A. Hakikat Karakter
Seseorang yang didominasi oleh kondisi-kondisi dari sononya (given),
maka karakternya akan lemah. Karena dia tunduk pada sekumpulan kondisi
yang telah diberikan kepadanya tanpa dapat menguasainya. Sebaliknya,
karakter yang kuat ialah bila seseorang yang tidak mau dikuasai oleh
sekumpulan realitas yang telah ada (given) dari sononya. Orang yang
berkarakter dengan demikian sepersi seorang yang membangun dan merancang
masa depannya sendiri. Ia tidak mau dikuasai oleh kondisi kodratinya
yang menghambat pertumbuhannnya. Sebaliknya ia menguasainya, bebas
mengembangkannya demi kesempurnaan kemanusiaannya. Itulah manusia
berkarakter kuat.
B. Filosufi Mengukir Manusia Karakter
Sebagai basis acuan dalam merumuskan konsep pendidikan karakter dalam
Islam ialah QS. Rum (30): 30. Dari ayat ini dapat ditarik benang merah
bahwa bawaan dasar (fitrah) manusia dan proses pembentukan karakternya
dapat dikelompokkan menjadi empat aliran yaitu (1) fatalis-pasif (2)
netral-pasif (3) positif-aktif dan (4) dualis-aktif (Maragustam, 2010).
Pertama, yang berpandangan
fatalis-pasif,
mempercayai bahwa setiap individu karakternya baik atau jahat melalui
ketetapan Allah secara asal, baik ketetapan semacam ini terjadi secara
semuanya atau sebagian saja. Faktor-faktor eksternal, termasuk
pendidikan tidak begitu berpengaruh karena setiap individu terikat
dengan ketetapan yang telah ditentukan sebelumnya. Ketetapan itu dapat
dialirkan kepada hereditas seseorang secara kodrati. Dasar argumen yang
digunakan aliran ini ialah hadis Nabi SAW dari Abdullah Ibnu Mas’ud
berkata, Rasulullah SAW bersabda (mengomentari) firman Allah, ”Dan
ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan anak-anak Adam dari sulbi mereka”
(QS. Al-A’raf [7]: 172). Nabi SAW mengatakan bahwa ketika Allah
mengeluarkan Adam dari surga dan sebelum turun dari langit, Allah
mengusap sulbi Adam sebelah kanan dengan sekali usapan, lalu
mengeluarkan darinya anak keturunan yang berwarna putih seperti mutiara
dalam bentuk
zur (keturunan). Allah berfirman kepada mereka:
Masuklah ke dalam surga dengan nikmat-Ku. Lalu Allah mengusap sekali
terhadap sulbi Adam sebelah kiri, lalu mengeluarkan anak turunannya yang
berwarna hitam dalam bentuk
zur. Allah berfirman: Masuklah ke
neraka dan Aku tidak peduli. Yang demikian itulah maksud Allah
tentang golongan kanan dan golongan kiri. Kemudian Allah mengambil
kesaksian terhadap mereka dengan berfirman, ’Bukankah Aku ini Tuhan
kalian? Mereka menjawab, ’Betul, Engkau Tuhan Kami, kami menjadi
saksi.’(QS. Al-A’raf [7]:172). Seorang pendosa akan masuk surga jika hal
itu menjadi nasibnya (
given). Sifat dasar ini tidak berubah
yakni berkaitan dengan karakter seseorang untuk masuk neraka atau masuk
surga, kebahagiaan atau penderitaan, atau berkarakter positif atau
negatif. Implikasi dari pandangan ini bahwa faktor eksternal termasuk
lingkungan dan pendidikan karakter adalah pasif dalam pembentukan
karakter. Karena karakter kuat atau lemah telah ditentukan lebih dahulu
sebelum dia lahir ke dunia yang dikenal dengan ilmu azali Allah.Dengan
demikian manusia ibarat berkarakter wayang, mau jadi apa karakternya
terserah kepada Sang Dalang.
Bawaan sejak lahir atau hereditas memberikan penekanan pada
determinasi perilaku menurut struktur genetis riwayat keluarga. Maka
sifat-sifat anak tidak jauh berbeda dengan orang tuanya. Setiap
perangai, temperamen, sifat, dan karakter memiliki kaitan genetis dengan
generasi yang mendahuluinya. Hal itu jauh-jauh sebelum anak lahir sudah
ditentukan oleh Yang Maha Kuasa. Persoalan teori hereditas ini juga
dapat disamakan dengan paradigma gender. Paradigma gender membedakan
secara khas karakter seseorang melalui jenis kelamin. Pria dan wanita
secara karakteristik berbeda terutama karena alasan gender, berupa
struktur kromosom yang mempengaruhi perbedaan fisik, perangai, dan pola
prilaku tertentu. Fatalisme-pasif semacam ini berkontradiksi dengan
cita-cita sebuah pendidikan yang merupakan sebuah intervensi sadar dan
tersruktur agar manusia itu semakin dapat memiliki kebebasan sehingga
mampu menempa dan membentuk dirinya berhadapan dengan determinasi alam
dan lingkungan sosial yang mengelilingi dirinya.
Kedua, pandangan
netral-pasif yakni anak lahir dalam
keadaan suci, utuh dan sempurna, suatu keadaan kosong sebagaimana
adanya, tanpa kesadaran akan iman atau kufur, berkarakter positif atau
berkarakter negatif dan bersifat pasif menghadapi diterminasi alam
lingkungan terutama lingkungan sosial dan pendidikan. Ini sama dengan
teori ’tabularasa’ dari John Lock. Manusia lahir seperti kertas putih
tanpa ada sesuatu goresan apa pun. Manusia berpotensi berkarakter baik
dan kuat bila pengaruh luar terutama orang tuanya mengajarkan demikian.
Sebaliknya berpotensi berkarakter buruk dan lemah bila lingkungannya
mengajarkan, membiasakan, dan menanamkan nilai-nilai negatif. Dengan
demikian pengaruh mana yang lebih dominan dan intensif kepada seseorang
maka hal itulah yang membentuk karakternya. Pandangan ini mengambil
argumen dari QS. Al-Nahl (16):78, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari
perut ibu kamu dengan keadaan tidak mengetahui sesuatu apapun; dan dia
mengurniakan kepada kamu pendengaran, penglihatan dan hati agar kamu
bersyukur.” ”Tidak mengetahui sesuatu apapun” dalam ayat tersebut
dimaknai sebagai sesuatu yang kosong”.
Dari pendapat netral-pasif ini, maka karakter dapat diubah. Bahkan
karakter seseorang sangat lentur untuk berubah-ubah dan bersifat
dinamis. Hal ini sangat tergantung polesan yang mendominasi pribadi
seseorang. Menurut teori netral pasif ini, pembentukan karakter ini
bukan sebagai warisan kereditas orang tua, bukan dari ketetapan Tuhan,
dan bukan pula berasal dari dalam diri seseorang, tetapi dari pengaruh
luar termasuk pendidikan.
Ketiga, pandangan
positif-aktif yakni bawaan dasar
atau sifat manusia sejak lahir adalah berkarakter baik, kuat dan aktif,
sedangkan karakter lemah dan jahat bersifat aksidental. Artinya
seseorang lahir sudah membawa karakter yang baik dan positif. Karekter
positif dan baik itu bersifat dinamis dan aktif mempengaruhi lingkungan
sekitar. Jika seseorang berkatakter negatif dan jelek, hal itu bukan
dari cetakan dari Tuhan, dan bukan pula bagian integral dari dirinya.
Tetapi hal itu sifatnya sementara dan menempel dalam diri seseorang
(aksidental). Para ahli yang berpandangan positif-aktif membangun dasar
argumennya dari Alquran yakni …dan (ingatlah), ketika Tuhanmu
mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah
mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah
aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuban kami), Kami
menjadi saksi”. (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat
kamu tidak mengatakan: “Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang
yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (QS. al-A’raf (7):172).
Kalimat “Bukankah aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab: “Betul (Engkau
Tuban kami), Kami menjadi saksi”, dimaknai sebagai pemberian Tuhan
secara asal kepada setiap individu sesuatu yang baik termasuk karakter
baik, tidak ada sedikitpun secara asal sesuatu yang tidak baik. Berarti
manusia berasal dari Tuhan adalah baik, dan menjadi karakter jelek di
tangan manusia dan polesan lingkungan termasuk pendidikan.
Menurut Ibnu Taimiyah, semua anak dilahirkan dalam keadaan fitrah,
yaitu dalam keadaaan berpihak kepada kebaikan secara kodrati, dan
lingkungan sosiallah menyebabkan individu menyimpang dari keadaan ini.
Sifat dasar (karakter) manusia memiliki lebih dari sekedar pengetahuan
tentang Allah yang ada secara inheren di dalamnya, tetapi juga suatu
cinta kepada-Nya dan keinginan untuk melaksanakan ajaran agama secara
tulus sebagai seorang
hanif sejati sesuai QS. Al-Rum (30):30
(Maka hadapkanlah wajahmu dengan Lurus kepada agama Allah; (tetaplah
atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu,
tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi
kebanyakan manusia tidak mengetahui). Menurut Shabuni, kebaikan dan
kesucian menyatu pada diri manusia, sementara kejahatan bersifat
aksidental. Manusia secara alamiah cenderung kepada kebaikan dan
kesucian. Akan tetapi, lingkungan sosial, terutama orangtua, bisa
memiliki pengaruh merusak terhadap diri (
nafs), akal dan fitrah
anak. Fitrah kesucian dan kebaikan sebagai sifat bawaan lahir bisa saja
rusak. Ismail Raji al-Faruqi, memandang bahwa kecintaan kepada semua
yang baik dan bernilai merupakan kehendak ketuhanan sebagai sesuatu yang
Allah tanamkan kepada manusia. Pengetahuan dan kepatuhan bawaan kepada
Allah bersifat alamiah, sementara kedurhakaan tidak bersifat alamiah,
(Yasin Muhammad, 1997). Menurut Russeau bahwa secara kodrati manusia itu
baik, namun masyarakatlah yang membelenggu individu itu sehingga ia
menjadi manusia yang bertumbuh semakin menjauhi dari kodratnya. Ada
hubungan erat antara lembaga pendidikan, kultur politik, kehidupan
sosial, dan pertumbuhan individu.
Shadr berpendapat bahwa QS. Al-Rum (30):30 ini merupakan pernyataan
dan tidak menggariskan sesuatu aturan atau hukum apa pun. Dengan
demikian, menurutnya manusia telah diciptakan sedemikian rupa sehingga
agama menjadi bagian dari fitrahnya, dan bahwa ciptaan Ilahi tidak bisa
diubah. Agama bukanlah materi budaya yang diperoleh manusia sepanjang
sejarah. Agama adalah bagian dari fitrah suci manusia, karenanya manusia
tidak bisa hidup tanpanya (M. Baqir al-Shadr, 1993). Ungkapan ”tidak
ada perubahan dalam ciptaan Allah” dalam QS. al-Rum (30):30 bersifat
pemberitahuan, bukan memerintahkan. Selama manusia adalah manusia, agama
adalah norma yang suci baginya. M. Quraish Shihab (1997) cenderung
kepada aliran positif ini. Menurutnya bahwa fitrah manusia adalah
kejadiannya sejak semula atau bawaan dasar sejak lahirnya. Para ulama
memahaminya dengan tauhid (QS. al-Rum (30): 30). Kata
laa (tidak)
pada ayat tersebut, maka ini berarti bahwa seseorang tidak dapat
menghindar dari fitrah. Dalam konteks ayat ini, ia berarti bahwa fitrah
keagamaan akan melekat pada diri manusia untuk selama-lamanya, walaupun
boleh jadi tidak diakui atau diabaikannya. Melalu teori positif-aktif,
manusia menjadi pelaku yang bertindak serta bereaksi atas dunia di luar
dirinya. Dimensi ini berupa disposisi batin melalui mana determinasi ini
diterima, ditolak, atau sintesa atau dimodifikasi secara aktif. Dimensi
internal manusia selalu berkarakter baik dan kuat, sedangkan karakter
lemah dan negatif adalah bukan bagian integral dari setiap individu.
Keempat, aliran
dualis-aktif, berpandangan bahwa
manusia sejak awalnya membawa sifat ganda. Di satu sisi cenderung
kepada kebaikan (energi positif), dan di sisi lain cenderung kepada
kejahatan (energi negatif). Dua unsur pembentuk esensial dari struktur
manusia secara menyeluruh, yaitu ruh dan tanah, mengakibatkan karakter
baik dan karakter jahat sebagai suatu kecenderungan yang setara pada
manusia, yaitu kecenderungan untuk mengikuti Tuhan berupa nilai-nilai
etis religius dan kecenderungan mengikuti syetan berupa nilai-nilai
a-moral dan kesesatan. Kecenderungan kepada berkarakter baik dan kuat
dibantu oleh energi positif berupa kekuatan spiritual (fitrah tauhid),
kenabian dan wahyu Tuhan, bisikan malaikat, kekuatan akal sehat,
nafs muthmainnah
(jiwa yang tenteram), dan kalbu yang sehat dalam diri manusia.
Sedangkan kecenderungan kepada nilai-nilai a-moral berupa energi negatif
yakni
nafsu ammarah bissu’ (nafsu yang selalu cenderung destruktif),
nafsu lawwamah
(nafsu yang tercela), godaan, kesesatan dan bisikan setan. Energi
positif tersebut dalam perspektif individu akan melahirkan orang yang
berkarakter kuat, yaitu orang yang beriman-bertakwa, memiliki
integritas, komitmen, pengabdian, dan beramal saleh personal dan sosial.
Aktualisasi orang yang berkualitas ini dalam hidup dan bekerja akan
melahirkan akhlak budi pekerti yang luhur karena memiliki
personality (integritas, komitmen dan dedikasi),
capacity (kecakapan) dan
competency
(kemampuan) serta kinestetik yang professional dan bagus pula.
Sedangkan energi negatif tersebut dalam perspektif individu akan
melahirkan orang yang berkarakter buruk, yaitu orang yang selalu
mengaktualisasikan diririnya
amal al- sayyiat (destruktif),
bahkan syirk (menuhankan selain Allah) dalam hidupnya. Aktualisasi orang
yang bermental seperti ini dalam hidup dan bekerja akan melahirkan
perilaku tercela, yaitu orang yang memiliki
personality tidak
bagus (hipokrit, penghianat, bermuka dua alias munafik dan pengecut)
dan orang yang tidak mampu mendayagunakan potensi yang dimilikinya.
Khatamallah ‘ala quluubihim
dalam QS al-Baqarah: 7 (Allah telah mengunci-mati hati dan pendengaran
mereka[20], dan penglihatan mereka ditutup[21]. dan bagi mereka siksa
yang Amat berat), bukanlah Tuhan yang mumulai mengunci mati hati
seseorang menjadi berkarakter lemah dan negatif, tetapi yang memulai
dari kalbu manusia yang menuruti tarikan energy negative dan setan yang
ada dalam dirinya dan faktor-faktor eksternal di luar dirinya.
Tanah simbol terendah dari kehinaan digabungkan dengan ruh dari
Allah sebagai pembentuk diri. Dengan demikian, manusia adalah makhluk
berdimensi ganda, dengan sifat karakter dasar ganda, tersusun dari dua
kekuatan, bukan saja berbeda, tapi juga berlawanan. Yang satu cenderung
turun kepada materi (energi negatif) dan yang lain cenderung naik kepada
Ruh Suci (energi positif). Kemampuan dan kecenderungan tersebut
kemudian saling mempengaruhi dengan lingkungan sehingga tumbuh dan
berkembang menjadi lebih baik atau lebih buruk. Dasar pandangan ini
ialah QS. al-Hijr [15]:28-29)
[1], al-Balad [90]:10)
[2] dan al-Syams [91]:7-10.
[3]
Dalam HR. Tirmidzi, disebutkan bahwa ”seseorang berada dalam tuntunan
temannya, maka hendaklah salah seorang dari kamu melihat siapa yang
menjadi temannya.” Dari hadis ini dapat dimaknai bahwa pergaulan punya
pengaruh besar terhadap pembentukan karakter seseorang. Jika si teman
berkarakter baik dan bertakwa, maka seseorang dapat mengambil sifat baik
dan takwanya. Sebaliknya jika si teman tadi berkarakter jahat dan
pendosa, maka seseorang dapat mengambil sifat jahat dan pendosanya. Maka
dua kecendurungan karakter tersebut berproses secara terus menerus
sepanjang hidup. Sesungguhnya Nabi SAW menyuruh orang tua agar anaknya
shalat sewaktu berumur 7 tahun dan memukulnya kalau belum mau salat
sewaktu berumur 10 tahun. Rentang waktu antara 7 sampai dengan 10 tahun
(3 tahun) mengandung makna bahwa penanaman kebiasaan positif terhadap
anak, yang akhirnya menjadi karakter kuat dan baik merupakan keharusan
orangtua. ”Shalat” dalam hadis itu tidak dimaknai dengan arti sempit
yakni hanya shalat tetapi sangat luas yakni setiap kebajikan haruslah
ditanamkan orangtua sejak dini dan shalat adalah salah satunya.
C.
Pembentukan Karakter sebagai Tujuan Pendidikan Nasional
Dalam Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 disebutkan bahwa di antara
tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik
untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian
pendidikan tidak hanya membentuk insan cerdas, namun juga
berkepribadian atau berkarakter kuat dan berakhlak mulia yang bernafas
nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Dalam pendidikan karakter harus melibatkan aspek pengetahuan (
cognitive), perasaan (
feeling), dan tindakan (
action).
Tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Jika salah satu
tidak ada maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dari proses
kesadaran seseorang mengetahui tentang nilai-nilai yang baik (
knowing the good), lalu merasakan dan mencintai kebaikan (
feeling and loving the good) itu sehingga terpatri dan terukir dalam jiwanya yang akhirnya menjadi berkakter kuat untuk melakukan kebaikan.
Feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi
power yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan. Hakikat
loving
pasti mengandung unsur pengorbanan dan keikhlasan. Sehingga tumbuh
kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta
dengan perilaku kebajikan itu.
Dari dua aspek kesadaran mengetahui dan mencintai nilai-nilai
kebenaran itu, seseorang akan ringan melakukan hal-hal yang baik. Tiga
proses tersebut secara terus menerus dilakukan dan dialami, sehingga
menjadi endapan-endapan pengalaman. Dari endapan-endapan pengalaman itu
berubah menjadi kebiasaan dan karenanya menjadi karakter yang kuat dan
positif. Kebiasan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului
oleh pengetahuan, kesadaran dan pemahaman akan menjadi sebuah karakter
seseorang, heriditas hanya menjadi salah satu faktor saja dalam
pembentukan karakter.
D. Pilar-pilar Karakter dalam Islam
Ada sepuluh pilar karakter yang berasal dari nilai-nilai luhur universalitas Islam, yaitu:
- Karakter cinta dan ikhlas terhadap Allah swt dan segenap
ciptaan-Nya. Ibadah pada hakikatnya segala sikap dan prilaku yang di
ditujukan untuk mencari rido Allah, baik itu ibadah personal maupun
ibadah sosial.
- Tanggung jawab dan kemandirian. Setiap orang bertanggungjawab
terhadap apa yang dikatakan dan dilakukan dalam tindakan manusiawi
secara mandiri. Anugerah Tuhan kepada manusia berupa potensi internal
(akal, nafs, kalbu, dan fitrah yang dihidupi oleh ruh), kesadaran dan
kebebasan memilih untuk bertindak, menjadikan manusia bertanggungjawab
apa yang dikatakan dan dilakukan secara mandiri. Setiap kamu adalah
pemimpin dan bertanggungjawab terhadap yang dipimpinnya. Paling tidak
seseorang bertanggungjawab memimpin dirinya sendiri.
- Kejujuran dan amanah. Menurut Mohammad Nuh (2010), diantara karakter
yang ingin kita bangun adalah karakter yang berkamampuan dan
berkebiasaan memberikan yang terbaik, giving the best, sebagai
prestasi yang dijiwai oleh nilai-nilai kejujuran. Di samping itu apabila
seseorang diberi amanah, maka ia harus mampu memikul dan menunaikan
amanah itu sesuai dengan hak-hak dan kewajiban yang melekat dalam amanah
itu.
- Saling hormat menghormati dan berlaku santun dalam bersikap dan
berkomunikasi. Kebanyakan orang sukses justru ditentukan sejauh mana
seseorang menghormati, menghargai dan santun dalam berkomunikasi.
Intelegensi hanya salah satu faktor saja untuk menuju sukses.
- Ta’awun (tolong menolong), adil (hidup seimbang) dan ihsan (berbuat
lebih baik dan terbaik) dan kerjasama dalam menciptakan tatanan dunia
yang bermoral. Manusia diciptakan dalam posisinya bersosial. Tidak ada
manusia yang dapat hidup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Bahkan telah
matipun, harus dibantu orang lain, yang dikenal dalam Islam fardu
kifayah (kewajiban kolektif) untuk menyolatkan, memandikan, mengkafani,
dan menanamnya.
- Percaya diri dan pekerja keras. Setiap muslim diperintahkan, jika
seseorang selesai melakukan suatu pekerjaaan, cepat bergegaslah untuk
mengerjakan lainnya. Dalam Alquran disebutkan: Maka apabila kamu telah
selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh
(urusan) yang lain, dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap
(QS. Insyirah: 7-8). Demikian juga seseorang di larang keras
menggantungkan hidupnya pada orang lain, apalagi meminta-minta. Tangan
pemberi lebih baik daripada tangan peminta.
- Kepemimpinan. Memimpin diri sendiri dan orang lain untuk menata dunia dalam tatanan moral merupakan suatu keharusan dalam Islam.
- Berprilaku baik dan rendah hati. Memperjuangkan kebenaran apabila
dilakukan dengan cara yang baik dan rendah hati jauh lebih bermakna dan
lebih efektif, daripada dilakukan dengan cara yang tidak baik dan
arogan.
- Keteladanan. Panji-panji Islam dapat ditegakkan apabila seseorang menempatkan dirinya sebagai teladan yang baik (uswatun hasanah)
bagi masyarkat dan keluarganya. Tidak akan dapat menciptakan tatanan
dunia yang bermoral apabila terutama para pemimpinnya belum dapat
menjadikan diri mereka menjadi teladan bagi yang dipimpinnya. Presiden
menjadi teladan bagi rakyatnya. Orang tua menjadi teladan bagi
anak-anaknya. Guru menjadi teladan bagi murid-muridnya. Majikan menjadi
teladan bagi para pekerjanya. Supir menjadi teladan bagi penumpangnya.
Pimpinan media menjadi teladan bagi pembacanya dan seterusnya.
- Toleransi (tasamuh), kedamaian, dan kesatuan. Manusia diciptakan
dalam perbedaan. Yang saudara sekandung dan kembarpun pasti berbeda,
apalagi yang bukan saudara dan bukan pula kembar. Seseorang tidak boleh
bercita-cita untuk menyeragamkan (uniform) setiap orang.
E. Strategi Mengukir Manusia Berkarakter
Bisakah karakter dibentuk? Jika karakter merupakan seratus persen
turunnan atau bawaan sejak lahir, maka karakter tidak bisa dibentuk.
Namun, jika bawaan (hereditas) hanyalah salah satu faktor pembentuk
karakter, tentu jawabannya bisa dibentuk semenjak usia dini. Untuk itu
kesepuluh pilar karakter itu, dapat diajarkan secara sistematis dalam
model pendidikan holistik menggunakan strategi mengetahui, mencintai,
mengerjakan, keteladanan, dan taubat. Keenam rukun pendidikan karakter
tersebut adalah sebuah lingkaran yang utuh yang dapat diajarkan secara
berurutan atau tidak berurutan. Sesuatu tindakan barulah dapat
menghasilkan karakter kuat dan positif, apabila enam rukun pendidikan
karakter ini dilakukan secara utuh dan terus menerus.
Pertama:
Knowing the good (mengetahui yang
baik) bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif.
Mengajarkan yang baik, yang adil, yang bernilai, berarti memberikan
pemahaman dengan jernih kepada pembelajar apa itu kebaikan, keadilan,
kejujuran, toleransi, nilai dan lain-lain. Boleh jadi seseorang
berprilaku baik, adil, toleransi, tanpa disadarinya sekalipun secara
konseptual tidak mengetahui dan tidak menyadari apa itu perilaku baik,
atau apa itu keadilan, atau apa itu kejujuran.
Perilaku berkarakter mendasarkan diri pada tindakan sadar si subjek,
bebas dan berpengetahuan yang cukup tentang apa yang dilakukan dan
dikatakannya. Meskipun tampaknya mereka tidak memiliki konsep jernih
tentang nilai-nilai tersebut, sejauh tindakan itu dilakukan dalam
keadaan sadar dan bebas, tindakan tersebut dalam arti tertentu telah
dibimbing oleh pemahaman tertentu. Tanpa ada pemahaman dan pengertian,
kesadaran dan kebebasan tidak mungkin ada sebuah tindakah berkarakter.
Dalam Islampun sebuah tindakan diminta pertanggungjawabannya apabila
yang melakukan itu sudah dewasa, berakal (berpengetahuan), dalam keadaan
sadar, dan ada kebebasan untuk memilih. Sebuah tindakan yang tidak
disadari, tidak dibimbing oleh pemahaman tertentu, tidak ada kebebasan,
maka tidak akan memiliki makna bagi individu tersebut, sebab ia sendiri
tidak menyadari dan tidak mengetahui makna dan akibat tindakan yang
dilakukannya. Demikian juga sebuah tindakan yang tidak bebas dan tidak
disadari serta tidak dibimbing oleh pengetahuan tentangnya, adalah
tindakan instingtif atau ritual yang lebih dekat pada cara bertindak
binatang.
Kedua: Feeling and loving the good. Setelah
knowing the good, akan tumbuh
feeling and loving the good,
yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebaikan menjadi power dan
engine yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat kebaikan.
Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan
karena dia cinta dengan perilaku kebaikan itu. Bagaimana supaya setiap
orang cinta kepada kebaikan? Tentu prilaku kebaikan itu harus dihiasi,
dirawat, ditegakkan, dikawal, dilindungi, dihargai dan dikaji
implikasinya dalam waktu jangka panjang, serta keberpihakan kepada
kebaikan bagi setiap orang terutama para pengambil keputusan dan
kebijakan. Dengan demikian setiap orang merasa senang, nyaman dan aman
dalam melakukan kebaikan itu.
Ketiga: Acting the good (tindakan kebaikan)
setelah melalui proses mengerti dan mencintai kebaikan yang melibatkan
dimensi kognitif dan afektif. Melalui tindakan pengalaman kebaikan ini
secara terus menerus, melahirkan kebiasaan, yang pada akhirnya membentuk
karakter yang kuat dan postif. Tindakan membiasakan melakukan kebaikan,
sangat ditekankan dalam pendidikan Islam. Dalam hadis HR. al-Hakim,
disebutkan, “Perintahlah anak-anakmu menjalankan ibadah salat jika
mereka sudah berusia tujuh tahun. Dan jika mereka sudah berusia sepuluh
tahun, maka pukullah mereka jika tidak mau melaksanakannya dan
pisahkanlah tempat tidur mereka.” Rentang waktu antara 7 sampai dengan
10 tahun (3 tahun) mengandung makna pembiasaan melakukan ibadah dan
kebajikan, karena anak umur sekian itu (belum dewasa) belum ada
kewajiban melaksanakan ibadah salat. Dari perintah salat, dapat
disamakan dengan ibadah puasa, dan perbuatan kebajikan lainnya.
Rahasianya adalah agar anak terbiasa sekaligus menjadi karakternya untuk
melakukan yang baik, sehingga ketika tumbuh dewasa, ia talah terbiasa
melakukan dan terdidik untuk menaati Allah, melaknakan hak-Nya,
bersyukur kepada-Nya, kembali kepada-Nya, berpegang teguh kepada-Nya,
bersandar kepada-Nya dan berserah diri kepada-Nya. Di samping itu, anak
akan mendapatkan kesucian rohani, gerakan refleks dan kesehatan jasmani,
kebaikan akhlak, perkataan, dan perbuatan di dalam ibadah-ibadah itu.
Menurut M. Nuh (Mendiknas) dalam Republika OnLine, dijelaskan bahwa “tradisi pesantren sangat penting di sekolah”.
Maksudnya ialah pembiasaan nilai positif menjadi tradisi positif, lalu
menjadi budaya positif, yang pada akhirnya menjadi ukiran karakter
positif yang kuat.
Keempat: Keteladanan. Dari aspek
knowing the good,
feeling and loving the good dan
acting the good
pembelajar butuh keteladanan dari lingkungan sekitarnya. Manusia lebih
banyak belajar dan mencontoh dari apa yang ia lihat dan alami.
Keteladanan yang paling berpengaruh adalah yang paling dekat dengan
pembelajar. Orang tua, karib kerabat, pimpinan masyarakat dan siapa pun
yang sering berhubungan dengan pembelajar terutama idola pembelajar,
adalah menentukan proses pembentukan karakter kuat. Jika pendidik jujur,
amanah, berakhlak mulia, berani, dan menjauhkan diri dari perbuatan
yang bertentangan dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa, maka
pembelajar akan tumbuh dalam kejujuran, terbentuk dengan akhlak mulia,
berani dan menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan yang bertentangan
dengan nilai-nilai luhur agama dan bangsa dan begitu pun sebaliknya.
Seorang anak, bagaimana pun besar usaha yang dipersiapkan untuk
kebaikannya, bagaimana pun sucinya fitrah, ia tidak akan mampu memenuhi
prinsip-prinsip kebaikan dan nilai-nilai lurur agama, selama ia tidak
melihat sang pendidik dan para pemimpin lainnya sebagai teladan dari
nilai-nilai moral yang tinggi. Adalah sesuatu yang sangat mudah bagi
pendidik, termasuk orang tua, yaitu mengajari anak dengan berbagai
materi pendidikan, akan tetapi adalah sesuatu yang teramat sulit bagi
anak untuk melaknakannya ketika ia melihat orang yang memberikan
pengarahan dan bimbingan kepadanya tidak mengamalkannya. Itulah sebabnya
salah satu keberhasilan Nabi SAW dalam menyampaikan risalahnya adalah
karena dia sendiri menjadi keteladanan paripurna bagi umatnya. Dalam QS.
Al-Ahazab: 21 disebutkan:
لقد كان لكم في رسول الله أسوة حسنة لمن كان يرجو الله واليوم الآخر وذكر الله كثيرا
Kelima: Tobat. Tobat pada hakikatnya ialah kembali
kepada Allah setelah melakukan kesalahan dalam hidup. Tobat Nasuha
adalah bertobat dari dosa/kesalahan yang diperbuatnya saat ini dan
menyesal (
muhaasabah dan refleksi) atas dosa-dosa yang
dilakukannya di masa lalu dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi di
masa mendatang serta bertekad berbuat kebajikan di masa yang akan
datang. Rasulullah pernah ditanya oleh seorang sahabat, “Apakah
penyesalan itu taubat?”, “Ya”, kata Rasulullah (H.R. Ibnu Majah). Amr
bin Ala pernah mengatakan: “Taubat Nasuha adalah apabila kamu membenci
perbuatan dosa sebagaimana kamu pernah mencintainya”. Tuhan mencintai
hambanya yang tobat dan
tazkiyatu nufus (mensucikan diri)
(Al-Baqarah: 222). Dalam tobat, ingatan, pikiran, perasaan, hati
nurani, secara total digunakan untuk menangkap makna dan nilai yang
dilakukan selama ini, menemukan hubungan dengan Tuhannya, dan kesiapan
menanggung konsekwensi dari tindakan taubatnya. Tobat akan membentuk
kesadaran tentang hakikat hidup, melahirkan optimisme, nilai kebajikan,
nilai-nilai yang di dapat dari berbagai tindakannya, manfaat dan
kehampaan tindakannya, dan lain-lain sedemikian rupa, sehingga seseorang
dibawa maju untuk melakukan suatu tindakan dalam paradigma baru di
masa-masa akan datang. Pelaku tobat, secara sadar merendahkan hatinya
untuk minta maaf kepada Tuhan dan siapa saja termasuk anak kandung
sendiri, jika kesalahan itu berasal darinya. Dengan demikian dalam diri
pelaku tobat, melebihi sekedar
muhasabah dan refleksi. Tidak
ada tobat tanpa dimulai dari pengetahuan, endapan pengalaman, kecintaan,
kesadaran, penyesalan, kebebasan, dan perubahan perilaku ke arah
positif. Seperti Khalid bin Walid si Pedang Tuhan (sahabat Nabi SAW)
yang semula berkarakter kuat dan energy negatif, dia menjadi garda
terdepan menentang Islam, berubah menjadi manusia yang berkarakter kuat
dan energy positif sebagai membela kebenaran dengan cara tobat. Karena
karakter itu tidak mudah diubah. Jika sesuatu itu mudah diubah, ia
bukanlah karakter. Mungkin saja ia hanyalah sifat, pandangan, pendapat,
atau pendirian.
F. Mengukir Manusia Berkarakter di mulai dari sejak usia dini
Hakikat pendidikan Islam atau
al-tarbiyah al-islamiyah mencakup makna yang sangat luas yakni (1)
al-namaa yang berarti bertambah, berkembang dan tumbuh menjadi besar sedikit demi sedikit,
(2)
aslahahu yang berarti memperbaiki pembelajar jika proses perkembangan menyimpang dari nilai-nilai Islam, (3)
tawallaa amrahu yang berarti mengurusi perkara pembelajar, bertanggung jawab atasnya dan melatihnya, (4)
ra’ahu yang berarti memelihara dan memimpin sesuai dengan potensi yang dimiliki dan tabiatnya (5)
al-tansyi’ah yang berarti mendidik, mengasuh,
dalam
arti materi (fisiknya) dan immateri (kalbu, akal, jiwa, dan
perasaannya), yang kesemuanya merupakan aktivitas pendidikan. Lima
hakikat pendidikan Islam tersebut harus dimulai sejak usia dini.
Usia dini berarti pendidikan karakter sejak dalam kandungan. Sewaktu
calon bayi dalam kandungan, keluarga terutama ibu calon bayi, diharapkan
banyak membaca ayat-ayat Alquran, seperti surat Yusuf, surat Maryam,
dll, dengan harapan ibunya tenang dan damai, yang hal itu berpengaruh
kepada calon bayi yang dikandungnya menjadi manusia berkarakter kuat dan
energi positif seperti Nabi Yusuf as dan Maryam. Sewaktu anak lahir
disyariatkan mengumandangkan azan di telinga kanan dan ikamat di telinga
kirinya, agar bayi dibiasakan mendengarkan kalimat yang baik yang
menggetarkan syaraf dan jiwanya. Berkebiasaan mendengarkan yang baik
akan mengukir dalam jiwa anak, yang akhirnya menjadi karakter kuat dan
positif.
Keluarga merupakan kelembagaan masyarakat yang memegang peranan kunci
dalam proses pendidikan karakter. Jadi ayah, ibu dan seluruh anggota
keluarga adalah demikian penting dalam proses pembentukan dan
pengembangan karakter. Keluarga wajib berbuat sebagai ajang yang
diperlukan sekolah dalam hal melanjutkan pemantapan sosialisasi
kognitif. Demikian juga keluarga dapat berperan sebagai sarana
pengembangan kawasan afektif dan psikomotor. Dalam keluarga diharapkan
berlangsungnya pendidikan yang berfungsi pembentukan karakter sebagai
makhluk individu, makhluk sosial, makhluk susila dan makhluk religius.
Ada beberapa alasan kenapa pendididikan karakter dalam keluarga ini penting.
Pertama,
dasar-dasar kelakuan dan kebiasaaan anak tertanam sejak di dalam
keluarga, juga sikap hidup serta kebiasaan-kebiasaannya.
Kebiasan-kebiasaan yang baik dalam keluarga ini akan menjadi karakter
anak setelah dia dewasa.
Kedua, anak menyerap adat
istiadat dan prilaku kedua orangtuanya dengan cara meniru atau mengikuti
yang disertai rasa puas. Peniruan yang baik yang diikuti dengan rasa
puas akan sangat besar pengaruhnya dalam penanaman karakter anak.
Ketiga,
dalam pendidikan keluarga berjalan secara natural, alami dan tidak
dibuat-buat. Kehidupan keluarga berjalan penuh dengan keaslian, akan
terlihat jelas sifat-sifat atau karakter anak yang dapat diamati orang
tua terus menerus dan karenanya orang tua dapat memberikan pendidikan
karakter yang kuat terhadap anak-anaknya.
Keempat,
dalam pendidikan keluarga berlangsung dengan penuh cinta kasih dan
keikhlasan. Cinta kasih dan keikhlasan ini dijelaskan Nabi dalam riwayat
Imam Bukhari dari Anas bin Malik bahwa telah datang kepada Aisyah
seorang ibu bersama dua anaknya yang masih kecil. Aisyah memberikan tiga
potong kurma kepada wanita itu. Diberilah oleh anak-anaknya
masing-masing satu, dan yang satu lagi untuknya. Kedua kurma itu dimakan
anaknya sampai habis, lalu mereka menoreh kearah ibunya. Sang ibu
membelah kurma (bagiannya) menjadi dua, dan diberikannya masing-masing
sebelah kepada kedua anaknya. Tiba-tiba Nabi Muhammad SAW datang, lalu
diberitahu oleh Aisyah tentang hal itu. Nabi Muhammad SAW bersabda :
“Apakah yang mengherankanmu dari kejadian itu, sesungguhnya Allah telah
mengasihinya berkat kasih sayangnya kepada kedua anaknya”.
Kelima,
dalam keluarga merupakan unit pertama dalam masyarakat di mana
hubungan-hubungan yang terdapat di dalamnya, sebagian besar adalah
bersifat hubungan langsung. Dari keluarga, anak pertama-tama memperoleh
terbentuknya tahap-tahap awal proses sosialisasi, dan melalui interaksi
dalam keluarga, anak memperoleh pengetahuan, nilai-nilai, emosi, sikap,
dan keterampilan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50%
variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4
tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20%
sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua.
Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter
yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua
yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya
pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam
lingkungan sekolah, terutama sejak
play group dan taman
kanak-kanak. Di sinilah peran guru, dipertaruhkan. Karena guru adalah
ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
Sebagaimana dikutip Suyanto (2009), bahwa ada dampak pendidikan
karakter terhadap keberhasilan akademik. Ringkasan hasil studi Dr.
Marvin Berkowitz dari University of Missouri- St. Louis, menunjukan
peningkatan motivasi siswa sekolah dalam meraih prestasi akademik pada
sekolah-sekolah yang menerapkan pendidikan karakter. Kelas-kelas yang
secara komprehensif terlibat dalam pendidikan karakter menunjukkan
adanya penurunan drastis pada perilaku negatif siswa yang dapat
menghambat keberhasilan akademik. Menurut Daniel Goleman tentang
keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi
oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan
otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya,
akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol
emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia
pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa.
Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari
masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan,
tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.
Wallahu a’lam bishshawab
DAFTAR PUSTAKA
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali,
Pendidikan Karakter Berbasis Al-Quran, Bandung, Simbiosa Rekatama Media, 2008.
Diane Tilman,
Living Values Activities for Young Adults, Jakarta: Grasindo, 2004.
Doni Koesoema A, Pendidikan
Karakter Strategi Mendidik Anak di Zaman Global, Jakarta, PT Gramedia, 2010.
Jalal, Abdul Fattah,
Min al-Usul al-Tarbiyah fi al-Islam, Mesir: tpn., 1977.
M. Baqir al-Shadr,
Sejarah Dalam Perspektif Al-Qur’an, Sebuah Analisis, Jakarta: Pustaka Hidayah, 1993.
Maragustam, Prof. Dr. M.A.,
Mencetak Pembelajar Menjadi Insan Paripurna (Falsafah Pendidikan Islam), Yogyakarta, Nuha Litera, 2010.
—————,
Pemikiran Pendidikan Syekh Nawawi al-Bantani, Yogyakarta, CV Datamedia, 2007.
Suyanto. Prof. Ph.D,
Urgensi Pendidikan Karakter (makalah), Ditjen Mandikdasmen, Kemenpendiknas, 2009.
Yasien Mohammad,
Insan Yang Suci, Konsep Fitrah Dalam Islam, Bandung: Mizan, 1997.
M. Quraish Shihab,
Wawasan al-Quran, Bandung: Mizan, 1997.
Tobroni, ”Pendidikan Karakter dalam Perspektif Islam,” dalam Website:
http://tobroni.staff.umm.ac.id.
Abdullah Munir,
Pendidikan Karakter, Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010.
Mohammad Nuh,
Pendidikan Karakter Mendesak Diterapkan (makalah), Media Center Diknas, 2010.
[1]dan
(ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat:
“Sesungguhnya aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat
kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila
aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniup kan kedalamnya
ruh (ciptaan)-Ku, Maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.
[2]…dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan. Yang dimaksud dengan dua jalan ialah jalan kebajikan dan jalan kejahatan.
[3]
…dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). Maka Allah mengilhamkan
kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya
beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,