Selasa, 07 Mei 2013

ANGKA NOL DAN EKSISTENSI TUHAN

Manusia hidup dunia ini diberi tugas untuk mempercayai, mengenal dan mengakui adanya Tuhan. Adalah salah jika manusia tidak mau mengakui adanya Tuhan, karena hal itu sudah diperintahkan Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raaf ayat 172. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa mempercayai, mengenal dan mengakui adanya Tuhan, sementara eksistensi Tuhan sendiri  tidak diketahui.
Memang sangatlah sulit untuk bisa menggambarkan eksistensi Tuhan. Bahkan, pada abad ke-6 M, di Jazirah Arab, seorang laki-laki dengan tanda-tanda khusus, pernah mengatakan “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah.” Hal itu menunjukkan, orang tidak akan bisa  mengetahui eksistensi Tuhan. Akan tetapi, yang dapat diterima  adalah esensi dari Tuhan, berupa sifat-sifat ketuhanan seperti: “Yang Maha Pencipta, Yang Maha Berkuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Berkehendak,  dan sebagainya.
Agar bisa mengakui akan eksistensi Tuhan, salah satunya dapat dilakukan dengan mengenali diri sendiri. Seperti yang diungkapkan pepatah “Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu.” Untuk mengenali diri sendiri, orang dapat belajar dari filosofi angka nol.
Angka Nol
Angka nol pertama kali ditemukan dalam tradisi Hinduisme India. Dalam bahasa India, nol berarti sunya, kosong, nihil, hampa, tidak ada apa-apa. Tradisi Hinduisme India telah mengakui adanya konsep “kehampaan,” sebagai simbol diri manusia yang terbebas dari keinginan-keinginan dan hawa nafsu. Menurut tradisi ini, kehidupan merupakan lingkaran samsara (kesengsaraan). Adanya samsara disebabkan bergabungnya ruh dengan badan. Untuk mencapai kebahagiaan sejati harus dilakukan pembebasan (moksha), sehingga ruh bisa menjadi sunya (terbebas dari badan berupa keinginan-keinginan dan hawa nafsu) (Charles: 2000).
Dari India, sejarah angka nol kemudian beralih Arab. Di Arab, angka nol semakin populer setelah diperkenalkan oleh seorang filsuf muslim bernama Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi merupakan seorang matematikawan muslim yang pernah meneliti sistem perhitungan Hindu (India). Dia kemudia menulisnya dalam buku berjudul Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabala. Dalam buku al-Khawarizmi, “sunya” diberi nama “al-sifr,” berarti kosong, nihil, hampa atau tidak ada apa-apa. Dengan bukunya pula, al-Khwarizmi memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai tempat dalam basis sepuluh. Sistem ini disebut sistem bilangan desimal. Dari angka nol itu pula, kini setiap orang bisa menghitung demikian banyaknya (Rizal:2012).
Pada abad pertengahan, angka nol belum diterima oleh kalangan Barat, karena mereka belum mempercayai adanya sesuatu “yang tidak ada.” Mereka belum  mengakui eksistensi kenihilan. Mereka lebih memilih sistem bilangan Romawi yang tidak memiliki angka nol. Hingga akhirnya pada abad ke-13 M, seorang filsuf Italia–Leonardo Fibonacci–berhasil memperkenalkan angka nol kepada orang-orang Barat.
Filosofi Angka Nol
Angka nol melambangkan ketiadaan. Sebab manusia pada dasarnya diciptakan dari ketiadaan. Ketiadaan untuk memilih siapa orang tua yang akan melahirkan, ketiadaan untuk dilahirkan sempurna atau cacat, ketiadaan untuk memilih menjadi miskin atau kaya, dan ketiadaan untuk memiliki apapun. Dalam agama Yahudi-Kristen dinamakan creation ex nihilo. Seorang filsuf China Zen berkata: “Untuk menemukan diri yang sejati, kita harus kehilangan diri kita sendiri.” Ini artinya, orang perlu mengakui bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa dan tidak berhak untuk memiliki apa-apa. Karena diri orang itu berasal dari ketiadaan, kehampaan dan kekosongan.
Dari alam kekosongan itulah, pada akhirnya orang akan dapat menyaksikan adanya Tuhan. Seorang filsuf Jerman Imanuel Khan berkata: “Untuk mengenal Tuhan secara benar sesuai dengan keagungan dan kebesaranya, aku mengabaikan semua pengetahuanku.” Oleh karena itu agar orang dapat menyaksikan adanya Tuhan, orang harus kembali ke alam kekosongan.  Caranya dengan menghilangkan semua yang ada di dalam dirinya.  Dalam serat Wedhatama bait ke-14 hal tersebut juga diungkapkan:
“ Bali alaming ngasuwung,
Tak karem karamean
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira.”
Artinya kembali ke alam yang mengosongkan, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang bersifat kuasa menguasai, dan kembali ke asal muasalmu.” Dengan kata lain, manusia akan kembali lagi ke asalnya. Oleh karena itu jangan mengumbar nafsu duniawi dan jangan pula mempunyai sifat yang selalu berkuasa.
Kebalikan dari ketiadaan (prinsip angka nol) adalah sesuatu yang tak terhingga dan tak terbatas. Tuhan adalah pemilik ketakhinggaan yang mutlak. Karena ketakhinggaan-Nya tersebut, tak ada seorang atau sesuatu pun yang dapat menghalangi kuasa-Nya dalam berkehendak. “Dan Dia (Allah) adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Maidah: 120).
Ia adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui, yang esensinya tidak memiliki ukuran atau kriteria (Sayid Mujtaba, 1989). Wujud-Nya akan sangat berbeda dengan makhluk ciptaan-Nya (mukhollafatul lil-hawaditsi). Ia melingkupi seluruh alam semesta dan waktu. Oleh karena itulah, manusia tidak akan mampu melukiskan secara visual wujud dari Tuhan Allah. Di dunia ini Ia tidak dapat dilihat (Imam al-Ghazali, tt). “Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” (Al-An’am: 103). “Dia-lah yang Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran, pengasosiasian, dan penyimbolan. Tak satupun di alam semesta ini yang mampu menyamai-Nya” (Al-Qusyairi, tt). Seseorang hanya dapat mengenali Allah SWT dari sifat-sifat serta bukti-bukti eksisteni-Nya lewat apa yang telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini.
Demikianlah filosofi angka nol. Dengan mengikuti filosofi angka nol, orang akan mengakui eksistensi Tuhan dengan mengakui ketiadaan diri, ketidakmampuan diri, serta ketidakberhakan diri untuk memiliki apapun.


Referensi
Al-Qur’an digital versi 2.1, 2004. Diambil dari http://www.alquran-digital.com 27 Juni 2012.
Al-Ghazali, I. tt. Ihya’ Ulumiddin. Diterjemahkan oleh Moh. Zuhri tahun 1990. Semarang : Asy-Syifa’.
Al-Qusyairi. tt. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Diterjemahkan oleh Umar Faruq tahun 2007. Jakarta: Pustaka Amani.
Charles, S. 2000. Zero: The Biography of A Dangerous Idea. New York: Penguin Books.
Mujtaba, S. 1989. Mengenal Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya. Diterjemahkan oleh Ilham Manshuri dan Mufid Ashfahani tahun 2002. Jakarta: Lentera Basritama.
Rizal, A. 2012. Al-Khawarizmi dan Angka nol. Diambil dari www.al-khawarizmi-dan-angka-nol.htm tanggal 1 Oktober 2012.
Selain referensi di atas, tulisan ini sebagian diambil dari makalah yang ditulis M. Makin dan Lilik Suryani (mahasiswa jurusan pendidikan matematika IAIN Sunan Ampel Surabaya).

Tidak ada komentar: