Rabu, 12 Juni 2013

Aswaja Sebagai Dasar Filosofi



BAB I
Pendahuluan
A. Latar Belakang Masalah
             Aswaja yang sebagai mana kita pegangi selama ini, sehingga tidak jarang memunculkan paradigma jumud (berhenti), kaku, dan eksklusif atau bahkan menganggap sebagai sebuah madzhab dan idiologi yang Qod’i. Salah satu karakter Aswaja adalah selalu bisa beradaptasi dengan situasi dan kondisi. NU mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumbernya tersebut, NU mengikuti Faham Ahlusunnah Wal Jamaah dengan menggunakan jalan pendekatan (Al Madzhab) di bidang Aqidah NU mengikuti ajaran yang dipelopori oleh Imam Abu Mansur Al Maturidi, dibidang fiqih NU mengikuti jalan pendekatan salah satu dari Hanafi, Maliki, Assyafi’i, dan Hambali, dibidang tassawuf  NU mengikuti antara lain Imam Junaidi Al bagdadi dan Imam Al ghazali.
Bagaimana mungkin dalam satu madzhab mengandung beberapa madzhab, dan bagaimana mungkin dalam satu idiologi ada doktrin yang kontradiktif antara doktrin imam satu dengan imam yang lain. Itu karena Aswaja itu sebenarnya bukanlah madzhab. Tetapi hanyalah manhaj al-fikr atau filosofi saja, yang di dalamnya masih memuat beberapa aliran dan madzhab. Maka dalam makalah ini akan kita bahas materi yang bertema “Aswaja Sebagai Dasar Filosofi”.
B. Rumusan Masalah
            Dari latar belakang masalah yang sudah dibahas di atas dapat diambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa kaidah dasar aswaja NU?
2.      Apa saja Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja?
3.      Apa dasar filosofi keagamaan aswaja?
4.      Apa saja kepercayaan-kepercayaan dalam filosofi Aswaja?
BAB II
Pembahasan
A. Kaidah Dasar Aswaja NU
            Menurut KH. M. Hasyim Asy’ari, Aswaja adalah golongan yang berpegang teguh kepada sunnah Nabi, para sahabat, dan mengikuti warisan para wali dan ulama. Secara spesifik, Aswaja yang berkembang di Jawa adalah mereka yang dalam fikih mengikuti Imam Syafi’i, dalam akidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf mengikuti Imam al-Ghazali dan Imam Abu al-Hasan al-Syadzili.[1] kaidah dasar yang sering dipakai warga Nahdliyin dari KH. M. Hasyim Asy’ari adalah sebagai berikut:

مُحَافَظَةُ عَلَى قَدِيْمِ الصَّالِحْ وَالْاَ خْذُ عَلَى جَدِيْدِ الْاَ صْلَحْ

Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”
            Kaidah diatas menunjukkan bahwa aswaja sebagai sebuah dasar pemikiran dapat menerima suatu hal yang baru dan tidak ekstrim membid’ah hal yang baru tersebut, disisi lain aswaja masih menjaga dan melestarikan tradisi atau kebiasaan lama yang tidak bertentangan dengan ajaran islam.
B. Prinsip-Prinsip Dasar Filosofi Aswaja
            Dalam menumbuhkan sikap dalam menjalani kehidupan aswaja menumbuhkan prinsip-prinsip yang patut dilaksanakan setiap hari, yang meliputi:
1.      At-Tawasuth & Al-Iqtishad
Tawasuth adalah suatu pola mengambil jalan tengah bagi dua kutub pemikiran yang ekstrem (tatharruf): misalnya antara Qadariyah (free-william) di satu sisi dengan Jabariyah (fatalism) di sisi yang lain; skriptualisme ortodokos salaf dan rasionalisme Mu’tazilah; dan antara Sufisme Salafi dan Sufisme Falsafi. Pengambilan jalan tengah bagi kedua ekstrimitas ini juga disertai sikap al-iqtishad (moderat) yang tetap memberikan ruang dialog bagi pemikiran yang berbeda-beda.
Pentingnya moderasi dituangkan dalam al-Qur’an.
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا...... (١٤٣)
Artinya: “Dan demikian Kami telah jadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.....” (QS. Albaqoroh: 143)
2.      At-Tasamuh
Tasamuh adalah toleran terhadap pluralitas pemikiran. Dalam hukum Islam, Aswaja responsif terhadap produk pemikiran madzhab-madzhab fikih. Dalam konteks sosial-budaya, toleran dengan tradisi-tradisi yang telah berkembang di masyarakat, tanpa melibatkan diri dalam substansinya, bahkan berusaha untuk mengarahkannya. Sikap toleran ini memberikan nuansa khusus dalam hubungannya dengan dimensi kemanusiaan dalam lingkup yang lebih universal.
3.      At-Tawazun
Tawazun adalah keseimbangan, terutama dalam dimensi sosial-politik. Prinsip ini dalam kerangka mewujudkan integritas dan solidaritas sosial umat Islam. Bukti dari pengembangan corak al-tawazun ini dapat disaksikan dari dinamika historis pemikiran-pemikiran al-Asy’ari dan al-Ghazali. Asy’ari lahir di tengah dominasi ekstrimitas rasionalisme Mu’tazilah dan skriptualisme Salafiyah, sedangkan al-Ghazali menghadapi gelombang besar ekstemitas kaum filosof Syi’ah dan Batiniyyah.
Menurut al-Ghazali, rasionalisme bisa mengantarkan kemajuan, namun bisa menjauhkan manusia dari Tuhannya. Sebaliknya, aspek batin mendapatkan atensitas berlebihan, dapat melumpuhkan intelektualitas, kreativitas dan etos kerja. Maka dibutuhkan keseimbangan antara tuntutan-tuntutan kemanusiaan dan ketuhanan. Di tangan al-Ghazali muncul konsep penyatuan antara tatanan duniawi dan tatanan agama dan juga ideologi integrasi agama dan negara. Jika di era Mu’tazilah, hanya mengukuhkan nilai berdasarkan akal, pada ditangan al-Ghazali, nilai dibentuk oleh proses integrasi antara agama, dunia, dan negara.[2]
4.  Amar Ma’ruf Nahi Munkar
            Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.
5.  Ta’Adul
            Ta’Adul artinya adil atau bisa disebut juga tegak lurus. Dalam menjalani kehidupan bermasyarakat prinsip ini menumbuhkan rasa keadilan yang didorong untuk menuju kepada kehidupan yang menegakkan kebenaran.
Al-Qur’an mendorong manusia untuk adil dan menegakkan kebenaran:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ وَلا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلا تَعْدِلُوا اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ (٨)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”.(QS. Almaidah: 8)
6.  At-Taqaddum
            Al-Taqaddum yang berarti berhaluan kearah depan (progresifitas). Prinsip ini mendorong warga NU untuk berpikir maju dalam mengembangkan semua sektor, khususnya pemberdayaan ekonomi dan peningkatan kualitas pendidikan. Dunia ini adalah media kompetisi, siapa yang terbaik dialah yang memenangkan persaingan. Maka, tidak cukup berpikir moderat, toleran, dan mengedepankan keseimbangan. Bergerak maju dengan cepat adalah modal menggapai kesuksesan.
Al-Qur’an mendorong umat Islam untuk aktif dan progresif menyongsong masa depan.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ (١١٠)
Artinya: “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Ali-imran: 110)
C. Dasar Filosofi Keagamaan Aswaja
            Ada empat dasar yang dipakai aswaja dalam mengambil sebuah hukum dalam islam yang bersumber dari beberapa hal sebagai berikut:
1.      Al-Qur’an
            Al-Qur’an adalah kalam Allah atau kalamullah subhanahu wata’ala yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Membacanya ibadah, susunan katanya merupakan mukjizat, termakyub dalam mushaf dan dinukil secara mutawatir.[3]
2.      Al-Hadits
            Hadits menurut bahasa adalah al-jadid yang artinya sesuatu yang baru. Sedangkan menurut istilah, para ahli memberikan definisi yang berbeda-beda sesuai dengan latar belakang disiplin ilmunya.
v  Menurut ahli hadits pengertian hadits ialah:
ما أضيف الى النبى صلى الله عليه وسلم قولا أفعلا أوتقريرا أوصفة
            Artinya: “sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, maupun sifat beliau ”.[4]
3.      Al-Ijma’
            Ijma’ adalah kesepakatan para mujtahid pada suatu masa sepeninggal Rasululah SAW dalam hukum syar’i mengenai suatu hal. kalau kesepakatan itu sudah terwujud, maka kesepakatan itu merupakan dasar hukum. Contoh : kesepakatan tentang kebenaran mushhaf al-Qur’an Utsmani, yaitu mushhaf yang disusun oleh para ahli di kalangan sahabat sejak Khalifah Utsman.
            Kebenaram mushhaf ini mengikat seluruh kaum muslimin, berdasarkan kesepakatan tersebut. Kita tidak dapat membayangkan kekacauan yang akan timbul, seandainya kebenaran mushhaf tersebut diragukan dan dipersoalkan lagi.
4.      Al-Qiyas
Qiyas adalah persamaan hukum suatu hal yang tidak ada keterangan hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits dengan hukum suatu hal lain (yang sudah ada keterangan hukumnya di dalam Al-Quran dan Al-Hadits), karena ada persamaan alasan hukumnya (‘illat al-hukmi).
Contoh kongkrit ialah mempersamakan hukum minum nabidz (air peresan tape) atau lainnya (yang tidak ada keterangan hukumnya secara jelas dan pasti di dalam Al-Quran dan Al-Hadits) dengan hukum minum khamr, yaitu sama-sama haram, karena ada persamaan alasan hukum antara keduanya, yaitu sama-sama memabukkan.
Dengan metode/ kaidah al-Qiyas ini, banyak sekali hal yang baru muncul (dan selalu  muncul) dapat diketemukan hukumnya, meskipun tidak ada keterangannya yang sharih dan qath’i  di dalam Al-Quran dan Al-Hadits.
D. Kepercayaan-Kepercayaan Dalam Filosofi Aswaja
            Aswaja dalam bidang aqidah mengikuti Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi yang kepercayan-kepercayaannya cenderung menolak paham golongan-golongan khawarij, muktazillah, dan golongan-golongan lainnya. Kepercayan-kepercayaan filosofi aswaja tersebut antara lain:
1.      Allah bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat.
2.      Sifat-sifat Allah, yaitu sifat-sifat positif atau ma’ani, yaitu qodart, iradat, dan seterusnya adalah sifat-sifat yang lain, dari dzat Allah,tetapi bukan juga lain dari dzat.
3.      Al-Qur’an sebagai manifestasi kalamullah yang qodim, sedangkan Al-Qur’an yang berupa huruf dan suara adalah baru.
4.      Ciptaan Tuhan tidak karena tujuan.
5.      Allah menghendaki kebaikan dan keburukan.
6.      Allah tidak berkewajiban:
a.       Membuat baik dan yang terbaik.
b.      Mengutus utusan.
c.       Memberi pahala kepada orang yang taat dan menjatuhkan siksa atas orang yang durhaka.
7.      Allah boleh memberi beban di atas kesanggupan manusia.
8.      Kebaikan dan keburukan tidak diketahui akal semata-mata.
9.      Pekerjaan manusia Allahlah yang menjadikannya.
10.  Ada syafa’at pada hari kiamat.
11.  Utusannya Nabi Muhammad SAW, diperkuat dengan mukjizat-mukjizat.
12.  Kebangkitan di akhirat pengumpulan Manusia (hasyr), pertanyaan mungkar dan nakir di kubur, siksa kubur, timbangan amal perbuatan Manusia, jembatan (shirat) kesemuanya adalh benar.
13.  Surga dan neraka makhluk kedua-duanya.
14.  Semua sahabat-sahabat Nabi ada dan baik.
15.  Sepuluh orang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh nabi pasti terjadi.
16.  Ijma’ adalah suatu kebenaran yang harus diterima.
17.  Orang mukmin yang mengerjakan dosa besar akan masuk neraka sampai selesai menjalani siksa, dan akhirnya akan masuk surga.[5]
                                     
BAB III
Penutup
A. Kesimpulan
            Dari pembahasan di atas ada hal-hal penting yang dapat dijadikan kesimpulan makalah ini, antara lain:
1.      kaidah dasar yang sering dipakai warga Nahdliyin adalah sebagai berikut:

محافظة على قديم الصالح والا خذ على جديد الا صلح

Artinya: “memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik”
2.      Prinsip-prinsip dasar filosofi aswaja antara lain: at-tawasuth & al-iqtishad, at-tasamuh, at-tawazun, amar ma’ruf nahi munkar, ta’adul, at-taqaddum.
3.      Dasar filosofi keagamaan aswaja, yaitu: al-qur’an, hadits, ijma’, qiyas.
4.      Kepercayaan-kepercayaan filosofi aswaja mengikuti ajaran aqidah Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi.
B. Saran
            Demikian yang telah kami bahas dan  sudah cukup dipertegas bahwasannya aswaja bukanlah sebuah madzab akan tetapi sebuah filosofi yang mewujudkan keselarasan dan kemurnian islam dari pemikiran-pemikiran yang bertentangan dengan ajaran islam. Oleh karena itu orang yang mengaku berlandasan aswaja, maka harus juga berlandaskan hal-hal yang sudah kami bahas di atas.
            Pembahasan makalah ini mungkin masih kurang sempurna. Oleh karena itu penulis masih membutuhkan saran dan perbaikan dari para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, A. 2001. Pengantar Theology Islam. Jakarta: PT. Al-Husna Zikra
Marzuki, Kamaluddin. 1992. ‘Ulum Al-Qur’an. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Misrawi, Zuhairi. 2010. Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan. Jakarta : Kompas
Muhibbin  Zuhri, Achmad. 2010. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah. Surabaya : Khalista & LTN PBNU
Suparta, Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada


[1] Zuhairi Misrawi, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari, Moderasi, Keumatan, Dan Kebangsaan, (Jakarta : Kompas, 2010) cet. 1.  hlm: 107
                [2] Achmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Ahl Al-Sunnah Wa Al-Jama’ah,(Surabaya : Khalista & LTN PBNU, 2010), cet. 1, hlm: 61-66
            [3] Kamaluddin Marzuki, ‘Ulum Al-Qur’an, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1992), hlm: 3
                [4] Drs. Munzier Suparta M.A., Ilmu Hadits, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008), hlm: 3
                [5] A Hanafi, M.A., Pengantar Theology Islam, (Jakarta: PT. Al-Husna Zikra, 2001), hlm: 116-117

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja

Karakter Tawassuth, Tawazun, I'tidal, dan Tasamuh dalam Aswaja

Ada tiga ciri utama ajaran Ahlussunnah wal Jamaah atau kita sebut dengan Aswaja yang selalu diajarkan oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya:

Pertama, at-tawassuth atau sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kiri ataupun ekstrim kanan. Ini disarikan dari firman Allah SWT:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطاً لِّتَكُونُواْ شُهَدَاء عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيداً

Dan demikianlah kami jadikan kamu sekalian (umat Islam) umat pertengahan (adil dan pilihan) agar kamu menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) manusia umumnya dan supaya Allah SWT menjadi saksi (ukuran penilaian) atas (sikap dan perbuatan) kamu sekalian. (QS al-Baqarah: 143).

Kedua at-tawazun atau seimbang dalam segala hal, terrnasuk dalam penggunaan dalil 'aqli (dalil yang bersumber dari akal pikiran rasional) dan dalil naqli (bersumber dari Al-Qur’an dan Hadits). Firman Allah SWT:

لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ

Sunguh kami telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa bukti kebenaran yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-kitab dan neraca (penimbang keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. (QS al-Hadid: 25)

Ketiga, al-i'tidal atau tegak lurus. Dalam Al-Qur'an Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman hendaklah kamu sekalian menjadi orang-orang yang tegak membela (kebenaran) karena Allah menjadi saksi (pengukur kebenaran) yang adil. Dan janganlah kebencian kamu pada suatu kaum menjadikan kamu berlaku tidak adil. Berbuat adillah karena keadilan itu lebih mendekatkan pada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, karena sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS al-Maidah: 8)

Selain ketiga prinsip ini, golongan Ahlussunnah wal Jama'ah juga mengamalkan sikap tasamuh atau toleransi. Yakni menghargai perbedaan serta menghormati orang yang memiliki prinsip hidup yang tidak sama. Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan yang berbeda tersebut dalam meneguhkan apa yang diyakini. Firman Allah SWT:

فَقُولَا لَهُ قَوْلاً لَّيِّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى

Maka berbicaralah kamu berdua (Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS) kepadanya (Fir'aun) dengan kata-kata yang lemah lembut dan mudah-mudahan ia ingat dan takut. (QS. Thaha: 44)

Ayat ini berbicara tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS agar berkata dan bersikap baik kepada Fir'aun. Al-Hafizh Ibnu Katsir (701-774 H/1302-1373 M) ketika menjabarkan ayat ini mengatakan, "Sesungguhnya dakwah Nabi Musa AS dan Nabi Harun AS kepada Fir'aun adalah menggunakan perkataan yang penuh belas kasih, lembut, mudah dan ramah. Hal itu dilakukan supaya lebih menyentuh hati, lebih dapat diterima dan lebih berfaedah". (Tafsir al-Qur'anil 'Azhim, juz III hal 206).

Dalam tataran praktis, sebagaimana dijelaskan KH Ahmad Shiddiq bahwa prinsip-prinsip ini dapat terwujudkan dalam beberapa hal sebagai berikut: (Lihat Khitthah Nahdliyah, hal 40-44)

1. Akidah.
a. Keseimbangan dalam penggunaan dalil 'aqli dan dalil naqli.
b. Memurnikan akidah dari pengaruh luar Islam.
c. Tidak gampang menilai salah atau menjatuhkan vonis syirik, bid'ah apalagi kafir.

2. Syari'ah
a. Berpegang teguh pada Al-Qur'an dan Hadits dengan menggunanakan metode yang dapat dipertanggung­jawabkan secara ilmiah.
b. Akal baru dapat digunakan pada masalah yang yang tidak ada nash yang je1as (sharih/qotht'i).
c. Dapat menerima perbedaan pendapat dalam menilai masalah yang memiliki dalil yang multi-interpretatif (zhanni).

3. Tashawwuf/ Akhlak
a. Tidak mencegah, bahkan menganjurkan usaha memperdalam penghayatan ajaran Islam, selama menggunakan cara-cara yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.
b. Mencegah sikap berlebihan (ghuluw) dalam menilai sesuatu.
c. Berpedoman kepada Akhlak yang luhur. Misalnya sikap syaja’ah atau berani (antara penakut dan ngawur atau sembrono), sikap tawadhu' (antara sombong dan rendah diri) dan sikap dermawan (antara kikir dan boros).

4. Pergaulan antar golongan
a. Mengakui watak manusia yang senang berkumpul dan berkelompok berdasarkan unsur pengikatnya masing-masing.
b. Mengembangkan toleransi kepada kelompok yang berbeda.
c. Pergaulan antar golongan harus atas dasar saling menghormati dan menghargai.
d. Bersikap tegas kepada pihak yang nyata-nyata memusuhi agama Islam.

5. Kehidupan bernegara
a. NKRI (Negara Kesatuan Republik Indanesia) harus tetap dipertahankan karena merupakan kesepakatan seluruh komponen bangsa.
b. Selalu taat dan patuh kepada pemerintah dengan semua aturan yang dibuat, selama tidak bertentangan dengan ajaran agama.
c. Tidak melakukan pemberontakan atau kudeta kepada pemerintah yang sah.
d. Kalau terjadi penyimpangan dalam pemerintahan, maka mengingatkannya dengan cara yang baik.

6. Kebudayaan
a. Kebudayaan harus ditempatkan pada kedudukan yang wajar. Dinilai dan diukur dengan norma dan hukum agama.
b. Kebudayaan yang baik dan ridak bertentangan dengan agama dapat diterima, dari manapun datangnya. Sedangkan yang tidak baik harus ditinggal.
c. Dapat menerima budaya baru yang baik dan melestarikan budaya lama yang masih relevan (al-­muhafazhatu 'alal qadimis shalih wal akhdu bil jadidil ashlah).

7. Dakwah

a. Berdakwah bukan untuk menghukum atau memberikan vonis bersalah, tetapi mengajak masyarakat menuju jalan yang diridhai Allah SWT.
b. Berdakwah dilakukan dengan tujuan dan sasaran yang jelas.
c. Dakwah dilakukan dengan petunjuk yang baik dan keterangan yang jelas, disesuaikan dengan kondisi dan keadaan sasaran dakwah.


KH Muhyidin Abdusshomad
Pengasuh Pesantren Nurul Islam, Ketua PCNU Jember

Arti Paham ASWAJA menurut NU

Arti Paham ASWAJA menurut NU

Bicara Ahlussunnah Wal jama'ah , NU sudah remi menyatakan bahwa paham keagamaan yg dianut adalah paham AhlusSunnah Wal Jama'ah ( ASWAJA) , namun apakah paham ini hanya milik NU sendiri ? Tentu NU sebagai Organisasi yg berjiwa besar dan selalu mengutamakan kepentingan Umat tetap jujur dan terbuka menyatakan bahwa paham ini merupakan Paham yg dianut Umat Islam ( bukan hanya NU ) , berikut kutipan mengenai arti Paham ASWAJA versi NU yg kami dapat dari Web Ponpes Attohirriyyah

Paham ASWAJA NU
Ahlusssunnah wa al-Jama’ah (ASWAJA)pada hakikatnya adalah ajaran Islam seperti yang diajarkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Oleh karena itu, secara embrional, ASWAJA sudah muncul sejak munculnya Islam itu sendiri. Hanya saja penamaan Ahlussunnah wa al-Jamaah sebagai sebuah nama kelompok tidaklah lahir pada masa Rasulullah, tetapi baru muncul pada akhir abad ke 3 Hijriyah. Dalam catatan sejarah pemikiran Islam, Al-Zabidi adalah ulama yang pertama kali mengenalkan istilah Ahlussunnah wa al-Jamaah. Beliu mengatakan “ kalau dikatakan Ahlussunnah wa al-Jamaah, maka yang dimaksud adalah kelompok ummat Islam yang mengikuti imam al-Asy’ari dan al-Maturidi dalam bidang ilmu Tauhid. Namun demikian rumusan al-Zabidi di atas tentu hanya satu versi dari sebuah rumusan definisi ASWAJA di antara definisi-definisi lainnya.
Salah satu ormas keagamaan yang kemudian menformulasikan ajaran ASWAJA sebagai dasar ajaran agamanya misalnya adalah Nahdhatul Ulama (NU). Kerangka pemahaman ASWAJA yang dikembangkan NU memiliki karakteristik yang khusus yang mungkin juga membedakan dengan kelompok muslim lainya yaitu bahwa ajaran ASWAJA yang dikembangkan berporos pada tiga ajaran pokok dalam Islam yang meliputi bidang aqidah, Fiqh dan Tasawwuf.
Di bidang Aqidah, model yang diikuti oleh NU adalah pemikiran-pemikiran aqidah yang dikembangkan oleh Abu Hasan al-‘Asy’ari  dan Abu Mansur al-Maturidi. Pada bidang Fiqh, mengikuti model pemikiran dan metode istinbat hukum yang dikembangkan empat imam madzhab (aimmat al- madzahib al-arba’ah) yaitu madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan dibidang Tasawwuf mengikuti model yang dikembangkan oleh Abu Hamid al-Ghazali dan Al-Juwaini al-Baghdadi.
Dari berbagai hasil telaah terhadap berbagai perkembangan pemikiran di kalangan ulama Ahlussunnah wa al-Jamah dari kelompok salafusshalih dapat dirumuskan beberapa karakteristik dasar dari ajaran agama Islam berhaluan ASWAJA sebagaimana di pahami oleh orang NU. Dalam Musyawarah Nasional di Suarabaya tahun 2006, telah ditetapkan bahwa Khashaish/karakteristik doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah:
1.   Fikrah tawassuthiyyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa bersikap tawazun (seimbang ) dan i’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai persoalan. Nahdlatul Ulama tidak tafrith atau ifrath.
2.   Fikrah tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul Ulama dapat hidup berdampingan secara damai dengan pihak lain walaupun aqidah, cara pikir, dan budayanya berbeda.
3.   Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa mengupayakan perbaikan menuju ke arah yang lebih baik (al-ishlah ila ma huwa al-ashlah).
4.   Fikrah tathowwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.
5.   Fikrah manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul Ulama senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah ditetapkan oleh Nahdlatul Ulama.
Pemahaman tentang paham Ahlus Sunnah wal Jama’ah sangat penting bagi warga NU, Karena   Aswaja merupakan  fundamen  NU dalam membangun gerakan dan berkhidmat kepada umat. Dengan sendirinya  seluruh metode berpikir (manhaj al-fikri) dan metode pergerakan (manhaj al-haraki) warga, terutama pengurus NU dan lembaga di bawahnya, harus merujuk kepada konsep dan semangat Aswaja. 
Madzhab Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam pandangan NU merupakan pendekatan yang multidimensional dari sebuah gagasan konfigurasi aspek aqidah, fiqh dan tasawwuf. Ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh, masing-masing tidak terpilah dalam trikotomi yang berlawanan. Hanya saja dalam prakteknya, dimensi ajaran fiqh (hukum Islam) jauh lebih dominan dibanding dimensi yang lain. 
Dalam pemikiran fiqh yang dianut NU konsep hukum Allah terbagai menjadi dua besaran yaitu hukum yang bersifat iqtidha (sesuatu yang sudah ada ketentuanya secara eksplisit dalam nash) dan hukum Allah yang bersifat takhyir (belum ada ketentuan dasarnya) yang biasanya disebut ibahah. Ketentuan hukum yang secara eksplisit tidak diatur jumlahnya jauh lebih banyak dan ini merupakan wilayah hukum yang bersifat ijtihadiyah dan menjadi tugas umat Islam untuk megembangkanya dengan mendasarkan pada kaidah fiqh al-hukmu ma’al al-‘illat (hukum itu didasarkan pada ada dan tidaknya alas an hukum yang mendasarinya) dengan mendasarkan pada logika sebab akibat (causality) yang biasanya mendasarkan pada kalkulasi maslahat dan madharat.
Formulasi pemahaman keagamaan NU terhadap ASWAJA yang mengikuti pola/model ulama mazdhab bukan berarti NU puas dengan situasi Jumud/stagnan yang penuh taqlid sebagaimana dituduhkan oleh kelompok “Islam Modernis”. Ide dasar pelestarian mazdhab oleh NU justeru sebagai bagian dari tanggung jawab pelestarian dan pemurnian ajaran Islam itu sendiri. Pola bermazdhab yang dikembangkan oleh NU sebagaimana hasil Musyawarah Nasional di Bandar Lampung tahun 1992 menganut dua pola yaitu bermazdhab secara qauli (tekstual) ataupun bermazdhab secara manhaji (dimensi metodologis/istinbathi).
Sedangkan basis sosial warga NU adalah masyarakat muslim yang secara keagamaan pada umumnya berbasis pendidikan pesantren baik  masyarakat pedesaan maupun perkotaan walaupun sekarang ini terjadi pergeseran yang sangat signifikan pada tataran segmen warga NU dengan lahirnya alumni-alumni perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri.
Pergeseran warga dan basis sosial NU ini pada akhirnya mempengaruhi dinamika pemikiran keagamaan didalam tubuh NU sendiri dengan corak yang beragam. Pada umumnya perbedaan corak pemahaman keagamaan ini berporos pada dua kubu yaitu kubu yang cenderung mempertahanakan tradisi bermazdhab secara qauli (materi/tekstual) dan kubu yang mencoba mengembangkan pemahaman secara manhaji (metodologis) dengan pendekatan kontekstual yang melahirkan berbagai pemikiran alternatif.
Dengan mendasarkan pada semangat inti ajaran ASWAJA tawassuth, tawazun dan tasamuh, maka strategi perjuangan/dakwah NU menuju ‘izzul islam wal muslimin lebih pada pilihan strategi pembudayaan nilai-nilai Islam. Pendekatan cultural juga bisa dimaknai upaya pembumian ajaran Islam dengan menggunakan perangkat budaya local sebagai instrumen dakwahnya dengan melakukan tranformasi social menuju ‘izzul Islam wal muslimin dengan mendasarkan pada beberapa ayat al-Qur’an yaitu: surat An-Nahl: 125, Ali Imron: 104, 110, 112, Al-Anbiya: 107.
Dalam pandangan  NU perjuangan pembumian syari’at Islam adalah kewajiban agama dengan memperjuangkan sesuatu yang paling mungkin dicapai, dan sesuatu yang paling mungkin dicapai adalah yang paling tepat digunakan. Dalam konteks hukum agama (bidang muamalah) berlaku prinsip apa yang disebut dengan prinsip ‘tujuan dan cara pencapaianya” (al-ghayah wa al-wasail). Selama tujuan masih tetap, maka cara pencapaiannya menjadi sesuatu yang sekunder. Tujuan hukum akan selalu tetap, tetapi cara pencapaianya bisa berubah-rubah seiring dengan dinamika zaman.   
Prinsip dasar yang dikembangkan NU dalam merespon arus perubahan dalam berbagai dimensi kehidupan khususnya berkaitan dengan problematika hukum kontemporer (al-waqi’iyyah al-haditsah) dan perubahan kebudayaan, NU berpegang pada kaidah al-Muhafadhatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhd bi al-jadid al-ashlah yaitu memelihara tradisi lama yang masih baik (relevan) dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik.
Proses dialektika Islam dengan budaya lokal Indonesia yang menghasilkan produk budaya sintetis merupakan suatu keniscayaan sejarah sebagai hasil dialog Islam dengan system budaya local. Lahirnya berbagai ekspresi-ekspresi ritual yang nilai instrumentalnya produk budaya lokal, sedangkan muatan materialnya bernuansa religius Islam adalah sesuatu yang wajar dan sah adanya dengan syarat akulturasi tersebut tidak menghilangkan nilai fundamental dari ajaran agama.