Selasa, 25 Mei 2010

kapan memulai mendidik anak?

Dalam Islam, kita mengenal konsep pendidikan seumur hidup yang terangkum dalam kalimat “minal mahdi ilal lahdi”, dari buaian hingga liang kubur. Konsep long life education ini melibatkan banyak unsur pembentuk kepribadian manusia dari sejak dia terlahir hingga akhirnya meninggal dunia. Di antara unsur-unsur tersebut adalah: orangtua, keluarga, lingkungan, sekolah, dan teman. Jika dilihat dari beberapa unsur tersebut, kita bisa melihat dengan jelas, orangtua merupakan unsur terdekat yang akan sangat mempengaruhi kepribadian seorang anak.

Rasulullah Saw mengingatkan peran penting orangtua ini dengan sabdanya:
“Setiap anak dilahirkan sesuai dengan fitrahnya, hanya kedua orang tuanyalah yang akan membuat dirinya menjadi seorang Yahudi, seorang Nasrani atau seorang Majusi.” (HR Bukhari, Ibnu Hibban, dan Baihaqi)

Tentunya hadits ini tidak dipahami bahwa orangtua sebagai suatu unsur tunggal sebagai penentu masa depan anak. Tapi, harus disadari bahwa orangtua mempunyai peran yang sangat penting bagi masa depannya. Hal ini juga disinggung dalam sebuah peribahasa “Buah tidak jatuh jauh dari pohonnya”. Keterlibatan peran orangtua bisa bersifat genetik dan non-genetik. Secara genetik, beberapa sifat yang dipunyai anak cenderung diperoleh dari sifat-sifat orangtuanya. Tapi, secara non genetik beberapa perilaku anak dipengaruhi oleh sikap orangtua. Di sinilah orangtua menjadi unsur yang sangat penting bagi pendidikan anak.

Sampai pada titik ini, kita diingatkan untuk memperhatikan dua hal penting: pertama, pendidikan sebagai suatu proses seumur hidup, dan kedua, peran sentral orangtua dalam membentuk kepribadian anak.

Lalu, kapan waktu yang tepat bagi orangtua memaksimalkan perannya dalam mendidik anak? Inilah pertanyaan yang menjadi tema pembahasan kita kali ini. Mungkin sebagian orang akan berpendapat bahwa sejak lahir anak sudah harus mendapatkan pendidikan yang baik. Atau, bahkan ada yang menyatakan bahwa sejak dari dalam kandungan, anak harus mendapatkan perhatian penuh sebagai bagian dari awal pendidikan pra-natal (sebelum kelahiran) yang mesti diterimanya.

Sekarang, cobalah tanyakan pada diri Anda sendiri, “Sudahkah saya secara total mempersiapkan diri menjadi orangtua? Adakah di dalam hati saya siap menerima amanat Allah ketika pada suatu saat nanti dipercaya menjadi orangtua dengan lahirnya seorang anak? Bagaimana saya harus bersiap diri?”

Dalam beberapa hal, keinginan menikah didasarkan pada harapan tentang hadirnya momongan yang mewarnai kehidupan rumah tangga. Hal tersebut berarti banyak pasangan yang sejak dini merasa suatu saat akan menjadi orangtua bagi putra-putrinya kelak. Bahkan, keinginan memiliki momongan tersebut diingatkan lagi oleh doa yang diajarkan Rasulullah Saw bagi pasangan suami istri yang hendak melakukan hubungan intim.

“Manakala seseorang dii antara kalian sebelum menggauli istrinya terlebih dahulu mengucapkan: Bismillahi Allahumma jannibna as-syaithan. Wa jannibis syaithana ma razaqtana. (Dengan nama Allah, Ya Allah, hindarkanlah kami dari gangguan setan dan hindarkan pula anak yang Engkau anugerahkan kepada kami dari gangguan setan), kemudian dilahirkanlah dari keduanya seorang anak, niscaya selamanya setan tidak akan dapat mengganggunya.’ (Muttafaq Alaih)

Doa ini mengajarkan bahwa dasar dari pemenuhan kebutuhan biologis sifatnya adalah rabbani, bukan setani. Diharapkan janin yang dihasilkan dari hubungan tersebut memiliki sifat-sifat rabbaniyah dan dijauhkan dari sifat-sifat syaitaniyah. Kesadaran seperti ini dibangkitkan kembali bagi setiap calon orangtua yang melakukan hubungan suami-istri. Ini adalah salah satu bentuk pendidikan awal bagi anak yang diajarkan oleh Rasulullah, bahkan jauh sebelum kita mengetahui adanya janin dalam kantung rahim.

Tunggu dulu, ini belum selesai.
Harus disadari, seorang pendidik yang terbaik adalah dia yang mampu menjadi tauladan bagi lainnya. Orangtua yang terbaik adalah mereka yang bisa menjadikan diri sebagai panutan yang baik bagi anak-anaknya. Bagaimana caranya para orangtua menjadi tauladan bagi anak-anak? Apakah mereka terlebih dulu harus nikah, punya anak, baru kemudian berusaha sekuat tenaga dengan segala daya upaya menjadi orangtua teladan yang baik?

Hhmmm, rasanya kok masih jauh, ya. Terutama, mereka para pemuda dan pemudi yang masih belum punya calon istri atau suami. Mungkin, sebagian berfikir, “Entar aja deh, kalau sudah menikah!”, “Nanti saja, kalau sudah jelas ada janin dalam kandungan!”, atau “Tunggu sampai si jabang bayi brojol keluar dengan selamat!”

Sebenarnya, tidak perlu menunggu selama itu untuk menjadi orangtua yang baik dan memberikan pendidikan terbaik bagi sang anak. Anda bisa melakukannya saat ini. Kalau Anda menginginkan seorang anak yang patuh dan berbudi luhur kepada orangtua, maka cobalah sekarang Anda melakukannya kepada orangtua Anda. Kalau Anda menginginkan anak yang taat beragama dan Muslim yang baik, maka jadikanlah diri Anda seorang Muslim yang baik. Demikian seterusnya. Perbaikan diri secara total akan memperbaiki masa depan anak-anak Anda nantinya.

Ya, Anda bisa memulainya saat ini! Tidak perlu ditunda lagi!
Anak-Anak Muslim Yang Cerdas




sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/anak-anak-muslim-yang-cerdas/
ditulis oleh: DR. Amir Faishol Fath

Udara malam itu di Sanfrancisco masih sangat dingin. Kota yang indah ini memang terletak di tepi laut yang membentangkan kemaha-indahan Allah Sang Pencipta. Siapa pun yang datang ke kota ini akan terkagum dengan pemandangan alamnya. Sayangnya banyak orang yang diam di dalamnya tidak tahu cara mensyukuri keindahan tersebut. Mereka mengira bahwa untuk membalas nikmat yang demikian agung itu cukup hanya dengan tertawa-tawa, membuka aurat di tepi pantai, berfoto-foto, mabuk-mabukan dan lain sebagainya. Mereka mengira bahwa gedung-gedung tinggi menjulang yang mereka bangun itu sudah cukup sebagai bukti syukurnya kapada Allah. Mereka tidak tahu cara mensyukuri nikmat itu, sebab mereka tidak belajar tuntunan Allah Sang Pencipta. Mereka mengira itu cara bersyukur yang baik. Padahal itu menodai keindahan ciptaanNya. Mereka bingung, karena mereka sendiri tidak mau belajar bagaimana seharusnya hidup yang benar menurut Sang Pencipta. Sungguh Allah mempunyai tujuan yang sangat mulia dalam segala ciptaanNya. Tidak ada maksud Allah dalam menciptakan segala keindahan di muka bumi ini untuk kesia-siaan. Tidak mungkin Allah menciptakan alam yang sedahsyat ini, dengan tujuan agar manusia berfoya-foya dengan dosa-dosa.
Perhatikan di malam itu, ternyata aku menyaksikan kenyataan yang sangat luar biasa. Di sebuah rumah tempat aku bersinggah, aku mendengar suara seorang ibu sedang mengajarakan anaknya membaca Al Qur’an. Padahal ibu itu baru saja kembali dari tempat kerja. Dari wajahnya nampak rasa lelah yang masih belum hilang. Ibu itu telah mensyukuri keindahan kota dengan cara seperti yang Allah ajarkan. Ibu itu tidak suka kalau anaknya nanti tidak tahu tuntunan Allah. Dalam sebuah obrolan ibu itu berkata: “Aku tidak mau anakku seperti mereka yang bodoh itu. Aku takut kalau anakku nanti tersesat jalan. Karenanya akau harus bersungguh-sungguh mengejarkan anakku Al Qur’an”.

Memang kekhwatiran akan masa depan anak dari segi moral dan agama sering kali aku dengar dari beberapa keluarga muslim Indonesia di Amerika. Benar, secara pendidikan umum anak-anak mereka tidak akan kehilangan masa depan. Tetapi dari sisi moral dan agama mereka sangat khawatir. Karena itu mereka selalu berusaha untuk mengikutkan anak-anak mereka dalam program sekolah agama setiap hari Ahad “ Sunday School”. Kegiatan ini hampir merata. Tidak saja di kalangan umat Islam Indonesia, tetapi juga di kalangan umat Islam Amerika secara umum. Di beberapa kota yang sempat aku kunjungi seperti Houston, Denver, Los Angles, Washington, New York, Chicago dan Sanfrancisco, selalu aku temui penampilan anak-anak kecil membaca Al Qur’an. Mereka ternyata bisa tampil dengan sangat mengagumkan. Bahkan di sebagian kota seperti Denver ada anak-anak yang menampilkan lagu nasyid. Penampilan itu menambah cerah suasana malam Ramadhan. Di Houston ada perlombaan menulis artikel Islam tentang Ramadhan. Hasilnya memuaskan. Di Washinton anak-anak mereka sangat kritis. Ketika dibuka pertanyaan, ada yang bertanya: “Mengapa Allah mengutus nabi dari laki-laki saja kok tidak perempuan?”

Anak-anak kecil di Amerika memang dididik kritis dan berani. Karena itu, setiap mereka ditegur selalu bertanya: why? Karenanya orang tua mereka harus pandai memberikan alasan. Jika tidak, mereka tidak mau menerima teguran begitu saja. Memang banyak pengakuan dari orang tua: bahwa mereka seringkali sangat kerepotan untuk menjawab. Terutama jika masalahnya berkenaan dengan agama. Karena itu para orang tua di Amerika banyak yang semangat belajar ilmu agama. Mereka terdorong bukan saja karena harus menjawab pertanyaan sang anak yang sangat kritis, tetapi juga mereka harus memberikan contoh yang baik sesuai dengan tuntunan Islam. Contoh dalam bentuk perkataan dan perbuatan. Bagi para orang tua, Islam memang harus dipelajari. Tidak sedikit dari mereka yang menyesal mengapa dulu ketika masih muda tidak belajar Islam dengan sungguh-sungguh.

Memang semasa di Indonesia tantangan untuk belajar Islam tidak sedahsyat di Amerika. Di Indonesia mereka masih mendengar adzan, masih banyak orang berjilbab, masih banyak orang Islam, masih banyak pesantren dan sekolah Islam. Tetapi setelah mereka di Amerika, tidak bisa tidak mereka harus belajar Islam, tidak saja untuk diri mereka tetapi lebih dari itu untuk anak-anak mereka. Inilah gambaran bahwa Islam tidak boleh disepelekan. Bagaimana pun Islam tetap agama fitrah. Islam kebutuhan fitrah manusia. Manusia sampai kapan pun tidak akan pernah bisa menghindar dari Islam. Sungguh akau katakan: “Kebutuhan manusia terhadap Islam sebenarnya seperti kebutuhan ikan terhadap air. Bila manusia tanpa Islam ia pasti mati jiwanya. Ia berjalan tanpa ruh. Tidak punya arah. Tidak tahu mau kemana harus melangkah”. Allahu a’lam bish shawab.
sumber: http://www.dakwatuna.com/2008/anak-anak-muslim-yang-cerdas/
ditulis oleh: DR. Amir Faishol Fath

Jumat, 21 Mei 2010


Cara Berkomunikasi dan Mendidik Janin (Bacaan Wajib Ibu Hamil)

Berkomunikasi dengan anak sebetulnya sudah dapat dimulai sejak dini bahkan ketika anak masih menjadi janin dalam perut ibu. Dengan menyadari bahwa orangtua dapat berkomunikasi dengan janin dalam kandungan akan memberikan ikatan hubungan yang lebih dekat dan juga menjadi sebuah pengalaman yang begitu menyenangkan yang tidak dapat terlupakan.

Ada beberapa komunikasi yang dapat dilakukan orangtua kepada janin yang dikandungnya, tentunya dengan mengetahui pertumbuhan dan perkembangan pembentukan indera-indera janin, sehingga komunikasi dapat tepat dilakukan.

Indera Peraba

Indera Peraba ini berkembang sebelum minggu ke 8. Ketika janin bergerak dan telapak tangan atau kakinya tampak pada perut ibu, sentuhlah dia, berikan perasaan lembut dan kasih sayang kepadanya, sehingga ia merasakan kelembutan, rasa cinta dan kasih sayang dari orangtuanya. Rasa cinta dan kasih sayang dari orangtua yang dia rasakan akan memberikan ketenangan pada janin anda.

...Rasa cinta dan kasih sayang dari orangtua yang dia rasakan akan memberikan ketenangan pada janin anda...

Indera Pendengaran

Indera pendengaran mulai berkembang pada minggu ke 8 dan selesai pembentukan pada minggu ke 24. Indera pendengaran ini juga dibantu oleh air ketuban yang merupakan penghantar suara yang baik.

Janin akan mulai mendengar suara aliran darah melalui plasenta, suara denyut jantung dan suara udara dalam usus. Selain itu janin akan bereaksi terhadap suara-suara keras, bahkan bisa membuat janin terkejut melompat.

Pada minggu ke 25 janin sudah dapat mendengar dan mengenali suara orang-orang terdekatnya seperti ibu dan ayahnya. Lakukanlah komunikasi dengannya meskipun hanya satu arah, bertilawah quranlah orangtua, bacakan cerita atau berbicalah dengan janin untuk lebih mendekatkan diri janin dengan orangtuanya dan lebih mengenal suara dari orangtuanya.

...orangtua yang sedang marah akan memberikan reaksi marah pula pada janin, sebaliknya alunan tilawah Al-Qur'an yang lembut dapat menenteramkan janin...

Bahkan orangtua yang sedang marah akan memberikan reaksi marah pula pada janin, sebaliknya alunan tilawah Al-Qur'an yang lembut dapat menenteramkan janin.

Indera Perasa

Indera perasa janin akan terbentuk pada minggu ke 13-15. Pada usia ini janin dapat merasakan substansi yang pahit dan manis. Jika, cairan ketuban yang dia rasakan manis, maka dia akan meminumnya dan menelannya. Namun jika air ketuban yang dia rasakan terasa pahit, janin akan meronta dan mengeluarkannya, serta janin akan menghentikan konsumsinya tsb..

Indera Penciuman

Indera penciuman akan terbentuk pada usia kehamilan 11 - 15 minggu. Ketika indera penciuman ini terbentuk, janin dapat mencium dari bau air ketuban yang baunya mirip seperti ibunya. Makanya ketika bayi terlahir, dalam beberapa jam ia akan mengenali siapa ibunya berdasar dari indera penciuman ini.

Indera Penglihatan

Dari awal kehamilan hingga usia ke 26 mata bayi akan selalu tertutup untuk memproduksi retina, namun meskipun demikian retina janin pada usia kehamilan 16 minggu dapat mendeteksi adanya pancaran sinar.

Pada usia kehamilan di minggu 27, janin mulai membuka matanya dan melihat ke sekelilingnya untuk pertama kalinya. Mata janin dapat menangkap cahaya yang masuk ke dalam rahim ibunya, baik itu sinar matahari atau sinar lampu. Selain itu otak janin akan bereaksi terhadapa kelap-kelip cahaya

Jadi, janin dapat bereaksi terhadap berbagai rangsangan yang datang dari luar bahkan dalam tubuh ibu. Oleh karena itu sudah seharusnya lingkungan tempat tinggal, tingkah laku dan tutur kata ibu yang tengah mengandung harus selalu dijaga. Segala sesuatu yang dilihat dan didengar sendiri, baik itu perasaan suka, marah, sedih dan senang, sudah pasti memberi pengaruh bagi perkembangan si janin.

...manfaatkan sepenuhnya keunikan janin ini, untuk memberikan pendidikan sedini mungkin dan pengaruh baik secara berangsur-angsur dengan penuh semangat mendorong maju pertumbuhan dan kesehatan jiwa dan raga janin...

Jangan mengira bahwa janin belum memiliki perasaan, sehingga dengan sengaja tidak membatasi diri. Maka dari itu manfaatkan sepenuhnya keunikan janin ini, untuk memberikan pendidikan sedini mungkin dan pengaruh baik secara berangsur-angsur dengan penuh semangat mendorong maju pertumbuhan dan kesehatan jiwa dan raga janin.

Menjaga Anak dari Bahaya 'Ain

Kenikmatan adalah hal yang didambakan setiap orang. Dan setiap kenikmatan juga dapat sekaligus menjadi ujian bagi seseorang. Salah satu kenikmatan yang dikaruniakan oleh Allah bagi sepasang insan adalah hadirnya sang buah hati dalam kehidupan. Ketika telah lahir, maka fisiknya yang lucu mengundang orang untuk memandang, memanjakan, menyentuhnya. Dan ketika tumbuh beranjak menjadi sosok kanak-kanak, tetap tingkah lakunya banyak mengundang perhatian orang.

Dengan sebab ini, maka perlulah kita ketahui sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Setiap yang memiliki kenikmatan pasti ada yang iri (dengki).” (Shahihul Jami’ 223. Lihat majalah Al Furqon). Perlu menjadi perhatian bagi orang tua bahwa dalam syari’at Islam telah dijelaskan adanya bahaya ‘ain (pandangan mata) terutama bagi anak-anak. Pandangan mata yang berbahaya ini dapat muncul dengan sebab kedengkian orang yang memandang atau karena kekaguman.

Bahaya ‘Ain

Ibnu Qoyyim rohimahullah dalam kitab Tafsir Surat Muawwadzatain berkata, “Bahaya dari pandangan mata dapat terjadi ketika seseorang yang berhadapan langsung dengan sasarannya. Sasaran tukang pandang terkadang bisa mengenai sesuatu yang tidak patut didengki, seperti benda, hewan, tanaman, dan harta. Dan terkadang pandangan matanya dapat mengenai sasaran hanya dengan pandangan yang tajam dan pandangan kekaguman.” Pengaruh dari bahaya pandangan mata pun hampir mengenai Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana firman-Nya,

وَإِن يَكَادُ الَّذِينَ كَفَرُوا لَيُزْلِقُونَكَ بِأَبْصَارِهِمْ لَمَّا سَمِعُوا الذِّكْرَ وَيَقُولُونَ إِنَّهُ لَمَجْنُونٌ

“Sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar al Qur’an dan mereka mengatakan ‘Sesungguhnya dia (Muhammad) benar-benar gila.” (Al Qalam [68]: 51)

Terdapat pula hadits dari Ibnu Abbas bahwasanya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

العين حقُُّ ولو كان شيء سابق القدر لسبقته العين

“Pengaruh ‘ain itu benar-benar ada, seandainya ada sesuatu yang bisa mendahului takdir, ‘ainlah yang dapat melakukannya.” (HR. Muslim)

Subhanallah, lihatlah bagaimana bahaya ‘ain telah dijelaskan dalam Al-Qur’an dan As Sunnah. Dan terdapat pula contoh-contoh pengaruh buruk ‘ain yang terjadi pada masa sahabat. Salah satunya adalah yang terjadi ada Sahl bin Hunaif yang terkena ‘ain bukan karena rasa dengki namun karena rasa takjub. Sebagaimana dalam hadits,

Dari Abu Umamah bin Sahl bin Hunaif menyebutkan bahwa Amir bin Rabi’ah pernah melihat Sahl bin Hunaif mandi lalu berkatalah Amir, “Demi Allah, Aku tidak pernah melihat (pemandangan) seperti hari ini, dan tidak pernah kulihat kulit yang tersimpan sebagus ini.” Berkata Abu Umamamh, “Maka terpelantinglah Sahl.” Kemudian Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam mendatangi Amir. Dengan marah beliau berkata, “Atas dasar apa kalian mau membunuh saudaranya? Mengapa engkau tidak memohonkan keberkahan (kepada yang kau lihat)? Mandilah untuknya!” Maksudnya Nabi menyuruh Amir berwudhu kemudian diambil bekas air wudhunya untuk disiramkan kepada Sahl dan ini adalah salah satu cara pengobatan orang yang tertimpa ‘ain bila diketahui pelaku ‘ain tersebut (*). Maka Amir mandi dengan menggunakan satu wadah air. Dia mencuci wajah, kedua tangan, kedua siku, kedua lutut, ujung-ujung kakinya dan bagian dalam sarungnya. Kemudian air bekas mandinya itu dituangkan kepada Sahl, lantas dia sadar dan berlalulah bersama manusia.” (HR. Malik dalam al Muwaththa 2/938, Ibnu Majah 3509, dishahihkan oleh Ibnu Hibban 1424. sanadnya shahih, para perawinya terpercaya, lihat Zaadul Ma’ad tahqiq Syu’aib al Arnauth dan Abdul Qadir al Arnauth 4/150 cet tahun 1424 H. Lihat majalah Al Furqon).

(*) Kata mandi yang ada di sini maksudnya adalah berwudhu sebagaimana disebutkan Imam Malik dalam kitab Al Muwattho. Wallahu a’lam.

Tanda-Tanda Terkena ‘Ain

Tanda-tanda anak yang terkena ‘ain di antaranya adalah menangis secara tidak wajar (bukan karena lapar, sakit atau mengompol), kejang-kejang tanpa sebab yang jelas, tidak mau menyusu pada ibunya tanpa sebab, atau kondisi tubuh sang anak kurus kering dan tanda-tanda yang tidak wajar lainnya.

Sebagaimana dalam hadits dari Amrah dari ‘Aisyah radhiallahu’anha, ia berkata, “Pada suatu ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah. Tiba-tiba beliau mendengar anak kecil menangis, lalu Beliau berkata,

ما لِصبيِّكم هذا يبكي قهلاََ استرقيتم له من العين

“Kenapa anak kecilmu ini menangis? Tidakkah kamu mencari orang yang bisa mengobati dia dari penyakit ‘ain?” (HR. Ahmad, Baqi Musnadil Anshar. 33304).

Begitu pula hadits Jabir radhiallahu’anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Asma’ binti Umais, “Mengapa aku lihat badan anak-anak saudaraku ini kurus kering? Apakah mereka kelaparan?” Asma menjawab, “Tidak, akan tetapi mereka tertimpa ‘ain”. Beliau berkata, “Kalau begitu bacakan ruqyah bagi mereka!” (HR. Muslim, Ahmad dan Baihaqi)

Berlindung dari Bahaya ‘Ain

Sesungguhnya syari’at Islam adalah sempurna. Setiap hal yang mendatangkan bahaya bagi umatnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentu telah menjelaskan tentang perkara tersebut dan cara-cara mengantisipasinya. Begitu pula dengan bahaya ‘ain ini.

1. Bagi Seseorang yang Memungkinkan Memberi Pengaruh ‘Ain

Berdasarkan hadits Abu Umamah di atas maka hendaknya seseorang yang mengagumi sesuatu dari saudaranya maka yang baik adalah mendoakan keberkahan baginya. Dan berdasarkan surat Al Kahfi ayat 39, maka ketika takjub akan sesuatu kita juga dapat mengucapkan doa:

مَا شَآءَ اللهُ لاَ قُوَّةَ إلاَّ بِا للهِ

Artinya:

“Sungguh atas kehendak Allah-lah semua ini terwujud.”

2. Bagi yang Memungkinkan Terkena ‘Ain

Sesungguhnya ‘ain terjadi karena ada pandangan. Maka hendaknya orang tua tidak berlebihan dalam membanggakan anaknya karena dapat menimbulkan dengki ataupun kekaguman pada yang mendengar dan kemudian memandang sang anak. Adapun jika memang kenikmatan itu adalah sesuatu yang memang telah nampak baik dari kepintaran sang anak, fisiknya yang masya Allah, maka hendaknya orang tua mendoakan dengan doa-doa, dzikir dan ta’awudz yang telah diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, diantaranya adalah surat muawadzatainshallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta perlindungan untuk Hasan dan Husain, yaitu: (surat Annas dan al-Falaq). Ada pula do’a yang biasa diucapkan Nabi

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانِِ وَ هَامَّةِِ وَ مِنْ كُلِّ عَيْنِِ لامَّةِِ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari godaan setan, binatang beracung dan dari pengaruh ‘ain yang buruk.” (HR. Bukhari dalam kitab Ahaditsul Anbiya’: 3120)

Atau dengan doa,

أَعُوْذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَِ

“Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang telah sempurna dari kejahatan makhluk-Nya.” (HR. Muslim 6818).

Kemudian, terdapat pula do’a yang dibacakan oleh malaikat Jibril alaihissalam ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendapat gangguan setan, yaitu:

بِسْمِ اللهِ أرْقِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءِِ يُؤْذِيْكََ مِن شَرِّ كُلِّ نَفْسِِ وَ عَيْنِ حَاسِدِِ اللهُ يَشْفِيكَ

“Dengan menyebut nama Allah, aku membacakan ruqyah untukmu dari segala sesuatu yang menganggumu dari kejahatan setiap jiwa dan pengaruh ‘ain. Semoga Allah menyembuhkanmu.”

Dan terdapat do’a-do’a lain yang dapat dibacakan kepada sang anak untuk menjaganya dari bahaya ‘ain ataupun menyembuhkannya ketika telah terkena ‘ain. (lihat Hisnul Muslim oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani atau Ad Du’a min Al Kitab wa As Sunnah yang telah diterjemahkan dengan judul Doa-doa Dan Ruqyah dari Al-Qur’an dan Sunnah oleh DR. Sa’id bin Ali bin Wahf Al Qahthani)

Kesalahan-Kesalahan Dalam Penjagaan dari Bahaya ‘Ain atau Sejenisnya

Memang bayi sangat rentan baik dari bahaya ‘ain ataupun gangguan setan lainnya. Terdapat beberapa kesalahan yang biasa terjadi dalam menjaga anak dari gangguan tersebut karena tidak berdasarkan pada nash syari’at. Diantara kesalahan-kesalahan tersebut adalah:

  1. Menaruh gunting di bawah bantal sang bayi dengan keyakinan itu akan menjaganya. Sungguh ini termasuk kesyirikan karena menggantungkan sesuatu pada yang tidak dapat memberi manfaat atau menolak bahaya.
  2. Mengalungkan anak dengan ajimat, mantra dan sebagainya. Ini juga termasuk perbuatan syirik dan hanya akan melemahkan sang anak dan orang tua karena berlindung pada sesuatu selain Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Perlulah kita selalu mengingat, bahwa sekalipun kita mengetahui bahaya ‘ain memiliki pengaruh sangat besar dan berbahaya, namun tidaklah semua dapat terjadi kecuali dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan kita sebagai orang Islam tidaklah berlebihan dalam segala sesuatu. Termasuk dalam masalah ‘ain ini, maka seseorang tidak boleh berlebihan dengan menganggap semua kejadian buruk berasal dari ‘ain, dan juga tidak boleh seseorang menganggap remeh dengan tidak mempercayai adanya pengaruh ‘ain sama sekali dengan menganggapnya tidak masuk akal. Ini termasuk pengingkaran terhadap hadits-hadits shahih Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam. Sikap yang terbaik bagi seorang muslim adalah berada di pertengahan, yaitu mempercayai pengaruh buruk ‘ain dengan tidak berlebihan sesuai dengan apa yang dikhabarkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam.

Maraji’:

  1. Majalah Al Furqon edisi 4 Tahun V/Dzulqo’dah 1426.
  2. Doa-Doa dan Ruqyah dari Al Qur’an dan Sunnah. Sa’id bin ‘Ali bin Wahf Al Qahthani. Media Hidayah. 2004.
  3. Tafsir Surah Muawwadzatain. Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah. Akbar. 2002.
  4. Tumbuh di Bawah Naungan Ilahi. Syaikh Jamal Abdul Rahman. Media Hidayah. 2002.


Koreksi Ucapan ''Maa Syaa Allah'' Ketika Kagum terhadap Sesuatu

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semiga terlimpah kepada Rasulullah, beserta keluarga dan para sahabatnya serta umatnya yang senantiasa berpegang dengan sunnah-sunnahnya.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

إِذَا رَأَى أَحَدُكُمْ مِنْ أَخِيهِ وَمِنْ نَفْسِهِ وَمِنْ مَالِهِ مَا يُعْجِبُهُ فَلْيُبَرِّكْهُ فَإِنَّ العَيْنَ حَقٌّ

"Apabila salah seorang kalian melihat kekaguman pada saudaranya, pada dirinya, dan hartanya, hendaknya dia mendoakan barakah untuknya, karena pengaruh 'ain itu benar adanya." (HR. Ahmad 3/447, al-Hakim 4/215 dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam al Silsilah al Shahihah no. 2572 dan al Kalim al Thayyib no. 244)

Menurut petunjuk hadits di atas, jika kita melihat kekaguman pada diri saudara kita, hartanya, anaknya, kendaraannya, atau yang lainnya maka kita mendoakan keberkahan. Manfaatnya, agar tidak tertimpa penyakit ‘ain, yaitu penyakit yang disebabkan oleh pengaruh buruk pandangan mata yang yang takjub dengan diiringi iri dan dengki terhadap apa yang dilihatnya. Namun, terkadang pandangan yang tidak disertai rasa dengki-pun, dengan izin Allah, bisa menyebabkan pengaruh buruk ‘ain, walaupun orang tersebut tidak bermaksud menimpakan ‘ain. Bahkan ini terjadi pada para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang sudah terkenal akan kebersihan hati mereka.

Namun, ada sebagian orang apabila kagum dengan sesuatu lalu dia berucap, Maa Syaa Allaah Laa Quwwata Illaa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Mereka berdalil dengan firman Allah Ta'ala dalam surat al-Kahfi dan dengan hadits Anas.

Pertama, Firman Allah Ta'ala:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

"Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu Maa Syaa Allaah Laa Quwwata Illaa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." (QS. Al Kahfi: 39)

Ayat tersebut tidak tepat dijadikan dalil untuk mengucapkan dzikir di atas ketika melihat sesuatu yang mengagumkan agar selamat dari pengaruh 'ain yang timbul dari kedegkian. Sebabnya, karena ayat tersebut tidak memiliki kaitan dengan tema bahasan tentang kedengkian. Sesungguhnya Allah menghancurkan kebunnya dikarenakan kekufuran dan sikapnya yang melampaui batas.

Menurut keterangan dari Syaikh Utsaimin, dzikir di atas disyari'atkan bagi sesorang yang kagum dan ta'ajub dengan hartanya sendiri. Fungsinya, sebagai ungkapan rasa syukur dan pengakuan bahwa nikmat tersebut datangnya dari Allah Ta'ala. Sebagaimana kisah dua pemilik kebun ketika salah seorang diantara mereka berkata kepada yang lainnya:

وَلَوْلَا إِذْ دَخَلْتَ جَنَّتَكَ قُلْتَ مَا شَاءَ اللَّهُ لَا قُوَّةَ إِلَّا بِاللَّهِ

"Dan mengapa kamu tidak mengucapkan tatkala kamu memasuki kebunmu Maa Syaa Allaah Laa Quwwata Illaa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." (QS. Al Kahfi: 39)

Adapun doa yang diucapkan untuk mencegah ‘ain ketika seseorang melihat sesuatu yang menakjubkan dari hartanya adalah dengan mendoakan keberkahan, sebagaimana dalam hadits pertama di atas.

Kedua, dalil dari hadits Anas bin Malik radliyallah 'anhu. Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Siapa yang melihat sesuatu yang membuatnya kagum, hendaknya dia berucap: Maa syaa Allaah Laa Quwwata Illa Billaah (Sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah) karenanya dia tidak tertimpa kedengkian 'Ain." (Hadits ini sangat lemah) Imam al Haitsami berkata, "Diriwayatkan oleh Al-Bazzar dari riwayat Abu Bakar al Hudzali, dia seorang yang sangat lemah. (Majmu' al Zawaid: 5/21) karenanya tidak bisa digunakan dasar untuk membenarkan dzikir di atas ketika melihat sesuatu yang membuat takjub.

Jika Melihat Kebaikan Pada Orang Lain

Jika ia melihat sesuatu yang menakjubkan pada orang lain, maka hendaklah ia mendoakan keberkahan. Di antaranya dengan mengucapkan: Baarakallah 'alaihi (Semoga Allah memberkahi atasnya), Baarakallah Fiihi (Semoga Allah memberikan berkah padanya), Allahumma Baarik 'Alaihi (Ya Allah berkahilah atasnya) atau kata-kata yang sejenisnya.

Dan jika ia melihat sesuatu yang menakjubkannya dari perkara dunia, maka hendaklah mengatakan:

لَبَّيْكَ إِنَّ الْعَيْشَ عَيْشَ الآخِرَةِ (Labbaika, innal ‘aisy ‘aisyal Aakhirah). Artinya, "Kupenuhi panggilan-Mu (yaa Allah), sesungguhnya kehidupan yang hakiki adalah kehidupan akhirat." (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 4/107, al-Baihaqi 7/48 dan al-Hakim 1/465, dishahihkan al-Hakim dan disepakati adz-Dzahabi).

Fungsinya, untuk mengingatkan dirinya bahwasanya kehidupan dunia bagaimanapun juga akan hilang dan tidak ada kehidupan yang hakiki di sana, dan kehidupan yang hakiki adalah di akhirat nanti. Wallahu a'lam bil shawab.

Amalan Ahli Surga dan Amalan Ahli Neraka

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah al-Harrani rahimahullaah pernah ditanya tentang amalan ahli surga dan amalan ahli neraka, apa saja. Kemudian beliau menjawab sebagai berikut:

“Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Amalan ahli surga adalah beriman dan bertakwa. Sedangkan amalan ahli neraka adalah kufur, fasik, dan maksiat.

Amalan-amalan ahli surga: iman kepada Allah, Para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, dan hari akhir serta beriman kepada qadar (takdir) yang baik maupun yang buruknya.

Amalan ahli surga: Bersyahadat Laa Ilaaha Illallah (Tiada Tuhan yng berhak diibadahi kecuali Allah) dan Muhammad rasulullah (Nabi Muhammad adalah utusan Allah), mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadlan, dan berhaji ke Baitullah. Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah meliha-Nya, dan jika tidak bisa, maka yakinilah bahwa Dia melihatmu.

Di antara amalan-amalan ahli surga: Berbicara jujur, menunaikan amanat, menepati janji, birrul walidain (berbakti kepada orang tua), menyambung hubungan kerabat, berbuat baik kepada tetangga, anak yatim, orang miskin, dan yang menjadi tanggungannya dari kalangan manusia atau binatang.

Di antara amalan ahli surga lainnya: Ikhlas beribadah kepada Allah, bertawakkal kepada-Nya, cinta kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya, takut kepada Allah dan berharap rahmat-Nya, kembali kepada-Nya, bersabar menetapi hukum-Nya, dan menyukuri nikmat-nikmat-Nya.

Di antara amalan ahli surga: Suka membaca Al-Qur’an, berdzikir kepada Allah, berdoa kepada-Nya, meminta dan berharap kepada-Nya.

Di antara ahli surga: Beramar ma’aruf (menyuruh orang berbuat kebaikan), bernahi munkar (melarang orang dari berbuat buruk), berjihad di jalan Allah dalam memerangi orang kafir munafikin.

Di antara amalan ahli surga: Adil dalam semua urusannya, adil terhadap semua makhluk sampai terhadap orang kafir, dan amalan-amalan yan serupa.

Di antara amalan ahli surga: Menyambung tali persaudaraan terhadap orang yang memutuskannya, memberi kepada orang yang pelit kepadamu, memaafkan orang yang menzalimimu, karena Allah menyediakan surga bagi orang-orang bertakwa, yaitu orang-orang yang tetap berinfak dalam kondisi lapang maupun sempit, menahan amarah, memaafkan manusia, dan Allah menyukai orang-orang yang senantiasa berbuat baik.

Amalan Ahli Neraka

Sedangkan amalan ahli neraka adalah seperti berbuat syirik kepada Allah, mendustakan para rasul, kufur dan hasud, berdusta, berhianat, berbuat dzalim, perbuatan keji lagi hina, ingkar janji, memutus silaturahim, takut untuk pergi berjihad, bakhil, tidak singkron antara dzahir dan batin, berputus asa dari rahmat Allah, merasa aman dari adzab Allah, berkeluh kesah (tidak sabar) ketika tertimpa musibah, sombng dan tidak menyukuri nikmat, meninggalkan kewajiban terhadap Allah, melanggar batasan-batasan-Nya, melanggar keharaman-keharaman, takut terhadap makhluk dan tidak takut terhadap khaliq, berharap kepada makhluk dan tidak kepada khaliq, bertawakkal kepada makhluk dan tidak kepada khaliq, beramal dengan riya dan sum’ah, menyalahi Al-Qur’an dan sunnah, taat kepada makhluk dan tidak kepada khaliq, fanatik kepada kabatilan, mencela ayat-ayat Allah, menentang kebenaran, menyembunyikan ilmu dan kesaksian yang sebenarnya harus disampaikannya.

Dan di antara amalan ahli neraka: Melakukan sihir (santet, pelet, dan sejenisnya), durhaka kepada orang tua, membunuh jiwa yang Allah haramkan tanpa jalan yang benar, makan harta anak yatim, makan riba, lari dari peperangan, menuduh wanita baik-baik kagi mukminah telah berbuat zina.

Tidak mungkin merinci dua bagian ini, tapi secara global amalan ahli surga semuanya masuk kategori ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Sedangkan amalan ahli neraka semuanya masuk kategori maksiat terhadap Allah dan Rasul-Nya.

تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ يُدْخِلْهُ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَيَتَعَدَّ حُدُودَهُ يُدْخِلْهُ نَارًا خَالِدًا فِيهَا وَلَهُ عَذَابٌ مُهِينٌ

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” (QS. Al-Nisa’: 13-14) wallahu a’lam.

(PurWD/voa-islam)

Imanmu Menentukan Kebahagianmu

Orang-orang sengsara yang sebenarnya adalah mereka yang miskin iman dan mengalami krisis keyakinan. Mereka ini, selamanya akan berada dalam kesengsaraan, kemurkaan, dan kehinaan. Allah Ta'ala berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

"Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta." (QS. Thaahaa: 124)

Kehidupan yang sempit, sesak, dan berat sebagai adzab merupakan akibat dari berpaling, ingkar, dan kufur terhadap Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk dan keimanan.

Tidak ada sesuatu yang membahagiakan jiwa, membersihkan dan menyucikannya, membuat bahagia dan mengusir kegundahan darinya kecuali iman yang benar kepada Allah, Rabba semesta alam. Singkatnya, kehidupan akan terasa hambar tanpa iman.

Singkatnya, kehidupan akan terasa hambar tanpa iman.

Dalam pandangan orang-orang atheis, cara terbaik untuk membebaskan jiwa adalah dengan bunuh diri. Menurut mereka, dengan bunuh diri orang akan terbebas dari segala tekanan, kegelapan, dan bencana dunia. Betapa malangnya hidup tanpa iman. Betapa pedihnya siksa dan adzab yang akan dirasakan di akhirat oleh orang-orang yang menyimpang dari tuntunan Allah.

وَنُقَلِّبُ أَفْئِدَتَهُمْ وَأَبْصَارَهُمْ كَمَا لَمْ يُؤْمِنُوا بِهِ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَنَذَرُهُمْ فِي طُغْيَانِهِمْ يَعْمَهُونَ

"Dan (begitu pula) Kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya (Al Qur'an) pada permulaannya, dan Kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat." (QS. Al-An'am: 110)

Dalam pandangan orang-orang atheis, cara terbaik untuk membebaskan jiwa adalah dengan bunuh diri.

Kini sudah saatnya dunia menerima dengan tulus, ikhlas dan penuh keyakinan bahwa, "Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah." Betapapun, pengalaman dan uji coba manusia sepanjang sejarah kehidupan dunia ini dari abad ke abad telah membuktikan banyak hal; menyadarkan bahwa berhala-berhala itu hanya tahayul belaka, kekafiran itu laknat, atheisme itu dusta, dan para rasul itu benar adanya, serta Allah itu Mahabenar. Allah-lah yang memiliki kerajaan bumi dan langit, segala puja dan puji hanya milik-Nya, Dia Mahakuasa atas segala sesuatu.

Seberapa besar dan kecil, kuat dan lemah, hangat dan dingin iman anda, maka sebatas itu pula kebahagiaan, ketentraman, kedamaian dan ketenangan anda dapatkan.

Allah Ta'ala berfirman,

مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهُ حَيَاةً طَيِّبَةً وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ أَجْرَهُمْ بِأَحْسَنِ مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ

"Barang siapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-Nahl: 97)

Maksud kehidupan yang baik (hayah thayyibah) dalam ayat ini adalah ketenangan jiwa mereka dengan janji baik dari Rabbnya, keteguhan hati dalam mencintai Allah, kesucian mereka dari unsur-unsur penyimpangan iman, ketenangan mereka dalam menghadapi setiap kenyataan hidup, kerelaan hati mereka dalam menerima dan menjalani ketentuan Allah, dan keikhlasan mereka dalam menghadapi takdir. Dan itu semua, sesungguhnya karena mereka ridla Allah sebagai Rabbnya, Islam sebagai agama mereka, dan Muhammad sebagai nabi dan rasul yang diutus Allah kepada mereka.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

ذَاقَ طَعْم الْإِيمَان مَنْ رَضِيَ بِاَللَّهِ رَبًّا وَبِالْإِسْلَامِ دِينًا وَبِمُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَسُولًا

"Pasti akan merasakan manisnya iman orang yang ridla Allah sebagai Rabb, Islam sebagai dien/aturan hidup, dan Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam sebagai rasul.” (HR. Muslim dari al Abbas bin Abdil Muthalib).

Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, kalau tiga keridlaan ini ada dalam diri seseorang maka dia telah menjadi orang yang benar dan jujur dalam beriman. Hal ini sesuai dengan firman Allah,

إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ آَمَنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ لَمْ يَرْتَابُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أُولَئِكَ هُمُ الصَّادِقُونَ

"Sesungguhnya orang-orang mukmin yang sebenarnya adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu lagi, dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka di jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang benar.” (QS. al Hujurat: 15)

Dalam Shahihain, dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda; “Tiga hal yang terdapat dalam diri seseorang, maka ia akan merasakan manisnya iman: Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, tidaklah ia mencintai seseorang kecuali karena Allah, dan ia benci kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam neraka.

Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Abu Razin al ‘Uqaili rahimahullah, “Apabila kamu seperti itu maka benar-benar iman sudah masuk ke dalam hatimu sebagaimana masuknya kecintaan kepada air bagi orang yang kehausan di tengah hari yang terik.

Ibnul Qayim bercerita tentang gurunya, Ibnu Taimiyah: “Sungguh aku pernah mendengar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya di dalam dunia ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan bisa memasuki surga akhirat.

Sesungguhnya di dalam dunia ada sebuah surga. Barangsiapa yang tidak memasukinya, maka ia tidak akan bisa memasuki surga akhirat.

(Ibnu Taimiyah)

Pada suatu hari ia juga bercerita kepadaku, “Apa yang yang akan dilakukan oleh musuh-musuhku terhadapku? Sesungguhnya surgaku dan tamanku ada di dalam dadaku. Kemanapun aku pergi ia selalu bersamaku. Sungguh penjaraku adalah khalwat (menyepi)ku bersama Allah, kematianku adalah kesyahidan, dan pengusiran diriku dari negeriku adalah tamasya.

Oleh: Badrul Tamam

Kisah Tragis Ahli Ibadah yang Mati Su'ul Khatimah

Janganlah kita terlampau puas dengan amal shalih yang sudah kita lakukan dan bersandar padanya. Apalagi diikuti dengan merasa bangga diri dan merasa sudah pasti menjadi ahli surga. Akibatnya, tidak lagi berharap kepada rahmat Allah dan kemurahan-Nya.

Sesungguhnya perbuatan hamba ditentukan pada akhir hayatnya. Dan kita tidak tahu di atas kondisi apa mengakhiri kehidupan kita, apakah husnul khatimah (akhir hayat yang baik) atau su'ul khatimah (akhir hayat yang buruk).

Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya segala perbuatan ditentukan bagian akhirnya.” (HR. Bukhari).

Artinya, barangsiapa yang telah ditetapkan oleh Allah beriman di akhir hayatnya, meskipun sebelumnya dia kufur dan selalu melakukan maksiat, menjelang kematiannya ia akan beriman. Ia meninggal dalam keadaan beriman dan dimasukkan ke dalam surga. Demikan juga dengan orang yang sudah ditentukan kafir atau fasik di akhir hayatnya, meskipun sebelumnya ia beriman, maka menjelang kematiannya ia akan melakukan kekufuran. Ia meninggal dalam keadaan kufur dan akan dimasukkan ke dalam neraka.

Dari Abdullah bin Mas'ud, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:

فَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ لَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجَنَّةِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ كِتَابُهُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ النَّارِ وَيَعْمَلُ حَتَّى مَا يَكُونُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ النَّارِ إِلَّا ذِرَاعٌ فَيَسْبِقُ عَلَيْهِ الْكِتَابُ فَيَعْمَلُ بِعَمَلِ أَهْلِ الْجَنَّةِ

"Sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli surga sehingga jarak antara dirinya dengan surga hanya hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya lalu dia beramal dengan amalan ahli neraka, lantas ia memasukinya. Dan sesungguhnya ada salah seorang dari kalian beramal dengan amalan ahli neraka sehingga jarak antara dirinya dengan neraka hanya tinggal satu hasta, tapi (catatan) takdir mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan ahli surga, lantas ia memasukinya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam riwayat Sahl bin Sa'ad al Sa'idi, "Sesunggunya ada seorang dari kalian benar-benar melakukan amalan ahli surga, dalam apa yang nampak kepada manusia. . . ." (HR. Bukhari dan Muslim)

Karenanya, kita harus senantiasa berdoa supaya Allah senantiasa memberikan keteguhan hati di atas kebenaran dan kebaikan serta memberikan kepada kita husnul khatimah. Sebaliknya kita juga berlindung kepada Allah dari su'ul khatimah dan kesudahan yang buruk.

Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam senantiasa berdoa,

يَا مُقَلِّبَ الْقُلُوْبِ، ثَبِّتْ قَلْبِي عَلَى دِيْنِكَ

Wahai Dzat yang membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati di atas agama-Mu.

Dalam riwayat muslim beliau shallallaahu 'alaihi wasallam bersabda, “sesungguhnya hati semua manusia berada di antara dua jari Allah, seolah-olah hanya satu hati. Allah berbuat sekehendak-Nya.” Lalu beliau berdoa,

اللَّهُمَّ مُصَرِّفَ الْقُلُوبِ صَرِّفْ قُلُوبَنَا عَلَى طَاعَتِكَ

Wahai Dzat yang memalingkan hati, palingkanlah hati kami kepada ketaatan kepada-Mu.

Sebab Su'ul Khatimah

Ibnu Hajar al Haitami berkata, “Sesungguhnya akhir hayat yang buruk diakibatkan bibit keburukan yang terpendam dalam jiwa manusia, yang tidak diketahui orang lain. Kadang-kadang seseorang melakukan perbuatan-perbuatan ahli neraka, namun di dalam jiwanya terpendam bibit kebaikan. Maka, menjelang ajalnya bibit kebaikan itu tumbuh dan mengalahkan kejahatannya. Sehingga ia mati dalam keadaan husnul khatimah."

Abdul Aziz bin Dawud berkata, “Aku hadir pada seseorang yang sedang ditalqin (dibimbing untuk mengucapkan kalimat syahadat), akan tetapi ia tidak mau. Lalu aku bertanya tentang orang ini. Ternyata ia seorang peminum khamer."

Pada kesempatan yang lain ia berkata, “Berhati-hatilah dengan dosa, karena dosa bisa menjerumuskan seseorang ke dalam su'ul khatimah."

Berhati-hatilah dengan dosa, karena dosa bisa menjerumuskan seseorang ke dalam su'ul khatimah.

Abdul Aziz bin Dawud

Kisah Tragis seorang ahli Ibadah yang mati Su'ul Khatimah

Manshur bin Ammar mengisahkan, dulu kala aku punya seorang teman yang suka melampaui batas, lalu bertaubat. Aku melihat dia banyak beribadah dan shalat tahajjud. Suatu ketika aku putus komunikasi dengannya. Dan menurut kabar dari orang-orang, ia sedang sakit. Maka aku pergi ke rumahnya dan anak perempuannya datang menemuiku. Dia bertanya, “Siapa yang engkau ingin temui?” Aku menjawab, “Si fulan.” Maka ia mengizinkanku masuk dan akupun bergegas ke dalam rumah.Aku melihatnya sedang tebaring di atas ranjang yang terletak di tengah rumah. Mukanya terlihat kehitaman, kedua matanya tertutup dan kedua bibirnya bengkak dan menebal.

Aku berkata padanya dengan perasaan takut melihatnya, “Wahai saudaraku, perbanyaklah mengucap Laa Ilaaha Illallaah.” Ia membuka kedua matanya dan menatapku dengan penuh kemarahan, lalu ia tak sadarkan diri. Kembali kuulangi perkataanku kedua kalinya, wahai saudaraku perbanyaklah mengucap Laa Ilaaaha Illallaah.” Pada saat aku mengulanginya untuk ke tiga kalinya, lalu ia membuka matanya dan berkata, “Wahai Manshur, saudaraku, kalimat ini telah menjauh dariku.”

Aku bergumam, "Tiada daya dan tiada upaya melainkan dengan izin Allah, Dzat Mahatinggi dan Mahamulia."

Kemudian aku bertanya padanya, “wahai saudaraku, di manakah shalat, puasa, tahajud dan shalat malammu?”

Ia menjawab, “Aku melakukan semua itu bukan untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala dan taubatku hanyalah taubat palsu. Sebenarnya aku melakukan semua itu supaya aku dikenal dan disebut-sebut orang, aku melakukannya dengan maksud pamer kepada orang lain. Bila aku menyepi seorang diri, aku masuk ke dalam rumah dan memasang tirai-tirai, lalu aku minum khamer dan menantang Tuhan dengan kemaksiatan-kemaksiatan. Aku terus melakukan itu sampai beberapa masa. Kemudian aku ditimpa penyakit hingga hampir binasa. Saat itu juga aku suruh anak perempuanku, ‘ambilkanlah aku mushaf!’ dan aku berdoa, ‘Ya Allah, demi kebenaran Al-Qur’an yang agung, sembuhkanlah aku!’ Dan aku berjanji tidak akan kembali melakukan dosa untuk selamanya. Maka Allah membebaskanku dari penyakit.

Setelah sembuh, aku kembali kepada keadaan semula, hidup berpoya-poya dan berhura-hura. Syetan telah membuatku lupa dengan perjanjian yang telah kuikrarkan kepada Tuhanku. Aku terlena dalam keadaan itu sampai beberapa saat lamanya hingga aku menderita sakit hampir mati karenanya. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti biasanya. Kemudian aku suruh mereka mengambilkan mushaf dan aku mulai membacanya. Lalu aku acungkan mushaf itu seraya berdoa, ‘Ya Allah, demi kehormaan kalam-Mu yang ada dalam mushaf ini, bebasknalah aku dari penyakitku!.’ Maka Allah mengabulkan permintaanku dan menyembuhkan penyakitku.

Kemudian aku kembali hidup bersenang-senang dan akupun jatuh sakit lagi. Lalu aku perintahkan keluargaku membawaku ke tengah-tengah rumah seperti yang engkau lihat sekarang ini. Kemudian aku menyuruh mereka mengambilkan mushaf untuk kubaca, tetapi mataku sudah tidak bisa melihat saru huruf-pun. Aku pun menyadari bahwa Allah sudah murka kepadaku. Lalu aku acungkan mushaf itu di atas kepalaku sembari memohon, ‘Ya Allah, demi kehormatan mushaf ini, bebaskalah aku dari penyakit ini, wahai penguasa bumi dan langit!’ Tiba-tiba aku mendengar seperti suara memanggil, ‘engkau bertaubat tatkala engkau sakit, dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Dia menyingkap bala’ cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau telah binasa di dalam kesalahan-kesalahan’.”

‘Engkau bertaubat tatkala engkau sakit, dan engkau kembali kepada perbuatan dosa tatkala engkau sembuh. Betapa banyak Dia menyelamatkanmu dari kesusahan, dan betapa bayak Dia menyingkap bala’ cobaan tatkala engkau diuji. Tidaklah engkau takut dengan kematian? Dan engkau telah binasa di dalam kesalahan-kesalahan’.

Manshur bin ‘Ammar berkata, “sungguh demi Allah aku keluar dari rumahnya dengan air mata tertumpah merenungkan ‘ibrah yang baru kulihat, dan belum sampai di pintu rumahku, sampailah kabar bahwa dia sudah meninggal.” [PurWD/voa-islam.com]

(Sumber: Mi’ah Qishash wa Qishah fi Anis ash-Shalihin wa Samir al Muttaqin, Muhammad Amin al Jundi, (edisi Indonesia: 101 kisah teladan, Mitra Pustaka Yogyakarta, Cet XI November 2006)

Kamis, 13 Mei 2010

driver hp mini 210 complete

bagi temen2 yang punya masalah dengan laptop HP mini 210, terutama seri HP mini 210-1014, cobalah buka alamat2 web di bawah ini, karena ini adalah web untuk mendonlot driver2 yang ada di HP mini 210 series. saya pake HP mini 210 - 1002 lho, jadi coba aja,
http://www.getpcmemory.com/drivers/download-hp-mini-2140-notebook-pc-windows-xp-drivers/

di dalamnya tinggal milih driver apa yang kamu inginkan, sperti:
intel chipset, VGA, Blu-tut,touch pad, camera dll.

kalo yang ini tutorial untuk menginstal windows XP sp3 pada HP mini 210 -1014
http://beritaku.webkios.info/install-windows-xp-di-hp-mini/

kalo ini review singkat tentang komparasi HP mini 210 series, tapi cuma 3 jenis aja, yaitu seri 1014,1002 dan 1006.
sebenarnya HP mini 210 ada beberapa seri selain 3 seri tersebut, sepert 1066, 1077 dll

semoga bermanfaat

Minggu, 02 Mei 2010

ilahi... anta maqshudi........

sejarah Tarekat Naqsyabandiyah

Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Sejarah
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa’id, Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857, memindahkan arah

Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab dalam masyarakat mereka.

Sebagai guru fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.

Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan dia kadang-kadang dipandang sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (“petautan”) atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait dengan sikap politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi syari’at dalam masyarakat Muslim dan menolak agresi Eropa. Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.

Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar satu tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan “wewenang lengkap dan mutlak” sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”, dari tiga tempat tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116 wakil, yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas geografisnya. Murid-muridnya mencakup tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan “Utsmaniyah”, tetapi juga sejumlah gubernur provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa Asim, syekh al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.

Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed Ziyauddin Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis: tulisannya yang dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As’ad dari Ibril wilayah Irak Utara.

Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh “Qadiriyah”, yang sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah Kurdistan, dan memunculkan sejumlah keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara Kurdistan. Hubungan keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim oleh Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk sementara, sebagian besar orang Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.

Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak di pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.

Wilayah ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi kedatangan Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi semasa hidup Maulana Khalid. Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam menjadi syari’at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama untuk orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia pada 1832, dan penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama. Sebaliknya Syamil, yang kemudian mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim terhadap imperialisme Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh Daghestan dan Chechenia yang berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.

Wilayah populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah adalah Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).

Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari Kazan, Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut Ghumushaveni asal Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke Istambul pada 1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881 dia memperkukuh dan memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia disebut sebagai “raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap terus bergaung sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia yang berfungsi di bawah pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.

Akhirnya, Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di dunia Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi. Setelah lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga pergi ke Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun usahanya merupakan rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya dan Syekh Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang mendirikan Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung Malaya.

Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.

Peran Politik
Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan Ghulam Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi didirikan di Syur Bazar di pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan peranan penting dalam urusan negara Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama pada tahun 1991. Di tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan menonjol dalam perlawanannya terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke diarahkan oleh seorang pengikut Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan). Naqsyabandiyah juga memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863 dan 1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.

Ciri khas yang ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara modern, terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat pasif (kecuali pemberontakan Sa’id). Penggambaran peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As’ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil, sekarang diragukan.

Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan intelektual: Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As’ad. Mehmed Zahid Kotku (w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994). Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah ke dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur tersebut. Penting dicatat bahwa beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal pada 1993.

Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.

Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islam bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.

Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah, “jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang mengamalkan “jalan” tadi.

Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan penganut Naqsyabandiyah India).

Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:

  1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
  2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
  3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
  4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
  5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
  6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
  7. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari; kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
  8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.

Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:

  1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
  2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
  3. Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama Allah terukir di atasnya.

Zikir dan Wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.

Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi.

Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha’if — dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya — bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan nama-namanya bisa berbeda; kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.

Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.

Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.

Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda. Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.


wallahu a`lam

BISMILLAHIRAHMAN NIRAHIM...

CONTOH PENGALAMAN KEROHANIAN- SYEIKH AHMAD SIRHINDI
(beliau adalah pembaharu toriqoh naqsabandiah, atau beliau adalah pendiri toriqoh naqsabandiyah mujaddaidiyah)

Apabila intisari pengalaman kerohanian tidak didedahkan, orang ramai yang berminat dalam bidang tersebut mudah terdorong untuk membuat andaian sendiri. Sebahagian mereka menyangkakan ilmu yang diajar secara bersembunyi itulah ilmu yang benar dan ilmu yang diajar secara terbuka tidak sampai kepada kebenaran yang sejati. Dalam alam yang tersembunyi itulah muncul berbagai-bagai ajaran yang kedengaran daripada jauh sebagai ajaran sesat. Apabila dipanggil oleh pihak yang berkuasa pengamal ajaran berkenaan menafikan penglibatan mereka dengan ajaran tersebut. Mereka mengaku menjadi pengikut Ahli Sunah wal Jamaah. Bila dibebaskan mereka kembali semula kepada alam persembunyian mereka. Murid-murid mereka diberitahu bahawa ilmu mereka adalah ilmu wali-wali, hanya wali sahaja boleh mendengar pengajarannya, tidak boleh didedahkan kepada orang yang tidak berjalan pada jalan wali, walaupun mereka adalah pihak yang berkuasa. Alam persembunyian mereka tetap tinggal kukuh. Tidak dapat dipastikan berapa banyak tuhan-tuhan yang muncul dalam alam persembunyian tersebut. Akibatnya tarekat tasauf yang benar dengan tarekat yang sesat sukar dikenalpasti. Di kalangan orang ramai pula mula timbul anggapan serong terhadap orang-orang yang bertarekat tasauf, terutamanya yang memakai jubah. Guru ajaran sesat digambarkan sebagai orang yang berjubah dan berserban. Orang alim pula digambarkan sebagai berpakaian ‘bush jacket’ dan ‘coat’. Ahli tarekat yang benar tidak diterima dengan baik kerana mereka memakai jubah. Inilah yang berlaku apabila tarekat yang sesat berselindung di sebalik jubah dan serban, dan aktiviti mereka tidak didedahkan.

Dalam menangani masalah penyakit aids, orang ramai didedahkan secara meluas kepada pengetahuan mengenai punca dan tanda-tanda penyakit tersebut. Dalam menangani penyakit sosial yang melibatkan seks, sudah ada usaha menyebarkan pendidikan seks secara terbuka. Penyakit aids dan pengamal seks yang tersalah langkah berpeluang menceritakan pengalaman mereka secara terbuka. Tindakan berani orang-orang yang bersalah dan menyesal itu sedikit sebanyak memberi kesan kepada orang ramai.

Di antara semua penyakit, termasuklah penyakit aids, dadah, seks dan semua penyakit, penyakit yang paling besar dan paling merbahaya adalah penyakit sesat akidah. Penyakit lain mungkin menerima pengampunan Tuhan, sekiranya Dia kehendaki, tetapi penyakit sesat akidah tidak diampunkan-Nya. Jika orang lain berpeluang memasuki syurga selepas dicuci di dalam neraka, tetapi orang yang sesat akidah tidak berpeluang meninggalkan neraka. Oleh kerana penyakit ini merugikan manusia di dunia dan di akhirat, usaha membenterasnya mestilah dilakukan sehingga ke akar umbinya. Salah satu kubu persembunyian mereka adalah bahagian kesamaran dalam ajaran tarekat tasauf. Kubu ini mesti diperuntuhkan dengan memperjelaskan apa yang samar supaya tidak ada lagi alasan yang batal bersembunyi di sebalik yang benar. Pendukung ajaran tarekat yang benar berkewajipan melindungi akidah orang ramai daripada fitnah yang ditaburkan oleh nabi-nabi palsu, wali-wali palsu dan guru-guru palsu yang berselindung di sebalik nama tarekat kewalian.

Pengalaman kerohanian, seperti penyaksian terhadap cahaya-cahaya perlu diperjelaskan agar tidak timbul anggapan bahawa Tuhan adalah cahaya dengan warna yang tertentu. Pengalaman yang dilalui oleh Syeikh Ahmad Sirhindi dimuatkan di sini untuk dijadikan iktibar oleh orang yang terpengaruh dengan ajaran sesat yang mempertuhankan cahaya. Syeikh Ahmad Sirhindi, keturunan Umar al-Khattab, dilahirkan di India. Beliau mempunyai pengalaman yang luas dalam bidang tarekat tasauf. Beliau telah menceritakan pengalaman kerohanian beliau.

Apabila Syeikh Ahmad memutuskan untuk mengikuti jalan kesufian beliau telah pergi kepada mursyid tarekat Naqsabandiah yang bernama Syeikh Muhammad al-Baqi. Syeikh Muhammad menjadi pembimbing Syeikh Ahmad melalui semua peringkat kerohanian. Syeikh Muhammad mentalkinkan zikir Ilmul Zat, iaitu kalimah Allah kepada Syeikh Ahmad. Mursyid Naqsabandiah itu menjuruskan perhatian kerohanian beliau kepada Syeikh Ahmad sehinggalah Syeikh Ahmad mengalami keghairahan dan kelazatan yang amat sangat. Beliau juga mengalami rasa kepiluan yang bersangatan sehingga beliau menangis dengan bersungguh-sungguh. Setelah satu hari mengamalkan zikir Ismul Zat, Syeikh Ahmad dikuasai oleh rasa penafian dan kelenyapan diri. Dalam suasana kerohanian yang demikian beliau menyaksikan laut yang sangat luas. Beliau menyaksikan segala sesuatu sebagai bayang-bayang dalam laut tersebut. Pengalaman demikian menjadi bertambah kuat, mendalam dan cemerlang sehingga memukau jiwa beliau. Beliau mengalami suasana tersebut beberapa lama, kadang-kadang berlarutan sampai satu suku hari, kadang-kadang sehingga separuh hari dan kadang-kadang sampai satu hari penuh. Syeikh Ahmad melapurkan pengalaman beliau itu kepada Syeikh Muhammad. Syeikh Muhammad menjelaskan bahawa apa yang telah dialami oleh Syeikh Ahmad itu merupakan sejenis pengalaman fana dan Syeikh Ahmad dinasihatkan supaya menjaga penyingkapan itu.

Syeikh Ahmad meneruskan latihannya. Dua hari kemudian beliau mengalami fana yang lebih teratur. Beliau meneruskan latihan sebagaimana yang diajarkan oleh mursyidnya. Seterusnya beliau mencapai fana dalam fana. Syeikh Ahmad melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyidnya itu bertanyakan sama ada Syeikh Ahmad menyaksikan seluruh alam ini sebagai satu kewujudan dan adakah beliau mendapati kewujudan tersebut bersatu dengan Yang Satu. Syeikh Ahmad memperakui bahawa demikianlah yang beliau telah alami. Mursyidnya menjelaskan bahawa fana dalam fana yang sebenar adalah walaupun disaksikan penyatuan tetapi seseorang itu masuk ke dalam suasana ketidak-sedaran sehingga fana itu sendiri tidak ada dalam kesedarannya. Syeikh Ahmad meneruskan latihannya dan pada malam itu beliau mengalami suasana fana seperti yang digambarkan oleh mursyidnya. Beliau melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad, termasuklah pengalaman beliau sebelum memasuki fana. Beliau melapurkan bahawa beliau mendapat ilmu secara langsung dari Tuhan. Beliau juga mendapati sifat-sifat yang menjadi miliknya adalah juga milik Tuhan. Selepas peringkat tersebut beliau maju lagi. Beliau menyaksikan satu cahaya yang membungkus segala sesuatu. Cahaya tersebut berwarna hitam. Beliau menyangkakan apa yang beliau saksikan itu adalah Tuhan. Mursyid beliau menjelaskan apa yang telah beliau alami itu adalah menghadap kepada Tuhan di sebalik hijab cahaya. Ia kelihatan kerana perkaitan Zat Yang Maha Suci dengan alam kebendaan, tetapi ia mesti dinafikan. Selepas penafian itu Syeikh Ahmad mendapati cahaya hitam yang membungkus segala sesuatu itu mula mengecil sehingga menjadi satu titik yang sangat halus. Mursyidnya menyuruhnya menafikan juga titik hitam yang halus itu supaya beliau boleh sampai kepada suasana kehairanan. Syeikh Ahmad mematuhi arahan mursyidnya itu dan titik hitam yang halus itu pun lenyap. Beliau dikuasai oleh suasana kehairanan. Dalam suasana kehairanan itulah Syeikh Ahmad mendapati Tuhan hanya kelihatan kepada Diri-Nya melalui Diri-Nya sendiri. Mursyidnya mengsahkan bahawa apa yang dialami oleh Syeikh Ahmad itu adalah suasana kehadiran yang dicari dalam tarekat Naqsabandiah. Ia dinamakan nisbat bagi tarekat Naqsabandiah. Ia juga dipanggil kehadiran Tuhan secara tiada rupa, bentuk, sifat dan lain-lain. Tahap inilah menjadi tujuan pencarian.

Maksud nisbat adalah hubungan dengan Tuhan yang tidak putus walau sedetik pun. Nisbat yang jarang terjadi ini dikurniakan kepada Syeikh Ahmad dalam masa dua bulan beberapa hari selepas beliau ditalkinkan oleh Syeikh Muhammad. Selepas tahap nisbat satu lagi bidang fana dikurniakan kepada beliau. Beliau meyakini bahawa fana pada tahap ini adalah fana hakiki. Dalam kefanaan yang demikian beliau menyaksikan hati beliau menjadi besar, menjadi tersangat besar hinggakan seluruh alam termasuklah al-Kursi dan al-Arasy hanyalah seumpama sebiji sawi jika dibandingkan dengan hatinya. Selepas peringkat ini beliau menyaksikan dirinya dan segala sesuatu sebagai Tuhan. Kemudian beliau melihat segala sesuatu dari alam ini menjadi satu dengan dirinya dan dirinya menjadi satu dengan segala sesuatu. Beliau menyaksikan seluruh alam tersembunyi dalam sebiji zarah yang halus. Kemudian pengalaman beliau berubah pula. Beliau menyaksikan zarah dirinya membesar hinggakan beberapa alam boleh diisi di dalamnya. Beliau menyaksikan dirinya atau satu zarah sebagai cahaya yang membesar, memasuki setiap zarah kewujudan sehingga semua rupa dan bentuk alam hilang lenyap di dalamnya. Selepas itu beliau mendapati dirinya atau satu zarah, menanggung alam atau menjadi pasak alam. Mursyidnya menyatakan suasana demikian adalah peringkat haqqul yaqin dalam tauhid, peringkat bersatu dalam kesatuan.

Selepas peringkat di atas, berlaku pula pengalaman yang berbeza daripada pengalaman penyatuan. Dahulunya Syeikh Ahmad menyaksikan segala sesuatu sebagai Tuhan tanpa ada sebarang perbezaan. Bila memasuki peringkat yang baharu ini beliau mendapati segala sesuatu pada alam bukanlah bersatu dengan Tuhan, tetapi hanyalah bentuk khayalan. Penyatuan hanya berlaku dalam penyaksian mata hati semata-mata. Beliau masuk kepada suasana kehairanan yang menyeluruh. Pada ketika itu beliau teringatkan kata-kata Ibnu Arabi dalam kitab Fusus: “Jika kamu suka kamu boleh panggilnya yang diciptakan atau jika kamu suka kamu boleh panggilnya Tuhan dalam satu aspek dan makhluk dalam aspek yang lain. Kamu boleh juga mengatakan yang kamu tidak mampu membezakan keduanya”. Keterangan dari kitab Fusus itu mententeramkan jiwa Syeikh Ahmad. Bila berkesempatan beliau melapurkan pengalaman beliau kepada Syeikh Muhammad. Mursyid itu memberitahu bahawa Syeikh Ahmad mengalami suasana kehadiran Tuhan tetapi secara tidak jelas. Beliau dinasihatkan supaya meneruskan latihan agar wujud boleh dibezakan daripada khayali. Syeikh Ahmad bertanya kepada mursyidnya mengenai keterangan Ibnu Arabi berhubung pengalaman yang telah dialaminya. Syeikh Muhammad menjelaskan bahawa Ibnu Arabi tidak menceritakan suasana yang sempurna yang berbeza dengan fahaman satu wujud, kerana kebanyakan sufi tidak melepasi peringkat menyaksikan tidak ada perbezaan di antara Tuhan dengan alam. Jika mereka melepasi peringkat tersebut mereka akan menyaksikan perbezaan di antara Tuhan dengan makhluk.

Syeikh Ahmad meneruskan latihannya. Dalam masa dua hari beliau dikurniakan pengalaman yang memperlihatkan perbezaan di antara Wujud yang sebenar dengan wujud khayali. Beliau mendapati sifat, tindakan dan kesan yang muncul pada wujud bayangan (khayali) sebenarnya datang dari Tuhan. Beliau menyedari sepenuhnya bahawa sifat dan perbuatan tersebut sebenarnya bayangan atau khayalan sepenuhnya dan tiada yang maujud melainkan Tuhan. Mursyidnya menerangkan bahawa beliau sudah sampai kepada peringkat mengalami suasana perbezaan selepas penyatuan, iaitu selepas menyaksikan Wujud Tuhan dan wujud hamba bersatu sebagai satu wujud, beliau melepasi peringkat tersebut dan menyaksikan Wujud Tuhan sebenarnya berbeza daripada wujud hamba. Peringkat ini merupakan tahap terakhir pencapaian manusia. Selepas peringkat ini seseorang itu akan memahami dan menyedari tujuan dia diberi bakat-bakat yang perlu. Inilah peringkat kesempurnaan.

Syeikh Ahmad Sirhindi meringkaskan perjalanan kerohanian beliau. Bila beliau dibawa kepada peringkat kesedaran sesudah mabuk, baqa sesudah fana dan melihat kepada setiap zarah kewujudan dirinya, beliau tidak melihat sesuatu melainkan Allah s.w.t dan beliau temui ‘cermin’ untuk ‘menanggung’ Tuhan. Kemudian beliau dibawa meninggalkan peringkat tersebut. Beliau masuk ke dalam suasana kehairanan. Bila beliau kembali kepada dirinya beliau dapati Tuhan dan segala yang maujud berada dalam dirinya. Kemudian beliau dibawa lagi ke dalam suasana kehairanan. Selepas itu kesedaran beliau dikembalikan semula dan beliau mendapati Tuhan bukan satu dengan alam, tetapi tidak juga berpisah. Pada peringkat permulaannya beliau menyaksikan Tuhan sebagai meliputi dan menyertai sesuatu, kemudian penyaksian yang demikian hilang sama sekali. Walaupun begitu Tuhan kelihatan kepadanya dengan keadaan tersebut yang membuatnya merasakan seakan-akan Dia. Seterusnya beliau melihat alam tidak ada di samping Tuhan, padahal dahulunya beliau melihat alam berada di samping Tuhan. Beliau kembali semula kepada suasana kehairanan. Kemudian kesedaran beliau kembali lagi. Beliau kini memperolehi pengetahuan yang sangat berbeza daripada pengetahuan beliau sebelumnya. Dalam pengetahuan beliau yang terbaharu ini beliau mendapati hubungan Tuhan dengan alam adalah berlainan daripada apa yang beliau fahamkan dahulu. Hubungan Tuhan dengan alam tidak mampu dihuraikan dan tidak dapat diketahui. Beliau masuk pula ke dalam suasana kehairanan. Beliau merasakan kekerdilan diri. Bila beliau sedar semula beliau mendapat pengetahuan bahawa Tuhan tidak ada hubungan dengan alam secara diketahui atau tidak diketahui. Beliau diberi pengetahuan khusus tentang tidak wujud hubungan di antara Tuhan dengan makhluk walaupun beliau menyaksikan kedua-duanya. Pada tahap ini beliau mendapat pengetahuan bahawa apa juga yang disaksikan, walaupun berunsur ghaib, adalah bukan Tuhan. Ia adalah bentuk simbolik atau misal tentang hubungan Tuhan dan ciptaan-Nya yang melampaui apa juga pengetahuan dan penyaksian. Beliau menemui di akhir perjalanan beliau bahawa masih ada peringkat yang lebih tinggi daripada peringkat menyaksikan satu wujud. Penyaksian terhadap satu wujud merupakan satu pengalaman yang ditemui dalam perjalanan kerohanian. Setelah melepasi peringkat tersebut seseorang itu akan menjadi sesuai dengan al-Quran dan al-Hadis secara sedikit demi sedikit. Di penghujung perjalanannya kesan penyaksian satu wujud hilang sama sekali dan dia menjadi sesuai sepenuhnya dengan al-Quran dan as-Sunah.

Dari pengalaman Syeikh Ahmad Sirhindi dapatlah diyakini bahawa bimbingan guru yang arif sangat diperlukan bagi orang yang mahu memasuki perjalanan kerohanian. Tanpa bimbingan guru yang arif sukar bagi seseorang melepasi hijab-hijab yang ditemui di sepanjang perjalanan. Orang yang berhenti di tengah jalan menemui buah yang belum masak. Mereka merasakan buah yang belum masak itu sudah cukup enak. Mereka tidak mengetahui bahawa buah yang sudah masak berlainan rasanya.

Beberapa orang sufi mungkin mengalami hal yang sama tetapi fahaman yang timbul daripada pengalaman tersebut mungkin berbeza. Ibnu Arabi mengalami suasana satu wujud berpegang kepada fahaman wahdatul wujud. Syeikh Ahmad Sirhindi juga mengalami suasana yang demikian tetapi beliau berpegang kepada fahaman wahdatul syuhud. Syeikh Ahmad telah melepasi peringkat menyaksikan satu wujud dan beliau kembali kepada jalan kenabian. Ramai juga sufi yang tidak terlepas daripada kesan menyaksikan satu wujud, lalu mereka bermukim pada makam yang berfahamkan wahdatul wujud. Sufi tersebut ditarik kepada fahaman demikian kerana kefanaan dan mabuk. Orang yang dalam kesedaran tidak patut mengikuti fahaman yang demikian. Perlulah diketahui bahawa apa yang dialami dalam alam kerohanian tidak semestinya kebenaran yang sejati. Alam demikian lebih merupakan Alam Misal yang menceritakan sesuatu tentang Kebenaran Hakiki yang melampaui misal. Misal dalam alam kerohanian boleh dialami secara penyaksian atau zauk (rasa). Ketika melalui daerah-daerah Latifah Rabbaniah seseorang boleh menyaksikan cahaya-cahaya dan mengalami zauk Hakikat-hakikat Kenabian. Cahaya yang disaksikan dalam daerah latifah boleh mempesonakan seseorang dan hakikat kenabian boleh membalikkan pandangan seseorang. Ada orang yang keliru dengan cahaya, menyangkakan Tuhan sebagai cahaya cuaca subuh. Ada orang yang keliru dengan hakikat kenabian, menyangkakan dirinya menyatu dengan nabi-nabi atau terus mendakwakan dirinya sebagai nabi Ada sebahagian daripada mereka yang mencuba untuk mencungkil ‘Rahsia’. Mereka menyatukan diri mereka dengan Nabi Adam a.s dan Nabi Muhammad s.a.w. Bagi mereka tidak ada bezanya diri mereka dengan Adam dan Muhammad. Fahaman mereka sudah jauh menyimpang dari kebenaran. Perjalanan jasad dengan perjalanan roh lebih kurang sahaja. Manusia dari aspek jasad datang dari jasad yang satu iaitu jasad Adam. Walaupun bersumberkan jasad yang satu tetapi sekalian jasad-jasad merdeka daripada jasad yang satu itu dan juga setiap jasad tidak terikat dengan jasad yang lain. Setelah jasad Adam mengalami mati, jasad-jasad lain tidak ikut mati bersamanya. Jika jasad Saleh dipotong, jasad Yusuf tidak ikut terpotong. Setiap jasad bebas dengan perjalanannya, menanggung bahagia atau celakanya sendiri. Begitu juga dengan perjalanan rohani atau roh. Jika roh Nabi Muhammad s.a.w bahagia, roh Abu Jahal tidak ikut bahagia. Jika roh dan jasad Nabi Ibrahim a.s dimasukkan ke dalam syurga, roh dan jasad Namrud tidak ikut memasuki syurga. Sekalipun sekalian roh-roh bersumberkan roh yang satu tetapi roh individu bebas dengan perjalanannya sebagaimana jasad bebas berbuat demikian. Fahaman menyatukan jasad atau roh seseorang dengan jasad atau roh orang lain adalah fahaman yang keliru. Orang yang mengalami jazbah mungkin terbalik pandangannya dan mengalami suasana penyatuan, tetapi penyatuan tersebut hanya berlaku dalam alam perasaannya, bukan itulah yang sebenarnya berlaku. Tanpa bimbingan guru yang arif orang tersebut akan berterusan berada di dalam gambaran khayalannya atau di dalam alam bayangan

Orang-orang yang meminati tarekat tasauf sangat ingin mengetahui pengalaman kerohanian dan penyaksian yang terjadi kepada orang sufi. Penerangan mengenai perkara tersebut sukar diperolehi. Buku-buku tasauf hanya menceritakan tentang perjalanan kerohanian secara umum. Kadang-kadang diolah dengan cara yang sukar dimengerti, dicampur pula dengan istilah-istilah yang belum pernah didengar. Banyak perkara dibungkus dengan istilah Rahsia; Rahsia Tuhan, Rahsia Insan dan berbagai-bagai Rahsia lagi. Ada pula yang menceritakan pengalaman secara berteka-teki, digunakan huraian yang samar-samar. Semua itu dilakukan dengan alasan orang awam tidak akan mengerti perkara kerohanian yang mendalam. Perkara khusus hanya boleh diperkatakan dalam majlis yang menjadi ahli sahaja. Ada guru-guru yang tarekat melarang murid-muridnya bercakap mengenai perkara kerohanian dengan orang yang berlainan aliran tarekat.