Sabtu, 26 Januari 2013

Keragu-raguan dalam Wudlu

Manusia identik dengan lupa. Begitulah kira-kira penafsiran al-insan mahallul khota’ wan nisyan. Lupa bisa mendatangkan berkah, tetapi juga bisa memanggil musibah.
Lupa minum dalam puasa dalah berkah, tetapi lupa minum racun tikus adalah musibah.
Begitu dekatnya lupa dalam kehidupan manusia, sehingga fiqih pun mementingkan untuk membahasnya sendiri. Hanya saja tema besar yang digunakan adalah keragu-raguan yang sejatinya lahir dari kelupaan. Diantara keraguan yang sering terjadi adalah keraguan dalam wudlu.
Jika seseorang mengalami keraguan setelah dirinya berwudlu. Apakah dirinya sudah batal ataukah masih suci? Maka hukumnya dikembalikan pada keyakinan bahwa ia telah wudhu. Sebagaimana dituliskan oleh Muslim Bin Muhammad Ad-Dusiri dalam kitabnya Al-Mumti’ Fi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah
لو أن شخصا تيقن أنه على طهارة، ثم إنه بعد ذلك شك في أنه قد أحدث، فإنه يحكم ببقائه على حدثه، لأن الأصل هنا هو الطهارة، والأصل بقاء ما كان على ما كان.
Apabila ada seseorang yang yakin bahwa dia telah berwudlu’, lalu ragu-ragu apakah dia sudah batal ataukah belum? maka dia tidak wajib berwudlu’ lagi, karena yang ia yakini adalah sudah berwudlu’, sedangkan batalnya masih diragukan.
Begitu juga ketika seseorang yang telah batal wudlu dan ragu apakah ia sudah wudlu kembali atau belum? Maka yang dijadikan pedoman adalah keyakinanya yang telah batal.
لو أن شخصا تيقن أنه محدث، ثم إنه شك في أنه قد تطهر، فإنه يحكم ببقائه على حدثه، لأن الأصل هنا هو الحدث، والأصل بقاء ما كان على ما كان
Dan begitu pula sebaliknya, apabila seseorang yakin bahwa dia telah batal wudlunya, tetapi dia ragu-ragu apakah dia sudah berwudlu’ kembali ataukah belum? Maka dia wajib berwudlu’ kembali (jika akan menjalankan shalat atau ibadah lain yang syaratnya adalah dengan berwudlu’) karena dalam masalah ini yang yakin adalah batalnya wudlu’. 
 Demikianlah masalah keraguan yang sering menimpa umat yang sering berwudhu.

teori tidurnya ashabul kahfi dan bisnis komoditi hewani

Setelah mengikuti pelantikan HIPSI (Himpunan Pengusaha Santri Indonesia) di kantor NU Jawa Timur beberapa waktu yang lalu, saya bertemu dengan pengusaha yang bergerak dalam penyembelihan sapi dari Jambi. Tiba-tiba KH Ahmad Sofwan datang bersama kepala divisi Bank Jatim Syariah dan mengajak shalat dan makan siang bersama di rumah yang tidak jauh dari kantor NU.
Sambil berjalan memasuki rumahnya, kiai besar dan terkenal dengan puluhan unit bisnis itu  bercerita tentang suka duka ekspor ikan kerapu ke Hong Kong dan Taiwan. “Yang paling rumit adalah menjaga ruh ikan. Siapa bisa ikut campur dalam urusan ruh..ha ha?,” Kata kiai yang semua anak, menantu dan semua cucunya hafal Al Qur’an itu. Jika ikan seharga Rp. 125.000 perekor di restoran Indonesia itu mati dalam pengiriman, maka harganya bisa jatuh lima puluh persen atau tidak laku sama sekali. Untuk antisipasi hal itu, agar ikan tidak bertarung dengan kawannya sendiri atau stres yang membawa kematiannya, maka ikan dibius dengan oksigen yang telah diamasukkan air. Baru enam jam berikutnya ikan hidup kembali, persis ketika sudah mendarat di bandara negara tujuan.
Sebelum kiai bercerita, pengusaha Jambi sudah berbagi pengalaman kepada saya tentang susahnya “menjaga ruh” sapi yang dikirim dari Jawa. Jika sapi dikirim selama lima hari dari Jawa ke Jambi tanpa istirahat, hampir dipastikan sapi stres atau mati sebelum sampai tujuan. Padahal Jambi amat membutuhkan pasokan sapi dari Jawa. Oleh sebab itu, para pengangkut sapi harus mengajak sapi beristirahat sehari di Batang (Jateng) dan sehari di Lampung. Itulah yang menyebabkan biaya ekonomi tinggi untuk asuransi dan biaya pengiriman.
Perbincangan tentang bisnis yang terkait dengan ruh itu mengingatkan saya tentang kisah  beberapa pemuda yang ditidurkan Allah selama 309 tahun dalam sebuah gua. “Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu.... (QS. Al Kahfi [18]:11), ...”Dan mereka tinggal dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun lagi..” (QS Al Kahfi [18]:25). Maksud ayat itu, Allah menutup telinga mereka sehingga tidur mereka lebih nyenyak dan tidak bisa dibangunkan oleh suara apapun.
Di samping banyak pelajaran yang bisa diambil dari ayat di atas, bisa saja Allah menjelaskan kisah itu agar para ahli biologi berkreasi membuat bius semua hewan yang sedang menjadi komoditi bisnis agar hewannya tidak stres dan mati. Pengusahanya juga tidak stres menghadapi resiko kerugian dan angsuran bank. Jika Teori Tidur Al Kahfi ini bisa dikembangkan oleh ahlinya, apalagi dengan biaya yang rendah, maka ayat ini menjadi salah satu kiat sukses bagi para entrepreneur yang sedang berdiskusi di kantor NU sampai sore itu. Di antara pengusaha ekonomi menengah itu terdapat para pemula usaha yang terkait dengan “ruh” yaitu peternak lele, kambing, sapi, ayam, pemasok ikan segar ke beberapa restoran dan sebagainya. Semoga ruh hewan bisnis mereka terjaga, dan ruh bisnis mereka semakin hidup dan berkembang. Selamat bangkit menjadi santri “pemberi” bukan “penerima” dana.