Rabu, 14 Agustus 2013

Narasi Besar Pendidikan


BAGAIMANA mutu pendidikan kita akan berkembang hingga ke ceruk-ceruk pelosok terpencil negeri ini, bila pemerintah terus-menerus menciptakan pembaruan melalui narasi besar pendidikan? Selalu saja pembaruan itu bertumpu pada anggaran pendidikan yang diturunkan pemerintah.
Coba perhatikan, sejak Kurikulum 2013 dirancang, buku pelajaran disusun, diikuti dengan sosialisasi kurikulum, sangat bergantung pada besar anggaran yang disetujui DPR. Kini Mendikbud M Nuh menyosialisasikan kurikulum baru tersebut ke daerah-daerah, dan dengan penuh kebanggaan mengatakan bahwa Kurikulum 2013 memiliki banyak kelebihan ketimbang sebelumnya, tetapi pengimplementasiannya di sekolah sangat bergantung pada besaran anggaran yang diturunkan pemerintah.
Narasi besar pendidikan yang diciptakan Mendikbud sarat bermuatan hegemoni kekuasaan. Disadari atau tidak, hegemoni kekuasaan telah mengekang keinginan-keinginan beroposisi dari sekolah yang semula menolak kurikulum baru, dan kelompok intelektual yang bersikap kritis. Sosialisasi kurikulum baru oleh M Nuh menjelma sebagai hegemoni yang cenderung bekerja dengan cara mencari dukungan yang memberi legitimasi dari mayoritas guru, siswa, dan masyarakat bahwa apa yang dilakukan pemerintah memang sangat mendesak.
Terperangkaplah kita pada narasi besar pendidikan yang digerakkan anggaran dan hegemoni kekuasaan. Setidak-tidaknya kita berhadapan dengan tiga persoalan. Pertama; akankah siswa menempuh pembelajaran dengan bergairah, berkreativitas, mengingat kurikulum baru tersebut kehilangan konteks sosial dan menafikan bakat anak? Kedua; akan tersingkirkah nasib penulis buku pelajaran, yang selama ini menafsir kurikulum dan merancang pembelajaran yang dicetak penerbit nonpemerintah? Ketiga; akankah kehilangan mutu sekolah-sekolah swasta yang dirancang dan didirikan dengan biaya murah? Bagaimana guru berupaya memiliki kreativitas dalam pembelajaran di ruang kelas, setelah memahami kurikulum berubah, dan buku pelajaran berganti? Dalam waktu sangat pendek, apakah pendidikan dan pelatihan mampu membongkar tradisi pembelajaran, menanamkan etos baru, dan membangkitkan empati sebagai guru yang siap melakukan pembaruan pembelajaran? Apa yang mesti ditempuh guru ketika berhadapan dengan kurikulum baru, buku pelajaran yang berbeda sama sekali, dan materi pembelajaran yang belum pernah diajarkan sebelumnya? Hanya guru yang cakap dan inovatif, yang bisa tetap tegar berhadapan dengan masa transisi kurikulum. Apa pun kurikulum yang disajikan mestinya guru menghargai siswa sebagai manusia pembelajar yang tidak akan pernah usai menuntut ilmu. Hendaknya guru bisa membebaskan diri dari narasi besar dan hegemoni kekuasaan yang diciptakan pemerintah melalui kebijakan pendidikan yang terus-menerus berubah.
Terutama dalam hal kurikulum baru, hendaknya guru tak kehilangan ketajaman mata hati untuk menemukan keterampilan-keterampilan individu, yang diperlukan sebagai upaya menempa siswa menjadi warga negara yang berbudaya, produktif, dan patriotis. Bagaimanakah sekolah swasta yang tak ditopang dana pendidikan besar tapi harus meraih mutu tak kalah dari sekolah negeri berdana pendidikan besar? Sekolah dengan dana terbatas tersebut, sebagian memperlihatkan manajemen keuangan yang luar biasa, memiliki guru yang cemerlang, ikhlas, dan mampu menanamkan etos belajar bagi siswa.
Selain itu, bisa membangkitkan gairah siswa menjadi manusia pembelajar, dan memiliki kesadaran kuat akan makna persaingan. Jalan Tegas Kreativitas dan inovasi merupakan persoalan yang mendasar yang tengah dihadapi guru saat ini. Ambivalensi kebijakan pendidikan meruncing sebagai tuntutan: guru mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran, sekaligus melaksanakan strategi kegiatan belajar mengajar demi tuntutan kurikulum baru .
Secara bersamaan guru mesti mengembangkan ranah kognitif (pengetahuan), kreativitas, dan sikap pragmatis, sekaligus menghadapi tuntutan dunia kerja. Diperlukan revitalisasi, etos, orientasi kreatif kegiatan belajar mengajar, untuk mencapai standar mutu pendidikan. Mestinya pemerintah segera mengambil langkah tegas untuk memilih salah satu kebijakan pendidikan. Akan lebih bermanfaat bagi kaum utilitarian untuk mengarahkan mutu pendidikan pada kreativitas siswa sebagai jawaban atas tantangan zaman.
Tapi hal itu memerlukan jiwa inovatif kaum pendidik sepanjang waktu, setahap demi setahap. Program sertifikasi, pelatihan, kenaikan pangkat dan penelitian, mestinya seirama dengan kebijakan pendidikan yang menuntut kreativitas guru. Sekarang institusi pendidikan sedang menghadapi kegoncangan pemberlakukan kurikulum baru yang ditawarkan sebagai terapi kemerosotan mutu pendidikan.
Kreativitas dan inovasi guru dan siswa, independensi penulis buku pelajaran nonpemerintah, dan kekuatan manajemen sekolah dengan keterbatasan dana menjadi pertaruhan dunia pendidikan kita. Merekalah yang berdiri di garis depan, berhadapan dengan hegemoni kekuasaan dalam narasi besar pendidikan, dan senantiasa menemukan kearifan, sebagai jalan pencerahan menghadapi tantangan zaman

Tidak ada komentar: