Karakter Anak Didik Kurang Diperhatikan
Sistem
pendidikan di Indonesia dinilai semata-mata mementingkan kecerdasan
intelektual tapi kurang memperhatikan pembentukan karakter anak didik.
Walhasil, sikap jujur, rasa empati, sikap bijaksana dan perilaku
menghormati orang tua mulai luntur. Generasi penerus bangsa mulai
berkesan materialistis, memuja kepentingan duniawi.
Gejala itu merambah semua kalangan meski tidak semuanya seperti itu. Memprihatinkan malah ketika cerdik cendikiawan terang-terangan ikut mengabaikan nilai moral. Gambaran perilaku bangsa Indonesia terekam jelas dari orang-orang pandai namun menjadi biang korupsi, tutur ulama sekaligus budayawan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Psikologi Transpersonal-Spiritual Mengembangkan Spiritualitas dalam Keluarga yang diselenggarakan Rabu (9/10), di Gedung Prof Soedarto Undip, dalam rangka dies natalis ke-56.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhlatul Thalibien Rembang itu duduk dalam satu forum bersama mantan rektor Prof Ir Eko Budiharjo dan psikolog Hastaning Sakti. Rektor Undip Prof Sudharto P Hadi hadir memberikan kata sambutan dan membuka seminar. Kiai yang juga piawai menulis puisi itu menambahkan, pendidikan yang baik seharusnya memperhatikan beberapa hal. Pertama, memperhatikan kualitas keimanan dan ketakwaan. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan keunggulan nonakademik, di dalamnya adalah keunggulan spiritual.
Lemah Akhlak
Gus Mus mencotohkan, banyak kasus korupsi yang melibatkan orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka pintar secara akademik tapi lemah secara akhlak dan moral. Prof Eko Budiharjo juga mengingatkan, dalam budaya Jawa banyak nilai-nilai kehidupan luhur. Intisari ajaran itu cocok diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam keluarga. Lingkungan kecil itu bisa menjadi beteng utama mempertahankan tradisi penuh kearifan lokal.
Adapun Sudharto sepakat keluarga merupakan lingkungan pertama sebagai wahana tumbuh kembang. Jika dalam keluarga itu dipenuhi nilai-nilai spiritualitas yang tinggi maka akan terpancar nilai-nilai positif pada lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas itu adalah masyarakat, bangsa, dan negara, urainya.
Psikolog Hastaning Sakti menyoroti soal perilaku saling asah, asih, asuh yang perlu ditumbuhkan kembali. Perilaku itu berkesan mulai diabaikan padahal meski sederhana, ampuh untuk membentuk masyarakat yang saling menghargai.
Gejala itu merambah semua kalangan meski tidak semuanya seperti itu. Memprihatinkan malah ketika cerdik cendikiawan terang-terangan ikut mengabaikan nilai moral. Gambaran perilaku bangsa Indonesia terekam jelas dari orang-orang pandai namun menjadi biang korupsi, tutur ulama sekaligus budayawan KH Mustofa Bisri (Gus Mus), saat menjadi pembicara dalam Seminar Nasional Psikologi Transpersonal-Spiritual Mengembangkan Spiritualitas dalam Keluarga yang diselenggarakan Rabu (9/10), di Gedung Prof Soedarto Undip, dalam rangka dies natalis ke-56.
Pengasuh Pondok Pesantren Raudhlatul Thalibien Rembang itu duduk dalam satu forum bersama mantan rektor Prof Ir Eko Budiharjo dan psikolog Hastaning Sakti. Rektor Undip Prof Sudharto P Hadi hadir memberikan kata sambutan dan membuka seminar. Kiai yang juga piawai menulis puisi itu menambahkan, pendidikan yang baik seharusnya memperhatikan beberapa hal. Pertama, memperhatikan kualitas keimanan dan ketakwaan. Untuk mewujudkan hal itu diperlukan pendidikan yang mencakup dua unsur utama, yaitu keunggulan akademik dan keunggulan nonakademik, di dalamnya adalah keunggulan spiritual.
Lemah Akhlak
Gus Mus mencotohkan, banyak kasus korupsi yang melibatkan orang-orang berpendidikan tinggi. Mereka pintar secara akademik tapi lemah secara akhlak dan moral. Prof Eko Budiharjo juga mengingatkan, dalam budaya Jawa banyak nilai-nilai kehidupan luhur. Intisari ajaran itu cocok diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam keluarga. Lingkungan kecil itu bisa menjadi beteng utama mempertahankan tradisi penuh kearifan lokal.
Adapun Sudharto sepakat keluarga merupakan lingkungan pertama sebagai wahana tumbuh kembang. Jika dalam keluarga itu dipenuhi nilai-nilai spiritualitas yang tinggi maka akan terpancar nilai-nilai positif pada lingkungan yang lebih luas. Lingkungan luas itu adalah masyarakat, bangsa, dan negara, urainya.
Psikolog Hastaning Sakti menyoroti soal perilaku saling asah, asih, asuh yang perlu ditumbuhkan kembali. Perilaku itu berkesan mulai diabaikan padahal meski sederhana, ampuh untuk membentuk masyarakat yang saling menghargai.