oleh:
Prof. Dr. H. Moh. Ali Aziz, M.Ag.
Guru Besar pada Fakultas Dakwah
Ketiga
tamu itu datang pada waktu dan tempat yang berbeda, tapi memberi
pelajaran yang sama: keikhlasan, keridloan dan kepasrahan. “Saya
ikhlas. Senang saja menerima cobaan ini. Saya tidak minta sembuh.
Terserah saja apa kehendak Allah,” inilah inti jawaban mereka ketika
saya tanya, “Apa bapak meminta sembuh dari penyakit berat ini?”. Luar
biasa. Itulah penggalan kalimat yang membuat saya merinding dan
meneteskan air mata tanpa terasa.
Kehebatan
mereka terletak pada penguatan mindset, sehingga mereka “meminum yang
pahit dengan rasa manis”. Sekalipun demikian, saya ingin menambah
semangat kebahagiaan disamping apresiasi besar. Kepada “guru” pertama
yang buta, saya mengatakan, “Saya yakin, bapak adalah orang pertama yang
melihat cahaya surga. Orang pertama pula yang diberi kesempatan
memandang keindahan “wajah” Allah di akhirat kelak. Sebab, bapak telah
terbebas dari dosa mata, dan tercabut dari keindahan alam semesta.
Dengan kebutaan, bapak telah memperoleh ketajaman atau kepekaan telinga
mendengar kalam Allah.”
Kepada
“guru” kedua, saya berbagi, “Keriangan bapak menerima tumor sebagai
kado dinar dari Allah pasti ampunan dosa dari-Nya, melebihi pengampunan
dari ibadah umrah dan haji puluhan kali.” Bagi saya, riang menerima
cobaan bernilai lebih tinggi dari kesabaran. Sakit sedikit karena
tertusuk duri di jalan saja sudah mendatangkan ampunan, kata Nabi SAW.
Apalagi gangguan jantung dan tumor. Sekian lama merasakan sakit fisik.
Ratusan juta rupiah ia dikeluarkan untuk pengobatan. Di akhir pertemuan,
pria lansia itu masih berpesan, “Saya sehat lebih dari 60 tahun. Maka
jika saya sakit hanya tiga tahun, tidaklah pantas bagi saya untuk
membesar-besarkan penyakit dan melupakan kesehatan yang dianugrahkan
sekian lama.”
Kepada
“guru” ketiga, saya tidak hanya haru tapi juga kaget. Setelah
menguatkan ridla dan keikhlasan menerima kelumpuhan kaki dan pembulatan
pasrah kepada Allah dengan puncak kepasrahan dalam rukuk dan sujudnya,
tiba-tiba ketika adzan shubuh, Selasa (lupa tanggal) April 2013 itu, ia
bisa berjalan sampai ke masjid untuk shalat berjamaah, sekalipun dengan
sedikit menyeret kaki. “Dulu saya tiada henti meminta sembuh. Tapi
setelah lama tidak sembuh, saya ikhlas dan ridlo saja. Saya bulatkan
lagi kepasrahan kepada Allah dalam setiap rukuk dan sujud saya.
Ternyata, di saat demikian, justru diberi kesembuhan,” katanya dengan
wajah sumringah.
Salam
takdzim untuk ketiga “guru” saya. Saya bertekad menyontoh keikhlasan,
keridloan dan kepasrahan mereka. Saya kirimkan satu hadis Nabi berikut
sebagai hadiah dan kenang-kenangan perjumpaan dengan mereka. “Suatu saat, Ibnu Abbas berkata kepada ‘Attha’ bin Abi Rabah,
“Maukah kamu saya tunjukkan perempuan calon penghuni surga?” “Tentu,
dengan senang hati,” jawan ‘Atha’. Lalu Ibnu Abbas menunjuk ke arah
perempuan berkulit hitam, dan berkata, “Dia pernah mengadu kepada Nabi
SAW, “Wahai Nabi, aku punya penyakit ayan, dan terbuka auratku ketika
itu. Berdoalah untuk kesembuhanku.” Nabi SAW menjawab, “Jika mau,
bersabarlah dan surga pasti untukmu. Tapi jika tetap ingin sembuh, saya
akan berdoa untuk kesembuhanmu.” Perempuan itu menjawab, “Aku memilih
sabar, wahai nabi. Hanya doakan aku, agar auratku tidak terbuka ketika
ayan” Lalu Nabi SAW berdoa (sesuai harapan si tamu). (HR Bukhari
Muslim dari ‘Atha’ bin Abi Ribah r.a) (Dalilul Falihin, Juz I: 119).
(Surabaya, 2-5-13)
taken from:
http://www.sunan-ampel.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=996%3Aguru-3-k&catid=45%3Akolom-p-rektor&lang=in
Tidak ada komentar:
Posting Komentar