BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
Aswaja yang sebagai mana
kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud
(berhenti), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab
dan idiologi yang Qod’i. Salah satu karakter Aswaja
adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi. NU mendasarkan faham
keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas
dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham
Ahlusunnah Wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di
bidang Aqidah NU mengikuti ajaran yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al
Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari Hanafi,
Maliki, Assyafi’i, dan Hambali, dibidang tassawuf NU mengikuti antara lain Imam Junaidi Al
bagdadi dan Imam Al ghazali.
Bagaimana mungkin dalam satu madzhab mengandung beberapa madzhab,
dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara
doktrin imam satu dengan imam yang lain. Itu karena Aswaja itu sebenarnya
bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau filosofi saja, yang di
dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Maka dalam makalah ini akan
kita bahas materi yang bertema “Aswaja Sebagai Dasar Filosofi”.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang sudah dibahas di atas dapat
diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.
Apa
kaidah dasar aswaja NU?
2.
Apa
saja Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja?
3.
Apa
dasar filosofi keagamaan aswaja?
4.
Apa
saja kepercayaan-kepercayaan dalam filosofi Aswaja?
BAB II
Pembahasan
A. Kaidah Dasar Aswaja NU
Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari,
Aswaja adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat,
dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Aswaja yang
berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam
akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam
al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[1] kaidah dasar
yang sering dipakai warga Nahdliyin dari KH. M. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut:
مُحَافَظَةُ عَلَى قَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالْاَ خْذُ عَلَى جَدِيْدِ الْاَ صْلَحْ
Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru yang lebih baik”
Kaidah diatas
menunjukkan bahwa aswaja sebagai sebuah dasar pemikiran dapat menerima suatu
hal yang baru dan tidak ekstrim membid’ah hal yang baru tersebut, disisi lain
aswaja masih menjaga dan melestarikan tradisi atau kebiasaan lama yang tidak
bertentangan dengan ajaran islam.
B. Prinsip-Prinsip Dasar Filosofi Aswaja
Dalam menumbuhkan sikap dalam menjalani kehidupan aswaja
menumbuhkan prinsip-prinsip yang patut dilaksanakan setiap hari, yang meliputi:
1.
At-Tawasuth
& Al-Iqtishad
Tawasuth adalah suatu
pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrem (tatharruf):
misalnya antara Qadariyah (free-william) di satu sisi dengan Jabariyah
(fatalism) di sisi yang lain; skriptualisme ortodokos salaf dan rasionalisme
Mu’tazilah; dan antara Sufisme Salafi dan Sufisme Falsafi. Pengambilan jalan
tengah bagi kedua ekstrimitas ini juga disertai sikap al-iqtishad
(moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda-beda.
Pentingnya moderasi
dituangkan dalam al-Qur’an.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى
النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا...... (١٤٣)
Artinya: “Dan demikian
Kami telah jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu
menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi
atas (perbuatan) kamu.....” (QS. Albaqoroh: 143)
2. At-Tasamuh
Tasamuh adalah toleran
terhadap pluralitas pemikiran. Dalam hukum Islam, Aswaja responsif terhadap
produk pemikiran madzhab-madzhab fikih. Dalam konteks sosial-budaya, toleran
dengan tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan
diri dalam substansinya, bahkan berusaha untuk mengarahkannya. Sikap toleran
ini memberikan nuansa khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan dalam
lingkup yang lebih universal.
3. At-Tawazun
Tawazun adalah
keseimbangan, terutama dalam dimensi sosial-politik. Prinsip ini dalam kerangka
mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat Islam. Bukti dari
pengembangan corak al-tawazun ini dapat disaksikan dari dinamika historis
pemikiran-pemikiran al-Asy’ari dan al-Ghazali. Asy’ari lahir di tengah dominasi
ekstrimitas rasionalisme Mu’tazilah dan skriptualisme Salafiyah, sedangkan
al-Ghazali menghadapi gelombang besar ekstemitas kaum filosof Syi’ah dan
Batiniyyah.
Menurut al-Ghazali,
rasionalisme bisa mengantarkan kemajuan, namun bisa menjauhkan manusia dari
Tuhannya. Sebaliknya, aspek batin mendapatkan atensitas berlebihan, dapat
melumpuhkan intelektualitas, kreativitas dan etos kerja. Maka dibutuhkan
keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan. Di tangan
al-Ghazali muncul konsep penyatuan antara tatanan duniawi dan tatanan agama dan
juga ideologi integrasi agama dan negara. Jika di era Mu’tazilah, hanya
mengukuhkan nilai berdasarkan akal, pada ditangan al-Ghazali, nilai dibentuk
oleh proses integrasi antara agama, dunia, dan negara.[2]
4. Amar Ma’ruf
Nahi Munkar
Amar
ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat
bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala
hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan
nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
5. Ta’Adul
Ta’Adul
artinya adil atau bisa disebut juga tegak lurus. Dalam menjalani kehidupan
bermasyarakat prinsip ini menumbuhkan rasa keadilan yang didorong untuk menuju
kepada kehidupan yang menegakkan kebenaran.
Al-Qur’an mendorong manusia untuk adil dan menegakkan
kebenaran:
يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ
شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا
اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (٨)
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran)
karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu
terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Almaidah: 8)
6. At-Taqaddum
Al-Taqaddum
yang berarti berhaluan kearah depan (progresifitas). Prinsip ini
mendorong warga NU untuk berpikir maju dalam mengembangkan semua sektor,
khususnya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas pendidikan. Dunia ini
adalah media kompetisi, siapa yang terbaik dialah yang memenangkan persaingan.
Maka, tidak cukup berpikir moderat, toleran, dan mengedepankan keseimbangan.
Bergerak maju dengan cepat adalah modal menggapai kesuksesan.
Al-Qur’an
mendorong umat Islam untuk aktif dan progresif menyongsong masa depan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ
بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ
أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ
الْفَاسِقُونَ (١١٠)
Artinya: “kamu adalah
umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf,
dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab
beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang
beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali-imran:
110)
C. Dasar Filosofi Keagamaan
Aswaja
Ada
empat dasar yang dipakai aswaja dalam mengambil sebuah hukum dalam islam yang
bersumber dari beberapa hal sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah kalam
Allah atau kalamullah subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW. Membacanya ibadah, susunan katanya merupakan mukjizat, termakyub
dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir.[3]
2. Al-Hadits
Hadits menurut bahasa
adalah al-jadid yang artinya sesuatu yang baru. Sedangkan menurut
istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar
belakang disiplin ilmunya.
v Menurut ahli hadits pengertian hadits ialah:
ما أضيف الى النبى صلى الله عليه وسلم قولا أفعلا أوتقريرا أوصفة
Artinya: “sesuatu yang
disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun
sifat beliau ”.[4]
3. Al-Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal
Rasululah SAW dalam hukum syar’i mengenai suatu hal. kalau kesepakatan itu
sudah terwujud, maka kesepakatan itu merupakan dasar hukum. Contoh :
kesepakatan tentang kebenaran mushhaf al-Qur’an Utsmani, yaitu mushhaf yang
disusun oleh para ahli di kalangan sahabat sejak Khalifah Utsman.
Kebenaram mushhaf ini mengikat seluruh kaum
muslimin, berdasarkan kesepakatan tersebut. Kita tidak dapat membayangkan
kekacauan yang akan timbul, seandainya kebenaran mushhaf tersebut diragukan dan
dipersoalkan lagi.
4. Al-Qiyas
Qiyas adalah persamaan hukum suatu
hal yang tidak ada keterangan hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits dengan
hukum suatu hal lain (yang sudah ada keterangan hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits),
karena ada persamaan alasan hukumnya (‘illat al-hukmi).
Contoh kongkrit ialah mempersamakan hukum minum nabidz (air
peresan tape) atau lainnya (yang tidak ada keterangan hukumnya secara jelas dan
pasti di dalam Al-Quran dan Al-Hadits) dengan hukum minum khamr, yaitu
sama-sama haram, karena ada persamaan alasan hukum antara keduanya, yaitu
sama-sama memabukkan.
Dengan metode/ kaidah al-Qiyas ini,
banyak sekali hal yang baru muncul (dan selalu
muncul) dapat diketemukan hukumnya, meskipun tidak ada keterangannya
yang sharih dan qath’i di dalam Al-Quran
dan Al-Hadits.
D. Kepercayaan-Kepercayaan Dalam Filosofi Aswaja
Aswaja dalam bidang aqidah
mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan
Imam Abu Mansur Al-Maturidi yang kepercayan-kepercayaannya cenderung menolak
paham golongan-golongan khawarij, muktazillah, dan golongan-golongan lainnya. Kepercayan-kepercayaan
filosofi aswaja tersebut antara lain:
1.
Allah
bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat.
2.
Sifat-sifat
Allah, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu qodart, iradat, dan
seterusnya adalah sifat-sifat yang lain, dari dzat Allah,tetapi bukan juga lain
dari dzat.
3.
Al-Qur’an
sebagai manifestasi kalamullah yang qodim, sedangkan Al-Qur’an yang berupa
huruf dan suara adalah baru.
4.
Ciptaan
Tuhan tidak karena tujuan.
5.
Allah
menghendaki kebaikan dan keburukan.
6.
Allah
tidak berkewajiban:
a.
Membuat
baik dan yang terbaik.
b.
Mengutus
utusan.
c.
Memberi
pahala kepada orang yang taat dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
7.
Allah
boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia.
8.
Kebaikan
dan keburukan tidak diketahui akal semata-mata.
9.
Pekerjaan
manusia Allahlah yang menjadikannya.
10.
Ada
syafa’at pada hari kiamat.
11.
Utusannya
Nabi Muhammad SAW, diperkuat dengan mukjizat-mukjizat.
12.
Kebangkitan
di akhirat pengumpulan Manusia (hasyr), pertanyaan mungkar dan nakir di kubur,
siksa kubur, timbangan amal perbuatan Manusia, jembatan (shirat) kesemuanya
adalh benar.
13.
Surga
dan neraka makhluk kedua-duanya.
14.
Semua
sahabat-sahabat Nabi ada dan baik.
15.
Sepuluh
orang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh nabi pasti terjadi.
16.
Ijma’
adalah suatu kebenaran yang harus diterima.
17.
Orang
mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani
siksa, dan akhirnya akan masuk surga.[5]
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
Dari pembahasan di atas ada hal-hal penting yang dapat dijadikan
kesimpulan makalah ini, antara lain:
1.
kaidah dasar yang
sering dipakai warga Nahdliyin adalah sebagai berikut:
محافظة على قديم الصالح والا خذ على جديد الا صلح
Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi
baru yang lebih baik”
2.
Prinsip-prinsip
dasar filosofi aswaja antara lain: at-tawasuth & al-iqtishad, at-tasamuh, at-tawazun, amar ma’ruf nahi munkar, ta’adul, at-taqaddum.
3.
Dasar filosofi keagamaan aswaja,
yaitu: al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas.
4.
Kepercayaan-kepercayaan filosofi
aswaja mengikuti ajaran aqidah Imam Abu al-Hasan
al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
B. Saran
Demikian yang telah kami bahas dan sudah cukup dipertegas bahwasannya aswaja
bukanlah sebuah madzab akan tetapi sebuah filosofi yang mewujudkan keselarasan
dan kemurnian islam dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran
islam. Oleh karena itu orang yang mengaku berlandasan aswaja, maka harus juga berlandaskan
hal-hal yang sudah kami bahas di atas.
Pembahasan makalah ini mungkin masih
kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan
dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A.
2001. Pengantar Theology Islam. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra
Marzuki,
Kamaluddin. 1992. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan. Jakarta : Kompas
Muhibbin Zuhri, Achmad. 2010. Pemikiran
KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Surabaya :
Khalista & LTN PBNU
Suparta, Munzier.
2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
[1]
Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh
Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, (Jakarta : Kompas,
2010) cet. 1. hlm: 107