Rabu, 22 Februari 2012

Runtuhnya Karakter Bangsa dan Urgensi Pendidikan Pancasila

Runtuhnya karakter bangsa Indonesia yang mengemuka belakangan ini seperti terlihat pada memudarnya sikap toleran dan menghormati nilai-nilai pluralisme sehingga kekerasan begitu mudah terjadi serta sikap tidak setia pada negara dalam bentuk munculnya gerakan untuk mendirikan negara berlandaskan agama seperti NII ditengarai ada sesuatu yang tidak beres (there is something wrong) dalam praktik penyelenggaraan pendidikan kita, mulai jenjang pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Berbagai bentuk anomali sosial dan anarkisme seperti tawuran, perusakan sarana publik, penipuan, pelecehan seksual hingga pembunuhan dan berbagai bentuk penyimpangan moral lainnya menjadi bukti konkret memudarnya nilai-nilai luhur yang selama ini melekat pada bangsa ini.

Anehnya, terhadap berbagai bentuk penyimpangan seperti itu sebagian masyarakat menyikapinya biasa-biasa saja (Kompas, 17/6/2011). Sanki sosial tak berlaku lagi dan sebagian masyarakat membiarkan, bahkan apatis ketika penyimpangan yang sistematis di berbagai lini kehidupan hukum, pemerintahan, maupun pendidikan itu sendiri. Lebih tragis lagi, beberapa waktu terakhir ini ada gejala sangat aneh bahwa petugas keamanan seperti polisi justru menjadi sasaran kekerasan, bahkan pembunuhan, para petugas hukum malah yang paling banyak melanggar hukum, hakim yang tugasnya menjadi benteng penegak keadilan justru mempertontonkan praktik ketidakadilan, kampus sebagai tempat para intelektual yang seharusnya menjunjung nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan menjauhi anarkisme juga tak luput dari aksi anarkis seperti perusakan laboratorium, ruang kuliah, perkantoran, intelektual yang mestinya mengedepankan argumentasi dengan nalar logis dalam menyelesaikan persoalan seolah melupakan etika akademik yang menjadi bagian kehidupannya. Semua menjadi tontonan gratis yang memilukan.

Bahwa pendidikan dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap gejala tersebut memang tidak salah dan wajar. Sebab, dibanding dengan institusi-institusi sosial yang lain, pendidikan merupakan yang paling sarat makna. Pendidikan merupakan pintu masuk untuk mengantarkan peserta didik menjadi manusia berbudi pekerti luhur, berbudaya, berilmu pengetahuan, berketrampilan, berperadaban, dan berkarakter. Karena itu, secara logis mudah dipahami jika di antara tujuan tersebut ada yang tidak tercapai tentu ada yang sesuatu yang tidak beres dalam penyelengaraan pendidikan secara keseluruhan, bisa landasan filosofis, praktik, pendidik, lingkungan, dan orientasi masa depan peserta didiknya serta perubahan kondisi eksternal yang gagal ditangkap oleh penyelenggara dan pemilik otoritas formal kebijakan pendidikan.

Persoalan pendidikan hakikatnya adalah persoalan masa depan, generasi penerus, dan peradaban sebuah bangsa. Tidak ada satu pun bangsa yang tidak ingin punah karena memiliki generasi penerus yang tidak baik. Karena itu, untuk kelangsungan eksistensi sebuah bangsa tumpuannya pada pendidikan. Sejarah telah membuktikan bahwa bangsa yang berperadaban maju hanyalah mereka yang serius mengelola pendidikan. Bagi mereka, pendidikan di atas segalanya dan dihayati sebagai hajat semua anggota masyarakat. Karena merupakan hajat bersama, maka semua bersinergi membangun pendidikan yang baik sehingga melahirkan lulusan yang bekualitas.

Begitu penting misi yang diembannya, pendidikan tidak bisa dijalankan seenaknya, apalagi hanya untuk mengejar kepentingan sesaat, seperti sekadar lulus Ujian Nasional dengan nilai tinggi, masuk perguruan tinggi, menang olimpiade ini dan itu, meraih gelar, bertaraf internasional dan sebagainya. Di atas semua itu, pendidikan adalah proses pemanusiaan secara utuh, meliputi aspek jiwa, intelektual, emosi, hingga spiritualnya. Lebih dari itu, pendidikan juga merupakan praktik untuk menjadikan peserta didik bagian dari masyarakat, bangsa dan negara, sehingga lahir sikap cinta tanah air. Ringkasnya, pendidikan adalah proyek kemanusiaan terus menerus dan tidak pernah berakhir sepanjang bangsa itu ada.

Sebagai seorang pendidik, saya sendiri merasakan betul betapa peserta didik kita saat ini terjebak dalam nilai-nilai pragmatisme. Sekadar ilustrasi betapa saya sangat terkejut ketika seorang teman dosen menyodorkan dokumen kepada saya tentang hasil survei yang dilakukannya di akhir semester sambil melakukan evaluasi perjalanan perkuliahan menanyakan tentang sosok dosen yang diidolakan di mata mahasiswa. Hasil survei sangat mengejutkan karena di luar dugaannya. Ternyata di mata mahasiswa sosok dosen ideal adalah yang tidak begitu ketat alias santai-santai saja, tidak perlu tepat waktu mengawali dan mengakhiri perkuliahan, rileks, tidak banyak tugas, dan nilai murah. Hasil survei itu sungguh mengagetkan saya, walau bisa diduga sebelumnya. Saya merenung mengapa peserta didik kita menjadi semacam itu. Jauh berbeda dengan masa-masa ketika saya masih kuliah dulu. Pertanyaan berikutnya jika demikian kondisinya bagaimana kita menyiapkan generasi penerus yang cerdas dan kompetetif karena menghadapi persaingan global yang begitu ketat yang tidak saja memerlukan kecakapan dan ilmu yang memadai, tetapi juga karakter yang kokoh.

Mencermati kondisi di atas, beberapa kebijakan pendidikan yang selama ini dilakukan memang patut dicermati kembali. Pertama, menyangkut merosotnya karakter bangsa sehingga menimbulkan anomali dan anarkisme dikaitkan dengan dihapuskannya pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan menjadi hanya Pendidikan Kewarganegaraan di semua jenjang pendidikan membawa konsekwensi ditinggalkannya nilai-nilai luhur yang selama ini melekat pada bangsa ini, seperti toleransi beragama, gotong royong, dan musyawarah. Padahal, nilai-nilai itu sangat dibutuhkan sebagai fondasi bangsa. Akibat kebijakan tersebut, kini para pendidik mengeluh karena sulitnya menanamkan nilai-nilai tersebut dan dianggap sesuatu yang basi. Seorang kolega yang kebetulan mengajar Pancasila mengeluh karena menasihati siswa dianggap kuno dan tidak populer. Guru yang suka memberi nasihat tentang nilai-nilai luhur dianggap guru ‘tempo doeloe’ dan dianggap bukan lagi jamannya.

Perubahan kebijakan pengajaran Pancasila menjadi Pendidikan Kewarganegaraan berdampak. Buktinya, penanaman nilai-nilai ternyata tidak bisa diperoleh dari pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, Sebab, ternyata pelajaran tersebut hanya hafalan dan sekadar menambah pengetahuan. Perubahan pendidikan Pancasila menjadi pendidikan Kerwarganegaraan sangat mereduksi muatan-muatan utama Pancasila yang sarat nilai. Sementara itu, pendidikan Kewarganegaraan lebih mengenai hakikat negara dan bentuk-bentuk kenegaraan, sistem hukum dan peradilan nasional, hak asasi manusia, pemberantasan korupsi, kedudukan warga negara. Mengenai Pancasila hanya disinggung sedikit, Itu pun sudah di semester akhir. Karena itu menjadi wajar jika nilai-nilai moral di kalangan peserta didik kita luntur. Dengan demikian, sangat tidak fair jika pihak sekolah atau guru disalahkan dalam hal ini. Diakui oleh para guru, sebagaikmana dilapokan Kompas (6/5/2011) bahwa sedikit sekali peluang penanaman nilai dan pembentukan moral anak didik saat ini.

Kebijakan pendidikan sangat dipengaruhi oleh pandangan hidup masyarakat dan sistem politik pemerintahannya. Perubahan pendidikan Pancasila menjadi pendidikan Kewarganegaraan juga tidak lepas dari perubahan pandangn hidup dan pergeseran sistem politik di Indonesia. Karena itu, seiring dengan perubahan pandangan hidup dan perubahan pemerintahan, pendidikan Pancasilka juga tidak luput dari perubahan tersebut. Berdasarkan cermatan Kompas (6/5/2011) kebijakan mengenai pendidikan Pancasila mengalami dinamika pasang surut. Diawali tahun 1965, Presiden Soekarno menetapkan kebijakan Sistem Pendidikan Nasional di mana pelajaran Pancasila wajib diajarkan sejak tingkat pra sekolah hingga perguruan tinggi. Kebijakan tersebut ditegaskan lagi oleh Presiden Soeharto pada tahun 1967 dengan mengatakan bahwa dasar sistem pendidikan nasional adalah Pancasila. Tahun 1976 Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila (PMP) mulai diajarkan untuk pertama kali di sekolah, menggantikan pelajaran civics (Kewarganegaraan) yang sudah diajarkan sebelumnya. Tahun 1979 Presiden Soeharto membentuk sebuah lembaga yang secara khusus mengkaji nilai-nilai Pancasila dan merumuskan program nasional P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

Kendati P4 dinilai sebagai proyek hegemoni pemeritah terhadap masyarakat, harus diakui program tersebut berhasil dengan baik. Nilai-nilai Pancasila berhasil merasuk dalam jiwa seluruh warga masyarakat. Tahun 1983, berangkat dari filsafat bahwa bangsa yang besar adalah mereka yang mau mengetahui dan mempelajari sejarah bangsanya, maka pemerintah memandang penting pelajaran sejarah. Karena itu, sejak tahun itu mata Pendidikan Sejarah mulai diajarkan di semua jenjang pendidikan. Tahun 1994, Mata Pelajaran Pancasila dan Sejarah digabung menjadi Mata Pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Penggabungan tersebut terasa janggal. Sebab, dengan digabung muatan masing-masing menjadi sangat berkurang. Karena itu, langkah penggabungan tersebut menurut hemat saya titik awal memudarnya nilai-nilai moral di kalangan anak didik kita yang dampaknya kita rasakan saat ini. Para pengambil kebijakan pendidikan mungkin tidak pernah membayangkan dampak penggabungan tersebut. Karena pendidikan adalah sebuah proses, maka dampaknya -- positif maupun negatif --- baru akan tampak beberapa tahun kemudian.

Seiring dengan tumbuhnya iklim demokratis yang berkembang pasca-berakhirnya kekuasaan Orde Baru di mana hak politik setiap warga negara dihargai, aspirasi dapat disampaikan dengan bebas di tengah hiruk pikuk eforia politik dan reformasi di semua bidang, maka tuntutan untuk mereformasi Pendidikan Pancasila yang dianggap buah dari Orde Baru tak terelakkan. Hasilnya, pada tahun 2001 Mata Pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) diganti menjadi Mata Pelajaran Kewarganegaraan, tanpa Pancasila. Sejak tahun itu, Pancasila seolah hanya menjadi hiasan dinding di kantor-kantor pemerintah.

source: http://mudjiarahardjo.uin-malang.ac.id/artikel/289-runtuhnya-karakter-bangsa-dan-urgensi-pendidikan-pancasila-1.html

Tidak ada komentar: