Senin, 12 Juli 2010

Fenomenologi Pemikiran Arab Islam

Semakin merasa “lemah” seorang hamba, semakin kuat pula keinginan untuk “memuji”. Akhirnya bentuk penghambaan terhadap Tuhan bermetamorfosa menjadi penghambaan terhadap penguasa. Kekuasaan agama teralih –secara tak sadar—pada kekuasaan politik

[Hassan Hanafi]


Prolog

Wacana keislaman yang berkembang sekarang masih saja berkutat pada bagaimana menghadapkan Islam pada kejayaan the other, sebuah rivalitas dari pengadopsian secara mutlak keberislaman pada tiga generasi 'terbaik' umat Islam. Yang pertama meniscayakan keterbukaan terhadap the other[1].

Akibatnya, di satu pihak ada imitasi secara massif kebudayaan Barat oleh Timur, dan di pihak lain, filterisasi the other pun digalakkan untuk menemukan identitas ke'diri'an umat Islam.[2] Gejala pertama kemudian disebut westernisasi; sikap pembebekan terhadap Barat secara total. Memang benar tutur Ibnu Khaldun bahwa peradaban yang 'dikuasai' –secara hukum alam—akan selalu mengikuti peradaban yang 'menguasai'. Di satu kondisi, filter terhadap gegap gempita modernitas menumbuhkan ‘sikap apresiatif’ terhadap metode yang sedang lead di Barat untuk menganalisa sebab kemunduran umat Islam dalam segala lini. Seketika itu, peradaban Islam yang konvensional dan dipenuhi mistisisme kian menampakkan taringnya tatkala dibenturkan dengan progresivitas akal Eropa yang sarat rasionalitas. Kondisi demikian ini yang menjadikan fundamentalisme Islam semakin teguh dalam pencarian identitasnya; bahwa semakin ‘dalam’ peradaban Eropa ‘menjajah’ Islam, semakin menjadi pula ‘pencarian jati diri’ umat Islam.

Menguaknya rasionalitas melalui persinggungan intim dengan peradaban Barat semakin meneguhkan persepsi, bahwa ‘salafisme’ dirasa tak lagi mampu menghadapi problematika kemunduran peradaban. Ketika itu muncul sebuah ‘pendekatan baru yang digelindingkan oleh Begawan pemikir kontemporer; Muhammad Abid al-Jabiri dengan pisau strukturalis mengklasifikasi nalar Arab pada bayâni, burhâni dan ‘irfâni. Sebab kejumudan peradaban Islam –bagi Jabiri sendiri—karena peng-anak tirian burhâni. Padahal, burhâni menyatukan watak bayâni dan ‘irfâni. Alternatif yang diajukan adalah Ibnu Hazm dengan kritiknya, Ibnu Rusyd dengan rasionalismenya, Syathibi dengan Ushulnya, dan Ibnu Khaldun dengan historiografinya. Dari perspektif lain, Muhammad Arkoun melalui arkeologi pengetahuan membuat terma ‘peradaban ideal’ disandingkan dengan ‘interpretasi’ terhadapnya. Di sini Arkoun memperlakukan ‘materi dasar’ atau teks keagamaan sebagai tindak kebahasaan yang harus dipahami dalam suatu momen dan sikap tertentu. Nasr Hamid Abu Zaid dengan perangkat hermeneutika; bahwa interpretasi terhadap ‘teks utama’ tidak akan terlepas dari konteks sosio-historis pembaca. Sementara perangkat materialisme-historis didengungkan oleh Khalil Abdul Karim, Sa’id al-Asymawi serta Sayyid al-Qumni dalam menganalisa masyarakat Arab-Islam semenjak masa kenabian, bahkan proses pembentukannya pada masa Pra Islam.[3] Sedang Hassan Hanafi sendiri mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi. Ia mengkritik perangkat materialisme dan idealisme karena tidak sesuai dengan karakter hukum Islam.[4]

Dalam hal ini, pemikir Arab kontemporer -- berdasarkan “rujukan” pemikiran--dapat diklasifikan pada dua kelompok besar; pertama, kelompok yang memusatkan studinya pada masa kenabian karena pertimbangan ‘moral’. Dalam kelompok ini kita mendapati nama Sayyid al-Qumni, Sa’id al-Asymawi, Adonis, Khalil Abdul Karim, serta Husein Muruwah; kedua, kelompok yang memusatkan studinya pada era kodifikasi sebagai rujukan ‘pemikiran’. Kelompok kedua disuarakan oleh Muhammad Arkoun, Muhammad ‘Abid al-Jabiri, Hassan Hanafi, serta Nashr Hamid Abu Zaid. Namun begitu, dari varian metode yang dipergunakan oleh para pemikir tersebut, sejatinya dapat ditarik beberapa konklusi penting; pertama, baik era kenabian ataupun kodifikasi tidak dipahami dengan mata telanjang tanpa mempertimbangkan proses pembentuknya; kedua, semuanya bertitik tolak pada kemampuan nalar untuk menjembatani dialektika antara teks utama dan realitas yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan. Dengan demikian, meminjam istilah Muhammad Arkoun, ‘interpretasi’ terhadap “tradisi ideal” harus selalu diperbaharui agar selaras dengan tuntutan modernitas.[5] Pada tulisan kali ini, penulis hendak mendedah perangkat fenomenologi serta aplikasinya dalam menganalisa tradisi keisalaman.

Fenomenologi; Akar Dan Perkembangan Pemikiran

Salah satu perubahan terbesar dalam perspektif manusia tentang dirinya sendiri berlangsung di Eropa, pada abad 13 dan 17 M. Sebab, di abad pertengahan, manusia memandang segala hal dari sudut pandang ‘ketuhanan’; kaitannya dengan Tuhan yang menciptakan, mengarahkan, mempertahankan, serta penyelamat manusia dan seluruh alam raya. Munculnya modernitas mengubah paradigma berpikir ini, bahkan peralihan tersebut –pada satu keadaan-- bersifat dekonstruktif; reformasi abad-16 yang menolak banyak klaim Gereja, serta dasar-dasar atheism yang dirumuskan oleh filsuf era itu. Hal ini yang mengantarkan peradaban Eropa menuju masa pencerahan. [6] Titik poin yang hendak disinggung adalah, di dalam era kebangkitan terdapat satu kunci pokok modernitas: kesadaran akan ‘subyektivitas’. Subyektif di sini bukan sebagai lawan dari obyektif, melainkan dari kata subyek (aku) sebagai yang menghendaki, bertindak serta mengerti. Kiranya dapat dimaklumi tatkala Hegel berujar, manusia adalah kesadaran diri; manusia tak hanya hadir di dunia sebagai benda, melainkan sebagai subyek yang berpikir, berefleksi, serta bertindak secara kritis dan bebas. Subyektivitas adalah unsur hakiki dalam paradigma antroposentris.[7] Dengan demikian, pada abad 15 dan 16 M, selain masa revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) dan masa kebangkitan Eropa (‘ashr al-Nahdlah), pada saat itu pula muncul penekanan segala hal pada sudut pandang manusia; antroposentris (al-Ittijâh al-Insânî).

Titik sentral dalam peradaban Eropa—sebagaimana dikatakan Husserl—adalah ego Cogito Cartesian. Dari ego Cartesian muncul dua aliran yang bertentangan, pertama, rasionalisme (al-Tayyâr al-‘Aqlî). Tokohnya adalah Cartesian pertama, Spinoza; kedua, empirisme (al-Tayyâr al-Tajrîbî), dengan tokohnya David Hume (w. 1776), John Stewart, serta John Locke (w. 1704). Pertentangan ini berlanjut pada perseteruan dua aliran besar filsafat Eropa; idealis (al-Mitsâlî) dan realis (al-Wâqi’î). Immanuel Kant (w. 1804) pernah berupaya menyatukan dua kecenderungan ini, namun yang terjadi justru pengunggulan idealistik atas realistik. Begitu pula Hegel. Selanjutnya ia-pun terjebak pada prioritas ide dan konsep atas materi. Imbasnya, tesisnya lebih mirip ke mitos, serta konsepsi dari pada ke realitas.[8] Edmund Husserl (w. 1938) hadir 4 kurun setelah muculnya kesadaran Eropa pada abad ke 19, dan disebut-sebut sukses menyatukan kecenderungan idealis dan realis. Husserl berupaya membongkar filsafat Barat, dengan menghancurkan ketertutupan kesadaran. Karena “kesadaran” sesuai kodratnya mengarah ke realitas. Kemudian Husserl menciptakan pendekatan filsafat yang menganalisa “kesadaran” dan obyek-obyeknya secara sistemik dan berdasarkan pengalaman. Pendekatan ini yang kemudian dinamakan “fenomenologi”.[9] Istilah ini terus mengalami perkembangan. Tahap-tahap perkembangan istilah fenomenologi dimulai dari Lambert (w. 1777), Hegel (w. 1831), Hamilton, Eduard von Hartmann, dan sampai pada Husserl, Max Scheler, Heidegger (w. 1976), Sartre, dan Merlau-Ponty.[10] Secara genealogis, fenomenologi juga merupakan respon terhadap dominasi ‘rasio’ –abad 17 dan 18. Dominasi rasio terejawantahkan dalam pertimbangan segala hal, termasuk alam raya, pada sikap matematis (hisâb ‘aqlî). Sehingga pada tahap ini rasio telah menjadi “kesadaran” serta “penggerak kehidupan”.[11]

Fenomenologi sendiri merupakan ilmu tentang “gejala” yang menampakkan diri (phainomenon) pada “kesadaran” kita. Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh J.H. Lambert tahun 1764 yang mengarah pada “teori penampakan”.[12] Namun secara garis besar, terdapat tiga pandangan yang dominan dalam fenomenologi; pertama, fenomenologi kritik (al-Finûminûlujiyâ al-Naqdiyyah) atas absolutisme. Pandangan ini dinahkodai oleh Immanuel Kant. Kant menjelaskan, bahwa fenomenologi kritik mengungkap syarat yang harus dilalui guna mendapatkan obyektivitas “subyek” demi terwujudnya rivalitas terhadap persepsi absolutisme; kedua, fenomenologi penampakan (fînûminûlujiyya al-Madzâhir) yang dinahkodai Hegel. Hegel merinci tahap-tahap yang harus dilalui –secara ontologis-- agar sampai pada pengetahuan mutlak; ketiga, fenomenologi sistematis/pendasaran (finûminûlujiyâ al-Ta’sîs), dengan tokohnya Edmund Husserl.[13] Huseerl pada hakekatnya hanya berkosentrasi terhadap pendasaran disiplin filsafat agar menjelma menjadi ilmu yang rigorus. Dengan demikian, fenomenologi berasal dari pembedaan yang dilakukan oleh Immanuel Kant terhadap noumenal (alam sesungguhnya) dan phenomenal (alam yang terlihat), serta pengembangan dari phenomenology of spirit-nya Hegel.

Husserl pada prakteknya hanya meninggalkan dua kaidah penting dalam fenomenologi: reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm) serta konstitusi (al-Takwîn). Reduksi fenomenologis merupakan upaya peralihan pandangan dari alam real menuju “kesadaran”. Dalam arti, jika sikap natural terhadap fenomena alam “menerima apa adanya”, maka reduksi fenomenologis berarti penangguhan “kepercayaan” terhadap dunia riil. Namun sikap tersebut tidak berarti menafikan realitas, sebab reduksi fenomenologis hanya semacam upaya “netralisasi”—dalam istilah Husserl diberi tanda kurung (eingeklammert). Di sini Husserl membedakan antara reduksi fenomenologis (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Fînûminûlujî) dan reduksi eidetik (al-Tawaqquf ‘an al-Hukm al-Transindintâlî). Perbedaannya adalah, reduksi fenomenologis mengindahkan alam riil untuk sementara, guna menyibak ‘esensi’ (mâhiyyah). Sedang reduksi eidetik mementingkan esensi (eidos) tetapi dalam bentuknya yang paripurna. Reduksi fenomenologis ini yang kemudian dinamakan “sikap fenomenologis”.[14] Adapun konstitusi (al-Takwîn) merupakan proses tampaknya fenomena terhadap “kesadaran”. Konstitusi merupakan fase kedua setelah reduksi fenomenologi; tampaknya fenomena dalam “kesadaran”, selanjutnya akan bersatu dengan “kesadaran”, dan subyeknya kemudian disebut “pelaku kesadaran”. Dengan demikian, fenomenologi berarti mengurai relasi antara subyek (al-Dzât) dan kesadaran (al-Syu’ûr).

Fenomenologi Husserl demikian terlihat dalam buku Martin Heidegger, Being and Time, sebuah karya yang ia tulis pada tahun 1927, serta didedikasikan secara khusus pada Edmund Husserl. Heidegger menuturkan, bahwa manusia tak mungkin memiliki “kesadaran” jika tidak ada “lahan kesadaran”, suatu tempat, panorama, dunia, agar “kesadaran” dapat terjadi di dalamnya; sehingga suatu eksistensi bersifat duniawi. Atau “ada” dan dunia tak dapat dipisahkan. Eksesnya, suatu eksistensi bersifat temporal karena ia selalu terkungkung dimensi waktu. Dan “kesadaran” sendiri tak pernah berinteraksi langsung dengan realitas jika eksistensi tidak menyeruak menembus “kesadaran”. Titik akhirnya, ke-ada-an mempunyai struktur tiga lapis yang berhubungan dengan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.[15] Jelas bahwa Heidegger hendak menyatukan antara fenomenologi dan ontologi (makna “ada”); mempertanyakan fenomena “ada”. Dalam arti, bagaimana “ada” menjadi “ada”, dan kenapa tidak menjadi “tidak ada”? Satu poin penting, pendekatan Heidegger berbeda dengan Husserl. Di sini Heidegger “meluaskan sekup” konsep Husserl terkait “keterarahan kesadaran”. [16] Pada kenyataannya Husserl sendiri memang menyangkal bahwa Heidegger merupakan pewaris sah pemikirannya.

Kritik yang kemudian menggema adalah dari Emmanuel Lêvinas (w. 1995), bahwa perangkat fenomenologi Husserl berhenti terlalu cepat sehingga tidak mampu menyingkap struktur realitas yang sebenarnya. Ia justru terperangkap pada kerangka obyek-subyek; obyek hanya sebagaimana digambarkan subyek. Dalam arti, obyek tidak mampu menampakkan kediriannya karena terperangkap dalam “kesadaran”. Alih-alih menemukan solusi, Husserl justru mengulangi kecacatan seluruh filsafat yang berupaya meleburkan pluralitas kedalam satu kesatuan. Alasan yang diangkat oleh Lêvinas adalah data paling dasar dari “kesadaran” kita sebenarnya tampaknya obyek dalam ke-”diri”-annya yang seolah hendak mendobrak masuk ke dunia “subyek” yang tertutup.[17] Dari kritik terhadap Husserl, sebenarnya Lêvinas hendak mengembangkan fenomenologi Husserl melalui pijakan yang sama. Fenomenologi –ditangan Lêvinas-- bermetamorfosa menjadi seni untuk mengamati fenomena yang sejatinya “ada”, namun jarang atau bahkan tidak menjadi perhatian manusia.

Husserl dalam perjalanannya sepakat dengan Descartes, bahwa eksistensi yang selalu hidup dalam diri manusia adalah “kesadarannya” sendiri. Sehingga, pemahaman yang kokoh atas suatu realitas adalah pemahaman yang didasarkan pada “kesadaran”.[18] Dus, fenomenologi merupakan metode yang ditempuh guna sampai pada fenomena hakiki; tanpa tercampur pra-sangka, pra-teori, ataupun pengetahuan-pengetahuan tradisional dan bahkan agamis sekalipun. Penolakan pengalaman inderawi disisihkan terlebih dahulu sehingga sebuah fenomena akan mengungkapkan dirinya sendiri melalui “kesadaran”. Teori ini didendangkan oleh penganut fenomenologi dengan sebuah ungkapan: zu den sachen selbst (terarah kepada benda itu sendiri).

Problematika Orisinalitas dan Modernitas; Hassan Hanafi Sebagai Sample

Hassan Hanafi, pemikir yang terkenal dengan proyek Islam Kirinya, disebut-sebut sebagai pengusung fenomenologi Edmund Husserl. Fenomenologi Husserl dengan jelas terbaca pada Essai sur la method d’exeges; disertasi Hassan yang menghadapkan disiplin Ushul Fikih pada fenomenologi. Walaupun ada testimoni bahwa Hassan juga mempergunakan dialektika-materialisme, namun arah pemikiran Hassan lebih dominan pada fenomenologi. George Tharabisyi berujar bahwa Hassan Hanafi memang mendaku mempergunakan perangkat fenomenologi, sebagaimana penuturan Hassan dalam artikelnya yang bertajuk al-Tafkîr al-Dînî wa Izdiwâjiyyah al-Syakhsiyyah. Begitu pula dalam kedua bukunya fî fikrinâ al-Mu’âshir serta fi al-Fikr al-Gharbî al-Mu’âshir Hassan menegaskan statement serupa.[19] Selain itu, proyek Hassan Tradisi dan Pembaharuan (al-Turâts wa al-Tajdîd), dalam penjelasan teoritis rekonstruksi teologi (Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah) serta rekonstruksi Ushul Fikih (Min al-Nash ilâ al-Waqi)’ pun cukup representatif untuk mengatakan bahwa Hassan ‘tergila-gila’ dengan perangkat fenomenologi . Terkait tradisi (turâts) Islam, ia mengatakan, umat Islam tak akan menemukan solusi apapun –dalam tradisi Islam-- terhadap realitas yang sedang dihadapi.[20] Hilangnya aspek kemanusiaan dalam turâts umat Islam berkonsekuensi hilangnya “kesadaran” akan realitas yang sedang dihadapi untuk konteks kekinian.[21] Dengan begitu, krisis umat Islam sekarang adalah krisis menghadapi realitas, dan ironisnya, hal itu justru diimbangi dengan pembacaan terhadap tradisi secara skriptural dan imitatif.[22] Kesamaan mencolok antara Hassan dan Husserl saat keduanya mengaplikasikan fenomenologi pada tradisi masing-masing; Husserl pada tradisi Barat dan sampai pada konklusi “rekonstruksi tradisi Barat”, sedang Hassan pada tradisi Islam untuk menyibak krisis peradaban umat Islam.

Yang demikian itu, karena problematika yang mencuat sekarang adalah harmonisasi orisinalitas dan modernitas (al-Ashâlah wa al-Mu’âshirah). Revitalisasi agama (al-Ishlâh al-Dînî) yang berkembang –pada kenyataannya—lebih dekat ke ‘orisinalitas’, sedang era kebangkitan (‘Ashr al-Nahdlah) lebih mengarah ke modernitas. Perbincangan orisinalitas tanpa modernitas maka akan terjatuh pada “pembebekan”. Imbasnya, kecenderungan semacam ini akan mengabaikan “realitas” serta bangga dengan kegemilangan masa lampau (Fakhr bi al-Târikh al-Qadîm). Sebaliknya, modernitas yang mengabaikan orisinalitas seolah ingin membuat babakan sejarah baru (al-Judzuriyah al-Mubkirah) yang terputus dengan masa lampau. Padahal, ‘kekinian’ merupakan bentukan dari masa lampau. Dengan demikian, membincang relasi modernitas dan orisinalitas merupakan perbincangan antara relasi pemikiran dan realitas. Orisinalitas –dalam istilah Hassan Hanafi—merupakan pemikiran pada level historis (al-Fikr ‘alâ Mustawâ al-Târikh), sedang modernitas merupakan realitas pada level praksis (al-Wâqi’ ‘alâ Mustawâ al-Sulûk).[23] Pada tataran praksis, ada asumsi memahami ‘yang orisinil’ sebagai ‘yang tak berubah’, dan tak menghalangi –secara interaktif—dengan modernitas. Bagi kalangan ini, ‘yang orisinil’ akan terus sebagaimana bentuk asal, bahkan ‘esensi’nya pun tak bisa elastis. Konsekuensinya, respon terhadap modernitas sarat dengan nuansa politis, fanatik, serta apologetik. Sebabnya adalah, seorang pemikir atau budayawan, disamping ‘mengimani’yang orisinil serta respek terhadap ‘wewangian’ modernitas, namun tidak berupaya mengharmoniskan keduanya. Dalam artian, mereka terlebih dahulu ‘beragama’ sebelum menjadi seorang budayawan atau pemikir. [24] Kita bisa dengan mudah mencium semerbak aroma fenomenologi Husserl di sini. Hassan menolak pra-asumsi memahami ‘yang orisinil’; bahwa ‘topeng ideologi’, untuk memahami ‘yang orisinil’ harus lah dilepaskan. Dari fenomenologi Husserl kita mendapati reduksi fenomenologis; penangguhan ‘kepercayaan’ terhadap alam riil, atau semacam upaya ‘netralisasi’.

Untuk memahami teori ini lebih mendalam mengharuskan merentet fenomena tradisi dan kondisi sosio-historis yang melingkupinya. Ia lahir pada saat peradaban Arab-Islam masih sangat kuat. Sebagai misal, dalam perkara teologis, isu“superioritas” Tuhan yang digambarkan dengan teori-teori ketuhanan, atribut (al-Shifât), dan perbuatan sangat kentara. Hal tersebut wajar saja, karena ketika itu Islam dihadapkan pada tantangan ‘dekonstruktif’ dari luar. Atau dalam disiplin ushul fiqh, universalitas teks juga masih sangat mendominasi; dalam disiplin filsafat nalar masih menjadi tonggak berpikir; dalam disiplin Tashawuf, muncul asumsi, kesementaraan (al-Fanâ’) sebagai “kunci” untuk memperoleh semua hal. Namun “laju gerbong” kereta keilmuan ini terhenti tatkala Barat mengalami puncak superioritasnya dan menjajah Arab-Islam. Dan keadaan berubah total, sejarah kini memasuki babakan baru, yaitu kemunduran dan stagnasi disiplin keilmuan Islam. Tatkala pembentukan keilmuan Islam disesuaikan dengan superioritas Islam, isu-isu yang berkembang adalah isu “kemenangan”. Kemenangan tersebut –ketika itu-- adalah “realitas”. Dan kini realitas tersebut telah tergantikan melalui pergeseran “kedudukan”; inferioritas Islam. Dengan demikian, warisan klasik jika ditransformasikan –secara paripurna-- untuk konteks sekarang merupakan tindakan semena-mena. Dan apabila dipaksakan, relasi realitas sekarang dan warisan masa lampau ibarat jiwa yang berada di suatu tempat, dan badan di tempat yang lain. [25] Hal itu menimbang, tradisi merupakan satu dari tiga unsur yang melingkupi peradaban Arab-Islam; pertama, warisan masa lampau (al-Mawrûts al-Qadîm); kedua, ‘pihak lain’ yang selaras modernitas (al-Wâfid al-Hadîs); ketiga, realitas (al-Wâqi’). Menghendaki kemajuan Arab-Islam, maka harus memperhatikan pula ketiga aspek ini [26]

Sebagai misal, background sekte Mu’tazilah dengan lima prinsip pokoknya (al-Ushûl al-Khamsah) perlu dipandang secara kontekstual. Keadilan (al-‘Adl) sebagai kritik atas Jabariah; ke-esa-an (Tawhîd) merupakan kritikan atas filsafat Yahudi dan Nashrani; janji dan ancaman (al-Wa’d wa al-Waîd) sebagai kritik atas pandangan sekte Murjiah; perintah melakukan kebaikan dan larangan melaksanakan keburukan (al-Amr bi al-Ma’rûf wa al-Nahy ‘an al-Munkar) sebagai kritik atas Syi’ah Imamiah di satu sisi, serta Murjiah di sisi yang lain; kedudukan di antara dua tempat (al-Manzilah baina al-Manzilatain) sebagai kritik atas Murjiah di satu sisi, serta Khawarij di sisi yang lain.[27] Artinya adalah, gagasan yang berkembang ketika itu –dalam konteks ini Mu’tazilah, misalnya, tidak terlepas dari background historisnya. “Realitas” pada masa itu mengharuskan diimbangi dengan gagasan teosentris, berpusat pada Tuhan. Melalui perspektif fenomenologis, tradisi Islam muncul ‘untuk mengawal’ realitas historisnya. Kungkungan realitas tersebut dengan sendirinya akan membatasi esensi, konstruksi, metodologi, serta bahasanya. Dalam arti, realitas historis dari tradisi itulah yang menjadikannya relatif.[28] Karena tradisi sendiri merupakan “pengolahan” terhadap teks yang didasarkan pada realitas; interpretasi yang bersifat temporal. Yang demikian itu karena relasi teks dan realitas merupakan relasi ‘yang tunggal’ terhadap plural (‘alâqâh al-Wahdah bi al-Ta’addud)

Fenomena-fenomena pemikiran masa lampau yang muncul dari interpretasi terhadap teks dianalisa ulang melalui dua langkah; pertama, meruntut kembali munculnya fenomena interpretatif –antitesa ‘peradaban ideal’ Muhammad Arkoun-- sebagai konstitusi (al-Takwîn) yang menjelaskan kemunculan suatu gagasan dan perkembangannya; kedua, merujuk --untuk yang kedua kali-- sebuah fenomena terhadap teks dasar sebagai ‘pemudaran’ keterpengaruhan lingkungan atau peradaban lain agar sesuai dengan konteks kekinian.[29] Dalam istilah Hassan Hanafi, langkah ini dinamakan Tahlîl al-Khubrât.[30] Karena bagaimanapun, tradisi adalah sesuatu yang ditransformasikan kepada kita, kemudian ia dipahamkan, sekaligus menjadi tuntutan kehidupan kita. Pada tahap transformasi, tradisi memberikan “kesadaran historis”; pada tingkat pemahaman, tradisi bermetamorfosa menjadi “kesadaran eidetis”; sedang pada tataran tuntutan kehidupan, tradisi menjadi “kesadaran praksis”. Meruntut fenomena masa lampau sebagai sebuah interpretasi terhadap ‘teks’ mengharuskan pula merombak tatanan disiplin keilmuan Islam.[31] Dengan demikian, ashâlah di sini berperan menyibak realitas sesungguhnya, karena pada dasarnya ashâlah bukanlah tujuan utama, melainkan hanya perantara.

Dalam tataran aplikatif, disiplin keilmuan Islam yang berdimensi teosentris diarahkan menuju antroposentrisme pemaknaan. Ia dicari akar “kesadarannya” melalui perbandingan dengan aspek kemanusiaan. Misalnya saja, pembahasan tentang entitas (dzât), atribut (al-Shifât) serta perbuatan (af’âl) diarahkan menuju pemaknaan manusia sempurna (al-Insân al-Kâmil). Oleh karena itu, dalam buku Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Hassan memfokuskan pada pembahasan; dzât al-Insân, shifât al-Insân, fi’l al-Insân, ‘aql al-Insân, dan seterusnya; serta pada pemaknaan manusia sempurna (al-insân al-kâmil); mendedah aspek keadilan (al-‘Adl) yang merombak ideologi keberagamaan kaum Sunni dan menjadikan nalar Mu’tazilah sebagai alternatif karena mengarah pada kebebasan berkehendak, dan seterusnya. [32] Dalam filsafat, mantiq ditransformasikan menjadi logika kesadaran (al-Mantiq al-Syu’ûrî), berdasar premis, dalam filsafat, ada tiga wacana yang menggema; logika (al-Mantiq), ketuhanan (al-Ilâhiyyât), alam (al-Thabî’iyyat). Sedang naturalisme –dalam perspektif sarjana klasik—adalah naturalisme rasional, dan sekarang bermetamorfosa menjadi naturalisme matematis. Adapun ketuhanan harus dipahami secara integral dengan alam, guna melekatkan kesadaran integralitas alam dengan Tuhan dalam benak manusia. Sehingga akan muncul wacana, melestarikan alam atas nama Tuhan. [33] Jika pada kalam dan filsafat, “nash” menghasilkan makna dan teori serta konseptualisasi universal, maka dalam disiplin ushul fiqh, “nash”ditelorkan menjadi metode-rasional-realistis (Manhaj ‘Aqliy Wâqi’î). Problem yang mencuat dalam rekonstruksi Ushul adalah pada bagaimana mentransformasikan ushul fiqh yang istidlâlî-istinbâthî-mantiqî menuju falsafî-insânî-sulûkî. Atau transformasi kesadaran teoritis (al-Wa’y al-Nadzarî) menuju kesadaran praksis (al-Wa’y al-‘Amalî).[34] Hal ini akan menjadikan pelaksanaan tendensi wahyu tertransformasikan menuju hamba; tindakan Tuhan akan terwujud dalam tindakan manusia. Sejalan dengan hal ini, maka Ushul Fiqh merupakan ilmu tanzîl: ilmu pengetahuan yang menginferensikan ketentuan-ketentuan yuridis yang berorientasi pada Allah (teosentris), menuju manusia (antroposentris).

Dus, garis akhir dari proyek Hassan Hanafi ini adalah pada unifikasi ilmu yang berpusat pada wahyu untuk menghadapi realitas kekinian. Karena, pada akhirnya, wahyu ditransformasikan pada satu teori, atau metodologi. Hassan Hanafi mendasarkan alasannya pada proses dialektis antar disiplin ilmu; teologi mengkritik filsafat, begitu pula ia ‘mengganyang’ tasawuf dalam teori pantheistik serta zuhud. Relasinya dengan ushul fikih dan fikih, terkadang teologi mencakup beberapa pembahasan fikih serta ushulnya, ataupun permasalahan bahasa, analogi dan ijtihad. Dalam ranah filsafat yang berelasi dengan teologi, kritik untuk ilmu kalam digalakkan karena di dalamnya masih saja sarat nuansa taklid. Berdiri di atas teks, bukan rasio. Bahkan pada satu keadaan filsafat mengarah ke tasawuf, yang terejawantahkan dalam filsafat iluminasi al-Farabi serta Ibnu Sina. Hal serupa terjadi dalam ranah tasawuf terkait kritiknya terhadap filsafat dan teologi. Bahwa Tuhan bukan lah sebagaimana dikonsep oleh teolog dan filsuf, namun harus melalui kontemplasi. Kita pun bisa menjumpai relasi ushul fikih dan tasawuf dalam perumusan ‘tindakan’ yang mampu menjadi acuan secara universal, serta dengan filsafat dalam beberapa pembahasan logika. Semuanya ini berpusat pada, jika relasi antar disiplin ilmu ditemukan, maka unifikasi disiplin keilmuan akan sangat memungkinkan. Kongkretnya, seringkali dijumpai seorang filsuf sekaligus teolog, bahkan sekaligus Juris atau sufi. Seperti dalam sosok Abu Hamid al-Ghazali, Ibnu Taimiah, dsb.[35]

Dalam kacamata fenomenologi, realitas tersebut terejawantahkan dalam dimensi kemanusiaan (antroposentris). Jika semua disiplin keilmuan berpusat pada wahyu, serta diunifikasi ke arah antroposentrisme pemaknaan, seterusnya hal itu akan menjadi “kesadaran” –dalam istilah Hassan Hanafi, antroposentrisme pemaknaan itu akan menjadi ideologi dalam “kesadaran” manusia. Sadar bahwa yang sedang dihadapi sekarang adalah kemunduran peradaban; kesadaran sebagai sebuah ideologi yang berelasi secara langsung dengan realitas. Karena “kesadaran individual” itu akan menjelma menjadi “kesadaran sosial” (min al-Wa’y al-Fardî ila wa’y al-Ijtimâ’i). Dan dari dunia “kesadaran” akan menjelma menjadi “dunia realitas”. Realitas yang sedang dihadapi sekarang adalah problematika tanah Palestina, krisis demokrasi dalam setiap Negara karena dominasi penguasa, keadilan sosial, serta problem persatuan umat, dan seterusnya.[36]

Epilog

Tentunya tulisan ini hanya usaha kecil penulis untuk menyibak aplikasi fenomenologi dalam menyorot peradaban Arab-Islam. Tapi itu tak penting. Yang terpenting adalah bagaimana umat Islam memahami realitas yang melingkupinya sekarang; inferioritas serta dominasi Barat dalam segala lini. Kapankah “kesadaran individual” menjelma menjadi “kesadaran sosial”?[]



[1] Istilah ego (al-Anâ) merujuk pada umat Islam, dan the other (al-Akhâr) pada Barat. Penamaan tersebut karena terdapat dialektika akut antara Barat dan Islam; yang pertama menghendaki peradabannya menahkodai peradaban seluruhnya, dan kedua terus menerus berupaya menemukan identitas ke’diri’annya. Transliterasi al-Anâ dengan “ego” dan al-akhâr dengan “the other” penulis ambil dari terjemahan Muqaddimah fî ‘Ilm al-Istighrâb yang bertajuk; Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, Cet. I, 2000.

[2] Adonis, misalnya, mengatakan bahwa identitas seharusnya tidak merujuk ke belakang (al-mâdli), sebagaimana dakwaan kaum fundamental selama ini; sebuah persepsi bahwa identitas Islam adalah sebagaimana keberagamaan tiga generasi pertama Islam. Namun ‘identitas’ meniscayakan memandang ‘ke depan’. Lihat Adonis, al-Tsâbit wa al-Mutahawwil; Bahts fi al-Ibdâ' wa al-Ittibâ' indâ al-'Arab, Beirut: Dar al-Saqi, Vol. I, Cet II, 2002.

[3] Lihat selengkapnya dalam Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Jogjakarta: LKiS, Vol. II, 2007, pada pengantar penerjemah.

[4] Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Beirut: al-Muassasah al-Jami’iyyah li al-Dirasat wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, cet. V, 2002, hlm. 13-21

[5] Adonis, Arkeologi Sejarah Pemikiran Arab-Islam, Op. Cit., pada pengantar penerjemah.

[6] Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2006, hlm. 50

[7] Ibid.,

[8] Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Kairo: Maktabah al-Anglo al-Mishriyyah, tt, hlm. 275

[9] Bryan Magee, The Story of Philosophy, Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2008, hlm. 210

[10] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm. 234 dan 235

[11] Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit.,hlm. 277

[12] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Op.Cot., hlm. 234 dan 235.

[13] Dikutip dari makalah Muhammad Syauqi Zain yang bertajuk; al-Finûminûlujiyâ wa Fann al-Ta’wîl.

[14] Lihat Lorens Bagus dalam Kamus Filsafat, Op.Cit., hlm. 236, dan keterangan lebih mendalam dapat dibaca pada Hassan Hanafi, Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 307

[15] Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit., hlm. 209 dan 212

[16] F. Budi Hardiman, Heidegger dan Mistik Keseharian: Suatu Pengantar Menuju Sein und Zeit, peny. Christina M. Udiani, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Cet. I, 2003, hlm. 28

[17] Franz Magnis Suseno, 12 Tokoh Etika Abad 20, hlm. 89-90

[18] Bryan Magee, The Story of Philosophy, Op.Cit.,hlm. 210

[19] George Tharabisyi, al-Mutsaqqafûn al-‘Arab wa al-Turâts; al-Tahlîl al-Nafsî li ‘Ashâbin Jama’î, London: , Riyad ar Risy li al Kutub wa an Nasr, Cet. I, 1991, hlm.106.

[20] Yang dimaksud dengan tradisi menurut Hassan adalah pembahasan tentang dimensi kemanusiaan (antroposentris) dalam tradisi Sunni. Karena dalam tumpukan turâts Mu’tazilah, misalnya, ada pembahasan tentang kebebasan manusia atas dirinya sendiri (hurriyah), baik dan buruk, serta ideologi serta perbuatan. Dengan demikian, umat Islam di sini dipandang sebagai “manusia” (al-Insân min haistu huwa al-insân), bukan sebagai “umat” atau “imam”.

[21] Lihat pada Hassan Hanafi, Li Madzâ Ghâba Mabhats al-Insân fî Turâtsinâ al-Qadîm, pada Dirâsât Islâmiyyah, Op.Cit., hlm. 394

[22] Yang perlu menjadi catatan penting, yang dimaksud peradaban dalam istilah Hassan Hanafi adalah segala hal yang bersumber pada agama. Begitu pula jika ada terma tradisi, maka pemaknaannya akan berkisar pada segala hal yang bermuara pada agama/wahyu. Lihat Rifa’at Salam, Bahtsan ‘an al-Turâts al-‘Arâbi; Nadzrah Naqdiyah Manhajiyyah, Kairo: al-Haiah al-‘Amah al-Mishriyah, 2006, hlm. 79-81.

[23] Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Beirut: Dar al-Tanwir, 1981, hlm. 49 dan 50

[24] Ibid., hlm. 51.

[25] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Fikr al-‘Arabi al-Mu’âshir, Kairo: Dar al-Quba’ Li al-Thiba’ah wa al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz II, 2003, hlm. 126

[26] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr, Op.Cit, hlm. 91

[27] Lihat Ibnu al-Murtadla, Thabaqat al-Mu'tazilah, Beirut : Lebanon, cet II, 1987. Bandingkan dengan Ahmad Syauqi Ibrahim, al-Mu'tazilah fi Baghdad wa Atsaruhum fi al-Hayât al-Fikriyah wa al-Siyâsah, Kairo: Madbouli, Cet I, 2000, hlm. 18. Bandingkan juga dengan pengantar M. Imarah pada Rasâil al-'adl wa al-tawhîd oleh Hasan Bashri al-Qadli Abduljabbar al-Qasim al-Rassy al-Syarif al-Murtadla dan al-Imam Yahya bin Husein, Tahqiq; M. 'Imarah, Kairo: Dar al-Syourouq, cet II, 1988, hlm. 16

[28] Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd, Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 139

[29] Ibid.

[30] Hassan Hanafi, Fî Fikrinâ al-Mu’âshir, Op. Cit., hlm. 180

[31] Oleh karena itu Hassan Hanafi dalam proyek besarnya al-Turâts wa al-Tajdîd merekonstruksi disiplin keilmuan Islam, yang ia bahasakan “penjelasan teoritis”. Al-Turats wa al-Tajdîd merupakan proyek besar Hassan yang memuat tiga agenda yang masing-masing mempunyai penjelasan teoritis; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm (sikap kita terhadap tradisi lama), Mawqifunâ min al-Turats al-Gharbî (sikap kita terhadap tradisi Barat), dan Mawqifunâ min al-Wâqi’(sikap kita terhadap realita), atau yang lebih dikenal teori interpretasi (Nadzariyyah al-Tafsîr). Agenda pertama memuat tujuh penjelasan teoritis; 1). Min al-‘Aqîdah ilâ al-Tsawrah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ ‘Ilm Uû al-Din (Dari Teologi ke Revolusi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Ushul al-Din); 2) Min al-Naql ilâ al-Ibdâ’; Muhâwalah lî ‘I’âdah binâ’ Ulûm al-Hikmah (Dari Transferensi ke Inovasi; Upaya Rekonstruksi Ilmu Hikmah); 3) Min al-Fanâ’ ilâ al-Baqâ’; Muhâwalah lî I’âdah binâ ‘Ulûm al-Tashawwuf (Dari Kesementaraan Menuju Keabadian; Upaya Rekonstruksi Tashawuf); 4) Min al-Nash ilâ al-Wâqi’; Muhâwalah lî I’âdah binâ Ushûl al-Fiqh (Dari Teks Menuju Realita; Upaya Rekonstruksi Ushul Fiqh); 5) Min al-Naql ilâ al-‘Aql; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Dari Teks ke Akal; Upaya Rekonstruksi Ilmu Tekstual); 6) al-‘Aql wa al-Thabî’ah; Muhâwalah lî I’âdah binâ’ al-‘Ulûm al-‘Aqliyyah (Akal dan Alam; Upaya Rekonstruksi Ilmu Rasional); 7) al-Insân wa al-Târikh; Muhâwalah lî I’âdah binâ al-‘Ulûm al-Insâniyyah (Manusia dan Sejarah; Upaya Rekonstruksi Ilmu Kemanusiaan). Lihat pada Hassan Hanafi, Muqaddimah fi ‘Ilm al-Istighrâb, Kairo: Dar al-Fanniyah li al-Nasyr wa al-Tawzi’, 1991, hlm. 9-11. Atau lihat pada Hassan Hanafi, Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat, Jakarta: Penerbit Paramadina, cet. I, 2000, hlm. 1-4. Untuk penjelasan masing-masing dapat ditilik pada Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op.Cit., hlm. 176-186

[32] Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqîdah ilâ al-Tsawrah, Beirut: Dar al-Tanwir li al-Thiba’ah wa al-Nasyr, cet. I, 1988. Bandingkan dengan al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 134

[33] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; al-Turâts wa al-‘Ashr wa al-Haddâtsah, Kairo: Dar al-Quba’ li al-Nasyr wa al-Tawzi’, Juz I, 2003, hlm. 104

[34] Hassan Hanafi, Min al-Nash ilâ al-Wâqi’, Kairo: Markaz al-Kitab li al-Nasyr, cet. I, 2005, juz II, hlm. 585

[35] Hassan Hanafi, al-Turâts wa al-Tajdîd; Mawqifunâ min al-Turâts al-Qadîm, Op. Cit., hlm. 173

[36] Hassan Hanafi, Humûm al-Fikr wa al-Wathan; Al-Fikr al-‘Arâbi al-Mu’âshir, Op. Cit. hlm. 63-66

Tidak ada komentar: