Minggu, 24 Juni 2012

AJARAN INTI TORIQOH NAQSABANDIYAH

THORIQOH NAQSYABANDIYAH MUDHHARIYAH

v      Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah salah satu thoriqoh mu’tabaroh (tarekat) dalam islam yang sebenarnya sudah ada sejak jaman Nabi Muhammad SAW. dan sudah diamalkan oleh beliau, Bahkan, prilaku kehidupan sehari-harinya adalah peraktek kehidupan ruhani yang dijadikan rujukan utama oleh para pengamal thoriqoh, dari para sehabatnya sampai pada tabi’ien dan terus menerus dari generasi ke generasi sampai pada kita sekarang.
v      Thoriqoh, adalah perjalanan ruhani (سفر السماء) yang ditentukan kepada orang-orang yang berjalan menuju Allah SWT dengan memakai beberapa adab (tatakrama) yang telah ditetapkan oleh Ulama batin dengan dalil al-Qur’an & Hadits.
v       Naqsyabandiyah, yaitu ringkasan dari dua kalimat “Naqsyun & Bandun”. Naqsyun berarti “mengukir”, dan Bandun berarti “tali atau dzikir”. Jadi, arti dari Thoriqoh Naqsyabandiyah adalah “Jalan Mengukir Dzikir”.
v       Istilah Naqsyabandiyah diambil dari hal kejadian yang pernah dialami oleh Syaikh Imam Bahauddin di saat melakukan muroqobah. Pada saat itu Rasulullah SAW hadir lalu beliau mengukir lathifah-nya Syaikh Imam Baha’uddin dengan ukiran lafadh jalalah (الله ).
v      Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Syaikh Imam Baha’uddin Muhammad an-Naqsyabandi Al- Bukhori radliallahu ‘anhu (717-865 H)

v      PERUBAHAN NAMA THORIQOH :
           
            Julukan-julukan silsilah dalam thoriqoh ini (Naqsyabandiyah) mengalami perubahan seiring dengan pergantian masa . Hal itu disebabkan berpindahnya selendang kepeminpinan dari sang Kholifa atau Guru Mursyid  kepada Guru Mursyid yang melanjutkan kepemimpinan di masa-masa itu. Kemudian, datanglah julukan silsilah yang dinisbatkan kepada nama Guru Mursyid itu dari Gurunya atau dari murid-muridnya yang sama-sama Mursyid.
            Dari Sayyidina Abu Bakar As-Shiddiq » Syaikh Thoyfur Abi yazid Al-Basthomi dinamakan “SHIDDIQIYAH”, dari beliau » Syaik Abdul Kholiq Al-Ghujdawani dinamakan “THOYFURIYAH”, dari beliau » Syaikh Imam Bahauddin Muhammad an-Naqsyabandi dinamakan “KHOJAKANIYAH”, dari beliau » Syaikh Ubaidillah Al-Ahror dinamakan “NAQSYABANDIYAH”, dari beliau » Syaikh Imam Robbani Ahmad Faruqi As-Sarhandi Mujaddid Alfi Tsani (Pembaharu Millenium kedua) dinamakan “NAQSYABANDIYAH wa AHRORIYAH”, dari beliau » Syaikh Habibillah Al-Marozjani dinamakan “MUJADDIDIYAH”, dari beliau » Syaikh Muhammad Mudhhari Ahmadi dinamakan “MUJADDIDIYAH wa MUDHHARIYAH”, dari beliau » Syaikh Abdul Adhim dinamakan “AHMADIYAH wa MUDHHARIYAH”. [“Ahmadiyah” dinisbatkan kepada Syaikh Abi Sa’id Al-Ahmadi, dan “Mudhhariyah” dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Mudhhari Ahmadi]
            Jadi, silsilah Thoriqoh Naqsyabandiyah yang masuk ke Indonesia (Jawa & Sumatera) terdapat dua istilah, yang masuk ke Jawa / Madura  dan Kalimantan dinamakan “NAQSYABANDIYAH MUDHHARIYAH” (dinisbatkan kepada Syaikh Muhammad Mudhhari Ahmadi), dan yang masuk ke Sumatera dinamakan “NAQSYABANDIYAH KHOLIDIYAH” (dinisbatkan kepada Syaikh Kholid Al-Kurdi). Walaupun beda istilah, tapi jalan & tujuannya sama.

v      PENGERTIAN MURSYID

            Mursyid adalah sebutan untuk seorang guru pembimbing dalam dunia thoriqoh, yang telah memperoleh izin dan ijazah mursyid dari guru mursyid diatasnya yang terus bersambung sampai kepada guru mursyid Shohibut Thoriqoh yang musalsal dari Rasulullah SAW. untuk mentalqin dzikir/ wirid thoriqoh kepada orang-orang yang datang meminta bimbingannya (murid).
Mursyid mempunyai kedudukan yang penting dalam ilmu thoriqoh. Karena ia tidak saja merupakan seorang pembimbing yang mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan dhohiriyah sehari-hari agar tidak menyimpang dari ajaran islam dan terjerumus dalam kemaksiatan, tetapi ia juga merupakan pemimpin keruhanian bagi para muridnya agar bisa wushul (sampai) kepada Allah SWT. Karena ia merupakan wasilah (perantara) antara si murid dengan Allah SWT. Demikian keyakinan yang terdapat dikalangan ahli thoriqoh.
Oleh karena itu, jabatan ini tidak boleh di pangku oleh sembarang orang, sekalipun pengetahuannya tentang ilmu thoriqoh cukup lengkap. Tetapi yang terpenting ia harus memiliki kebersihan ruhani dan kehidupan batin yang tulus dan suci, serta mendapat ijazah yang sah dari Guru Mursyid yang kamil-mukammal.

v      ASAS-ASAS THORIQOH NAQSYABANDIYAH MUDHHARIYAH:                                                                                                     Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh Syaikh ‘Abd. al-Khaliq al-Ghujdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Syaikh Imam Bahauddin Muhammad an-Naqsyabandi. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Naqsyabandiyah Mudhhariyah & Naqsyabandiyah Khalidiyah, kitab Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya(karya Syaikh Ahmad Dhiya’uddin Gumusykhanawi) & kitab Tanwir al-Qulub ( karya Syaikh Muhammad Amin al-Kurdi. Masing-masing asas dikenal dengan bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).
  I.       ASAS-ASASNYA SYAIKH ‘ABD. KHOLIQ AL-GHUJDAWANI ADALAH:
  1. Hush dar dam: “Sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: seorang murid haruslah hatinya sadar akan Allah setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
  2. Nazar bar qadam: “Menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan. Oleh sebab itu, sang murid yang masih lemah dzikirnya, jika pandangannya tersambung dengan segala hal yang terlihat, maka hatinya akan sibuk / kacau dan terputus dari jalannya
  3. Safar dar wathan: “Melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri untuk mencari Mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah swt].
  4. Khalwat dar anjuman: “Sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus berdzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
  5. Yad kard: “Ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi dzikir “الله الله الله” denga hati, atau “لا إله إلا الله” dengan hati  ( juga boleh dengan lisan bagi murid yang sudah sampai pada tingkatan “muraqabah lillah”). Oleh sebab itu, bagi ikhwan_akhowat Thoriqoh Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak hanya dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran (hudlur) akan Allah yang permanen.
  6. Baz gasyt: “Kembali”, ”memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melentur), sang murid yang berdzikir tauhid (لاإله إلا الله) ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, harus kembali bermunajat kepada Allah dengan membaca “إلهى أنت مقصودى ورضاك مطلوبى أعطنى محبتك ومعرفتك ( Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan, berikan  aku rasa cinta dan ma’rifat kepada-Mu ). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Allah semata.
  1. Nigah dasyt: “Waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Allah, dan untuk memelihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip dari sebagian guru: “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
  2. Yad dasyt: “Mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: Secara langsung menangkap Dzat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-nama-Nya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah SWT. dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah atau bagi orang yang sudah sampai pada tingkatan “fana’ fillah” dan tingkatan “baqa’ billah”, Itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.
II. ASAS-ASAS TAMBAHAN DARI SYAIKH BAHA’UDDIN AN-NAQSYABANDI:
  1. Wuquf zamani: “Memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
  2. Wuquf ‘adadi: “Memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir tauhid (لا إله إلا الله). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil (3 atau 5 – 21) yang telah ditetapkan.
Wuquf qalbi: “Menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.

Tidak ada komentar: