Nahdlatul Ulama (NU) adalah organisasi
yang didirikan para kyai-kyai yang berpengaruh, KH. Hasyim Asy’ari
merupakan simbol ulama besar yang berpengaruh. Tujuan didirikannya
Nahdlatul Ulama diantaranya adalah memelihara, melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah
yang menganut madzhab empat, yakni : Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam
Syafi’i dan Imam Hambali. Disamping itu juga bagaimana bisa menyatukan
antara ulama dan [para pengikutnya-pengikutnya serta melakukan
kegiatan-kegiatan yang bertujuan untuk menciptakan kemaslahan masyaraka,
kemajuan bangsa dan ketingian harkat dan martabat manusia.
Islam Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah adalah
ajaran yang disampaikan Nabi Muhammad SAW kepada sahabat-sahabat-Nya dan
beliau amalkan serta diamalkan para sahabat, paham Ahlus Sunnah Wa
al-Jama’ah dalam Nahdlatul Ulama mencakup aspek aqidah, syariah dan
akhlak. Ketiganya, merupakan satu kesatuan ajaran yang mencakup seluruh
aspek prinsip keagamaan Islam. Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah didasarkan
pada manhaj (pola pemikiran) Asy’ariyah dan Maturidiyah dalam bidang
aqidah, dalam bidang fiqih menganut empat madzhab besar (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) dalam bidang tasawuf menganut manhaj Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Qasim al-Junaidi al-Bagdadi, serta imam
lainnya yang sejalan dengan syari’ah Islam.
Ciri utama Aswaja NU adalah sikap
tawassuth dan i’tidal (tengah-tengah atau keseimbangan). Yakni selalu
seimbang dalam menggunakan dalail, antara dalil naqli dan dalil aqli,
antara pendapat jabariyah dan qodariyah, sikap moderat dalam menghadapi
perubahan dunyawiyah. Dalam masalah fiqih sikap pertengahan antara
”ijtihad” dan taqlid buta, yaitu dengan cara bermadzhab, ciri suikap ini
adalah tegas dalam hal-hal yang qathi’iyyat dan toreran dalam hal-hal
zhanniyyat.
Tawassuth dalam menyikapi budaya ialah
mempertahankan budaya lama yang baik dan menerima budaya baru yang lebih
baik, dengan sikap ini Aswaja NU tidak apriori menolak atau menerima
salah satu dari keduanya.
Sumber Ajaran Aswaja NU
Pola perumusan hukum dan ajaran Ahlul
Sunnah Wa al-Jama’ah Nahdlatul Ulama sangat tergantung pada pola
pemecahan masalahnya, antara: pola maudhu’iyah (tematik) atau terapan
(qonuniyah) dan waqi’yah (kasuistik). Pola maudhu’iyah merupakan
pendiskripsian masalah berbentuk tashawur lintas disiplin keilmuan
empirik. Ketika rumusan hukum atau ajaran islam dengan kepentingan
terapan hukum positif, maka pendekatan masalahnya berintikan ”tathbiq
al-syari’
Ah” disesuaikan dengan kesadaran hukum
kemajemukan bangsa. Apabila langkah kerjanya sebatas merespon kejadian
faktual yang bersifat kedaerahan atau insidental, cukup menempuh
penyelesaian metode eklektif (takhayyur) yaitu memilih kutipan doktrin
yang siap pakai (instan).
Metode pengalian atau pengambilan sumber
(referensi) dan langkah-langkanya baik deduktif maupun induktif dalam
tradisi keagaan Nahdlatul Ulama dalam mengembangkan paham Ahlul Sunnah
Wa al-Jama’ah.
- Madzhab Qauli, pandangan keagamaan ulama yang terindentifikasi sebagai ”ulama sunni” dikutip utuh qaulnya dari kitab mu’tabar (qaulnya Imam Syafi’i) dalam madzhab, untuk memperjelas dan memperluas doktrin yang akan diambil bisa mengunakan kitab syarah yang disusun oleh ulama sunni yang bermadzhab yang sama (Imam al Nawawi)
- Madzhab Manhaji, madzhab ini lebih mengarah pada masalah yang bersifat kasuistik yang diperlukan penyertaan dalil nash syar’i berupa kutipan al-Quran, nuqilan matan sunnah atau hadist, serta ijmak
- Madzhab Ijtihad, metode akan ditemui pada permasalahan rancangan undang-undang atau rancangan peraturan daerah, dengan pola ijtihad dengan memgang asas-asa idtihad dan didukung kearifan lokal serta dialakukan secara kolektif.
Aqidah Aswaja
Ketika Rasullah Muhammad SAW masih
hidup, setiap persoalan dan perbedaan pendapat di antara kaum muslimin
langsung dapat diselesaikan langsung oleh Kanjeng Nabi Muhammmad, tetapi
setelah beliau wafat, penyelesaian tersebut tidak ditemukan sehingga
sering terjadi perbedaan lalu mengedap dan terjadi permusuhan di antara
mereka, awal-awal perbedaan muncul persoalan imamah lalu merembet pada
persoalan aqidah, terutama mengenai hukum orang muslim yang berbuat dosa
besar apakah dia dihukumi kafir atau mukmin ketika dia mati.
Perdebatan ini akhirnya merembet pada
persoalan Tuhan dan Manusia, terutama pada terkait dengan perbuatan
manusia dan kekuasaan Tuhan (sifat Tuhan, keadilan Tuhan, melihat Tuhan,
ke hudutsan dan ke-qadim-an Tuhan dan kemakhukan Quran), pertetangan
tersebut makin meruncing dan kian saling menghujat.
Ditengah-tengah arus kuat perbedaan
pendapat munculah pendapat moderat yang mencoba berusaha mengkompromikan
kedua pendapat tersebut, kelompok moderat terbut adalah Asy’ariyah dan
Maturudiyah yang keduanya kemudian dinamakan kelompok Ahlus Sunnah Wa
al-Jama’ah (Aswaja).
Konsep Aqidah Asy’ariyah
Konsep ini dimunculkan oleh Imam Abul
Hasan al-Asy’ari, beliau lahir di Basrah sekitar tahun 260 H/873M dan
wafat di Baghdad 324H/935M, aqidah Asy’ariyah merupakan jalan tengan
dari kelompok-kerlompok keagamaan yang pada waktu itu berkembang yakni
kelompok Jabariyah dan Qodariyah yang dikembangkan oleh
Mu’tazilah.pertentangan kelompok tersebut terlihat dari pendapat
mengenai perbuatan manusia,kelompok Jabariyah berpendapat bahwa
perbuatan manusia seluhnya diciptakan oleh Allah dan manusia tidak
memiliki andil sedikitpun, berbeda dengan pendapat kelompok Qodariyah,
bahwa perbuatan manusia seluruhnya adalah diciptakan oleh manusia itu
sendiri terlepas dari Allah, artinya kelompok Jabariyah melihat
kekuasaan Allah itu mutlak sedang kelompok Qodariyah melihat kekuasaan
Allah terbatas.
Asy’ariyah besikap mengambil jalan
tengah (tawasuth) dengan konsep upasya (al-kasb), menurut Asyari
perbuatan manusia diciptakan oleh Allah, namun manusia memiliki peranan
dalam perbutaannya, artinya upaya (kasb) meiliki makna kebersamaan
kekuasaan manusia dengan perbuatan Tuhan, upaya juga bermakna keaktifan
dan tanggung jawab manusia atas perbuatannya. Dengan demikian manusia
selalu keratif dan berusaha dalam menjalankan kehidupannya, akan tetapi
tidak melupakan Tuhan. Konsep Asy’ariyah mengenai toleransi (tasammuh),
mengenai konsep kekuasan Tuhan yang mutlak, bagi Mu’taziah
Tuhan WAJIB bersikap adil dalam memperlakukan mahluk-Nya, Tuhan wajib
memasukan orang baik ke surga dn orang jahat ke neraka, berbeda dengan
Asy’ariyah, alasannya kewajiban berati telah terjadi pembatasan terhadap
kekuasaan Tuhan, padalah Tuhan memiliki kekuasaan mutlak, tidak ada
yang membatasi kekuasaan dan kehendak Tuhan, termasuk soal akal,
Mu’tazilah memposisikan akal diatas wahyu, berbeda dengan Asy’ariyah
akal dibawal wahyu, namun akal diperlukan dalam memahami wahyu, artinya
dalam Asyariyah akal tidak ditolak, dan kerja-kerja rasionalitas
dihormati dalam kerangka pemahaman dan penafsiran wahyu berserta
langka-langkahnya.
Konsep Aqidah Maturidiyah
Konsep Aqidah Maturudiyah didirikan oleh
Imam Abu Manshur al-Maturidi, beliau lahir di Maturid di Samarkand,
wafatnya sekitar tahun 333H, konsep Maturiyah tidak jauh berbeda dengan
konsep Asy’ariyah, namun pada sandaran madzhabnya saja, kalau Asy’ariyah
bermadzhab pada Imam Syafi’i dam Imam Maliki sedangkan Maturidiyah pada
Imam Hanafi.
Konsep jalan tengah (tawasuth) yang
ditawarkan Maturidiya adalah jalan damai anatar nash dan akal, artinya
pendapat Maturidiyah melihat bahwa suatu kesalahan apabilah kita
berhenti berbuat pada saat tidak terdapat nash (teks), begitu juga
sebaliknya salah jika kita larut dan tidak terkendali dalam mengunakan
akal. Artinya sama pentingnya mengunakan nash dan akaldalam memahami
kekuasaan (ayat-ayat) Tuhan.
Dengan munculnya Asy’ariyah dan
Maturidiyah merupakan perdamaian antara kelompok Jabariyah yang
Fatalistik dan Qodariyah yang mengagung-agungkan akal, sikap keduanya
merupakan sikap Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah dalam beraqidah, sikap
tawasuth diperlukan untuk merealisasikan amar ma’ruf nahi munkar yang
selalu mengedepankan kebajikan secara bijak, prinsipnya bagaimana
nilai-nilai Islam dijadikan landasan dan pijakan bermasyarakat serta
dilakukan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat.
Syariah ASWAJA an Nahdliyah
Ketika Rasullulaah SWA masih hidup, umat
manusia menerima ajarn langsung daribeliau atau dari sahabat yang hadir
ketika beliau menyampaikan, setelah rasullulah wafat para sahabat
menyebarkan ajaran pada generasi selanjutnya. Dengan perkembangan zaman
dan kondisi masyarakat yang kian dinamis banyak persoalan baru yang
dihadapi umat, seringkali hal yang muncul tidak tredapat jawabat secara
tegas dalam al-Quran dam al-Hadis, maka untuk mengetahui hukum atau
ketentuan persoalan baru tersebut diperlukan upaya ijtihad.
Pola pemahaman ajaran Islam melalui
ijtihad para mujtahid biasa disebut madzab yang berarti ”jalan pikiran
dan jalan pemahaman” atau pola pemahaman. Pola pemahaman dengan metode,
prosedur dan produk ijtihad tersebut diikuti oleh umat Isalam yang tidak
mampu melakukan ijtihad sendiri, karena keterbatasan ilmu dan
syarat-syarat yang dimiliki. Inilah yang disebut bermazhab atau
mengunakan mazhab. Dengan cara bermazhab inilah ajaran Islam dapat
dikembangkan, disebarluaskan dan diamalkan dengan mudah kepada semua
lapisan masyarakat. Melalui sistem inilah pewarisan dan pengamalan
ajaran Islam terpelihara kelurusannya serta terjamin kemurnian al-Quran
dan al-Hadist dipahami, ditafsirkan dan diopertahankan.
Kenapa harus empat mazhab
Di antara mazhab bidang fiqh yang paling
berpengaruh yang pernah ada sebanyak empat (Syafi’i, Maliki, Hambali
dan Hanafi), alasan memilih keempat Imam tersebut;
- Secara kualitas pribadi dan keilmuan mereka sudah mashur, artinya jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan maroritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak diperlukan penjelasan detail.
- Keempat Imam tersebut adalah Imam Mujtahid Mutlak Mustaqil, yaitu Imam yang mampu secara mandiri menciptakan Manhaj al-fikr, pola, metode, proses dan prosedur istimbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan
- Para Imam Mazhab memiliki murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan mazhabnya yang didukung oleh kitab induk yang masih terjamin keasliannya hingga sekarang
- Keempat Imam tersebut memiliki mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.
Tasawuf Aswaja ala NU
Ahlus Sunnah Wa al-Jama’ah memiliki
prinsip, bahwa hakiki tujuan hidup adalah tercapaianya keseimbangan
kepentingan dunia dan akhirat, serta selalu mendekatkan diri pada Allah
SWT. Untuk dapat mendekatkan diri pada Allah, diperlukan perjalanan
spiritual, yang bertujuan memperoleh hakikat dan kesempurnaan hidup,
namun hakikat tidak boleh dicapai dengan meninggalkan rambu-ra,bu
syariat yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam al-Quran dan Sunnah
Rasullullah SAW, ini merupakan prinsip dari tasawuf Aswaja.
Kaum Nahdliyin dapat memasuki kehidupan
sufi melalui cara-cara yang telah digunakan oleh seorang sufi tertentu
dalam bentuk thariqah, tidak semua thariqah memiliki sanad kepada Nabi
Muhammmad, dan yang tidak memiliki sanad pada Nabi Muhammmad tidak
diterima sebagai thariqah mu’tabarah oleh Nahdliyin.
Jalan sufi yang telah dicontohkan Nabi
Muhammad dan pewarisnya,adalah jalan yang tetap memegang teguh pada
perintah-perintah syariat seperti ajaran-ajaran tasawuh yang terdapat
dalam tasawuf al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi. Tasawuf model
al-Ghazali dan Junaid al-Baghdadi diharapkan umat akan dinamis dan dapat
mensandingkan antara kenikmatan bertemu dengan Tuhan dan sekaligus
menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi manusia, seperti yang
ditunjukan oleh wali songo yang menyerkan islam di Indonesia. Dengan
model tasawuf yang moderat memungkinkan umat islam secara individu
memiliki hubungan langsung dengan Tuhan dan secara berjamaah dapat
melakukn gerakan kebaikan umat, sehingga menjadikan umat memiliki
kesalehan individu dan kesalehan sosial.
copied from: http://www.nusurabaya.or.id/kajian-aswaja/