Dari sudut pandang teori semiotika sosial, teks merupakan suatu
proses sosial yang berorientasi pada suatu tujuan sosial. Tujuan sosial
yang hendak dicapai memiliki ranah-ranah pemunculan yang disebut konteks
situasi. Sementara itu, proses sosial akan berlangsung jika terdapat
sarana komunikasi yang disebut bahasa. Dengan kata lain, proses sosial
akan merefleksikan diri menjadi bahasa dalam konteks situasi tertentu
sesuai tujuan proses sosial yang hendak dicapai. Bahasa yang muncul
berdasarkan konteks situasi inilah yang menghasilkan register atau
bahasa sebagai teks.
Oleh karena konteks situasi pemakaian bahasa itu sangat beragam, maka
akan beragam pula jenis teks. Selanjutnya, proses sosial yang
berlangsung selalu memiliki muatan nilai-nilai atau norma-norma
kultural. Nilai-nilai atau norma-norma kultural yang direalisasikan
dalam suatu proses sosial itulah yang disebut genre. Satu genre dapat
muncul dalam berbagai jenis teks. Misalnya genre cerita, di antaranya,
dapat muncul dalam bentuk teks: cerita ulang, anekdot, eksemplum, dan
naratif, dengan struktur teks (struktur berpikir) yang berbeda; tidak
berstruktur tunggal seperti dipahami dalam kurikulum bahasa Indonesia
pada KTSP, yang semua jenis teks berstruktur: pembuka, isi, dan penutup
(periksa KD BI, kelas XI, semester 2, butir: 12.2).
Pada jenis teks cerita ulang (recount) unsur utamanya berupa
peristiwa yang di dalamnya menyangkut siapa, mengalami apa, pada waktu
lampau, dengan struktur: orientasi (pengenalan pelaku, tempat, dan
waktu) diikuti rekaman kejadian; pada teks anekdot, peristiwa yang
terdapat pada teks cerita ulang harus menimbulkan krisis. Partisipan
yang terlibat bereaksi pada peristiwa itu, sehingga teksnya berstruktur:
orientasi, krisis, lalu diikuti reaksi. Berbeda dengan eksemplum, pada
jenis teks ini peristiwa yang terdapat pada teks cerita ulang maupun
anekdot memunculkan insiden, dan dari insiden itu muncul interpretasi
(perenungan). Dengan demikian, teks jenis ini berstruktur: orientasi,
insiden, lalu diikuti interpretasi. Adapun jenis teks naratif, peristiwa
yang diceritakan harus memunculkan konflik antartokoh atau konflik
pelaku dengan dirinya sendiri atau dengan lingkungannya. Oleh karena
itu, teks naratif berstruktur: orientasi, komplikasi, dan resolusi.
Setiap struktur teks dalam masing-masing jenis teks memiliki
perangkat-perangkat kebahasaan yang digunakan untuk mengekspresikan
pikiran yang dikehendaki dan secara terpadu diorientasikan pada
pencapaian tujuan sosial teks secara menyeluruh. Untuk itu, pembicaraan
ihwal satuan leksikal, gramatikal (tata bahasa) dalam pembelajaran
berbasis teks harus berupa pembicaraan tentang satuan kebahasaan yang
berhubungan dengan struktur berpikir yang menjadi tujuan sosial teks,
bukan dalam bentuk serpihan-serpihan.
Dalam teori genre, terdapat dua konteks yang melatarbelakangi
kehadiran suatu teks, yaitu konteks budaya (yang di dalamnya ada nilai
dan norma kultural yang akan mewejawantahkan diri melalui proses sosial)
dan konteks situasi yang di dalamnya terdapat: pesan yang hendak
dikomunikasikan (medan/field), pelaku yang dituju (pelibat/tenor), dan
format bahasa yang digunakan untuk menyampaikan pesan itu (sarana/mode).
Hadirnya konteks budaya dalam teks dapat ditunjukkan, misalnya pada
teks laporan dan teks deskripsi. Kedua teks ini sama-sama dikelompokkan
ke dalam genre faktual, tetapi memiliki struktur teks dan nilai/norma
yang melatarbelakangi berbeda. Teks laporan berstruktur: klasifikasi
umum lalu diikuti deskripsi bagian, sedangkan teks deskripsi bersruktur:
deskripsi umum diikuti deskripsi bagian-bagian. Satuan
leksikogramatikal yang terdapat pada teks laporan harus mendukung
nilai-nilai objektif, faktual bukan opini serta bersifat generik,
sedangkan pada teks deskripsi satuan leksikogramatika yang merupakan
opini ataupun tanggapan yang bersifat subjektif masih dapat dimunculkan
dan lebih bersifat spesifik. Itu sebabnya, dalam pembelajaran bahasa
berbasis teks tidak boleh dilihat bahasa secara parsial, melainkan
secara utuh. Pembelajaran bahasa berbasis teks bukanlah belajar
keping-keping atau serpih-serpih tentang bahasa yang cenderung bertujuan
menghafal.
Pilihan pada pembelajaran bahasa berbasis teks membawa implikasi
metodologis pada pembelajaran yang bertahap. Mulai dari kegiatan guru
membangun konteks, dilanjutkan dengan kegiatan pemodelan, membangun teks
secara bersama-sama, sampai pada membangun teks secara mandiri. Hal ini
dilakukan karena teks merupakan satuan bahasa yang mengandung pikiran
dengan struktur yang lengkap. Guru harus benar-benar meyakini bahwa pada
akhirnya siswa mampu menyajikan teks secara mandiri.
Kehadiran konteks budaya, selain konteks situasi yang
melatarbelakangi lahirnya suatu teks menunjukkan adanya kesejajaran
antara pembelajaran berbasis teks (konsep bahasa) dengan filosofi
pengembangan Kurikulum 2013, khusunya yang terkait dengan rumusan
kebutuhan kompetensi peserta didik dalam bentuk kompetensi inti (KI)
atas domein sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Kompetensi inti yang
menyangkut sikap, baik sikap spiritual (KI: A) maupun sikap sosial (KI:
B) terkait dengan konsep kebahasaan tentang nilai, norma kultural, serta
konteks sosial yang menjadi dasar terbentuknya register (bahasa sebagai
teks); kompetensi inti yang menyangkut pengetahuan (KI: C) dan
keterampilan (KI: D) terkait langsung dengan konsep kebahasaan yang
berhubungan dengan proses sosial (genre) dan register (bahasa sebagai
teks). Selain itu, antarkompetensi dasar (KD) yang dikelompokkan
berdasarkan KI tersebut memiliki hubungan pendasaran satu sama lain.
Ketercapaian KD dalam kelompok KI: A dan B ditentukan oleh ketercapaian
KD dalam kelompok KI: C dan D. KD dalam kelompok KI: A dan B bukan untuk
diajarkan melainkan implikasi dari ketercapaian KD dalam kelompok KI: C
dan D. Oleh karena itu pula, mengkritisi keberadaan KD-KD dalam
Kurikulum 2013, termasuk tentang Kurikulum Bahasa Indonesia secara
lepas, berdiri sendiri mengakibatkan munculnya tanggapan yang
menyesatkan. Jika rumusan KD tentang sikap dihubungkan dengan KD tentang
pengetahuan dan keterampilan, tentu pernyataannya tentang tidak
logisnya rumusan KD, dalam Kurikulum 2013, seperti dinyatakan Acep
(Kompas, 18 Maret 2013), tidak akan muncul.
Begitu pula jika, KD tentang pengetahuan yang dikritisi itu
dihubungkan dengan KD tentang keterampilan, maka pernyataan bahwa
Kurikulum 2013 hanya akan menghasilkan siswa penghafal, seperti
dinyatakan Bambang (Kompas, 20 Maret 2013) tidak akan lahir.
Selanjutnya, jika dibandingkan antara KD yang dirumuskan dalam Kurikulum
2013 dengan KD dalam KTSP, maka terdapat beberapa persamaan dan
perbedaan yang mendasar. Persamaannya, kedua kurikulum itu menampilkan
teks sebagai butir-butir KD. Sebagai contoh, dalam KTSP (2006) untuk
kelas I, dan kelas IV semester 1, ditemukan KD 2.3: “Mendeskripsikan
benda-benda di sekitar dan fungsi anggota tubuh dengan kalimat
sederhana” dan KD 4.2: “Menulis petunjuk untuk melakukan sesuatu atau
penjelasan tentang cara membuat sesuatu”. Bandingkan rumusan KD itu
dengan KD dalam Kurikulum 2013 kelas 1 SD pada aspek pengetahuan: (a)
KD3.1:“Mengenal Teks deskriptif tentang anggota tubuh dan panca indera
…”; (b) KD 3.2: “Mengenal teks petunjuk/arahan tentang perawatan tubuh
serta pemeliharaan kesehatan dan …”. Baik pada KTSP maupun pada
Kurikulum 2013 teks disajikan sebagai butir-butir yang dicantumkan
sebagai KD, tidak seperti yang dinyatakan Bambang. Hanya saja, pada
Kurikulum 2013 dibedakan antara KD yang berhubungan dengan aspek
pengetahuan, kerampilan, dan sikap. Adapun perbedaannya, KD pada KTSP
masih banyak yang disusun berdasarkan pandangan linguistik struktural,
misalnya: rumusan KD kelas I semester 1 berikut. KD 3.1: “Membaca
nyaring suku kata, kata dengan lafal yang tepat” dan KD 3.2: “Membaca
nyaring kalimat sederhana dengan lafal dan intonasi yang tepat”. Kedua
rumusan KD ini mencerminkan pembelajaran kompetensi berbahasa yang
bersifat struktural, dari kemampuan melafalkan unsur bahasa yang
terkecil: suku kata, meningkat ke pelafalan kata, dan diteruskan ke
pelafalan kalimat, bahkan sampai ke teks (cermati KD kelas II, semester
2, butir 7.1: “Membaca nyaring teks (15-20 kalimat) dengan memperhatikan
lafal dan intonasi yang tepat”. Dengan mencermati KD-KD-nya, maka
penyusunan kurikulum bahasa Indonesia pada KTSP dapat dikatakan
dilakukan dengan setengah berlandaskan pendekatan struktural dan
setengahnya lagi berlandaskan pada pendekatan teks. Bahkan masih
terdapat pencampuradukan antara konsep teks dengan paragrap. Cermati KD
Kelas X, semester 1: 4.2: “Menulis hasil observasi dalam bentuk paragrap
deskriptif”. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kurikulum bahasa
Indonesia sejak Kurikulum 1994 sampai KTSP yang didengung-dengungkan
berbasis kontekstual adalah tidak sepenuhnya benar. Berbeda jauh dengan
Kurikulum 2013 yang sepenuhnya berbasisi teks. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar