BIOGRAFI AL-KINDI
RIWAYAT HIDUP
Al-Kindi merupakan nama yang diambil dari suku
yang menjadi asal cikal bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah
suku keturunan Kindah yang sejak dulu menempati daerah selatan Jazirah Arab
yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak
dikagumi orang.
Sedangkan nama lengkap
Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq As-Shabbah bin imron bin Isma’il
al-Asy’ad bin Qays al-Kindi. Lahir pada tahun 185 H (801 M) di Kuffah.
Ayahnya Ishaq As-Shabbah adalah gubernur Kuffah pada masa pemerintahan al-Mahdi
dan Harun ar-Rasyid dari bani Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah
al-Kindi lahir.
Pada masa kecilnya
al-Kindi sempat merasakan masa pemerintahan khalifah Harun ar-Rasyid yang
terkenal kepeduliannya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan bagi kaum muslim.
Ilmu pengetahuan berpusat di Baghdad yang sekaligus menjadi pusat perdagangan.
Pada masa pemerintahan ar-Rasyid sempat didirikan lembaga yang disebut bayt
al-Hikmah (Balai Ilmu Pengetahuan). pada waktu al-Kindi berusia 9 tahun
ar-Rasyid wafat dan pemerintahan diambil alih oleh putranya al-Amin yang tidak
melanjutkan usaha ayahnya ar-Rasyid untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Namun
setelah beliau wafat pada tahun 185 H (813 H) kemudian saudaranya al-Makmun
menggantikan kedudukannya sebagai khalifah (198-228 H) ilmu pengetahuan
berkembang pesat. Fungsi Bayt al-hikmah lebih ditingkatkan, sehingga pada masa
pemerintahan al-Makmun berhasil dipadukannya antara ilmu-ilmu keislaman dan
ilmu-ilmu asing khususnya dari Yunani. Dan pada waktu inilah al-Kindi menjadi
sebagai salah seorang tokoh yang mendapat kepercayaan untuk menterjemahkan
kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab, bahkan dia memberi komentar terhadap
pikiran-pikiran pada filosuf Yunani.
Masa kecil al-Kindi
mendapat pendidikan di Bashrah. Tentang siapa guru-gurunya tidak dikenal,
karena tidak terekam dalam sejarah hidupnya. Setelah menyesaikan pendidikannya
di Bashrah ia melanjutkan ke Baghdad hingga tamat, ia banyak mengusai berbagai
maca ilmu yang berkembang pada masa itu seperti ilmu ketabiban (kedokteran),
filsafat, ilmu hitung, manthiq (logika), geometri, astronomi dan lain-lain.
Pendeknya ilmu-ilmu yang berasal dari Yunani juga ia pelajari dan
sekurang-kurangnya salah satu bahasa ilmu pengetahuan kala itu ia kuasai dengan
baik yaitu bahasa Suryani. Dari buku-buku Yunani yang telah diterjemahkan ke
dalam bahasa Suryani inilah Al-Kindi menterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Pada masa pemerintahan
al-Mu’tashim yang menggantikan al-Makmun pada tahun 218 H (833 M) nama al-Kindi
semakin menanjak karena pada waktu itu al-Kindi dipercaya pihak istana menjadi
guru pribadi pendidik putranya yaitu Ahmad bin Mu’tashim. Pada masa inilah
al-Kindi mempunyai kesempatan untuk menulis karya-karyanya, setelah pada masa
al-Ma’mun menterjemahkan kitab-kitab Yunani ke dalam bahasa Arab.
KARYA-KARYA AL-KINDI
Karya yang telah
dihasilkan oleh al-Kindi kebanyakan hanya berupa makalah-makalah. Ibnu Nadim,
dalam kitabnya Al-Fihrits, menyebutkan lebih dari 230 buah.[1]
George N. atiyeh menyebutkan judul-judul makalah dan kitab-kitab karangan
al-Kindi sebanyak 270 buah.[2]
Dalam bidang Filsafat, karangan
al-Kindi pernah diterbitkan oleh Prof. Abu Ridah (1950) dengan judul Rosail
al-Kindi al-Falasifah (Makalah-makalah filsafat al-Kindi) yang berisi 29
makalah. Prof. Ahmad Fuad Al-Ahwani pernah menerbitkan makalah al-Kindi tentang
filsafat pertamanya dengan judul Kita al-Kindi ila al-Mu’tashim Billah fi
al-Falsafah al-Ula (Surat al-Kindi kepada Mu’tashim Billah tentang filsafat
pertama).
Karangan-karang al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan
kecermatannya dalam memberikan batsasan-batasan makna istilah-istilah yang
digunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Ilmu-ilmu filsafat yang ia bahas mencakup
epistemologi, metafisika, etika dan sebagainya. Sebagaimana halnya para
penganut Phytagoras, al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang
tidak bisa berfilsafat dengan baik.
Kalau dilihat dari
karangannya al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme.[3] Dalam
metafisika dan kosmologi ia mengambil pendapat-pendapat Aristoteles, dalam
Psikologi ia mengambil pendapat Plato, dalam bidang etika ia mengambil
pendapat-pendapat Socrates dan Plato. Namun kepribadian al-Kindi sebagai
filosuf Muslim tetap bertahan. Misalnya dalam membicarakan tentang kejadian
alam al-Kidi tidak sependapat dengan Aristoteles yang mengatakan bahwa alam itu
abadi, ia tetap berpegang pada keyakinannya bahwa alam adalah ciptaan Allah,
diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula.
Sebagai seorang filosuf
yang mempelopori mempertemukan agama dengan filsafat Yunani, al-Kindi
menghadapi banyak tantangan para ahli agama. Ia dianggap telah meremehkan
bahkan membodoh-bodohi ulama’ yang tidak mengetahui filsafat Yunani.
Fitnah-fitnah yang ditujukan kepadanya semakin deras dan keras, terutama pada
masa pemirantahan Mutawakkil. Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah
semulia-mulianya ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi
kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki filsafat itu.
Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang mengingkari
filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran dan keluar
dari agama. Menurut al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan
mengorbankan keyakinan agama. Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama.
DEFINISI FILSAFAT
AL-KINDI
Al-Kindi
menyajikan banyak definisi filsafat tanpa menyatakan bahwa definisi mana yang
menjadi miliknya. yang disajikan adalah definisi-definisi terdahulu, itupun
tanpa mengaskan dari siapa definisi tersebut ia peroleh. Mungkin hal ini
dimaksudkan bahwa pengertian sebenarnya tercakup dalam semua definisi yang ada,
tidak hanya pada salah satunya. Menurut al-Kindi untuk memperoleh pengertian lengkap
tentang apa filsafat itu harus memperhatikan semua unsur yang terdapat dalam
semua definisi tentang filsafat. Definisi-definisi al-Kindi sebagai berikut :
1. Filsafat terdiri dari gabungan dua kata, Philo,
Sahabat
dan Sophia, Kebijaksanaan. Filsafat adalah cinta terhadap
kebijaksanaan. Definisi ini berdasar atas etimologo Yunani dari kata-kata itu.
2. Filsafat adalah upaya manusia meneladani
perbuatan-perbuatan Tuhan sejauh dapat dijangkau oleh kemampuan akal manusia.
Definisi ini merupakan definisi fungsional, yaitu meninjau filsafat dari segi
tingkah laku manusia.
3. Filsafat adalah latihan untuk mati. Yang
dimaksud dengan mati adalah bercerainya jiwa dan badan. Atau mematikan hawa
nafsu adalah mencapai keutamaan. Oleh karenanya, banyak orang bijak terdahulu
yang menyatakan bahwa kenikmatan adalah kejahatan. Definisi juga merupakan
definisi fungsional, yang bertitik tolak pada segi tingkah laku manusia pula.
4. Filsafat adalah pengetahuan dari segala
pengetahuan dan kebijaksanaan. Definisi ini bertitik tolak dari segi kausa.
5. Filsafat adalah pengetahuan manusia tentang
dirinya. Definisi ini menitik beratkan pada fungsi filsafat sebagai upaya
manusia untuk mengenal dirinya sendiri. Para filosuf berpendapat bahwa manusia
adalah badan, jiwa dan aksedensial manusia yang mengetahui dirinya demikian itu
berarti mengetahui segala sesuatu. Dari sinilah para filosuf menamakan manusia
sebagai mikrokosomos.
6. Filsafat adalah pengetahuan tentang segala
sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum), baik esensinya maupun kausa-kausanya.
Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya.
Dari bebrapa definisi
yang amat beragam di atas, tampaknya al-Kindi menjatuhkan pada definisi
terakhir dengan menambahkan suatu cita filsafat, yaitu sebagai upaya
mengamalkan nilai keutamaan. Menurut al-Kindi, filosuf adalah orang yang
berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengamalkan kebenaran yang diperolehnya
yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan
demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran,
tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran
itu. Filosuf sejati adalah yang mampu memperoleh kebijaksanaan dan
mengaktualisasikan atau mengamalkan kebijaksanaan itu. Hal yang disebut terakhir
menunjukkan bahwa konsep al-Kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara
konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya
dengan moralita.
Al-Kindi menegaskan
juga bahwa filsafat yang paling tinggi tingkatannya adalah filsafat yang
berupaya mengetahui kebenaran yang pertama, kausa daripada semua kebenaran,
yaitu filsafat pertama. Filosuf yang sempurna dan sejati adalah yang memiliki
pengetahuan tentang yang paling utama ini. Pengetahuan tentang kausa (‘illat) lebih utama dari
pengetahuan tentang akibat (ma’lul, effact). Orang akan
mengetahui tentang realitas secara sempurna jijka mengetahui pula yang menjadi
kausanya.
EPISTEMOLOGI AL-KINDI
PENDAHULUAN
Pada
kesempatan sebelumnya kita telah memaparkan biografi salah seorang tokoh
filsafat Islam yang cukup berpengaruh dan mempunyai peranan penting dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di dalam dunia Islam, yaitu al-Kindi yang
mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq As-Shabbah bin imron bin
Isma’il al-Asy’ad bin Qays al-Kindi[4]. Dalam
kesempatan kali ini kita akan mencoba untuk memaparkan pemikiran al-Kindi
tentang epistemologi.
Namun
sebelumya kita ingin memberikan gambaran umum tentang epistemologi tersebut,
epistemologi yang merupakan nyawa dari filsafat membahas tentang seluk beluk
pengetahuan manusia, akan selalu menjadi bahan yang menarik untuk dikaji,
karena disinilah dasar-dasar pengetahuan maupun teori pengetahuan yang
diperoleh manusia menjadi bahan pijakan dan tentunya sangat banyak pembahasan
tentang pengetahuan. Apa yang
dimaksud dengan pengetahuan? Apakah yang menjadi dasar ataupun sumber dari
pengetahuan? Dan masih banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang menjadi cakupan
dalam Epistemologi.
Seperti
yang telah kita ketahui bahwasannya konsep-konsep ilmu pengetahuan yang
berkembang pesat dewasa ini beserta aspek-aspek praktis yang ditimbulkannya
dapat dilacak akarnya pada struktur pengetahuan yang membentuknya. Dari
epistemologi, juga filsafat –dalam hal ini filsafat modern– terpecah berbagai
aliran yang cukup banyak, seperti empirisme, rasionalisme, pragmatisme,
positivisme, maupun intuisionisme.
PENGERTIAN
Secara
etimologi (baca: bahasa), epistemologi merupakan kata gabungan yang diangkat
dari dua kata dalam bahasa Yunani, yaitu episteme dan logos.
Episteme artinya pengetahuan, sedangkan logos lazim dipakai untuk menunjukkan
adanya pengetahuan sistematik. Dengan demikian epistemologi berarti pengetahuan
sistematik mengenai pengetahuan. Sedangkan Runes dalam kamusnya (1971)
menjelaskan bahwa epistemologi is the branch of philoshophy which
investigates the origin, stucture, methods and validity of knowledge.[5]
Karena itulah epistemologi sering dikenal sebagai filsafat pengetahuan.
Jika
diperhatikan, batasan-batasan di atas nampak jelas bahwa hal-hal yang hendak diselesaikan
epistemologi ialah tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal
mula pengetahuan, validitas pengetahuan, dan kebenaran pengetahuan.
Al-Kindi
telah mengadopsi ilmu-ilmu filsafat dari pemikiran tokoh filsafat Yunani, namun
sebagai seorang filosuf Muslim, ia mempunyai kepribadian seorang Muslim sejati
yang tak tergoda dan tetap mayakini prinsip-prinsip di dalam Islam. Al-Kindi
mempunyai pandangan tersendiri tentang pengetahuan, menunrutnya pengetahuan
manusia itu pada dasarnya terbagi menjadi tiga bagian besar, yaitu : (a)
Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan indera disebut pengetahuan inderawi,
(b) Pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan akal disebut pengetahuan rasional,
dan (c) Pengetahuan yang diperoleh langsung dari Tuhan disebut dengan
pengetahuan isyraqi atau iluminatif.
a. Pengetahuan Inderawi
Pengetahuan inderawi terjadi secara langsung
ketika orang mengamati terhadap obyek-obyek material (sentuhan, penglihatan,
pendengeran, pengcapan dan penciuman). Kemudian dalam proses yang sangat
singkat tanpa tenggang waktu dan tanpa berupaya, obyek-obyek yang telah
ditangkap oleh indera tersebut berpindah ke imajinasi (musyawwiroh),
kemudian diteruskan ke tempat penampungannya yang disebut hafizhah
(recolection). Pengetahuan yang diperoleh dengan jalan ini (Inderawi)
tidak tetap dan akan selalu berubah; karena obyek yang diamati pun tidak tetap,
selalu dalam keadaan menjadi, berubah setiap saat, bergerak, berlebih-berkurang
kuantitasnya, dan berubah-ubah pula kualitasnya.
Pada dasarnya pengetahuan inderawi ini mempunyai
kelemahan yang cukup banyak, sehingga pengetahuan yang didapatkan belum tentu
benar. Kelemahan-kelemahan tersebut antara lain Indera terbatas, benda
yang jauh terlihat kecil berbeda ketika benda tersebut berada di dekat kita,
lalu apakah benda tersebut memang berubah menjadi kecil? tidak, keterbatasan
kemampuan indera ini dapat memberikan pengetahuan yang salah. Kelemahan kedua
adalah Indera menipu, gula yang rasanya manis akan terasa pahit ketika
dirasakan oleh orang yang sakit, begitu juga udara yang yang panas akan terasa
dingin. Sehingga hal ini akan memberikan pengetahuan yang salah juga. Kelemahan
ketiga ialah Obyek yang menipu, seperti ilusi, fatamorgana. Di sini
Indera menangkap obuek yang sebenarnya tiada. Kelemahan keempat berasal dari
indera dan obyek sekaligus, indera misalnya mata tidak dapat melihat obyek
secara keseluruhan dan begitu juga obyek yang tidak memperlihatkan dirinya
secara keseluruhan, sehingga hal ini akan memberikan informasi pengetahuan yang
salah pula.
b. Pengetahuan Rasional
Pengetahuan tentang sesuatu yang diperoleh dengan
jalan menggunakan akal bersifat universal, tidak parsial dan bersifat
immaterial. Obyek pengetahuan rasional bukan individu; tetapi genus dan
spesies. Orang mengamati manusia sebagai yang berbadan tegak dengan dua kaki,
pendek, jangkung, berkulit putih atau berwarna, yang semua ini akan
menghasilkan pengetahuan inderawi. tetapi orang yang mengamati manusia,
menyelidiki hakikatnya sehingga sampai pada kesimpulan bahwa manusia adalah
makhluk berfikir (rational animal = hewan nathiq), telah memperoleh pengetahuan
rasional yang abstrak universal, mencakup semua individu manusia. Manusia yang
telah ditajrid (dipisahkan) dari yang inderawi tidak mempunyai gambar
yang telukis dalam perasaan.
Kelihatannya sudah cukup jelas bahwa pengetahuan
hanya terbagi menjadi dua, karena keduanya sudah saling melengkapi, tapi
ternyata hal tersebut belum cukup. Indera (empiris) dan akal (rasio/logis) yang
bekerjasama belum mampu mendapatkan pengetahuan yang lengkap dan utuh. Indera
hanya mampu mengamati bagian-bagian tertentu tentang obyek. Dibantu oleh akal,
manusia juga belum mapu memperoleh pengetahuan yang utuh. Akal hanya sanggup
memikirkan sebagian dari obyek.[6]
Al-Kindi memperingatkan agar orang tidak
mengacaukan metode yang ditempuh untuk memperoleh pengetahuan, karena setiap
ilmu mempunyai metodenya sendiri yang sesuai dengan wataknya. Watak ilmulah
yang menentukan metodenya. Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan suatu
metode suatu ilmu untuk mendekati ilmu lain yang mempunyai metodenya sendiri.
Adalah suatu kesalahan jika kita menggunakan metode ilmu alam untuk metafisika.
c. Pengetahuan Isyraqi
Al-Kindi mengatakan bahwa pengetahuan inderawi
saja tidak akan sampai pada pengetahuan yang hakiki tentang hakikat-hakikat.
Pengetahuan rasional terbatas pada pengetahuan tentang genus dan spesies.
Banyak filosof yang membatasi jalan memperoleh pengetahuan pada dua macam jalan
ini. Al-Kindi, sebagaiman halnya banyak filosof isyraqi, mengingatkan adanya
jalan lain untuk memperoleh pengetahuan lewat jalan isyraqi (iluminasi), yaitu
pengetahuan yang langsung diperoleh dari pancaran Nur Ilahi. Puncak dari jalan
ini adalah yang diperoleh para Nabi untuk membawakan ajaran-ajaran yang berasal
dari wahyu kepada umat manusia. Para Nabi memperoleh pengetahuan yang berasal
dari wahyu tuhan tanpa upaya, tanpa bersusah payah untuk memperolehnya.
Pengetahuan mereka terjadi atas kehendak Tuhan semata-mata. Tuhan mensucikan
jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa meraka untuk memperoleh kebenaran
dengan jalan wahyu. Akal meyakinkan pengetahuan pengetahuan mereka berasal dari
tuhan, karena pengetahuan itu ada ketika manusia tidak mampu mengusahakannya,
karena hal itu memang di luar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan
lain kecuali menerima dengan penuh ketaatan dan ketundukan mereka kepada
kehendak tuhan, membenarkan semua yang dibawakan para nabi.
Untuk memberi contoh perbedaan pengetahuan manusia
yang diperoleh dengan jalan upaya dan pengetahuan para nabi yang diperoleh
dengan jalan wahyu, Al-Kindi mengemukakan pertanyaan orang-orang kafir tentang
bagaimana mungkin tuhan akan membangkitkan kembali manusia dari dalam kuburnya
setelah tulang-belulangnya hancur menjadi tanah; sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an
surah Yasin ayat 78-82. Keterangan yang terdapat dalam ayat-ayat Al-Qur’an ini
amat cepat diberikan oleh nabi Muhammad saw. karena berasal dari wahyu tuhan,
dan tidak yakin akan dapat dijawab dengan cepat dan tepat serta jelas oleh
filosuf.
Pertanyaan yang diajukan pada nabi Muhammad saw.
adalah sebagai berikut: Siapakah yang dapat menghidupkan tulang-belulang
yang telah membusuk? Segeralah tuhan menurunkan wahyu jawabannya:
Katakanlah yang memberinya hidup adalah penciptanya yang pertama kali yang
mengetahui segala kejadian, Dia yang menjadikan bagimu api dari kayu yang
hijau, kemudian kamu menyalakan api darinya. Tiadakah yang telah menciptakan
langit dan bumi sanggup menciptakan yang serupa itu? Tentu saja karena Dia maha
Pencipta, maha Tahu. Bila Dia menghendaki sesuatu, cukuplah Dia perintahkan,
”jadilah”, maka iapun menjadi.
Al-Kindi memberikan penjelasannya tentang ilmu
yang berasal dari Tuhan sebagaimana dicerminkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut sebagai berikut:
Tidak ada bukti bagi akal yang terang dan bersih
yang lebih gamblang dan ringkas daripada yang tertera dalam ayat-ayat Al-Qur’an
tersebut, yaitu bahwa tulang-belulang yang benar-benar telah terjadi setelah
tiada sebelumnya, adalah sangat mungkin apabila telah rusak dan busuk ada kembali.
Mengumpulkan barang yang berserakan lebih mudah daripada membuatnya dari tiada,
meskipun bagi Tuhan tidak ada hal yang dapat dikatakan lebih mudah ataupun
lebuh sulit. Kekuatan yang telah menciptakan mugkin menumbuhkan sesuatu yang
telah dihancurkan.
Al-Qur’an menyebutkan bahwa tuhan telah menjadikan
kayu hijau dan dapt dibakar menjadi api; hal ini mengandung ajaran bahwa
sesuatu mungkin bisa terjadi dari lawannya. Tuhan menjadikan api dari bukan api
dan menjadikan panas dari bukan panas. Jika sesuatu mungkin terjadi dari
lawannya, maka akan lebih mungkin lagi sesuatu terjadi dari dirinya sendiri.
Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa tuhan yang telah
menciptakan langit dan bumi berkuasa pula menciptakan yang serupa itu, karena
Dia adalah tuhan yang maha pencipta lagi maha mengetahui. Al-Kindi menjelaskan
bahwa hal tersebut dapat diyakini kebenarannya secara amat jelas tanpa
memerlukan argumentasi apapun. Orang-orang kafir mengingkari penciptaan langit,
karena mereka mengira bagaimana langit itu diciptakan, berapa lama waktu yang
diperlukan jika dibandingkan dengan perbuatan manusia melakukan suatu
pekerjaan. Sangkaan mereka itu tidak benar, tuhan tidak memerlukan waktu jika
menghendakiuntuk menciptakan sesuatu. Tuhan berkuasa menciptakan sesuatu dari
yang bukan sesuatu dan mengadakan sesuatu dari tiada. Sesuatu ada bersamaan
dengan kehendak-Nya.
Al-Kindi mengakhiri penjelasannya tentang
ayat-ayat Al-Qur’an yang dijadikan contoh-contoh di atas sebagai beriku: "Tak
ada manusia yang dengan filsafat manusia sanggup menerangkan sependek
huruf-huruf yang tercantum dalam ayat-ayat al-Qur’an yang diwahyukan kepada
Rasul-Nya itu, yang menerangkan bahwa tulang-belulang akan hidup setelah
membusuk dan hancur, bahwa kekuasaan tuhan seperti menciptakan langit dan bumi,
bahwa sesuatu dapat terjadi dari lawannya. Kata-kata manusia tidak sanggup
menuturkannya, kemampuan manusia tidak sanggup melakukannya; akal manusia yang
bersifat parsial tidak terbuka untuk sampai pada jawaban yang demikian itu."[7]
Pengetahuan Isyraqi ini, selain didapatkan oleh
para nabi. Ada kemungkinan juga didapatkan oleh orang-orang yang beris, suci
jiwanya, walaupun tingkatan atau derajatnya berada dibawah dari pengetahuan
yang dipeoleh para nabi. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan para nabi yang diperoleh
dengan wahyu lebih meyakinkan kebenarannya daripada pengetahuan para filosuf
yang tidak dari wahyu.
KESIMPULAN
Al-Kindi adalah seorang filosuf Islam yang
berupaya memadukan ajaran-ajaran Islam dengan filsafat Yunani. Sebagai filosuf,
Al-Kindi mempercayai kemampuan akal untuk mendapatkan pengetahuan yang benar
tentang realitas. Tetapipada saat yang sama ia juga mengakui bahwa akal
mempunyai keterbatasan dalam mencapai pengetahuan metafisik. Karena itulah
al-Kindi mengatakan bahwa keberadaan nabi sangat diperlukan untuk mengajarkan
hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang diperoleh dari wahyu tuhan. Dari
sini dapat diketahui bahwa al-Kindi tidak sependapat dengan para filosuf Yunani
dalam hal-hal yang dianggap bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran agama
Islam yang diyakininya. Contohnya menurut al-Kindi alam berasal dari ciptaan
tuhan yang semula tiada, sedangkan Aristoteles berpendapat bahwa alam tidak
diciptakan dan bersifat abadi. Karena itulah al-Kindi tidak termasuk filosuf
yang dikritik al-Ghozali dalam kitabnya Tahafut Al-Falasifah (Kerancuan
Para Filosuf).
Karangan-karangan Al-Kindi umumnya berupa
makalah-makalah pendek dan dinilai kurang mendalam dibandingkan dengan
tulisan-tulisan al-Farobi. Namun sebagai filosuf perintis yang menempuh jalan
berbeda dari para pemikir sebelumnya, maka nama al-Kindi naik daun dan mendapat
tempat yang istimewa di kalangan filosuf sezamannya dan sesudahnya. Tentu saja
ahli-ahli pikir kontemporer yang cinta kebenaran dan kebijaksanaan akan
senantiasa merujuk kepadanya.[8]
DAFTAR PUSTAKA
Musthofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA.
Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Umum, Akal dan hati sejak Thales sampai
Capra. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya.
[1] Musthofa, Ahmad. Filsafat Islam, Bandung, 1997. hal. 101
[2] Ibid Hal. 101
[3] Ibid Hal. 101
[4] Musthofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA.
Hal:99
[5] Tafsir, Ahmad. 2004.
Filsafat Umum, Akal dan hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya. Hal:23.
[6] Ibid Hal:25
[7] Musthofa, Ahmad. 1997. Filsafat Islam. Bandung: CV. PUSTAKA SETIA.
Hal:108
[8] Ibid, hal: 108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar