Manusia
hidup dunia ini diberi tugas untuk mempercayai, mengenal dan mengakui
adanya Tuhan. Adalah salah jika manusia tidak mau mengakui adanya Tuhan,
karena hal itu sudah diperintahkan Allah dalam al-Qur’an surat
al-A’raaf ayat 172. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana bisa
mempercayai, mengenal dan mengakui adanya Tuhan, sementara eksistensi
Tuhan sendiri tidak diketahui.
Memang
sangatlah sulit untuk bisa menggambarkan eksistensi Tuhan. Bahkan, pada
abad ke-6 M, di Jazirah Arab, seorang laki-laki dengan tanda-tanda
khusus, pernah mengatakan “Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah.”
Hal itu menunjukkan, orang tidak akan bisa mengetahui eksistensi
Tuhan. Akan tetapi, yang dapat diterima adalah esensi dari Tuhan,
berupa sifat-sifat ketuhanan seperti: “Yang Maha Pencipta, Yang Maha
Berkuasa, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Berkehendak, dan sebagainya.
Agar
bisa mengakui akan eksistensi Tuhan, salah satunya dapat dilakukan
dengan mengenali diri sendiri. Seperti yang diungkapkan pepatah “Kenalilah dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu.” Untuk mengenali diri sendiri, orang dapat belajar dari filosofi angka nol.
Angka Nol
Angka nol pertama kali ditemukan dalam tradisi Hinduisme India. Dalam bahasa India, nol berarti sunya,
kosong, nihil, hampa, tidak ada apa-apa. Tradisi Hinduisme India telah
mengakui adanya konsep “kehampaan,” sebagai simbol diri manusia yang
terbebas dari keinginan-keinginan dan hawa nafsu. Menurut tradisi ini,
kehidupan merupakan lingkaran samsara (kesengsaraan). Adanya samsara disebabkan bergabungnya ruh dengan badan. Untuk mencapai kebahagiaan sejati harus dilakukan pembebasan (moksha), sehingga ruh bisa menjadi sunya (terbebas dari badan berupa keinginan-keinginan dan hawa nafsu) (Charles: 2000).
Dari
India, sejarah angka nol kemudian beralih Arab. Di Arab, angka nol
semakin populer setelah diperkenalkan oleh seorang filsuf muslim bernama
Muhammad Ibnu Musa al-Khawarizmi. Al-Khawarizmi merupakan seorang
matematikawan muslim yang pernah meneliti sistem perhitungan Hindu
(India). Dia kemudia menulisnya dalam buku berjudul Hisab Al-Jabr wa Al-Muqabala. Dalam buku al-Khawarizmi, “sunya” diberi nama “al-sifr,”
berarti kosong, nihil, hampa atau tidak ada apa-apa. Dengan bukunya
pula, al-Khwarizmi memperkenalkan penggunaan bilangan nol sebagai nilai
tempat dalam basis sepuluh. Sistem ini disebut sistem bilangan desimal.
Dari angka nol itu pula, kini setiap orang bisa menghitung demikian
banyaknya (Rizal:2012).
Pada
abad pertengahan, angka nol belum diterima oleh kalangan Barat, karena
mereka belum mempercayai adanya sesuatu “yang tidak ada.” Mereka belum
mengakui eksistensi kenihilan. Mereka lebih memilih sistem bilangan
Romawi yang tidak memiliki angka nol. Hingga akhirnya pada abad ke-13 M,
seorang filsuf Italia–Leonardo Fibonacci–berhasil memperkenalkan angka
nol kepada orang-orang Barat.
Filosofi Angka Nol
Angka
nol melambangkan ketiadaan. Sebab manusia pada dasarnya diciptakan dari
ketiadaan. Ketiadaan untuk memilih siapa orang tua yang akan
melahirkan, ketiadaan untuk dilahirkan sempurna atau cacat, ketiadaan
untuk memilih menjadi miskin atau kaya, dan ketiadaan untuk memiliki
apapun. Dalam agama Yahudi-Kristen dinamakan creation ex nihilo.
Seorang filsuf China Zen berkata: “Untuk menemukan diri yang sejati,
kita harus kehilangan diri kita sendiri.” Ini artinya, orang perlu
mengakui bahwa dirinya tidak memiliki apa-apa dan tidak berhak untuk
memiliki apa-apa. Karena diri orang itu berasal dari ketiadaan,
kehampaan dan kekosongan.
Dari
alam kekosongan itulah, pada akhirnya orang akan dapat menyaksikan
adanya Tuhan. Seorang filsuf Jerman Imanuel Khan berkata: “Untuk
mengenal Tuhan secara benar sesuai dengan keagungan dan kebesaranya, aku
mengabaikan semua pengetahuanku.” Oleh karena itu agar orang dapat
menyaksikan adanya Tuhan, orang harus kembali ke alam kekosongan.
Caranya dengan menghilangkan semua yang ada di dalam dirinya. Dalam
serat Wedhatama bait ke-14 hal tersebut juga diungkapkan:
“ Bali alaming ngasuwung,
Tak karem karamean
Ingkang sipat wisesa winisesa wus,
Mulih mula mulanira.”
Artinya
kembali ke alam yang mengosongkan, tidak mengumbar nafsu duniawi, yang
bersifat kuasa menguasai, dan kembali ke asal muasalmu.” Dengan kata
lain, manusia akan kembali lagi ke asalnya. Oleh karena itu jangan
mengumbar nafsu duniawi dan jangan pula mempunyai sifat yang selalu
berkuasa.
Kebalikan
dari ketiadaan (prinsip angka nol) adalah sesuatu yang tak terhingga
dan tak terbatas. Tuhan adalah pemilik ketakhinggaan yang mutlak. Karena
ketakhinggaan-Nya tersebut, tak ada seorang atau sesuatu pun yang dapat
menghalangi kuasa-Nya dalam berkehendak. “Dan Dia (Allah) adalah Maha Kuasa atas segala sesuatu” (Al-Maidah: 120).
Ia
adalah Tuhan Yang Maha Mengetahui, yang esensinya tidak memiliki ukuran
atau kriteria (Sayid Mujtaba, 1989). Wujud-Nya akan sangat berbeda
dengan makhluk ciptaan-Nya (mukhollafatul lil-hawaditsi). Ia
melingkupi seluruh alam semesta dan waktu. Oleh karena itulah, manusia
tidak akan mampu melukiskan secara visual wujud dari Tuhan Allah. Di
dunia ini Ia tidak dapat dilihat (Imam al-Ghazali, tt). “Dia tidak dapat dicapai oleh pengelihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” (Al-An’am: 103). “Dia-lah
yang Esa tanpa penyerupaan, pembagaimanaan, penggambaran,
pengasosiasian, dan penyimbolan. Tak satupun di alam semesta ini yang
mampu menyamai-Nya” (Al-Qusyairi, tt). Seseorang hanya dapat mengenali
Allah SWT dari sifat-sifat serta bukti-bukti eksisteni-Nya lewat apa
yang telah dianugerahkan-Nya di alam semesta ini.
Demikianlah
filosofi angka nol. Dengan mengikuti filosofi angka nol, orang akan
mengakui eksistensi Tuhan dengan mengakui ketiadaan diri, ketidakmampuan
diri, serta ketidakberhakan diri untuk memiliki apapun.
Referensi
Al-Qur’an digital versi 2.1, 2004. Diambil dari
http://www.alquran-digital.com
27 Juni 2012.
Al-Ghazali, I. tt. Ihya’ Ulumiddin. Diterjemahkan oleh Moh. Zuhri tahun 1990. Semarang : Asy-Syifa’.
Al-Qusyairi. tt. Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf. Diterjemahkan oleh Umar Faruq tahun 2007. Jakarta: Pustaka Amani.
Charles, S. 2000. Zero: The Biography of A Dangerous Idea. New York: Penguin Books.
Mujtaba, S. 1989. Mengenal Tuhan dan Sifat-Sifat-Nya. Diterjemahkan oleh Ilham Manshuri dan Mufid Ashfahani tahun 2002. Jakarta: Lentera Basritama.
Rizal, A. 2012. Al-Khawarizmi dan Angka nol. Diambil dari www.al-khawarizmi-dan-angka-nol.htm tanggal 1 Oktober 2012.
Selain referensi di atas, tulisan ini sebagian diambil dari makalah yang ditulis M. Makin dan Lilik Suryani (mahasiswa jurusan pendidikan matematika IAIN Sunan Ampel Surabaya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar