguasai Al-Bagarah, maka 80 persen kosa kata Al-Qur’an sudah dia fahami. Sehingga surat yang lain mudah dipahami, karena kuncinya sudah ada di tangan. Dan yang lebih mengejutkan lagi, juz pertama terdiri dari 3316 kosa kata. Dalam juz pertama 70 persen terdapat kosa kata Al-Quran. Juz pertama tadi bisa difahami dalam tempo 40 jam. Kalau juz pertama bisa difahami dalam 40 jam, maka juz kedua dapat difahami dalam 20 jam.

Bisa difahami lebih singkat, kenapa? Jawabnya, karena kuncinya sudah dikuasai. “Itulah sistematika Al-Quran. Kalau ada orang mengatakan Al-quran itu tidak sistematis, itu tidak benar. Allah punya sistem lain, sehingga Allah tidak perlu belajar sama Anda,” kata Roem. ►mti/crs/syahbuddin hamzah

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)

Prof Dr HM Roem Rowi, MA (03)
Tukang Cuci Piring di Belanda

Roem Rowi acapkali bernasib mujur. Tidak lama setelah tamat dari Universitas Islam Madinah, dia memperoleh beasiswa di Universitas Al-Azhar, Mesir. Beasiswa itu didapat dari Ketua MPRS AH Nasution yang menunaikan ibadah haji, kemudian melakukan lawatan ke beberapa negara di Timur Tengah. Namun untuk menambah biaya kuliahnya, Roem melanglang ke Belanda, jadi pekerja kasar.

Selesai kuliah selama empat tahun di Universitas Islam
Madinah, Roem memperoleh gelar strata satu (S-1).
Sedangkan di Indonesia saat itu hanya dikenal gelar sarjana muda (BA) dan doktorandus (Drs). Gekar BA diraih tiga tahun, dan sarjana lengkap lima tahun. Jadi ada kesenjangan masing-masing setahun.

Sepulang ke Indonesia, Roem mengalami kerepotan dengan titelnya lantaran kesenjangan tersebut, disamakan dengan BA lebih setahun, mau disamakan dengan Drs, kurang setahun.
Tahun 1970-an, di Indonesia tidak ada gelar S-1 empat tahun, yang ada hanya sarjana lengkap lima tahun, dan sarjana muda tiga tahun. Awalnya S-1 disamakan dengan sarjana lengkap, terakhir malah disiapkan sebagai sarjana muda. Kemudian, saat itu AH Nasution (Pak Nas), setelah menunaikan ibadah haji, melakukan lawatan keliling ke Kuwait, Bagdad, Syria dan Mesir. Pada setiap negara yang dikunjunginya dia ditawari beasiswa untuk para mahasiswa Indonesia. Semua ditampung oleh Pak Nas.

Roem dan teman-temannya yang baru menyelesaikan kuliah di Madinah mendapat tawaran beasiswa tersebut dari Nasution. Mereka ditawari untuk melanjutkan ke Al-Azhar, Mesir. Saat itu mereka ketemu Pak Nas di Makkah, Saudi Arabia. Mereka pun akhirnya pindah ke Mesir melalui Malaysia untuk menempuh program S-2 di Universitas Al Azhar. Sebelumnya, mereka ragu juga, karena sudah mengirimkan permohonan ke Emirat Arab untuk mengajukan beasiswa dari Liga Dunia Islam.

“Ternyata, pucuk dicinta ulam tiba. Kami mendapat fasilitas Asean untuk ke Mesir,” kata Prof. Roem Rowi kepada Tim Wartawan Tokoh Indonesia.

Di Mesir, pengurusan administrasi agak aneh, lambat sekali. Di sana visa menetap harus diperpanjang setiap tahun, sedangkan untuk memperpanjang visa prosesnya lama. Setiap kali datang ke imigrasi selalu dijawab besok alias bukroh. Besoknya datang ke situ belum selesai juga. Besok dan besok sampai enam bulan. Padahal visa tinggalnya hanya setahun. Namun, meskipun penerimaan belum resmi sudah boleh ikut kuliah. Hanya masalahnya, beasiswa belum cair bilamana belum diterima secara resmi.

Nama Roem Rowi turun (resmi jadi mahasiswa) saat ujian enam bulan kemudian. Beasiswanya otomatis dicairkan dan dirapel. Untungnya selama menunggu enam bulan, Roem masih punya tabungan. Di Mesir, musim panas empat bulan dan kuliah diliburkan. Daripada mengangur dan kepanasan di sana, Roem bersama teman-temannya berniat ke luar dari Mesir. Namun mereka tidak pulang ke Indonesia, karena tidak dikasih tiket pulang. Sedangkan sewaktu di Saudi, mereka diberi tiket pulang, tapi di Mesir tidak ada.

Bekerja Tanpa Gengsi
Karena tidak punya duit untuk pulang ke Indonesia, mereka mencoba pergi ke Belanda. Kebiasaan itu mereka lakukan pada setiap libur kuliah di musim panas. Di sana mereka tinggal empat bulan, kadang-kadang sampai lima bulan. Selesai ujian, mereka berangkat dari Juni sampai Oktober.

Sebab Oktober harus masuk kuliah lagi. Seringkali sampai November masih di Belanda, alasannya kerja. Mereka kerja sebagai buruh pabrik atau tukang cuci piring di restoran Indonesia dan di restoran Belanda. Pekerjaan mereka di restoran, memasukkan piring-piring kotor ke mesin pencuci.

Sebenarnya mereka bekerja secara tidak resmi, karena visa mereka visa turis. Tetapi waktu itu mereka mudah sekali mencari kerja. Cukup datang ke biro tenaga kerja, mendaftar, kemudian menunggu panggilan. Memang setiap mahasiswa di sana disarankan untuk bekerja setiap musim panas, saat libur kuliah.

Selama bekerja di Negeri Belanda, mereka tinggal di rumah-rumah kost milik pensiunan. Di sana para pensiunan menyewakan kamar-kamar rumah mereka. Pertama-tama mereka mondok di hostel, pondok remaja, karena murah sekali. Atau kadang-kadang mereka menginap dulu di rumah kenalan yang sudah lama menetap di sana. Mereka tinggal beberapa hari di situ sebelum mendapatkan tempat kost, yaitu rumah-rumah para pensiunan tadi.

Dari situ mereka mendapat pelajaran yang sangat berharga, yang sebenarnya sangat Islami. Roem pernah berkenalan dengan seorang mahasiswa Belanda. Orang tuanya menjabat sebagai kepala dinas PU Den Haag. Anehnya, dia mau kerja sebagai penyapu jalan, padahal orangtuanya pejabat. Roem bertanya, “apakah kamu tidak malu kerja seperti ini?” Jawabnya: “tidak, kami di Eropa, malu kalau tidak mau kerja atau tidak bekerja. Kerja apa pun kami mau.” Di sinilah Roem tersentak, sadar karena di Indonesia orang sangat menjaga gengsi. Di Belanda, semua orang hidup dari hasil keringat sendiri, tak perlu pertimbangan gengsi.

Padahal di Belanda mereka yang belum mendapatkan pekerjaan, selama menganggur, dijamin oleh pemerintah. Jaminan sosial diajukan ke Departemen Sosial, dikasih tunjangan 80 persen gaji terakhir. Di sana banyak orang Indonesia yang jadi sopir, salah satunya berasal dari Pandeglang. Dia malas bekerja, karena itu dia lebih senang mengajukan tunjangan sosial. Dia bermental Indonesia, mengajukan keterangan fiktif dan gaji terakhirnya di mark up. Akhirnya, dia dapat tunjangan sosial, 10 persen lebih besar dari gaji sopir yang bekerja. Kerja seminggu-dua minggu, dia berhenti, lantas minta tunjangan sosial. Begitu seterusnya.

Mentalitas Indonesia dan Eropah yang Islami
Satu lagi pengalaman lucu. Selama di Belanda, mereka bekerja setiap hari sampai sore, liburnya Sabtu dan Minggu. Mereka belanja ke pasar, cari bahan makanan yang enak dan murah, misalnya, jeroan, kulit ayam atau buntut ayam. Semua dijual murah di sana. Kenapa murah, karena di sana itu makanan anjing. Mereka membeli untuk jatah seminggu, masing-masing enam kilogram kulit, jeroan dan buntut ayam. Jatah ini untuk lima orang. Kalau kami beli banyak, penjaga toko selalu bertanya, “anjingmu berapa?”

Pengalaman lucu lainnya tentang mentalitas Indonesia, kalau naik kereta api ke kota, mahasiswa Indonesia di sana masih suka nembak. Mereka tidak pernah beli karcis. Kalaupun beli karcis dipakai berkali-kali. Biasanya, di atas kereta tidak ada yang mengontrol. Mereka bilang, “itulah gobloknya orang Jerman atau Belanda.” Kalaupun dikontrol, yang ditangkap hanya satu orang, karena keretanya nyambung, yang lain-lainnya lolos.

Karcis di sana distempel, hanya berlaku satu atau dua jam. Ada mahasiswa Indonesia yang bisa menghapus stempel karcis tersebut dengan rapih. Setelah stempel masa berlakunya dihapus, lalu distempel sendiri lagi, ditiru sampai persis sama. Dia bisa lakukan itu berulang-ulang, jadi tidak perlu beli karcis.

Roem punya kesimpulan bahwa prilaku seperti itu, dalam bahasa Jawa, pembawaan sejak lahir. Jadi itu sudah mendarah daging. Padahal dia lahir dan dibesarkan di Belanda, tapi mentalitasnya masih mental Indonesia. Sampai hari ini, kata Roem, banyak orang Indonesia yang bermental seperti itu, senang me-mark up anggaran, kerja tidak mau, hanya tandatangan di belakang meja. Kemudian masih menjaga gengsi memilih pekerjaan.

Padahal menurut ajaran Islam, Rasulullah pernah ditanya: “pekerjaan apa yang terbaik?” Jawab Rasulullah, “hidup dari hasil jerih keringatmu sendiri, itu yang paling mulia.”
Ternyata nilai Islami itu diterapkan di Eropa. Makanya ada yang berkesimpulan; ajaran Islam diterapkan di seluruh Eropa, meskipun manusianya tidak beragama Islam. Sistemnya dipraktikkan, agamanya tidak. Di sini agamanya dianut, tapi sistemnya tidak dipraktikkan. Karena itu, menurut Roem, kalau mau melihat contoh ajaran Islam, datang saja ke Eropa. Di Eropa, anjing saja tidak mau menyebrang kalau lampu lalulintas sedang merah. “Ini suatu nilai yang sangat baik,” kata Roem.

Di Eropa, sebelum jadi mahasiswa, harus pernah bekerja. Biasanya setiap calon mahasiswa dicarikan pekerjaan kasar yang sangat berat. Ini positif bagi pendidikan mental. Selama jadi mahasiswa setiap orang merasakan penderitaan rakyat, bagaimana beratnya mengais rezeki, bekerja memeras keringat.

Pada saat menjadi pemimpin, dia bisa merasakan penderitaan rakyat, sehingga orientasinya menyejahterakan rakyat, bukan hanya perutnya sendiri. “Sedangkan di Indonesia tidak, kesalahan kita di situ,” kata Roem. ►mti/crs/sh

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia)


Nama:
PROF DR HM ROEM ROWI, MA
Lahir:
Ponorogo, 3 Oktober 1947
Agama:
Islam
Jabatan:
Guru Besar Ilmu Al-Quran Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya
Isteri:
Nurul Fatimah
Anak:
1. Andrie Anis Rahman, 12-05-1981
2. Denny Wahyudi, 08-03-1983
3. Ahmad Fanny Robbany, 29-11-1986
4. Ahmad Robby Tawabbi, 29-11-1986
5. M. Aly Fikry, 26-11-1991

Riwayat Pendidikan:
1. Sekolah Rakyat Panjeng Jenangan, Ponorogo (1960)
2. Madrasah Diniyah Panjeng Jenangan, Ponorogo (1960)
3. Pondok Modern Gontor Ponorogo (1967)
4. IAIN Ciputat, Jakarta (1967)
5. Sl Universitas Islam Madinah (1971)
6. S2 Universitas Al-Azhar Cairo (1973)
7. S3 Universitas Al-Azhar Cairo (1989)

Riwayat Pekerjaan:
1. Guru Madrasah Aliyah Yayasan Masjid Mujahidin, Surabaya (1985)
2. Dosen Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1977-1989)
3. Ketua Biro Skripsi Fakultas Adab (1977-1989)
4. Assisten Direktur Lembaga Bahasa IAIN Sunan Ampel, Surabaya dan Bidang Bahsa Arab (1979-1987)
5. Dosen Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1989-sekarang)
6. Ketua Jurusan Tafsir Hadith Fakultas Ushuludin IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1990-1994)
7. Plt. Ketua Program Pasca Sarjana -IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1994-1997)
8. Assisten Direktur II Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya (1997-2005)
9. Dosen pasca Sarjana Unair, Undar, Ikaha, IAIN Sunan Kalijaga dan UMY (1997-sekarang)

Riwayat Pengabdian:
1. Ketua dan Pembina Yayasan Masjid Al-Wahyu, Surabaya (1989-sekarang)
2. Ketua Lembaga Pendidikan Islam Al-Hikmah (1997-2004)
3. Pembina Yayasan Pendidikan Islam Al-Hikmah (2004-sekarang)
4. Wakil Ketua LPTQ JawaTimur (s/d 2000)
5. Bidang Perhakiman LPTQ Jawa Timur (s/d sekarang)
6. Ketua Dewan Hakim MTQ Jawa Timur dan Nasional
7. Anggota Dewan Hakim MTQ Internasional di Mekkah (1992 dan 2002)
8. Ketua Dewan Hakim MTQ Internasional di Jakarta (2003)
9. PembinaYayasan Masjid Al-Fa1ah Surabaya (s/d sekarang)
10. Direktur Lembaga Pendidikan I1mu Al-Qur'an Surabaya (s/d sekarang)
11. Plt. Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Jatim (1998-2000)
12. Ketua MUI Jawa Timur (2000-2005)
13. Anggota Dewan Penasehat Majelis Ulama Indonesia Pusat
14. Anggota Dewan Pakar ICMI Korwil Jatim (s/d sekarang)
15. Direktur Imarah Masjid Al-Akbar Surabaya (2000-sekarang)
16. Ketua Dewan Syari'ah BPRS Amanah Sejahtera Cerme Gresik (s/d sekarang)
17. Anggota Dewan Syariah BPRS Bakti Makmur Indah Krian Sidoarjo (s/d sekarang)
18. Pembimbing dan Konsu1tan Agama PT .Linda Jaya Tours dan Travel Surabaya
19. Pembina KBIH Multazam Surabaya
20. Anggota Pembina Kerohanian Islam pada PT Telkom Divre V Jatim, PT lndosat Divre Indonesia Timur, Surabaya
21. Dai/Miballigh dan Penyuluh Utama Kanwil Depag Jawa Timur
22. Pembina Tafsir Kafilah Jatim dan Indonesia untuk MTQ Nasional maupun Internasional
23. Promotor dan Co.Promotor 2 Disertasi di IAIN Sunan Kalijaga.
24. Penguji Ujian Tertutup dan Promosi Terbuka Dissertasi di IAIN Sunan Ampel dan Sunan Kalijaga
25. Ketua Dewan Syari'ah Lembaga Manajemen Infaq Jawa Timur

Karya Ilmiah:
1. M. Abdul Wahab dan Gerakan Tajdidnya
2. SuratYasin, Tafsir, Rahasiadan Hikmahnya
3. Hamka Dalam Karya Monumental Tafsir Al-Azhar
4. Al-Qur'an, Manusia, dan Moralitas (Ceramah Nuzul Al- Qur'an oleh Negara di Masjid Istiqlal 1997)
5. Spektrum Al-Qur'an
6. Sejarah Sosial Rukun Islam
7. Menafsir Ulum Al-Qur'an
8. Ragam Tafsir Al-Qur'an
9. Beberapa Artikel dalam beberapa jumal terakreditasi.