Rabu, 12 Juni 2013

Aswaja Sebagai Dasar Filosofi



BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
             Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (berhenti), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi. NU mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham Ahlusunnah Wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di bidang Aqidah NU mengikuti ajaran yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari Hanafi, Maliki, Assyafi’i, dan Hambali, dibidang tassawuf  NU mengikuti antara lain Imam Junaidi Al bagdadi dan Imam Al ghazali.
Bagaimana mungkin dalam satu madzhab mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain. Itu karena Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau filosofi saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Maka dalam makalah ini akan kita bahas materi yang bertema “Aswaja Sebagai Dasar Filosofi”.
B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang masalah yang sudah dibahas di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa kaidah dasar aswaja NU?
2.      Apa saja Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja?
3.      Apa dasar filosofi keagamaan aswaja?
4.      Apa saja kepercayaan-kepercayaan dalam filosofi Aswaja?
BAB II
Pembahasan
A. Kaidah Dasar Aswaja NU
            Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Aswaja adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Aswaja yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[1] kaidah dasar yang sering dipakai warga Nahdliyin dari KH. M. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut:

مُحَافَظَةُ عَلَى قَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالْاَ خْذُ عَلَى جَدِيْدِ الْاَ صْلَحْ

Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”
            Kaidah diatas menunjukkan bahwa aswaja sebagai sebuah dasar pemikiran dapat menerima suatu hal yang baru dan tidak ekstrim membid’ah hal yang baru tersebut, disisi lain aswaja masih menjaga dan melestarikan tradisi atau kebiasaan lama yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.
B. Prinsip-Prinsip Dasar Filosofi Aswaja
            Dalam menumbuhkan sikap dalam menjalani kehidupan aswaja menumbuhkan prinsip-prinsip yang patut dilaksanakan setiap hari, yang meliputi:
1.      At-Tawasuth & Al-Iqtishad
Tawasuth adalah suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrem (tatharruf): misalnya antara Qadariyah (free-william) di satu sisi dengan Jabariyah (fatalism) di sisi yang lain; skriptualisme ortodokos salaf dan rasionalisme Mu’tazilah; dan antara Sufisme Salafi dan Sufisme Falsafi. Pengambilan jalan tengah bagi kedua ekstrimitas ini juga disertai sikap al-iqtishad (moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda-beda.
Pentingnya moderasi dituangkan dalam al-Qur’an.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا...... (١٤٣)
Artinya: “Dan demikian Kami telah jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.....” (QS. Albaqoroh: 143)
2.      At-Tasamuh
Tasamuh adalah toleran terhadap pluralitas pemikiran. Dalam hukum Islam, Aswaja responsif terhadap produk pemikiran madzhab-madzhab fikih. Dalam konteks sosial-budaya, toleran dengan tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan berusaha untuk mengarahkannya. Sikap toleran ini memberikan nuansa khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan dalam lingkup yang lebih universal.
3.      At-Tawazun
Tawazun adalah keseimbangan, terutama dalam dimensi sosial-politik. Prinsip ini dalam kerangka mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat Islam. Bukti dari pengembangan corak al-tawazun ini dapat disaksikan dari dinamika historis pemikiran-pemikiran al-Asy’ari dan al-Ghazali. Asy’ari lahir di tengah dominasi ekstrimitas rasionalisme Mu’tazilah dan skriptualisme Salafiyah, sedangkan al-Ghazali menghadapi gelombang besar ekstemitas kaum filosof Syi’ah dan Batiniyyah.
Menurut al-Ghazali, rasionalisme bisa mengantarkan kemajuan, namun bisa menjauhkan manusia dari Tuhannya. Sebaliknya, aspek batin mendapatkan atensitas berlebihan, dapat melumpuhkan intelektualitas, kreativitas dan etos kerja. Maka dibutuhkan keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan. Di tangan al-Ghazali muncul konsep penyatuan antara tatanan duniawi dan tatanan agama dan juga ideologi integrasi agama dan negara. Jika di era Mu’tazilah, hanya mengukuhkan nilai berdasarkan akal, pada ditangan al-Ghazali, nilai dibentuk oleh proses integrasi antara agama, dunia, dan negara.[2]
4.  Amar Ma’ruf Nahi Munkar
            Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
5.  Ta’Adul
            Ta’Adul artinya adil atau bisa disebut juga tegak lurus. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat prinsip ini menumbuhkan rasa keadilan yang didorong untuk menuju kepada kehidupan yang menegakkan kebenaran.
Al-Qur’an mendorong manusia untuk adil dan menegakkan kebenaran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (٨)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Almaidah: 8)
6.  At-Taqaddum
            Al-Taqaddum yang berarti berhaluan kearah depan (progresifitas). Prinsip ini mendorong warga NU untuk berpikir maju dalam mengembangkan semua sektor, khususnya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas pendidikan. Dunia ini adalah media kompetisi, siapa yang terbaik dialah yang memenangkan persaingan. Maka, tidak cukup berpikir moderat, toleran, dan mengedepankan keseimbangan. Bergerak maju dengan cepat adalah modal menggapai kesuksesan.
Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk aktif dan progresif menyongsong masa depan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali-imran: 110)
C. Dasar Filosofi Keagamaan Aswaja
            Ada empat dasar yang dipakai aswaja dalam mengambil sebuah hukum dalam islam yang bersumber dari beberapa hal sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah kalam Allah atau kalamullah subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Membacanya ibadah, susunan katanya merupakan mukjizat, termakyub dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir.[3]
2.      Al-Hadits
            Hadits menurut bahasa adalah al-jadid yang artinya sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.
v  Menurut ahli hadits pengertian hadits ialah:
ما أضيف الى النبى صلى الله عليه وسلم قولا أفعلا أوتقريرا أوصفة
            Artinya: “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau ”.[4]
3.      Al-Ijma’
            Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal Rasululah SAW dalam hukum syar’i mengenai suatu hal. kalau kesepakatan itu sudah terwujud, maka kesepakatan itu merupakan dasar hukum. Contoh : kesepakatan tentang kebenaran mushhaf al-Qur’an Utsmani, yaitu mushhaf yang disusun oleh para ahli di kalangan sahabat sejak Khalifah Utsman.
            Kebenaram mushhaf ini mengikat seluruh kaum muslimin, berdasarkan kesepakatan tersebut. Kita tidak dapat membayangkan kekacauan yang akan timbul, seandainya kebenaran mushhaf tersebut diragukan dan dipersoalkan lagi.
4.      Al-Qiyas
Qiyas adalah persamaan hukum suatu hal yang tidak ada keterangan hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits dengan hukum suatu hal lain (yang sudah ada keterangan hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits), karena ada persamaan alasan hukumnya (‘illat al-hukmi).
Contoh kongkrit ialah mempersamakan hukum minum nabidz (air peresan tape) atau lainnya (yang tidak ada keterangan hukumnya secara jelas dan pasti di dalam Al-Quran dan Al-Hadits) dengan hukum minum khamr, yaitu sama-sama haram, karena ada persamaan alasan hukum antara keduanya, yaitu sama-sama memabukkan.
Dengan metode/ kaidah al-Qiyas ini, banyak sekali hal yang baru muncul (dan selalu  muncul) dapat diketemukan hukumnya, meskipun tidak ada keterangannya yang sharih dan qath’i  di dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
D. Kepercayaan-Kepercayaan Dalam Filosofi Aswaja
            Aswaja dalam bidang aqidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi yang kepercayan-kepercayaannya cenderung menolak paham golongan-golongan khawarij, muktazillah, dan golongan-golongan lainnya. Kepercayan-kepercayaan filosofi aswaja tersebut antara lain:
1.      Allah bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat.
2.      Sifat-sifat Allah, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu qodart, iradat, dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain, dari dzat Allah,tetapi bukan juga lain dari dzat.
3.      Al-Qur’an sebagai manifestasi kalamullah yang qodim, sedangkan Al-Qur’an yang berupa huruf dan suara adalah baru.
4.      Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan.
5.      Allah menghendaki kebaikan dan keburukan.
6.      Allah tidak berkewajiban:
a.       Membuat baik dan yang terbaik.
b.      Mengutus utusan.
c.       Memberi pahala kepada orang yang taat dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
7.      Allah boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia.
8.      Kebaikan dan keburukan tidak diketahui akal semata-mata.
9.      Pekerjaan manusia Allahlah yang menjadikannya.
10.  Ada syafa’at pada hari kiamat.
11.  Utusannya Nabi Muhammad SAW, diperkuat dengan mukjizat-mukjizat.
12.  Kebangkitan di akhirat pengumpulan Manusia (hasyr), pertanyaan mungkar dan nakir di kubur, siksa kubur, timbangan amal perbuatan Manusia, jembatan (shirat) kesemuanya adalh benar.
13.  Surga dan neraka makhluk kedua-duanya.
14.  Semua sahabat-sahabat Nabi ada dan baik.
15.  Sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh nabi pasti terjadi.
16.  Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima.
17.  Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa, dan akhirnya akan masuk surga.[5]
                                     
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas ada hal-hal penting yang dapat dijadikan kesimpulan makalah ini, antara lain:
1.      kaidah dasar yang sering dipakai warga Nahdliyin adalah sebagai berikut:

محافظة على قديم الصالح والا خذ على جديد الا صلح

Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”
2.      Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja antara lain: at-tawasuth & al-iqtishad, at-tasamuh, at-tawazun, amar ma’ruf nahi munkar, ta’adul, at-taqaddum.
3.      Dasar filosofi keagamaan aswaja, yaitu: al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas.
4.      Kepercayaan-kepercayaan filosofi aswaja mengikuti ajaran aqidah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
B. Saran
            Demikian yang telah kami bahas dan  sudah cukup dipertegas bahwasannya aswaja bukanlah sebuah madzab akan tetapi sebuah filosofi yang mewujudkan keselarasan dan kemurnian islam dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran islam. Oleh karena itu orang yang mengaku berlandasan aswaja, maka harus juga berlandaskan hal-hal yang sudah kami bahas di atas.
            Pembahasan makalah ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A. 2001. Pengantar Theology Islam. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra
Marzuki, Kamaluddin. 1992. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan. Jakarta : Kompas
Muhibbin  Zuhri, Achmad. 2010. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Surabaya : Khalista & LTN PBNU
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


[1] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, (Jakarta : Kompas, 2010) cet. 1.  hlm: 107
                [2] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah,(Surabaya : Khalista & LTN PBNU, 2010), cet. 1, hlm: 61-66
            [3] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm: 3
                [4] Drs. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm: 3
                [5] A Hanafi, M.A., Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001), hlm: 116-117

Tidak ada komentar: