THAREKAT NAQSYABANDI
(Sebuah telaah sejarah perkembangan Thareqat Naqsabndiyah)
Apabila
Islam di pisahkan dari aspek esotorisisme, maka ia akan menjadi
kerangka keformalan, Islam hanyalah simbul yang melembaga layaknya
sebuah kajian ke-Ilmuan yang dapat di tafsir berdasarkan perspektif ke
Ilmuan itu sendiri. Namun jika Islam sebagai sesuatu yang esotoris maka
Islam akan memilki kekayaan rohani dan jiwa. Kekayaan rohani dan jiwa
dapat melahirkan semangat menempuh kesempurnaan (Kamil). Syekh Sir Sayyid Ahmad
Dalam
makalah ini akan dibahas perkembangan sejarah Islam di sekitar
persoalan periode awal munculnya istilah tasawuf. Dan selanjutkan kami
memilih Tarekat Naqsyabandi sebagai bahan pokok pembahasan.
Dipilihnya
Tarekat Naqsyabandi karena penelusuran kesejarahan dari refrensi
kesufian sebagai sebuah orde tareqat lebih mudah di peroleh, kemudian
juga penelusuran silsilah-silsilah kemursidan lebih gampang di kenal,
Karena para ahli silsilah Tarekat Naqsyabandi tidak hanya di kenal
sebagai seorang mistikus besar di zaman-nya, akan tetapi pengaruhnya
terhadap perkembangan peradaban dan pemikiran Islam diakui oleh Dunia.
Disamping
itu bagi pribadi penulis sendiri, Tarekat Naqsyabandi lebih di kenal
ketimbang tarekat-tarekat lainnya, karena sejak tahun 1995 penulis telah
aktif ikut serta berbagai aktifitas dzikir yang dilakukan oleh
perkumpulan Tarekat-tarekat termasuk Tarekat Naqsyabandi dan Tarekat
Qodariah juga Tarekat Naqsyabandi Qodariah, yang pada akhirnya penulis
menambatkan hati untuk bermakmun pada satu Guru Sepiritual yang sangat
saleh, zuhud dan bijaksana, yairu Arief Billa, Maulana Saidi Syeakh Haji
Der Moga Barita Raja Muhammad Syukur al kholidi, Q.S, yang bermukim di
kota Batam.-
Kemudian
Makalah ini sekaligus sebagai Summary Tesis saya untuk Program Pasca
Sarjana Pada jurusan Tasawuf dan Pemikiran Islam pada Institut Agama
Islam Sunan Ampel Surabaya.
PROLOG SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM
H.A.R. Gibb dalam tesisnya “Modern Trends in Islam” The University of Chicago, 1947, memberikan suatu kesimpulan yang menarik untuk kita simak:
“Islam
memiliki sejarah yang sangat panjang tidak hanya dari sudut pandang
expansinya (pelebaran kekuasaan pada masa ke khalifaan Abu Bakar, Usman,
Umar dan Ali r.a) akan tetapi juga diwarnai dengan munculnya pertikaian
dan perdebatan panjang mengenai paham antar elit yang sama-sama
mewakili suatu otoritas, yaitu Otoritas hukum agama (Ulama’) dan
otoritas spiritual (Syeakh). Pertikaian dan perdebatan panjang itu telah
banyak mengorbankan sisi lain perkembangan peradaban Islam yang sangat
hebat dan toleran ”.
Setelah
para khalifah Islam melakukan ekspansinya ke seluruh Dunia hingga dua
pertiga Dunia dikuasainya, di sepanjang Abad ke 2 H/8 M sampai ke 3 H/9 M
merupakan masa awal terjadinya pergolakan perdebatan pemikiran antara
otoritas hukum agama (‘Ulama’) dan otoritas spiritual agama (para
syaikh). Ketegangan yang merebak di kalangan penganut sufi (kaum
spritualis) dan rasa permusuhan yang ditanamkan para ahli hukum
(‘Ulama’) juga merambah ke lintas politik, Para penguasa memperoleh
legitamasi untuk melakukan tindakan ke tidaksukaan karena pengaruh
gerakan kaum spritualis (sufi) memperoleh dukungan yang tidak sedikit
dari masyarakat. Pada masa periode ini, Islam mengalami proses
kekosongan identitas dan pencarian bentuk. Pada periode ini Islam
mengalami kemunduran intelektual dan juga peradaban. Peneliti-peniliti
barat dan orientalis begitu banyak mengulas sisi ini sebagai serangan
yang sangat provokatif dan mendiskriditkan Islam, seperti Huston Smith,
Prof. Louis Massignon dan Charles C. Adam, namun demikian banyak juga
Ilmuan barat dan orientalis menilai secara objectif, seperti Marshall
G.S. Hodgson, dalam “The Venture of Islam”, H.A.R. Gibb dan
yang paling belakangan sering mncul dalam ulasan-ulasannya yang objektif
adalah Karen Armstrong dan Annimarie Schimmel yang sangat inten dalam
pembelaan-nya terhadap kaum mistiskus Islam.
Tragede
terbunuhnya Abu al-Mughits al-Huain bin Mansyur bin Muhammad al-Baihawi
(244 – 309 H/857 – 922M) atau yang di kenal dengan sebutan Al-Hallaj.
Al-Hallaj adalah seorang teolog sufi, yang kehidupan dan kematiannya
telah memberi pencerahan dalam periode penting sejarah kebudayaan islam,
dan pengalaman batiniah atau speritualitasnya ia gambarkan sebagai
sebagai saat yang menentukan dalam sejarah Tasawuf.
Banyak
para sufi besar meng-akhiri hidupnya di tiang gantungan pada periode
abad ke 2 dan ke 3 Hijriah. Megapa hal ini terjadi ? Seorang sejarawan
Victor Danner yang menganalisa perkembangan sejarah Islam Klasic membuat
suatu kesimpulan dalam “Sufi Essays” yang di muat dalam kumpulan makalah Islamic Sprituality Fondation, Originally Publishid in Engglish, 1997. yaitu:
“ …………………Tradisi
Islam telah menjadi semakin formalistis, seperti telah kami kemukakan
sebelumnya, dan akan lebih parah lagi jika dibiarkan mengikuti jalan
alamiahnya di bawah kendali para “Ulma” yang terlalu eksoterik. Yang
disebut terakhir itu hanya menaruh perhatian terhadap pesan eksoteris
dari agama”.
Victor
Danner hendak memaparkan bahwa agama oleh para ulama syari’ah telah
ditangkap sebagai pesan formal belaka dan simbolik sedang rohaniahnya
tidak diberikan tempat yang sesungguhnya. Lebih lanjut Victor Danner
mengatakan:
“ …….Demikian
pula kaum sufi abad ke-3 H/9 M harus menembus kerasnya tempurung
eksoterisme yang kian hari kian menjadi-jadi, sebab mereka memang
bermaksud menarik perhatian khalayak mengenai pesan mistik Islam. Semua
ini merupakan sarana masuknya ruh ke dalam subtansi umat dengan tujuan
mencerahkan kegelapan yang pekat”
kemudian Victor Danner memberikan penilaian:
“Krisis
pertama Islam ini mempunyai makna yang sangat penting, terutama secara
historis, karena usaha-usaha yang di lakukan kalangan otoritas eksoterek
ingin mengendalikan semua tradisi, termasuk jalan spritual tadi.
Seandainya mereka berhasil, para Ulama’ eksoteris itu pasti telah muncul
sebagai tiran-tiran agama dengan kewenangan tanpa batas. Pemecahana
bagi krisis ini di capai dengan menjatuhkan hukuman mati atas sufi besar
seperti Al-Hallaj oleh para ulama bagdad pada 309 H/922 M”.
Sikap
apriori para ulama’ syari’ah yang formalis memang di dasarkan pada
provokasi-provokasi poliitik dari para otoritas ke agama-an sebagai
suatu penolakan terhadap paham-paham tasawuf dari perspektif hukum atau
syariah. Sufi besar Al-Muhasibi (w. 243 H/857 M) dalam manuskrip
karyanya “Ri’ayah li Huquqi Allah” menggambarkan ada dua jenis tasawuf yang berkembang pada abad 2 H sampai 3 H, yaitu tasawuf “moderat” yang berdiri di atas syariah yang mawas diri dalam memaparkan pengalaman spritualnya, dan tasawuf “mabuk”
yang senantiasa memafarkan seluruh pengalaman batin dalam spritualnya
sehingga menimbulkan tafsiran-tafsiran yang jauh dari kebenaran, bahkan
cenderung memojokkan dan menghancurkan.
Paham Wahdatul al-Suhud dengan doktrin Ana al haq (akulah pemilik kebenaran) dan subhani
(maha suci diriku) dan lain-lain tidak hanya menimbulkan fitnah besar
namun juga perujung pada sikap saling bermusuhan dan saling curiga di
antara para otoritas hukum agama (Ulama’ Syariat) dan otoiritas
spiritual (Ulama Tasawuf), yang sebenarnya kedua-duanya merupakan
otoritas ke-Ilmuawan agama Allah yang di bawakan Nabi Muhammad SAW.
Menjelang
abad ke 4 H/11 M, setelah melalui jalan yang panjang dan berliku di
mulailah rekonsiliasi pemahaman anatara hukum-hukum syariah dan jalan
spritual. Abu Thalib al-Makki (w. 380 H/990M) dalam kitab karyanya yang
sangat terkenal “Qut al-Qulub” sebagai buku panduan sufi sangat
popular tidak hanya di kalangan sufi, tetapi juga popular di kalangan
non sufi (ulama syariah) yang saleh. Al –Makki adalah penganut mashab
Tasawuf Salamiyah yang didirikan oleh guru Al-Hallaj, yaitu Syaikh Sahl
al-Tustari (w. 283 H/896).
Kemudian masa berikutnya Al-Gazali (w. 505 H/1111 M) melalui karyanya “Ihya’ Ulum al-Din”
sebuah karya yang sangat monumintal telah merubah seluruh kecurigaan
dan permusuhan, Al-Gazali telah memberikan pencerahan dan inspirasi baru
terhadap hukum-hukum syariah dan jalan spiritual. Seluruh ulama
syari’ah sangat mendukung pemikiran-nya karena Al-Gazali sendiri dikenal
sebagai pemikir dan teolog yang sangat masyhur, terkenal dan di akui
oleh para otoritas ke-Ilmuan (Ulama’ Syari’ah). Namun dalam
kemasyhurannya yang dipaparkan dalam otobiografinya “Al-Munqidz Min Al-Dhalal”
terjebak kedalam dunia pemiiran dan filsafat yang tidak berujung dan
tidak kunjung menemukan makna yang hakiki, Al-Gazali memilih jalan
dengan hidup mistik sebagaimana jalan yang ditempuh oleh para
ulama-ulama spiritual, Kitab Ihya’ Ulum al-Din merupakan hasil dan
ivoasi dari perjalanan dan pengembaraannya dalam dunia spiritual, dimana
Al-Gazali sendiri menamakan sebagai jalan kesufian dalam Tarekat yang
terangkum dalam apa yang disebut dengan tasawuf.
Penyatuan
pemahaman terus berlanjut pada periode-periode berikiutnya, Syaikh Abd
al-Qodir Al-Jilani (w. 561 H/1166) mengukuhkan kembali dengan munculnya
kitab “Al-Qhunyah.”
Setelah
abad ke 4 H/11 M dan abad-abad berikutnya tarekat-tarekat sufi telah
tersebar lebih luas di wilayah-wilayah muslim dan berakar lebih dalam
pada kehidupan social dan keagamaan. D.B. Macdonald dalam “Development of Muslim Theology” New
York, 1930. Lebih lajut memaparkan pada abad ke 8 H/14 M terjadi
sedikit perlawanan terhadap sufisme namun penolakan itu sebatas
pemikiran dan argument-argument yang dilancarkan oleh kelompok
fundamentalis seperti, Hanbali, Ibnu Taimiyah dan sekelompok kecil. D.B.
Macdonald menjelaskan secara akurat mengenai perselsihan tesebut:
Selama
beberapa abad berikutnya ketegangan itu semakin mereda dan memberi
jalan untuk masuknya sesuatu yang mirip dengan keseimbangan.
Tarekat-tarekat ini memenuhi kebutuhan-kebutuhan perorangan dalam bidang
ke agama-an di kalangan ummat Muslim dan memberikan peranan penuh
kepada emosi-emosi keagamaan mereka tetapi pada umumnya secara
berhati-hati, tarekat-tarekat itu menghindari timbulnya perselisihan
dengan Ilmu Kalam Ortodoks. Para Fuqaha dan teolog Islam (Mutakallimun),
secara jelas dan bebas memasuki tarekat-tarekat sufi dan mereka
membantu menciptakan keseimbangan untuk menghadapi
kecenderungan-kecenderungan panteistik yang berlebihan. Keadaan ini
mencapai puncaknya pada abad ke 17 dan ke 18 masehi dalam bentuk
korelasi dan interaksi yang harmonis.
Harold Bowen dan H.A.R. Gibb ”Islamic Society and the West”
dalam Prefaratory Volume Islamic Society in the Eighteenth Century”
bagian II, yang diterbitkan Oxford University Press, melanjutkan
penjelasan D.B. Macdonald:
Pada
saad inilah (setelah terjadinya harmonisasi antara otoritas Ilmu kalam
atau ulama Syariah dan otoritas spiritual para syeakh) Islam menunjukkan
kegiatan lahiriyah yang paling besar, dan saya yakin bahwa salah satu
penyebabnya secara tepat dapat di temukannya dalam hubungan batin yang
harmonis ini.
Assimilasi
antara otoritas Ilmu (Ulama) dan Otoritas Spiritual (Syeakh) terus
berlangsung dan berjalan dengan baik bahkan dalam perkembangan-nya tidak
ada pemisahan antara keduanya, ketinggian Ilmu Ulama Syariah akan
memperoleh legitimasi kuat dari masyarakat muslim apabila telah
menjalani fase-fase spritual. Berbagai perkumpulan orde-orde tarekat di
dunia muslim kerap kali sang syekh adalah seorang ahli tafsir, ahli
hadis, fikih dan Ilmu kalam. Banyak kitab-kitab klasik mengenai
Hukum-hukum islam merupakan karya para syeakh, beberapa pemerhati
sejarah perkembangan Islam dan tasawuf menyebutkan bahwa para
pemimpin-pemimpin spiritual dalam tarekat ini telah bergeser secara
signifikan. Pendidikan formal ke islaman atau Madrazah-madrazah di dunia
muslim justru banyak di kembangkan oleh para syeakh tarekat. Gejala ini
tidak hanya terjadi pada dunia ke agamaan melainkan masuk kedalam dunia
politik dan kekuasaan. Sangat banyak fakta sejarah dan jika di telusuri
sultan-sulatan juga penganut tarekat, seperti Syaikh Wajih Al-Din
Gujarati (w. 997 H/1589 M) seorang sultan gujarat yang jalan spritualnya
di bawah bimbingan guru spiritual Syaikh Ali Muththaqi (w. 975 H/1567
M) yang juga ahli hadis dari India. Tokoh-tokoh spiritual itu tidak
terbatas pada kesibukannya di istana kerajaan, melainkan juga
mengembangkan tarekat-tarekat ke pusat-pusat kota penujuru dunia baik
yang sudah muslim maupun yang belum muslim. Syaikh Wajih Al-Din sendiri
menggantikan gurunya menjadi pemimpin spiritual tarekat Syaththari yang
perkembangannya merambah kota-kota utama seperti Makkah dan Madina
hingga spanyol dan Malaya. Dalam sejarah Islam sangat banyak
sultan-sultan berasal dari kalangan syaikh tarekat. yang tidak kalah
penting syiakh-syiakh tarekat juga telah berperan serta dalam pengkayaan
khasanah kesusastraan dan seni yang bernilai tinggi, seperti Jalaluddin
Rummi, An-nuri dan banyak syiakh-syiakh sufi lainnya.
Peranan Tasawuf di Melayu-Nusantara
Setelah
kami paparkan sejarah panjang mengenai tumbuh kembangnya tasawuf di
Dunia Islam, kami akan mencoba memparkan sekilas mengenai peran sertanya
para syiakh sufi dalam tarekat-tarekat di semananjung melaya/melayu.
Terjadinya
assimilasi besar-besaran otoritas Ilmu Syariah dan Ototritas Spritual,
tarekat-tarekat sufi telah menjadi factor menentukan bagi perkembangan
peradaban Islam. Para syiakh sufi dalam tarekat yang sebelum-nya sangat
terbatas aktifitasnya, telah merambah menjadi gerakan da’wah yang
menyebarannya sangat luas ke dunia Islam.
Khusus
mengenai peran syiakh sufi pada tasawuf dalam tarekat-tarekat sangat
banyak buku-buku sejarah yang memaparkan mengenai besarnya pengaruh para
syiakh sufi kurun awal terbentuknya peradaban melayu terutama kurun
awal abad ke 10 H/16 M dan dan ke 11 H/17 M.
S.M.N. Al-Attas dalam Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of the Malay-Indonesian Archipelago, Kuala Lumpur, 1969 bahwa: Tasawuf
memainkan peran terbesar dan paling menentukan dalam membentuk
pandangan religius, spiritual, dan intelektual di kepulauan melayu.
Melalui
Islamlah yang di sebarkan oleh para syiakh sufi peradaban melayu
mencapai ketinggian kultural dan Intelektualnya. Atau karena peran para
syiakh tasawuf sejarah intelektual dan peradaban Melayu baru di mulai
pada masa itu.
Berbagai
bukti sejarah dan hikayat-hikayat local melayu, tradisi-tradisi lisan,
hikayat Raja-Raja Pasai kerap kali menggunakan syiakh , wali, Tuan
Syarif Auliya’ dan sebutan-sebutan lain-nya merupakan fakta sejarah
mengenai peran taswauf di Melayu. Di Jawa seperti di tuturkan dalam
Hikayat jawa, Babad Tanah Djawi juga menyebutkan adanya wali, seperti
wali-wali songo dan lain-lain.
Osman Bin Bakar dalam “Islamic Spirituality: Manifestations”,
Engglish 1997, khusus untuk jawa, Tasawuf memainkan peran penting dalam
meng-Islamkan kerajaan di Jawa seperti Kerajaan Majapahit hingga muncul
kerajaan Islam. Demikian juga di Sumatra pengaruh tasawuf sampai kini
masih dapat di temui dalam tradisi-tradisi ke-Islaman, seperti Dabbus, Rapa’I, dan Ratib,
juga ada sederet nama sufi besar yang tidak asing dalam sejarah Islam
di Melayu. Seperti Syaikh Abd Al-Ra’uf Singkel, Syaikh Nur Al-Din
Al-Raniri, Syaikh Syams Al-Din Al-Sumtrani dan lain-lain.
Tasawuf
telah memainkan peran central sepanjang sejarah Melayu dalam penyebaran
dan pemeliharaan Islam dan budayanya. Tasawuf telah mempengaruhi
aspek-aspek kehidupan dari seni hingga pendidikan. Namun kira-kira
selama satu abad Osman Bin Bakar menyimpulkan dalam tulisannya:
‘……dibawah
pengaruh kolonialisme dan modernisme, warisan intelektual dan spiritual
melayu yang di wariskan oleh para sufi hanya hidup di kalangan
tradisional. Belakangan, tampak muncul kebangkitan daya tarik kembali di
berbagai kelompok, termasuk elit-elit modern yang terpelajar.
Barangkali demikianlah adanya, tasawuf tetap menjadi bagian integral
dari kehidupan religius dan cultural Melayu dan sumber spiritualitas
hingga dewasa ini.
Selama
kesempurnaan dan kesejatihan hidup menjadi cita-cita manusia, tasawuf
sepanjang masa terus di butuhkan. Tasawuf tidak hanya menawarkan
peradaban dan intelektualitas tapi juga spiritualitas yang titik
tekannya pada bentuk-bentuk kepuasan abadi, pencerahan hati dan akal.
Oleh karenanya jadi sangat menarik ungkapan Syeakh Sir sayyid Ahmad.
Apabila
Islam di pisahkan dari aspek esotorisisme, maka ia akan menjadi
kerangka keformalan, Islam hanyalah simbul yang melembaga layaknya
sebuah kajian ke-Ilmuan yang dapat di tafsir berdasarkan perspektif ke
Ilmuan itu sendiri. Namun jika Islam sebagai sesuatu yang esotoris maka
Islam akan memilki kekayaan rohani dan jiwa. Kekayaan rohani dan jiwa
dapat melahirkan semangat menempuh kesempurnaan (Kamil).
Definisi Tasawuf
Setelah
menguraikan secara garis besar tahap-tahap umum perkembangan sejarah
tasawuf Islam sampai pada diterimanya oleh sebagian besar otoritas hukum
(Ulama’ Syariat), hingga pengaruhnya terhadap sejarah perkembangan
peradaban islam, kami akan mencoba memaparkan sekilas mengenai
pengertian dan definisi serta asal mula Istilah Tasawuf.
Istilah Tasawuf untuk pertama kalinya di terapkan kepada para Asketik Muslim yang berpakaian wool
(Arab berarti Shuf) yang kasar. Dan dari kata shuf itulah lahir kata
Tasawuf. Sangat banyak pendapat mengenai Istilah tasawuf ini. Dalam
berbagai manuskrip klasik dan karya-karya modern, sering kali ditemui
berbagai makna yang berlainan tergantung dari perspektif penulisnya.
Syekh Fadhlullah Haeri, dalam karyanya yang sangat popular “The Elemen of Sufism”
berpendapat bahwa kata tasawuf (Sufism) yang telah digunakan selama
berabad-abad memiliki bermacam-macam arti, berasal dari tiga huruf Arab,
Sha, Wau dan Fa. Namun juga ada pendapat yang mengatakan kata taswuf berasal dari kata shafa yang
berarti kesucian. Kemudian di temui beberapa pendapat yang lain-nya
dari berbagai sumber klasik disebutkan, kata tasawuf berasal dari kata
kerja (Bahasa Arab) Safwe yang berarti orang-orang yang terpilih. Namun ada juga yang berpendapat bahwa kata tasawauf berasal dari kata Shaf
yang berarti baris atau deret, yang menunjukkan kaum muslim awal yang
berdiri di baris pertama dalam shalat dan dalam perang suci. Ada juga di
temui dari manuskrip-manuskirp lama bahwa Tasawuf berasal dari kata Shuffa,
yaitu serambi rendah terbuat dari tanah liat dan sedikit menyembul di
atas Tanah di luar masjid Nabi di Madinah, tempat tersebut sering di
jadikan tempat duduk-duduk untuk menunggu Nabi. Makna ini sangat popular
dan dikenal diberbagai kitab-kitab literatur sufi.
William C. Chittick, dalam karyanya, “Sufism: a Short Introduction”, mengutip perkataan Syaikh Ali Ibn Ahmad al-Busyanji, mengungkapkan bahwa : Dahulu tasawuf adalah sebuah realitas tanpa nama, akan tetapi saad ini, ia adalah sebuah nama tanpa realitas.
Istilah
Tasawuf atau Sufi tidak dikenal dan tidak pernah di gunakan pada satu
abad pertama Hijriah. Para pengkeritik dari kalangan otoritas hukum
agama (Ulama Syariah) mempertanyakan istilah tasawuf, bahwa istilah
tersebut tak pernah terdengar di masa hidup Nabi Muhammad saw, atau
sesudah beliau wafat. Namun, di abad kedua dan ketiga (622 M), ada
sebagian orang mulai menyebut dirinya sufi atau dengan istilah lainnya
yang serupa yang berhubungan dengan Tasawuf. Mereka-mereka yang mengaku
dirinya sufi sekelompok kecil muslim yang mengikuti jalan-jalan
penyucian diri, penyucian hati dan pembenahan kualitas watak dan prilaku
mereka untuk mencapai maqam (kedudukan) orang-orang yang menyembah
Allah seakan-akan melihatnya.
J. Spencer Trimingham, dalam “The Sufi Orders in Islam” mendifinikan lebih jelas bahwa: Tasawuf/Sufism
adalah suatu situasi pengalaman spiritual yang paralel dengan aliran
utama kesadaran Islam yang diturunkan dari wahyu profetis dan yang di
pahami dalam syari’ah dan teologi.
Sufisme
adalah mistisisme Islam, J. Spencer Trimingham, lebih dalam memberikan
suatu pengertian metode tertentu dalam penghampiran kepada realitas
dengan memamfaatkan fakultas-fakultas spiritual intuitif dan emosional
yang umumnya tidak aktif dan terpendam kecuali bila terimbau untuk aktif
melalui pelatihan di bawah bimbingan. Pelatihan ini, yang di pandang
sebagai penempuh jalan (Salaq ant-thariq), yang bertujuan menyingkapkan tabir yang menyembunyikan diri dari Yang realitas. Lebih lanjut J. Spencer Trimingham mengatakan:
Sufisme
awal merupakan ungkapan natural agama personal dalam hubungannya dengan
ungkapan agama sebagai urusan komunal. Ia merupakan suatu penegasan
atas hak seorang untuk mengejar kehidupan yang penuh kontemplasi, yang
mencari kontak dengan sumber wujud dan realitas yang berkebalikan dengan
agama yang terinstitusionalisasi yang di dasarkan pada otoritas.
Sufisme awal merupakan semangat kesalehan qur’ani dan telah mengalir ke
dalam kehidupan dan model –model ungkapan seperti Dzikr dan lain-lain.
Pada
sisi yang lainnya, sebelum abad ke dua hijriah perkembangan Islam
setelah meninggalnya Nabi Muhammad berada pada titik yang sangat
memilukan. Pertikaian demi pertikaian terus berlangsung sesama ummat.
Abu Bakar terbunuh pada tahun 634 H setelah 2 tahun sibuk mengurusi
pertikaian internal dalam Islam Sayyidina Umar Ibn al-Khattab menjadi
khalifah menggati Abu Bakr. Kemudian Umar terbunuh pada tahun 644 M oleh
seorang tahanan perang dari Persia setelah berhasil menguasai Mesir,
Persia, dan Empiirium Bizantium termasuk Yerusalem. Selanjutnya Utsman
di tunjuk oleh Bani Umayyah yang sebagian anggotanya adalah musuh utama
Nabi Muhammad. Bani Umayyah masuk Islam setelah Nabi menguasai mekkah,
mereka masuk Islam karena tidak ada pilihan lain. Fadhullah Haeri,
memaparkan “ Dalam masa pemerintahan Ustman yang berlangsung selama dua
belas tahun, banyak kaum muslim yang benar-benar kembali ke cara hidup
jahiliyah (sebelum kenabian nabi Muhammad), takhuyyul dan kesukuan,
rampasan perang dari Empirium Persia, Bizantium dan mesir di bawah ke
Mekah dan madinah, akibatnya terjadi kemerosotan akhlak dan kebusukan
dalam kemewahan. Puncaknya adalah Ustman terbunuh pada tahun 656 M oleh
tentara muslim sendiri yang berkhianat dan kemudian memunculka Ali Ibn
Abi Talib sebagai khalifah yang baru, namun tidak semua mengakui Ali
sebagai Khalifah.
Semasa
ke khalifaan Ali Ibn Abi Talib, selama lima tahun pemerintahannya
berlangsung, disibukkan menangani perselisihan internal, baik para
keluarga nabi sendiri (Ahlul Bait) dan antar sesama pendukung, bahkan
telah terjadi sumpah palsu secara massal atas nama Al-Quran dan atas
nama Agama yang di lakukan oleh ummat muslim dan Istri nabi (Aisyah).
Fitnah dan perang sipil terus berlangsung, perebutan kekuasaan, balas
dendam atas pengikut usman serta intimidasi politik berlanjut hingga
berakhir dengan terbunuhnya Khalifah Ali pada tahun 661 M oleh ektrimis
dari kelompok Khawarij. Para pendukung setia Ali Ibn Abi Talib
menyatakan Hasan sebagai Khalifah. Krisis politik terus berlanjut, Hasan
putra Ali mengadakan perjanjian dengan Muawiyah. Imam Hasan putra Ali
dalam kepemimpinan lebih cenderung sebagai pemimpin ke-Agamaan, sedang
kepemimpinan politik lebih banyak di perankan oleh Khalifah Muawiyah.
Khalifah Muawiyah mendirikan dinasti Umayyad dan memindahkan Ibu kotanya
dari madinah ke damaskus. Muawiyah melanggar perjanjian dan Imam Hasan
putra Ali terbunuh pada tahun 669 M oleh orang-orang Yazid putra
Muawiyah. Kemudian Husain adik Imam Hasan memperoleh tawaran dukungan
dari penduduk kufa di Irak untuk menentang Yazid putra Mu’awiyah.
Penduduk kufah adalah komunitas baru yang memiliki vested-interest
(kepentingan sendiri lagi terselubung). Masa-masa itu telah terjadi
digradasi moral yang luar bisa. Tradisi lama sebelum masa kenabian Nabi
Muhammad hidup kembali. Imam Husain anak laki-laki kedua Ali Ibn Abi
Talib keluar dari dari madinah dan terbunuh di dataran karbala oleh
pasukan Yazid pada tahun 680 M.
Pertempuran
karbala merupakan titik awal kesadaran ummat Islam dan menandai suatu
bekas peringatatan yang menyayat hati bagi kaum muslim, yang telah
meninggalkan jalan Islam agar kembali ke-tradisi Islam. Tradisi Islam
dihidupkan kembali dengan kematian Imam Husain.
Dibalik
suasana politik dan perebutan kekuasaan dalam rentang waktu sejarah
antara tahun 683 M sampai 724 M ada Sekelompok kecil Ummat Islam yang
dengan tekun terus menerus melakukan menjagaan dengan ketat tradisi
kenabian di pinggiran kekuasaan. Sekelompok kaum muslim yang menyadari
ajaran dan tradisi islam, namun tak mampu mengubah situasi yang ada
mulai mencurahkan sepenuhnya untuk hidup ber-Ibadah dan disiplin
penyucian jiwa (Tashfiyatul nafsi) dan penjernihan hati (Tashfiyatul Qal) . Kelompok kecil ini lagi tidak berdayah. Imam Zainal Abidin putra Imam Husain,
merupakan salah satu contoh kecil yang sangat menonjol. Para muslim ini
tidak memliki kemampuan untuk melawan keruwetan persoalan yang sulit
diterima akal, seperti kasus alfitnah al-kubro dan perpecahan sesama muslim.
Setelah
melewati masa periode 724 M atau 1 abad wafatnya Nabi Muhammad, Ummat
Islam berangsur mulai ada berbaikan. Penyadaran terhadap tradisi
ke-Islaman mulai nampak, setelah munculnya khalifah Hisyam I, seorang
penguasa yang saleh secara personal. Masa-masa tersebut terus
berlangsung hingga sampai pada ke Khalifahan Harun ar-Rasyid pada tahun
786 M – 809 M.
Demikian
juga gerakan esoterik yang di kembangkan oleh keluarga dan kerabat
dekat Nabi Muhammad saw, Imam Ja’far as-Soddiq (w 765). Imam Ja’far
as-Soddiq adalah Imam syiah ke 6 yang dengan tekun mengembangkan sebuah
metode esoterik yang di peroleh dari ayahnya Imam Muhammad al-Baqir (w
735) yang juga Imam Syi’ah ke lima. Ibu Imam Ja’far as-Sadiq adalah
putri Saidina Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Siddiq. Imam Ja’far
as-Sadiq tidak hanya seorang Imam islam akan tetapi juga sebagai guru
spiritual yang menyampaikan Ilmu Tuhan kepada generasinya dan menuntun
mereka dalam menemukan dan mencari makna tersembunyi (Batin) dengan cara
taqiyyah (kepura-puraan) guna keselamatan diri mereka sendiri.
Ini adalah masa penuh halangan dan hambatan bagi syi’ah yang ada dalam
bahaya akibat institusi politik. Taqiyyah menjaga agar konflik
ditekan serendah mungkin. Kelompok esoterik ini berkembang di pinggiran
kekuasaan kekhalifaan Islam setelah terbunuhnya Khalifah Ali Ibn Abi
Thalib beserta putra-putanya. Gerakan taqiyyah secara terus menerus dikembangkan oleh para krabat dan keturunan dekat Nabi Muhammad saw.
Megenai gerakan esoterik yang di pelopori oleh keluarga dan krabat dekat Nabi, Karen Armstrong dalam karyanya, Islam, A Short History, memberikan analisis cukup mendalam dan menarik, ia mengatakan bahwa:
“ Ia
memiliki akar di dalam tradisi zuhud, yang berkembang selama periode
Umayyah sebagai reaksi terhadap keduniawian dan kemewahan yang tumbuh
dalam kehidupan masyarakat Muslim. Ini adalah upaya untuk kembali pada
keserderhanaan primitif ummah ketika semua Muslim hidup setara. Sufi
sering menggunakan busana standar seperti yang dilakukan Nabi. Tapi awal
abad 9, istilah Tasawuf (yang menurunkan kata “sufi” yang kita di
gunakan saat ini) telah menjadi sinonim dengan sebuah gerakan sufi yang
secara perlahan-lahan berkembang di masyarakat Abbasiyah.”
Kemudian
gerakan tersebut mencapai puncaknnya pada abad 10. Seiring dengan
perjalanan waktu, ajaran dan keseharian kehidupan spiritual para sufi
mulai menarik minat Ummat, pada abad ke 10 telah di jumpai beragam
aktifitas dan gerakan serta persaudaraan-persaudaraan sufi yang tidak
hanya di ikuti oleh turunan dan krabat Nabi, akan tetapi di ikuti oleh
para tokoh-tokoh dari seluruh strata sosial. Kelompok ini tidak hanya
berpusat pada rumah-rumah pribadi tempat guru spiritualnya, akan tetapi
telah membentuk tempat secara khusus yang, yaitu Zawiyyah. Orang Turki menyebut Tekke dan di Afrika disebut Ribat, India menyebutnya sebagai Jama’at Khana atau Khanaqah dan Asia menyebutnya sebagai Alkah.
Suatu istilah yang di gunakan sebagai benteng para pejuang sufi dan
sekaligus tempat persinggahan persaudaraan sufi. Selanjutnya gerakan ini
mulai membentuk struktur yang melembaga dengan nama Tarekat.
Perkumpulan-perkumpulan
tarekat pada abad 12 mulai menjamur keseluruh Dunia, seperti halnya :
Tarekat Qadiriah, Tarekat Rifa’iyah, Tarekat Zyalziliyyah, Tarekat
Mawlawiyah, Tarekat Naqsyabandiyyah, Tarekat Bektasyi, Tarekat
Nikmatullah, Tarekat Tijani, Tarekat Jarrahi dan Tarekat Chisti.
Dalam Makalah ini, seperti yang telah di sampaikan diatas, kami hanya akan membahas mengenai Tarekat Naqsyabandi.
SEJARAH GENOSIS TAREKAT NAQSYABANDI
Tarekat
Naqsyabandi merupakan satu-satunya tarekat yang memiliki Silsilah
transmisi pengetahuan melalui pemimpin pertama ummat Islam, Abu Bakar
as-Sidiq. Tidak seperti tarekat-tarekat lainnya, dimana Silsilah-nya
berpangkal dari salah satu pemimpin spiritual dan Imam Syi’ah, yaitu
Imam Ali Ibn Abi Thalib. Oleh karena-nya kalangan peneliti barat membuat
kesimpulan bahwa tarekat Naqsyabandiyyah adalah Tarekat sunni yang
bermashab Syafi’i.
Dalam suatu kata pengantar Ahmad Tahiri Iraqi, dalam kitab “Qudsiyyah kalimati Baha’ ad Din Naqsyaband”,
karya Muhammad Parsa, Teheran, mengatakan bahwa: “ Salah satu Karakter
tarekat Naqsyabandi adalah tergambar melalui fakta bahwa kesesuaian-nya
dengan hukum-hukum Islam merupakan suatu hal yang teramat penting dalam
perkumpulan ini. Ketaatan yang mendalam terhadap hukum-hukum syariat
adalah thema yang sering di tekankan oleh banyak kalangan Naqsyabandi
dalam mendefinisikan jalan mistik mereka.”
Dalam
perkembangannya Tarekat Naqsyabandiyyah tersebar luas di Asia tengah,
Volga, Kaukasia, Barat laut dan Barat daya China sampai ke Indonesia,
sub-kepulauan India, Turki, Eropa dan Amerika Utara.
Tarekat
Naqsyabandiyyah, lahir dan di formalkan dengan menggunakan nama salah
satu ahli Silsilah yang terkenal dan memiliki banyak pengikut di
berbagai pelosok Dunia Islam. Ia adalah Muhammad Ibn Muhammad Baha’
al-Din al-Naqsyabandi, yang lahir dari kota Hinduwan atau kota Arifan,
Bukhara Uzbekistan pada tahun (717 H/1318 M – 791 H/1389 M).
Tradisi
Naqsyabandi tidak menganggap Baha’ al-Din al-Naqsyabandiyah sebagai
pendiri tarekat, atau dalam pengertian lain Tarekat Naqsyabandi bukan
berawal darinya. Akan tetapi karena kebesaran namanya, sebagai seorang
tokoh sufi yang besar dan pemimpin dzikir yang di hormati dan di cintai.
Namanya diabadikan dan digunakan sebagai bentuk penghomatan padanya,
yakni Tarekat Naqsyabandiyyah.
Ada 3 fase periode pembentukan Tarekat Naqsyabandiyya.
Fase pertama, Pra Sejarah berdirinya tarekat Naqsayabandiyya.
Hamid Algar, dalam karya tulisnya berjudul “Silent and Vocal Dhikr in the Naqsyabandi order”. (Gottingen, 1976), mengatakan, bahwa pada fase pertama periode pra sejarah Tarekat Naqsyabandi di sebutnya sebagai “Periode protohistoris” .
Disebut sebagai periode protohistoris karena Tarekat Naqsyabandi pada
masa itu belum mempunyai identitas, karena tokoh-tokohnya atau garis
Silsilahnya tidak dianggap sebagai eksklusif milik Tareka Naqsyabandiyah
yang menggunakan paham sunni Salah satu contoh-nya adalah Saidina
Ja’far as-Sodiq. Dia adalah Imam Syiah ke 6 dari garis keturunan Ayahnya
Imam Baqir sebagai Imam syiah ke 5, aka tetapi dari garis keturunan
Ibunya ia adalah cucu saidina Qosim Bin Muhammad Bin Abu Bakar
as-Siddiq, dan cicit dari Abu Bakar Siddiq. Imam Ja’far as-Sodiq dalam
transmisi ke Ilmuawannya lebih condong ke Ibunya putrid Saidina Qosim
dan mengenal Ilmu-ilmu Agama langsung dari kakeknya Saidina Qosim. Garis
Silsilah pada periode ini dimulai dari:
Syaikh Abu Ali Fadhlal bin Muhammad Ath-Thusi al-Farmadi
Syaikh Abu Hasan Ali bin Abu Ja’far al-Kharkani
Syaikh Abu Yazid Thaifur bin Adam bin Syarusyan al-Busmati
Saidina Imam Ja’far as-Sodiq
Saidina Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar Shiddiq
Saidina Salman al-Farizi
Saidina Abu Bakar as-Shidiq
Nabi Muhammad saw.
Pada periode protohistoris ini, Tarekat Naqsyabandi juga disebut sebagai Tarekat Uwaysi. Disebut demikian karena inisiasi (bay’ah)
tidak selalu di lakukan oleh mursyid yang masih hidup dan selalu hadir
secara fisik, akan tetapi inisiasinya dapat dilakukan oleh mursyid yang
kehadirannya secara spiritual (Rohanyah) baik syeakh yang masih hidup maupun syeakh yang sudah meninggal sekalipun atau pula melalui Nabi Khidir.
Dinamakan Tarekat Uwaysi berkenaan dengan tokoh rohani atau spiritual pada zaman sahabat, yaitu Uwaysi al-Qorni.
Disebutkan bahwa Uwaysi al-Qorni selalu berjumpa dengan Nabi walaupun
tidak pernah berjumpa secara fisik, perjumpaanya selalu melalui
perjumpaan rohani.
Yusup Ibn Ismail an-Nabhani dalam kitabnya, “Jami’u Karamatil Aulia”, Beirut
1398, mengatakan bahwa dalam silsilah Tarekat Naqsyabandi, antara
Saidina Ja’far as-Soddiq dan Abu Yazid Thaifur al-Bustami tidak pernah
bertemu, demikian juga antara Abu Yazid Thaifur al-Bustami dengan Abu
Hasan Ali al-Kharqani.
Saidina Ja’far as-Soddiq wafat pada tahun 148 H dan Abu Yazid Thaifur al-Bustami lahir pada tahun 188 H. selisih waktu 40 tahun.
Abu Yazid Thaifur al-Bustami wafat tahun 261 H dan Abu Hasan Ali al-Kharqani lahir pada tahun 352 H, selisih waktu 91 tahun.
Dua kasus diatas merupakan kasus bentuk peng-inisiasian (Pembaitan) antara guru dan murid tidak selalu secara fisik akan tetapi dapat terjadi secara batin (Rohanyah/Hakekat). Kemudian
Yusup Ibn Ismail an-Nabhani melanjutkan dalam risalahnya, miskipun
ketiga tokok tersebut Saidina Ja’far as-Soddiq, Abu Yazid Thaifur
al-Bustami dan Abu Hasan Ali al-Kharqani tidak pernah bertemu, ada
penyambung atau wasilah hingga transmisi ke-Ilmuawannya dapat bertemu.
Adapun wasilah-wasilah tersebut adalah sebagai berikut:
Silsilah antara Ja’far as-Soddiq dan Abu Yazid Thaifur al-Bustami
Saidina Imam Ja’far as-Soddiq
Saidina Imam Musa al-Kadlim
Saidina Imam Ali Ridho
Syeakh Ma’ruf al-Kharkhi
Syeakh Abu Yazid Thaifur al-Bustmi
Silsilah antara Abu Yazid Thaifur al-Bustami dan Abu Hasan Ali al-Kharqani,
Syeakh Abu Yazid Thaifur al-Bustami
Syeakh Muhammad al-Maqhribi
Syeakh Abu Yazid al-Isyqi
Syeakh Abu al-Mudlafir at-Thusi
Syeakh Abu Hasan Ali al-Kharqani
Mengenai
Tarekat Uwaysi yang telah di paparkan di atas serta silsilahnya pada
periode protohistoris ini, Pimpinan dan Mursyid Tarekat Naqsyabandi yang
ke 36 Bapanda H.S. Syaikh Muhammad Syukur Dermoga Barita Raja
berpendapat, bahwa Silsilah yang telah dibakukan itu merupakan
sekumpulan nama-nama sufi besar dan Wali qutub yang telah kamil mukamil
(sempurna dan dapat menyempurnakan), sedangkan yang tidak tercantum
bukanlah tidak mempunyai arti penting dalam silsilah ini, mereka-mereka
juga sebagai wali-wali yang sudah kamil, namun belum mukamil.
Lebih
lanjut Bapanda H.S. Syeakh Muhammad Syukur memaparkan dalam Tarekat
Naqsyabandi dikenal dua bentuk asal-usul ke Mursyidan, yaitu Mursydi Adab dan Mursyid Adat. Disebut Mursyid Adab
karena ketinggian Rohaniahnya yang secara terus menerus melakukan
transmisi atau penyambungan langsung dengan Gurunya atau Mursyidnya yang
telah wafat dan secara rohani tidak pernah putus.
Sedangkan Mursyid Adat, merupakan ahli waris (ahlul bait) yang haq untuk pengelola baik berupa asset maupun harta peninggalan lainnya serta meneruskan seluruh perjuangan dakwahnya.
Dalam
kasus ini sudah lazim kita temua pada Tarekat Naqsyabandi. Seperti
Syaikh Ubaid Allah al-Ahrar as-Samarqandi (1403 – 1490 M), sufi besar
dan al-Qutub dari Syash, propensi Tasykand mursyid ke 18, risalah
kemursidan jatuh kepada Syaikh Muhammad as-Sahid (w 1520 M). Demikian
juga pada Syaikh Muhammad Baqibilla (1563 – 1603 M) Wali Besar al-Qutub
yang lahir di Kabul Afganistan yang kemudian menetap di India, mursyid
ke 22, risalah kemursyitan-nya jatuh kepada Syaikh Ahmad al-Faruqi
Shirhindi (w 1626 M) lahir di Punjab India. Syaikh Ahmad al-Faruqi
adalah murid yang paling di hormati dan di cintai, dan dalam perjalanan
hidupnya Syaikh Ahmad tidak hanya seorang Sufi besar dan mursyid ke 23,
melainkan jugu dikenal sebagai Mujaddid-i Alf-i Tsani (Pembaharu Melinium ke kedua).
Fase kedua, Periode Formasi Tarekat Naqsyabandi
Pada fase kedua ini, sejarah Tarekat Naqsyabandi mulai terlihat identitasnya sebagai sebuah perkumpulan persaudaraan sufi.
Fakhr al-Din, pengarang kitab sejarah thariqah dalam karyanya “Rasyabat ‘Ain al-Hayat”
menyebutkan, bahwa identitas Tarekat Naqsyabandi berawal atau bersumber
dari Guru Sufi besar yang hidup se-zaman dengan Muhiddin Abu Muhammad
Abdul Qadir bin Abi Saleh Zangi Dost Jilani (Syaikh Abdul Qadir
al-Jailani), yaitu Syaikh Abu Ya’kub Yusup al-Hamadani (w 1140 M).
Syaikh
Abu Ya’kub Yusup al-Hamadani, memiliki 2 orang murid yang sekaligus
sebagai khalifahnya dalam menyebar luaskan ajaran-ajarannya, yaitu Syaikh Ahmad al-Yasawi (w 1169 M), dan Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani (w 1220 M).
Syaikh Ahmad al-Yasawi sebagai khalifah menyebarkan ajaran gurunya dengan membentuk suatu perkumpulan persaudaraan sufi, yaitu Tarekat Yasawi. Yang penyebarannya dari Asia tengah hingga Turki dan Anatolia.
Sedangkan Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani dalam menyebarkan ajaran gurunya di lakukan dengan membentuk Tarekat Kwajagan (cara khoja atau guru). Adapun penyebarannya berada pada sekitar daerah Transoksania.
Taqi al-Din ‘Abd Rahman al-Wasithi, dalam karya kitabnya “ Tiryaq al-muhibbin fi thabaqat khirqat al masya’ikh al-‘arifin”,
kairo 1305, berpendapat bahwa Syaikh Abdul Khaliq Gujdawani dengan
tarekat kwajagan-nya merupakan pilar dasar terbentuknya Silsilah Tareqat
Naqsyabandi. Lebih lanjut Taqi al-Din mengatakan bahwa dari sanalah ruh
gnosis Islam dan suksesi ajaran-ajaran Syaikh Abu Ya’qub Yusup
al-Hamadani terbentuk dan melembaga kedalam suatu bentuk Silsilah yang
tidak pernah putus. Adapun suksesi pewarisan ajaran Syaikh Abu Ya’qub
Yusup al-Hamadani ter-urai kedalam suatu Silsilah, sebagai berikut:
Syaikh
Muhammad Baha’ al-Din al-Naqsyabandi ibn Muhammad as-Syariful Husaini
al-Hasani al-Bukhari (w 1389 ), Ia mengambil dari ……..
Syaikh Sayid Amir Kulali ibn Sayid Hamzah (w 1371 ), Ia mengambil dari …….
Syaikh Muhammad Baba al-Samasi (w 1340), Ia mengambil dari ……..
Syaikh Azizan Ali al-Ramitani (w 1306), Ia mengambil dari ……..
Syaikh Mahmud al-Anjiri Faqhnawi (w 1272), Ia mengambil dari …….
Syaikh Arif ar-Riwiqari (w 1259), Ia mengambil dari …….
Syaikh Abdul Khaliq Guddawani (w 1220), Ia mengambil dari …..
Syaikh Abu Ya’qup Yusup al-Hamadani (w 1140).
Selanjutnya
Taqi al-Din menguraikan, bahwa dalam tarekat Kwajagan melalui Syaikh
Abdul Khaliq Kudawani, gurunya menetapkan delapan prinsip dasar dalam
ajarannya. Dan kedelapan prinsip prinsip dasar tersebut menjadi dasar
dari Tarekat Naqsyabandi. Kedelapan prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
(1).
Husy dar dam, (2). nazhar bar qadam, (3). safar dar watan, (4). khalwat
dar anjuman, (5). yadkard, (6). bazgasyt, (7). nigah dast, dan (8).
yads dast. Dari dasar-dasar ajaran syaikh Abu Ya’qub Yusup
al-Hamadani, selanjunya oleh Syaikh Baha’ al-Din al-Naqsyabandi menambah
3 prinsip utama sebagai penyempurnaan. Ke tiga prinsip tambahan itu,
adalah (1). Wuguf zamani, (2). Wuquf ‘adadi, dan (3). Wuqub qalbi.
Ke-sebelas
prinsip tersebut selanjutnya dan seterusnya semenjak abad 13 dan 14
yang silam telah di nisbatkan pada Tarekat Naqsybandi, dan sekaligus
sebagai cikal bakal dan pilar dasar terbentuknya sebuah gnosis Islam
Tarekat Naqsyabandi.
Hamid Algar, dalam tulisan pendeknya (berupa Makalah) yang dimuat oleh Studia Islamica Vol. XLIV (1976) dengan judul “The Naqsyabandi Order: a Preliminary Survey of its History and Significance” memberikan
kesimpulan, bahwa sejak di nisbatkannya nama Naqsyabandi dari Syaikh
Baha’ al-Din sebagai Nama dan Identitas dalam perkumpulan tarekat yang
sebelumnya berupa tarekat khwajagan, Tarekat Naqsyabandi semakin masyhur
dan memiliki pengaruh yang sangat luas dari masa ke masa. Figur utama
Syaikh Baha’ al-Din tidak hanya di kenal sebagai seorang sufi besar akan
tetapi juga di kenal sebagai seorang tokoh penasehat utama sultan, yang
tegas dan berani serta adil pada masa pemerintahan sultan Khalil (w
1347). Namanya di catat dalam sejarah kesultanan Samarkand. Semua
kemajuan yang di capai oleh ke sultanan tidak dapat dilepaskan dari
peran serta dan keterlibatan Baha’ al-Din.
Fase ke-tiga, periode perkembangan dan penyebaran Tarekat Naqsyabandi
Pada
periode ini, Tarekat Naqsyabandi telah menjadi sebuah perkumpulan besar
yang terorganisir dengan baik dan rapi. Pengikut-pengikut Tarekat
Naqsyabandi tidak hanya orang-orang yang menginginkan dan mencari
pengetahuan spiritual, akan tetapi sejumlah ahli figih, ahli tafsir dan
ahli hadist berbai’at kepada Syaikh Baha’ al-Din. Sederet Nama besar
ahli Agama menjadi khalifah Syaikh Baha’ al-Din, seperti Khwaja Ala’
al-Din al-Aththar (w 1400) seorang ahli hadist, dan theology Islam,
Khwaja Muhammad Parsa (w 1419) seorang ahli tafsir Al-Quran, dan bersama
Ya’qub al-Charki menulis Tafsir Al-Quran, Khwaja Sa’id al-Din Kasyghari
(w 1459) seorang teolog dan ahli Filasafat. Pada periode ini yang
paling menonjol adalah murid dan sekaligus seorang khalifah Ya’qub
al-Charki, yaitu Syaikh Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar as-Samarqandi (w
1490) yang kemudian menjadi penerus kemursyidan tarekat Naqsyabandi
generasi ketiga Syaikh Baha’ al-Din.
Berbagai
refrensi dan buku-buku sejarah tarekat Naqsyabandi ini, Syaikh
Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar telah merubah sebuah paradikma klasik
yang meng-identikkan kesufian dan kemiskinan. Ia adalah simbul seorang
Mistikus Islam yang sangat amat kaya. Pemilik 3.300 perkampungan
(mazra’ah) dan lahan pertanian yang sangat luas. Sebuah kampung terkenal
Pashaghar di samarkand adalah miliknya, dan dalam perniagaannya di
bantu oleh tiga ribu buruh dan tiga ribu pasang kerbau untuk mengairi
lahan pertaniannya. Delapan ribu maund gandum di serahkan kepada sultan
Ahmad Mirza sebagai pajak tanah pertanian setiap tahun.
Syaikh
Nasaruddin Ubaidullah al-Ahrar sebaga mursyid ke 18, dalam suksesi
kemursidan. Pada masa kepemimpinannya, Tarekat Naqsyabandi telah
tersebar dan menguasai hampir seluruh wilayah Asia Tengah meluas ke
Turki dan India. Kemudian telah berdiri beberapa pusat perkumpulan
(cabang), seperti China, Chiva, Taskend, Harrat, Bukhara, Iran,
Afganistan, Turkistan, Khogan, Baluchistan, Iraq, India.
Pada
periode ini, Tarekat Naqsyabandi mencapai puncaknya ketika suksesi
kemursidan di pegang oleh Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi (w 1624)
sebagai mursyid ke 23. Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi adalah seorang
ahli fiqih dan hafal Al-Quran. Ia adalah murid kesayangan karena
kesuhudan dan keshalehannya, dan di hormati karena ketinggian Ilmunya
dan pemikirannya yang sangat cemerlang dari seorang guru sufi besar,
al-Qutub Syaikh Muhammad Baqi Billah (w 1603) mursyid ke 22 Tarekat
Naqsyabandi yang bermukin di India.
Dibawah
kepemimpinan Syaikh Ahmad al-Faruqi Sirhindi, Tarekat Naqsyabandi telah
tersebar ke berbagai penjuru Dunia Islam dan di ikuti oleh banyak
pengikut. Pada masa itu pula telah berdiri beberapa tempat pusat
kegiatan berupa kangah-kangah, seperti di Jabal Abu Qubais Arab, Yaman,
Damaskus, Mesir, Spanyol, Bagdad, Afrika dan Amerika Utara. Syaikh Ahmad
al-Faruqi Sirhindi tidak hanya seorang guru sufi besar akan tetapi juga
seorang Mujaddid. Dan pemikirannya tidak hanya di akui oleh dunia Islam
akan tetapi juga oleh para orientalis barat, katab-kitab karanganya
telah menjadi rujukan Ilmu-ilmu Filsafat dan Sosial. Demikian juga para
mursyid-mursyid berikutnya, setiap zaman, setiap masa, para mursyid
sebagai ahli silsilah di Tarekat Naqsyabandi senantiasa memiliki
keahlian-keahlian yang berbeda sesuai dengan kondisi zaman.
RIWAYAT PERKEMBANGAN TAREKAT NAQSYABANDI
Penamaan tarekat Naqsyabandi dari sejak periode Nambi Muhammad SAW hingga sekarang adalah sebagai berikut :
-
Pada masa periode Nabi Muhammad SAW, di namai Tarekatus Sirriyah. Karena halus dan tingginya Tarekat ini.
-
Pada masa periode Abubakar Siddiq r.a, di namai Tarikatul Ubudiyah, karena ketinggian dan kesempurnaan pengabdian Nabi Muhammad SAW kepada Allah SWT, baik secara lahir maupun secara bathin.
-
Pada masa periode Zalamn al-Farizi samapai dengan masa peride Taifur Abu Yazid al-Bustami, di namai Tarikatus Siddiqiyah, karena ketinggian dan kesempurnaan pengabdian Abubakar Siddiq r.a kepada Nabi Muhammad SAW, secara lahir dan Batin.
-
Pada masa Taifur Abu Yazid al-Bustami sampai dengan masa periode Abdul Khaliq Kujdawani, di namai Tarekatul Taifuriyah.
-
Pada masa Abdul Khaliq Kujdawani sampai periode Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi disebut Tarekatul Kuwajaganiyah.
-
Pada masa periode Muhammad Baha’uddin Naqsyabandi sampai masa periode Mohammada Naziruddin Ubaidullah al-Ahrar q.s disebut Tarekatun Naqsyabandiyah.
-
Pada masa periode Mohammad Naziruddin Ubaidullah al-Ahrar samapai Ahmad al-Faruqi 9ahmad Shirhindi q.s ), di namai Tarekatul Naqsyabandiyah al-Ahrariyah.
-
Pada
masa periode Ahmad al-Faruqi Shirhindi sampai pada periode Maulana
Dhiyauddin Khalid al-Ustmani al-Kurdi q.s, dinamai Tarekatun Naqsyabandi
al-Ahrariyah al-Mujaddidiyah Dan di perpendek menjadi Tarekatun Naqsyabandi Al-Mujaddidiyah.
-
Pada
masa periode Maulana Dhiyauddin Khlaid al-Ustmani sampai dengan periode
penyebaran ke Jabal Abu Qubais hingga Sepanyol Eropa dan Afrika, yang
di sebarkan oleh para khalifah-kalaifah maulana Dhiyauddin Khalid
al-Ustmani, dinamai dengan Tarekatun Naqsyabandi Al-Mujaddidiyah Al-Khalidiyah.
Penamaan-penamaan Tarekat Naqsyabandiya di dasarakan pada Nama-nama Mursiyd yang Kamil mu-Mukamil
pada setiap kurun waktu, masa dan periode serta sebagai wujud atas
kebesaran-nya dalam mengembangkan amanat peramalan atau Dzikrullah. Tarekat Naqsyabandiyah al-Ahrariyah, diambil dari nama Ubaidullah al-Ahrar, karena kebesarannya dalam mengembangkan dan menyebarkan Tarekat ke seluruh Dunia. Tarikatun Naqsyabandiyah al-Mujaddiyah
karena kebesaran nama guru Mursyid Ahmad al-Faruqi Shirhindi atau
dikenal dengan Ahmad Shirhindi, beliau dikenal sebagai seorang Mujaddid
abad Mellinium kedua dan sekaligus seorang sufi besar, yang karya-karya
bukunya telah di kenal di seluruh Dunia, serta pemikirannya yang segar
dan dinamis.
PENUTUP DAN AHLI SILSILAH TAREKAT NAQSYABANDI
Adalah
fakta sejarah, bahwa antara Islam dan Tasawuf merupakan satu kesatuan
yang utuh, seperti hal-nya Syari’ah dan Islam. Tasawuf dan Syari’ah pada
hakekatnya suatu kesatuan yang tidak dapat di pisahkan, menghilangkan
sisi yang satu dengan mengambil sisi yang lain, akan kehilangan makna
kesejatiannya. Ibarat setali mata uang, akan berharga manakala dua
sisinya tampak. Demikian juga dalam menempuh hidup bertasawuf, tarekat yang benar adalah berdiri di atas syari’at yang benar.
Meneliti
dan mengkaji tasawuf dari sudut pandang Ilmu seperti berada pada sebuah
samudra yang sangat amat luas, tak bertepi dan tak berujung. Semakin
jauh menyelam kedalamnya semakin luas cakupan akal untuk memahaminya.
Semakin dalam pengembaraan semakin sulit untuk di pahami, sebab akal dan
fikiran hanyalah sebuah alat menganalisa sebuah fakta-fakta yang tampak
secara kasat mata.
Menyelami
dunia tasawuf adalah sebuah pengembaraan yang melelahkan karena luasnya
tidak dapat di ukur berdasarkan logika dan akal, dan kesimpulan akhir
dari pengembaraan hanya seuntai kata yang terangkai dalam sebuah kata
dan terangkum dalam puisi-puisi kerinduan, puisi cinta akan ke Tuhanan,
saking sulitnya bagaimana menyimpulkan dan menyampaikannya dalam bahasa
dakwa dan testimonial.
Sangat
sedikit orang dapat merasakan keindahannya, dan ia adalah pilihannya
untuk dapat melakukan Mi’raj mencapai sebuah puncak terjauh tempat
berteduhnya burung-burung mistik “shimurgi” untuk mencapai apa yang
sesungguhnya ada pada diri dan kesejatian itu.
Kebenaran
Tasawuf Islam tidak dapat di capai dengan sebuah rangkaian cerita,
pena, kata-kata dan logika, walau akal kerap kali di jadika sebagai alat
untuk memahaminya, namun akal tidak dapat menembus dan mengungkap
sebuah kerahasian yang tersembunyi, yaitu Kerahasian Ketuhanan yang
halus.
Pada
sisi inilah sebuah fakta sejarah kita temukan, ada yang gila karena
rasa cintanya hingga ia hilang kesadarannya, ada yang menolak hingga
meng-kafirkan, ada yang terbunuh, ada yang membela akan kebenarannya,
dan ada yang merasakan ke-otentikannya sehingga prinsip-prinsip
ketuhanan terbuka hijabnya.
Daftar Pustaka
Al-Kurdi, Muhammad Amin, Tanwir al-Qulub fi Mu’amalah ‘Allam al-Ghuyub, sebuah manuskrip Universitas Al-Azhar, Mesir 1332 H.
Algar, Hamid, The Naqsyabandi Order: a Preliminary Survey of its History and Siqnificance, Kolom Studia Islamica, Iran, 1976.
Algar, hamid, Silent and Vocal Dhikr in the Naqsyabandi Order, Makalah pada Akten des VII Kongresses fur Arabistik und Islamwissenschaft, Gottingen, 1975. Amin, Najmuddin, Tanwirul Qulub, sebuah manuskrip cetakan Darul Fiqih Beirut (tanpa tahun).
An-Nabhan, Yusup ibn Isma’il, Jami’u Karamatil Aulia, Beirut, 1978
An-Naisabury, Abul Qosim al-Qusyairy, ar-Risalatul Qusyairiyah fi ‘Ilmi at-Tashawwufi, Darul
Khair, tahun tahun, dan tela di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia
dengan judul Risalatul Qusyairiyah, Risalah Gusti, jakarta, 1999
As-Sarraj, Abu Nashr, Al-Luma’ (Lajnah Nasyr at-Turats ash-Shufi),
Maktabah ats-Tsaqafiah-Diniyyah, Bursaid – Kairo, Mesir. Tanpa tahun,
Dan telah di terjemahkan kedalam Bahasa Indonesia dengan judul yang sama
Al-Luma’, Risalah Gusti, Jakarta, 2002.
A. Schimmel, Mystical Dimension of Islam, terjemahan dari kitab ‘Nafahat Al-Uns, karya Abd al-Rahman Jami, Univesity of North Carolina, 1975
Armstrong, Karen, Islam: A Short History, London, 2001
Ali ibn Husain, Fakhr al-Din al-Wa’izh, Rasyabat ‘ain al-hayat, Cawnpore, 1912.
Bahjat, Ahmad, Pledoi Kaum Sufi (terjemahan dari Bihar al-Hub ‘Inda al-Sufhiyah), cetakan Surabaya-Indonesia, 1997.
Baldick, Julian, Mistical Islam: an Introduction to Sufsm. London, 1989.
C. Chittick, William, The Sufi Path of Knowledge, Ibn al-Arabi’s Metaphisic of Imaginasion, State University of New York, 1989
Gibb, H.A.R, Modern Trends in Islam, Chicago, 1978.
Fadhlullah, Haeri, The Elemen of Islam, London,
1990. (telah di terjemahkan ke dalam edisi Indonesia “Belajar Mudah
Tasawuf”, penerbit pustaka sufi, Yokyakarta, 2003 dan “Dasar-dasar
Tasawuf” penerbit Lentera, Jakarta 1999)
Hodgson, Marshall G.S, The Venture of Islam, Conscience and History in a World Civilization, Chicago, 1974.
Ibn Baththuthah, Voyages d’Ibn Batouta, teks dan terj. C. Defremery dan B.R. Sanguinetti, 4 vol, P aris, 1853-1858
Nizami, K.A. , Naqsyabandi influence on Moghal rules and polities” Islmaic Culture, Bombay, 1961.
Mulyati, Sri, DR, MA, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, Prenada Media, Jakarta 2004
Trimingham, J.Spencer, The Sufi Order in Islam, London 1973
Wasithi, Taqi al-Din ‘Abd al-Rahman, Tiryaq al-muhibbin fi thabaqat khirqat al-masya’ikh al-arifin, Kairo, 1305/1888.
S.M.N. Al-Attas, Preliminary Statement on a General Theory of the Islamization of Malay-Indonesian Archipelago, Kuala Lumpur, 1969.
McCarthy, R.J, Freedom and Fulfillment: An Annotated of Al-Gazali’s Al-Munqidz min Al-Dhalal and other Relevant Works of Al-Ghazali, Boston, 1980
Osman bin Bakar, Tasawuf di Dunia Melayu-Indonesia, Terjemahan dalam edisi Indonesia dari Islamic Spirituality: Manisfestations, English, 1997
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, ENSIKLOPEDI Islam, Vol 4, Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997.