Rabu, 14 Agustus 2013

Uji Publik Kurikulum 2013: Penyederhanaan, Tematik-Integratif

Pengembangan Kurikulum 2013 dilakukan dalam empat tahap. Pertama, penyusunan kurikulum di lingkungan internal Kemdikbud dengan melibatkan sejumlah pakar dari berbagai disiplin ilmu dan praktisi pendidikan. Kedua, pemaparan desain Kurikulum 2013 di depan Wakil Presiden selaku Ketua Komite Pendidikan yang telah dilaksanakan pada 13 November 2012 serta di depan Komisi X DPR RI pada 22 November 2012. Ketiga, pelaksanaan uji publik guna mendapatkan tanggapan dari berbagai elemen masyarakat. Salah satu cara yang ditempuh selain melalui saluran daring (on-line) pada laman http://kurikulum2013.kemdikbud.go.id , juga melalui media massa cetak. Tahap keempat, dilakukan penyempurnaan untuk selanjutnya ditetapkan menjadi Kurikulum 2013.
Inti dari Kurikulum 2013, adalah ada pada upaya penyederhanaan, dan tematik-integratif. Kurikulum 2013 disiapkan untuk mencetak generasi yang siap di dalam menghadapi masa depan. Karena itu kurikulum disusun untuk mengantisipasi perkembangan masa depan.
Titik beratnya, bertujuan untuk mendorong peserta didik atau siswa, mampu lebih baik dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan (mempresentasikan), apa yang mereka peroleh atau mereka ketahui setelah menerima materi pembelajaran. Adapun obyek yang menjadi pembelajaran dalam penataan dan penyempurnaan kurikulum 2013 menekankan pada fenomena alam, sosial, seni, dan budaya.
Melalui pendekatan itu diharapkan siswa kita memiliki kompetensi sikap, ketrampilan, dan pengetahuan jauh lebih baik. Mereka akan lebih kreatif, inovatif, dan lebih produktif, sehingga nantinya mereka bisa sukses dalam menghadapi berbagai persoalan dan tantangan di zamannya, memasuki masa depan yang lebih baik.
Pelaksanaan penyusunan kurikulum 2013 adalah bagian dari melanjutkan pengembangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) yang telah dirintis pada tahun 2004 dengan mencakup kompetensi sikap, pengetahuan, dan keterampilan secara terpadu, sebagaimana amanat UU 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada penjelasan pasal 35, di mana kompetensi lulusan merupakan kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan, dan keterampilan sesuai dengan standar nasional yang telah disepakati. Paparan ini merupakan bagian dari uji publik Kurikulum 2013, yang diharapkan dapat menjaring pendapat dan masukan dari masyarakat.

Menambah Jam Pelajaran
Strategi pengembangan pendidikan dapat dilakukan pada upaya meningkatkan capaian pendidikan melalui pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi; efektivitas pembelajaran melalui kurikulum, dan peningkatan kompetensi dan profesionalitas guru; serta lama tinggal di sekolah dalam arti penambahan jam pelajaran.
gambar1
skema1
Skema 1. menyajikan tentang Strategi Peningkatan Efektivitas Pembelajaran. Sedang gambar 1. menggambarkan tentang strategi meningkatkan capaian pendidikan, yang digambarkan melalui sumbu x (efektivitas pembelajaran melalui kurikulum, dan peningkatan kompetensi dan prefesionalitas guru), y (pembelajaran siswa aktif berbasis kompetensi) dan z (lama tinggal di sekolah dalam arti penambahan jam pelajaran).
Rasionalitas penambahan jam pelajaran dapat dijelaskan bahwa perubahan proses pembelajaran (dari siswa diberi tahu menjadi siswa mencari tahu) dan proses penilaian (dari berbasis output menjadi berbasis proses dan output) memerlukan penambahan jam pelajaran. Di banyak negara, seperti AS dan Korea Selatan, akhirakhir ini ada kecenderungan dilakukan menambah jam pelajaran. Diketahui juga bahwa perbandingan dengan negara-negara lain menunjukkan jam pelajaran di Indonesia relatif lebih singkat. Bagaimana dengan pembelajaran di Finlandia yang relatif singkat. Jawabnya, di negara yang tingkat pendidikannya berada di peringkat satu dunia, singkatnya pembelajaran didukung dengan pembelajaran tutorial yang baik.
Penyusunan kurikulum 2013 yang menitikberatkan pada penyederhanaan, tematik-integratif mengacu pada kurikulum 2006 di mana ada beberapa permasalahan di antaranya; (i) konten kurikulum yang masih terlalu padat, ini ditunjukkan dengan banyaknya mata pelajaran dan banyak materi yang keluasan dan tingkat kesukarannya melampaui tingkat perkembangan usia anak; (ii) belum sepenuhnya berbasis kompetensi sesuai dengan tuntutan fungsi dan tujuan pendidikan nasional; (iii) kompetensi belum menggambarkan secara holistik domain sikap, keterampilan, dan pengetahuan; beberapa kompetensi yang dibutuhkan sesuai dengan perkembangan kebutuhan (misalnya pendidikan karakter, metodologi pembelajaran aktif, keseimbangan soft skills dan hard skills, kewirausahaan) belum terakomodasi di dalam kurikulum; (iv) belum peka dan tanggap terhadap perubahan sosial yang terjadi pada tingkat lokal, nasional, maupun global; (v) standar proses pembelajaran belum menggambarkan urutan pembelajaran yang rinci sehingga membuka peluang penafsiran yang beraneka ragam dan berujung pada pembelajaran yang berpusat pada guru; (vi) standar penilaian belum mengarahkan pada penilaian berbasis kompetensi (proses dan hasil) dan belum secara tegas menuntut adanya remediasi secara berkala; dan (vii) dengan KTSP memerlukan dokumen kurikulum yang lebih rinci agar tidak menimbulkan multi tafsir.
skema2
skema3
Skema 2 menggambarkan tentang kesenjangan kurikulum yang ada pada konsep kurikulum saat ini dengan konsep ideal. Kurikulum 2013 mengarah ke konsep ideal. Sedang skema 3 menjelaskan alasan terhadap pengembangan kurikulum 2013

source:
http://www.kemdiknas.go.id/kemdikbud/uji-publik-kurikulum-2013-1

Narasi Besar Pendidikan


BAGAIMANA mutu pendidikan kita akan berkembang hingga ke ceruk-ceruk pelosok terpencil negeri ini, bila pemerintah terus-menerus menciptakan pembaruan melalui narasi besar pendidikan? Selalu saja pembaruan itu bertumpu pada anggaran pendidikan yang diturunkan pemerintah.
Coba perhatikan, sejak Kurikulum 2013 dirancang, buku pelajaran disusun, diikuti dengan sosialisasi kurikulum, sangat bergantung pada besar anggaran yang disetujui DPR. Kini Mendikbud M Nuh menyosialisasikan kurikulum baru tersebut ke daerah-daerah, dan dengan penuh kebanggaan mengatakan bahwa Kurikulum 2013 memiliki banyak kelebihan ketimbang sebelumnya, tetapi pengimplementasiannya di sekolah sangat bergantung pada besaran anggaran yang diturunkan pemerintah.
Narasi besar pendidikan yang diciptakan Mendikbud sarat bermuatan hegemoni kekuasaan. Disadari atau tidak, hegemoni kekuasaan telah mengekang keinginan-keinginan beroposisi dari sekolah yang semula menolak kurikulum baru, dan kelompok intelektual yang bersikap kritis. Sosialisasi kurikulum baru oleh M Nuh menjelma sebagai hegemoni yang cenderung bekerja dengan cara mencari dukungan yang memberi legitimasi dari mayoritas guru, siswa, dan masyarakat bahwa apa yang dilakukan pemerintah memang sangat mendesak.
Terperangkaplah kita pada narasi besar pendidikan yang digerakkan anggaran dan hegemoni kekuasaan. Setidak-tidaknya kita berhadapan dengan tiga persoalan. Pertama; akankah siswa menempuh pembelajaran dengan bergairah, berkreativitas, mengingat kurikulum baru tersebut kehilangan konteks sosial dan menafikan bakat anak? Kedua; akan tersingkirkah nasib penulis buku pelajaran, yang selama ini menafsir kurikulum dan merancang pembelajaran yang dicetak penerbit nonpemerintah? Ketiga; akankah kehilangan mutu sekolah-sekolah swasta yang dirancang dan didirikan dengan biaya murah? Bagaimana guru berupaya memiliki kreativitas dalam pembelajaran di ruang kelas, setelah memahami kurikulum berubah, dan buku pelajaran berganti? Dalam waktu sangat pendek, apakah pendidikan dan pelatihan mampu membongkar tradisi pembelajaran, menanamkan etos baru, dan membangkitkan empati sebagai guru yang siap melakukan pembaruan pembelajaran? Apa yang mesti ditempuh guru ketika berhadapan dengan kurikulum baru, buku pelajaran yang berbeda sama sekali, dan materi pembelajaran yang belum pernah diajarkan sebelumnya? Hanya guru yang cakap dan inovatif, yang bisa tetap tegar berhadapan dengan masa transisi kurikulum. Apa pun kurikulum yang disajikan mestinya guru menghargai siswa sebagai manusia pembelajar yang tidak akan pernah usai menuntut ilmu. Hendaknya guru bisa membebaskan diri dari narasi besar dan hegemoni kekuasaan yang diciptakan pemerintah melalui kebijakan pendidikan yang terus-menerus berubah.
Terutama dalam hal kurikulum baru, hendaknya guru tak kehilangan ketajaman mata hati untuk menemukan keterampilan-keterampilan individu, yang diperlukan sebagai upaya menempa siswa menjadi warga negara yang berbudaya, produktif, dan patriotis. Bagaimanakah sekolah swasta yang tak ditopang dana pendidikan besar tapi harus meraih mutu tak kalah dari sekolah negeri berdana pendidikan besar? Sekolah dengan dana terbatas tersebut, sebagian memperlihatkan manajemen keuangan yang luar biasa, memiliki guru yang cemerlang, ikhlas, dan mampu menanamkan etos belajar bagi siswa.
Selain itu, bisa membangkitkan gairah siswa menjadi manusia pembelajar, dan memiliki kesadaran kuat akan makna persaingan. Jalan Tegas Kreativitas dan inovasi merupakan persoalan yang mendasar yang tengah dihadapi guru saat ini. Ambivalensi kebijakan pendidikan meruncing sebagai tuntutan: guru mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran, sekaligus melaksanakan strategi kegiatan belajar mengajar demi tuntutan kurikulum baru .
Secara bersamaan guru mesti mengembangkan ranah kognitif (pengetahuan), kreativitas, dan sikap pragmatis, sekaligus menghadapi tuntutan dunia kerja. Diperlukan revitalisasi, etos, orientasi kreatif kegiatan belajar mengajar, untuk mencapai standar mutu pendidikan. Mestinya pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk memilih salah satu kebijakan pendidikan. Akan lebih bermanfaat bagi kaum utilitarian untuk mengarahkan mutu pendidikan pada kreativitas siswa sebagai jawaban atas tantangan zaman.
Tapi hal itu memerlukan jiwa inovatif kaum pendidik sepanjang waktu, setahap demi setahap. Program sertifikasi, pelatihan, kenaikan pangkat dan penelitian, mestinya seirama dengan kebijakan pendidikan yang menuntut kreativitas guru. Sekarang institusi pendidikan sedang menghadapi kegoncangan pemberlakukan kurikulum baru yang ditawarkan sebagai terapi kemerosotan mutu pendidikan.
Kreativitas dan inovasi guru dan siswa, independensi penulis buku pelajaran nonpemerintah, dan kekuatan manajemen sekolah dengan keterbatasan dana menjadi pertaruhan dunia pendidikan kita. Merekalah yang berdiri di garis depan, berhadapan dengan hegemoni kekuasaan dalam narasi besar pendidikan, dan senantiasa menemukan kearifan, sebagai jalan pencerahan menghadapi tantangan zaman