Manusia selalu berusaha dengan berbagai macam cara untuk melindungi dirinya dari ganguan dan kejahatan orang lain. Banyak cara yang di tempuh dan jalan yang di lalui untuk tujuan ini.
Sejak zaman dahulu dalam dunia persilatan telah kita dengar berbagai macam nama ilmu kesaktian. Kalau dulu anda pernah mengikuti sandiwara Saur sepuh tentu anda akan kenal pada Ajian serat jiwa dan Lampah umpuh ilmu pamungkas raja Madangkara Brama kumbara.
Di zaman rudal dan senjata muttakhir sekarang ini pun masih banyak orang yang mengejar ilmu
kesaktian semacam ini, dengan berbagai macam tujuan dan alasan. Untuk menjaga diri, agar tekenal sebagai jawara, atau mungkin seorang ustadz atau dai' mempelajarinya agar da'waknya lancar karena dapat mengalahkan atau paling tidak melindungin diri dari kejahatan orang yang tidak senang pada kebaikan.
Perlu juga kita ketahui, ilmu kadikjayaan ini ada dua sumber yang berbeda, biasa dikenal dengan sebutan ilmu hitam dan ilmu putih. Ilmu putih adalah kesaktian yang diperoleh dengan amalan tertentu yang tidak bertentangan dengan syariat islam, sedangkang ilmu hitam adalah kebalikannya kesaktian itu diperoleh dengan malakukan suatu amalan yang dilarang Allah.
Dalam tulisan ini saya ingin meunjukkan pembaca pada suatu kesaktian luar biasa sangat penting untuk kita miliki, hususnya yang berkecimpung dalam dunia da'wah. Ilmu ini adalah ilmu kebal yang diajarkan dan diwariskan Rasulullah SAW kepada sahabat-sahabatnya.
Yang saya maksud dengan ilmu kebal disini bukan kita tidak mempan disabet pedang, atau tidak bisa ditembus oleh peluru. Ilmu kebal tingkat tinggi yang diajarkan Rasulullah SAW adalah kekebalan hati. Orang yang menguasai ilmu ini tidak akan mudah sakit hati, tidak gampang tersulut kemarahannya, tidak gampang termakan hasutan orang, jauh dari dengki dan hasud sehingga hidupnya terasa benar-benar tentram.
Rasulullah sangat pemaaf, tidak mudah merasa sakit hati walaupun diperlakukan dengan perbuatan yang sangat menyakitkan sekalipun. Beliau dicaci dihina disakiti tetapi dengan mudahnya beliau melupakan itu semua.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah setiap kali pulang dari masjid Beliau diludahi oleh seorang kafir, suatu hari Raulullah SAW tidak mendapati orang tersebut, ketika Rasulullah mengetahui orang itu ternyata sakit beliau bergegas untuk menjenguknya, dan sebab itulah orang tersebut masuk islam. Dalam perjalanan da'wah ke Taif pun tidak kalah pedihnya cobaan yang Rasulullah SAW hadapi, Rasulullah SAW ditolak oleh pemimpin Tsaqiif bahkan beliau dilempari batu oleh budak-budak dan orang-orang bodoh dari mereka sehingga kedua kakinya berlumuran darah.
Ketika malaikat Jibril menawarkan untuk membinasakan mereka Rasulullah SAW menolak bahkan Rasulullah SAW mendoakan mereka agar mendapat pengampunan Allah.
Bukankah kita sering kali merasa sakit hati, tersinggung dan kecewa hanya karena hal sepele?
Keadaan seperti ini membuat kita mudah marah, menyimpan kebencian dan dendam pada orang yang ada disekitar kita. Padahal perasaan seperti itu kalau dibiarkan akan mengganggu kesehatan jasmani juga, seperti penyakit darah tinggi, jantung da lain-lain.kalai begitu kiranya anda sangat perlu untuk mendalami jurus-jurus sakti ini.
Apakah sepuluh jurus itu, dan bagaimana kita mengusainya? Jurus-jurus itu adalah ayat-ayat al-quran dan hadis-hadis Rasulullah SAW. Cara mendapatkan kekebalan itu adalah dengan memahami, menghayati dan berusaha mencontoh rasulullah SAW dalam mengamalkannya. Orang yang dapat mengusai jurus-jurus ini dengan sempurna bukan saja ia akan sakti di dunia, namun diakhiratpun dia dianggap sebagai jawara yang telah dapat mengalahkan hawa nafsunya. Ia akan mendapat pahala yang besar dan kemulian ari Allah SWT.
Jurus pertama : Menahan Marah.
Jurus ini mengingatkan kita untuk dapat menahan amarah. Allah berfirman:
وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ [آل عمران/134]
Artinya : Dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan( kesalahan) orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbat kebajikan.(Ali Imran: 134)
Jurus kedua : Ahlaq paling utama
Jurus ini mengingatkan kita untuk dapat meraih ahlaq paing utama. Rasulullah SAW bersabda :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : يا عقبة ألا أخبرك بأفضل أخلاق أهل الدنيا وأهل الآخرة تصل من قطعك وتعطى من حرمك وتعفو عمن ظلمك . جامع الأحاديث - (ج 37 / ص 309)
Rasulullah SAW bersabda : Wahai Uqbah tidakkah aku memberitahumu akan ahlaq paling utama bagi penghuni dunia dan aqhirat ? Engkau menyambung hubungan terhadap orang yang memutus hubungan denganmu, engkau memberi orang yang tidak mau memberimu, dan engkau memaafkan orang yang mendzalimimu.(jami'ul hadis juz 37, hal : 309)
Jurus ketiga : Memaafkan
Jurus ini mengingatkan kita untuk mudah memafkan.
فَاصْفَحِ الصَّفْحَ الْجَمِيلَ [الحجر/85]
Artinya : Maka maafkanlah dengan cara yang baik.(QS: Al-Hijr: 85)
Jurus keempat : Ampunan Allah
Jurus ini mengingatkan kita agar mendapat ampunan Allah.
وَلْيَعْفُوا وَلْيَصْفَحُوا أَلَا تُحِبُّونَ أَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ [النور/22]
Artinya : dan hendaklah mereka memafkan dan berlapang dada. Aakah kamu tidak suka bahwa Allah megampunimu? Dan Allah Maha pengampun lagi maha Penyayang.(QS: An-Nur: 22)
Jurus kelima: Sabar
Jurus ini mengingatkan kita agar bersifat sabar. Allah berfirman :
وَلَمَنْ صَبَرَ وَغَفَرَ إِنَّ ذَلِكَ لَمِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ [الشورى/43]
Artinya: Barang siapa yang bersabar dan memaafkan, sesungguhnya yang demikian itu termasuk perbuatan yang mulia. (QS: As-Syuraa: 43)
Jurus keenam : Wasiat Nabi
Jurus ini mengingatkan kita pada sebuah wasiat Baginda nabi SAW.
Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رجلا قال للنبي صلى الله عليه وسلم : أوصني قال : لا تغضب ، فردد مرارا فقال لا تغضب . رواه البخاري
Artinya : Dari Abu Hurairah ra. Bahwa ada seorang berkata kepada Nabi SAW : "Berilah aku
wasiat" Nabi berkata : "Janganlah egkau marah". Orang itu mengulagi berkali-kali permintaannya, nabipun berkata : "janganlah engkau marah". HR. Imam Buhori.
Jurus ketujuh : Lemah lembut
Jurus ini mengingatkan kita akan kehebatan sikap lemah lembut. Rasulullah SAW bersabda :
عن عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن الرفق لا يكون في شيء إلا زانه ولا ينزع من شيء إلا شانه . رواه مسلم .
Artinya : dari Sayyidah A'isyah ra. Ia berkata: rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya lemah
lembut tidaklah berada pada suatu apapun kecuali akan menhiasinya, dan tidaklah dicabut sifat lemah lembut itu dari sesuatu kecuali akan menjadikannya buruk. HR. Imam Muslim.
Jurus kedelapan : Kekuatan inti
Jurus ini mengingatkan kita bahwa kekuatan yang sesungguhnya adalah menahan amarah. Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : ليس الشديد بالصرعة ، إنما الشديد الذي يملك نفسه عند الغضب . متفق عليه .
Artinya : dari Abu Hurairah ra. Bahwa rAsulullah SAW bersabda: Tidaklah kekuatan itu dengan menag dalam bergulat, akan tetapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan amarahnya ketika ia marah. HR. Imam Bukhari Muslim.
Jurus kesembilan : Ihtimalul adza
Jurus ini mengingatkan kita bahwa ihtimalul adza (bersabar atas keburukan orang) adalah pembuka pertolongan Allah. Rasulullah SAW bersabda :
عن أبي هريرة رضي الله عنه قال : أن رجلا قال يا رسول الله ، إن لي قرابة أصلهم ويقطعونني ، وأحسن إليهم ويسيئون إلي ، وأحلمعنهم ويجهلون علي ، فقال : لئن كنت كما قلت كأنما تسفهم المل ، ولا يزال معك من الله ظهير عليهم ما دمت على ذلك . رواه مسلم .
Dari Abu Hurairah ra. Bahwa seorang berkata kepada rasulullah SAW: "Sesungguhnya aku mempunyai kerabat, aku selalu menyambung hubungan baik dengan mereka tetapi mereka selalu memutuskannya, aku berbuat baik akan tetapi mereka membalasnya dengan keburukan, aku berlaku bijak akan tetapi mereka berlaku bodoh. Rasulullah SAW kemudian bersabda: Bila keadaannya seperti yang engkau katakan, mereka itu seperti meminum abu yang panas, dan senantiasa Allah akan memberikan pertolongan kepadamu selama kamu dalam keadaan demikian itu. ( HR Imam Muslim)
Jurus kesepuluh : Do'a pamungkas
Mendoakan orang yang mendholimi dan menyakiti kita dengan doa yang baik adalah suatu yang luar bisa, seperti yang dilakukan rasulullah SAW terhadap penduduk Taif. Orang tidak akan dapat mendoakan orang yang menyakitinya dengan doa' yang baik kecuali orang yang berhati mulia, dan itulah salah satu cirri-ciri penghuni surga.
***
Inilah kesepuluh jurus tersebut, jikalau anda tidak setuju dengan penamaannya dengan judul diatas, silahkan anda memeberinya nama dengan nama apa saja yang anda sukai tapi saya yakin andapun sependapat dengan saya inilah ahlaq yang diajarkan rasulullah SAW untuk melatih kekuatan hati.
Hafalkanlah kesepuluh jurus ini dengan baik pahami dan hayati ma'nanya dalam-dalam. Cobalah disaat anda merasa disakiti orang, hadirkan jurus-jurus ini satu demi satu, ajak hati anda untuk memahami menghayati dan membayangkan keagungan Ahlaq Rasulullah SAW, katakan pada hati anda bahwa Rasulullah SAW adalah suri tauladan bagi orang yang menginginkan kebahagiaan akhirat yang dijanjikan Allah. Semoga dengan demikian kita tidak akan mudah merasa sakit hati.
Selamat mencoba…!
semua tak sama.... apa yang ku lihat.... apa yang ku sentuh.... apa yang ku rasa... tak pernah sama....
Minggu, 29 Maret 2009
Jumat, 27 Maret 2009
TERNYATA.....
Kanker Mulut
Peneliti dari Tel Aviv University, Israel, mendapati bahwa orang yang menggunakan telpon seluler selama beberapa jam dalam sehari memiliki risiko 50% mendapat kanker mulut dibandingkan mereka yang tidak pernah menggunakannya.
Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Siegal Sadetzki ini juga menemukan pengguna ponsel di area pedalaman berisiko tinggi mendapat penyakit kanker mulut karena ponsel yang mereka gunakan memancarkan radiasi yang lebih tinggi agar bisa menjangkau antena yang tersedia dalam jumlah sedikit.
Studi yang dipublikasikan di American Journal of Epidemiology pada Februari 2008 ini meneliti 500 orang yang menderita tumor jinak dan ganas dari 1300 orang sehat.
Hipertensi Pada Kaum Muda
Paradigma yang berkembang di masyarakat adalah anggapan penyakit hipertensi adalah jenis yang hanya diderita orang tua. Paradigama ini telah bergeser karena hipertensi juga menyerang orang berusia muda, misalnya 25 tahun. Hal ini dikarenakan perubahan gaya hidup masyarakat akibat moderenisasi dan globalisasi.
Kalau saja penyakit ini tidak mengandung komplikasi, mungkin masalahnya menjadi lebih sederhana. Penyakit ini sulit dideteksi oleh tubuh dan bila tidak dikontrol dengan baik bisa berakibat pada gangguan organ, misalnya gangguan fungsi jantung, gangguan fungsi ginjal, serta gangguan fungsi kognitif atau stroke.
Satu-satunya cara mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah secara teratur. Pada umumnya, 90%-93% penyebab penyakit hipertensi adalah karena faktor keturunan. Sisanya disebabkan faktor-faktor seperti terlalu banyak mengkonsumsi garam dari makanan cepat saji, merokok, kelebihan berat badan, kurang berolahraga, stress lingkungan ataupun stress yang berkepanjangan.
Gangguan Gendang Telinga
Salah satu penyebab gangguan pendengaran adalah bising akibat moderenisasi, kemajuan industri dan gaya hidup. Termasuk diantaranya adalah penggunaan earphone dan alat pemutar musik. Ada baiknya penggunaan earphone diganti dengan headphone, karena earphone dimasukkan ke dalam telinga, walhasil suara yang terdengar lebih keras dan lebih diteil. Hal ini berbeda dengan headphone yang persebaran suaranya merata karena headphone memiliki penampang yang lebih luas. Sayangnya earphone lebih disukai karena tidak mengganggu penampilan.
Berikut beberapa tips agar anda dapat mendengar musik secara sehat:
* Usahakan setiap 20 menit sekali anda mencopot earphone lalu beri jeda beberapa waktu bagi kuping anda.
* Pasang volume yang tidak terlalu besar.
* Jangan mendengarkan musik dengan earphone untuk meredam kebisingan di sekitar anda.
* Jangan menggunakan earphone hingga menusuk ke dalam telinga.
* Pilihlah MP3 player yang batas suaranya maksimal sampai sekitar 95 desibel.
Peneliti dari Tel Aviv University, Israel, mendapati bahwa orang yang menggunakan telpon seluler selama beberapa jam dalam sehari memiliki risiko 50% mendapat kanker mulut dibandingkan mereka yang tidak pernah menggunakannya.
Penelitian yang dipimpin oleh Dr. Siegal Sadetzki ini juga menemukan pengguna ponsel di area pedalaman berisiko tinggi mendapat penyakit kanker mulut karena ponsel yang mereka gunakan memancarkan radiasi yang lebih tinggi agar bisa menjangkau antena yang tersedia dalam jumlah sedikit.
Studi yang dipublikasikan di American Journal of Epidemiology pada Februari 2008 ini meneliti 500 orang yang menderita tumor jinak dan ganas dari 1300 orang sehat.
Hipertensi Pada Kaum Muda
Paradigma yang berkembang di masyarakat adalah anggapan penyakit hipertensi adalah jenis yang hanya diderita orang tua. Paradigama ini telah bergeser karena hipertensi juga menyerang orang berusia muda, misalnya 25 tahun. Hal ini dikarenakan perubahan gaya hidup masyarakat akibat moderenisasi dan globalisasi.
Kalau saja penyakit ini tidak mengandung komplikasi, mungkin masalahnya menjadi lebih sederhana. Penyakit ini sulit dideteksi oleh tubuh dan bila tidak dikontrol dengan baik bisa berakibat pada gangguan organ, misalnya gangguan fungsi jantung, gangguan fungsi ginjal, serta gangguan fungsi kognitif atau stroke.
Satu-satunya cara mengetahui hipertensi adalah dengan mengukur tekanan darah secara teratur. Pada umumnya, 90%-93% penyebab penyakit hipertensi adalah karena faktor keturunan. Sisanya disebabkan faktor-faktor seperti terlalu banyak mengkonsumsi garam dari makanan cepat saji, merokok, kelebihan berat badan, kurang berolahraga, stress lingkungan ataupun stress yang berkepanjangan.
Gangguan Gendang Telinga
Salah satu penyebab gangguan pendengaran adalah bising akibat moderenisasi, kemajuan industri dan gaya hidup. Termasuk diantaranya adalah penggunaan earphone dan alat pemutar musik. Ada baiknya penggunaan earphone diganti dengan headphone, karena earphone dimasukkan ke dalam telinga, walhasil suara yang terdengar lebih keras dan lebih diteil. Hal ini berbeda dengan headphone yang persebaran suaranya merata karena headphone memiliki penampang yang lebih luas. Sayangnya earphone lebih disukai karena tidak mengganggu penampilan.
Berikut beberapa tips agar anda dapat mendengar musik secara sehat:
* Usahakan setiap 20 menit sekali anda mencopot earphone lalu beri jeda beberapa waktu bagi kuping anda.
* Pasang volume yang tidak terlalu besar.
* Jangan mendengarkan musik dengan earphone untuk meredam kebisingan di sekitar anda.
* Jangan menggunakan earphone hingga menusuk ke dalam telinga.
* Pilihlah MP3 player yang batas suaranya maksimal sampai sekitar 95 desibel.
ASAL USUL SHOLAT
Shalat Subuh
Shalat subuh dua raka’at nabinya Nabi Adam a.s. Ketika Nabi Adam ditunkan ke dunia adalah diwaktu malam. Ia dan Siti Hawa tidak diturunkan di satu tempat yang sama. Siti Hawa di Jiddah, sedangkan Nabi Adam di bukit Ruhun di pulai Sailan atau kini dinamakan Sailandra.
Setelah terbit matahari, Nabi Adam a.s. sujud syukur dua kali sujud ke hadirat Allah. Itulah sebabnya shalat subuh dua raka’at mengingati akan Nabi Adam a.s. sebagai orang yang pertama sujud di muka bumi. Maka disunahkan shalat Isyroq dua rakaat.
Satu kali sujud, karena telah hilang rasa takutnya sebab gelapnya malam dan satu kali sujud lagi karena syukur lantaran datangnya waktu siang.
Shalat Zuhur
Shalat zuhur empat raka’at ada hubungannya dengan peristiwa kurban zaman Nabi Ibrahim. Empat kali sujud dilakukan oleh Nabi Ibrahim dikarenakan, pertama, sujud pertama menyatakan syukur ke hadirat Allah, karena ia dan puteranya Ismail mampu menyelesaikan tugas berat dari Allah. Kedua, syukur atas ke hadirat Allah karena beliau tidak terperdaya oleh bujukan syetan. Ketiga, syukur ke hadirat Allah karena Ismail adalah putera yang sabar dan ia selamat tanpa luka apapun. Keempat, kurban itu kemudian diganti dengan seekor kibas.
Shalat Ashar
Shalat ashar ada hubungannya dengan sejarah Nabi Yunus a.s. Ketika Nabi Yunus berada di dalam perut ikan yang dapat dilakukannya hanyalah pasrah. Pada saat itu malaikat Jibril mengajarkan beliau mengucap zikrullah: “Laa ilaaha anta subhaanaka innii kuntu minazh zhoolimiin.” Artinya: “Tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku daripada orang yang zhalim.”
Sujud pertama meyatakan syukur ke hadirat Allah atas karunia beliau sudah terlepas dari kegelapan pikiran sehingga beliau mendapat musibah ditelan ikan besar. Sujud kedua menyatakan syukur ke hadirat Allah sudah terlepas dari bahaya maut terkubur dalam perut ikan. Sujud ketiga menyatakan syukur ke hadirat Allah atas karunia-Nya sudah keluar dari dalam laut yang dalam. Sujud keempat menyatakan syukur ke hadirat Allah atas karunia yang mengerakkan seekor kambing betina memberi minum air susunya tiap hari sehingga kekuatan tubuhnya pulih kembali.
Shalat Maghrib
Shalat maghrib ada hubungannya dengan peristiwa Nabi Isa. Sujud pertama adalah ungkapan syukur ke hadirat Allah yang telah menyelamatkan ibunya dari tuduhan yang tidak benar, karena kemu’jizatan beliau. Sujud kedua, syukur kehadirat Allah yang telah menyelamatkan ibunya dari penganiayaan orang yahudi. Sujud ketiga adalah syukur ke hadirat Allah yang telah menyelamatkan dirinya dari penghianatan muridnya yang akan menangkapnya untuk diserahkan kepada raja Herodes dan akan dijatuhkan hukuman mati di palang kayu salib.
Di saat itu adalah waktu maghrib, beliau sujud tiga kali dan kemudian diangkat ke langit oleh Malaikat Jibril.
Shalat Isya
Shalat Isya ada hubungannya dengan riwayat Nabi Musa a.s. Sujud pertama sebagai ungkapan syukur karena Allah menyelamatkan beliau dari kejaran fir;aun. Sujud kedua sebagai ungkapan syukur karena Allah telah menolong beliau selama dalam perantauan di Madyan sampai beliau beristri puteri Nabi Syu’aib, selamat tidak kurang satu apapun. Sujud ketiga, sebagai ungkapan syukur kerena Allah telah memilih beliau sebagai nabi untuk menyelamatkan Bani Israil dari tindasan Fir’aun. Sujud keempat, sebagai ungkapan syukur karena Allah telah menerima permohonan beliau kakaknya Harun diangkat pula menjadi nabi.
Shalat subuh dua raka’at nabinya Nabi Adam a.s. Ketika Nabi Adam ditunkan ke dunia adalah diwaktu malam. Ia dan Siti Hawa tidak diturunkan di satu tempat yang sama. Siti Hawa di Jiddah, sedangkan Nabi Adam di bukit Ruhun di pulai Sailan atau kini dinamakan Sailandra.
Setelah terbit matahari, Nabi Adam a.s. sujud syukur dua kali sujud ke hadirat Allah. Itulah sebabnya shalat subuh dua raka’at mengingati akan Nabi Adam a.s. sebagai orang yang pertama sujud di muka bumi. Maka disunahkan shalat Isyroq dua rakaat.
Satu kali sujud, karena telah hilang rasa takutnya sebab gelapnya malam dan satu kali sujud lagi karena syukur lantaran datangnya waktu siang.
Shalat Zuhur
Shalat zuhur empat raka’at ada hubungannya dengan peristiwa kurban zaman Nabi Ibrahim. Empat kali sujud dilakukan oleh Nabi Ibrahim dikarenakan, pertama, sujud pertama menyatakan syukur ke hadirat Allah, karena ia dan puteranya Ismail mampu menyelesaikan tugas berat dari Allah. Kedua, syukur atas ke hadirat Allah karena beliau tidak terperdaya oleh bujukan syetan. Ketiga, syukur ke hadirat Allah karena Ismail adalah putera yang sabar dan ia selamat tanpa luka apapun. Keempat, kurban itu kemudian diganti dengan seekor kibas.
Shalat Ashar
Shalat ashar ada hubungannya dengan sejarah Nabi Yunus a.s. Ketika Nabi Yunus berada di dalam perut ikan yang dapat dilakukannya hanyalah pasrah. Pada saat itu malaikat Jibril mengajarkan beliau mengucap zikrullah: “Laa ilaaha anta subhaanaka innii kuntu minazh zhoolimiin.” Artinya: “Tidak ada Tuhan kecuali Engkau, Maha suci Engkau, sesungguhnya aku daripada orang yang zhalim.”
Sujud pertama meyatakan syukur ke hadirat Allah atas karunia beliau sudah terlepas dari kegelapan pikiran sehingga beliau mendapat musibah ditelan ikan besar. Sujud kedua menyatakan syukur ke hadirat Allah sudah terlepas dari bahaya maut terkubur dalam perut ikan. Sujud ketiga menyatakan syukur ke hadirat Allah atas karunia-Nya sudah keluar dari dalam laut yang dalam. Sujud keempat menyatakan syukur ke hadirat Allah atas karunia yang mengerakkan seekor kambing betina memberi minum air susunya tiap hari sehingga kekuatan tubuhnya pulih kembali.
Shalat Maghrib
Shalat maghrib ada hubungannya dengan peristiwa Nabi Isa. Sujud pertama adalah ungkapan syukur ke hadirat Allah yang telah menyelamatkan ibunya dari tuduhan yang tidak benar, karena kemu’jizatan beliau. Sujud kedua, syukur kehadirat Allah yang telah menyelamatkan ibunya dari penganiayaan orang yahudi. Sujud ketiga adalah syukur ke hadirat Allah yang telah menyelamatkan dirinya dari penghianatan muridnya yang akan menangkapnya untuk diserahkan kepada raja Herodes dan akan dijatuhkan hukuman mati di palang kayu salib.
Di saat itu adalah waktu maghrib, beliau sujud tiga kali dan kemudian diangkat ke langit oleh Malaikat Jibril.
Shalat Isya
Shalat Isya ada hubungannya dengan riwayat Nabi Musa a.s. Sujud pertama sebagai ungkapan syukur karena Allah menyelamatkan beliau dari kejaran fir;aun. Sujud kedua sebagai ungkapan syukur karena Allah telah menolong beliau selama dalam perantauan di Madyan sampai beliau beristri puteri Nabi Syu’aib, selamat tidak kurang satu apapun. Sujud ketiga, sebagai ungkapan syukur kerena Allah telah memilih beliau sebagai nabi untuk menyelamatkan Bani Israil dari tindasan Fir’aun. Sujud keempat, sebagai ungkapan syukur karena Allah telah menerima permohonan beliau kakaknya Harun diangkat pula menjadi nabi.
Curahan Hati Seorang Muslimah
Curahan Hati Seorang Muslimah yang sedang cemburu
Aku begitu cemburu dengan apa yang dijanjikan Allah kepada manusia bahwa sholat malam yang tidak terputus adalah mahar untuk meminang bidadari di surga. Digambarkan bahwa bidadari memiliki semua hal yang indah dan menakjubkan. Namun kemudian kecemburun itu hilang ketika aku mengetahui bahwa Rasullulah pernah berkata kepada Ummu Salamah bahwasanya wanita-wanita dunia adalah lebih utama daripada bidadari-bidadari karena sholat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Dalam sebuah hadits kiatakan bahwa:
“… Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”( HR Ath Thabrani)
Kemudian aku mempertanyakan kualitas diriku sebagai muslimah.. Aku merasa aku jauh sosok ‘ideal’ seorang muslimah… Aku terjebak pada persepsi penghususan bahwa sebagai wanita berjilbab aku harus lembut, bertutur kata halus, dan feminism dalam arti yang sebenarnya. Standar seperti ini kadang membuatku tertekan karena aku tidak ingin memakai ‘topeng’.
Namun kemudian aku sadar bahwa aku adalah aku. Jilbab bukan lakon sandiwara yang mengharuskan aku menjadi orang lain untuk memakainya. Islam sendiri tidak menghapus karakter-karakter khas dari pribadi pemeluknya yang tidak bertentangan dengan aqidah ketika dia memutuskan beIslam secara paripurna. Alangkah konyol memaksakan diri menjadi manjadi orang lain setelah hijrah dengan berjilbab. Bukankan dunia akan sunyi jika semuanya seragam.
“Celupkan warna Allah. Dan Siapakah yang lebih baik celupan warnanya daripada Allah. Dan padaNya sajalah kami beribadah.” (Al Baqarah: 138)
Aku sedikit muak dengan pembahasan para akhwat yang begitu menyanjung segala kelebihan kaum ikhwan. Aku merasa alangkah tidak baik memandang seseorang dari kualitas dunia yang disandang. Segala kelebihan yang dimiliki ikhwan belum tentu dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama, baik itu ketampanan; kepintaran; kekayaan; dan embel-embel status sosial yang disandangnya. Aku suka ingin mempertanyakan kembali kepada para akhwat “Kenapa sich kalian tidak melihat segala kelebihan para ikhwan itu sebagai contoh, kenapa kalian ga berusaha agar bisa seperti mereka, paling tidak kalian tidak memandang diri kalian sebagai sosok yang berlevel lebih rendah dibanding mereka, agar kalian tidak larut dengan segala pesona yang mereka punya????.” Aku ingin para akhwat memandang para ikhwan dari dimensi kepribadian dan akhlak yang mencerminkan keutuhan pribadinya. Para ikhwan yang ‘berkualitas’ itu masih manusia dengan segala kecenderungan fithri yang tak bisa ditipu dan dikelabui. Alangkah lebih baik masing-masing pribadi sibuk meningkatkan kualitas pribadi karena An Nur ayat 26 adalah janji pasti Allah.
Ibnu Mas’ud pernah memberikan nasihat, disaat riak-riak rasa hadir, “Jika kau tertarik pada seseorang, ingatlah kejelekan-kejelekannya.” Kalimat ini penting sekali untuk diingat sebagai penjaga hati, bahwa Sang Maha Sempurna harus lebih diprioritaskan daripada sang idola.
Rasulullah pernah berkata “Cintailah sesuatu dengan sewajarnya”. Karena mungkin suatu ketika ia akan menjadi sesuatu yang kau benci. Dan sederhanalah dalam membenci karena suatu saat mungkin ia menjadi sesuatu yang kau cinta.
Aku senang dengan pencapaian yang diberikan-Nya padaku, tapi aku belum cukup puas. Aku bersyukur karena aku masih dalam lingkaran yang dikasihi-Nya. Allah telah mengantarkan aku ke gerbang hidayah, aku merasa telah mendapatkan setengah dari kebahagiaan. Aku sadar, aku masih harus ‘mengolah’ hidayah itu. Aku sadar aku pribadi yang serba ‘kekurangan’ dalam segala hal. Hidayah Allah yang pertama adalah keinginan untuk mencari kebenaran, namun aku masih harus mengolahnya agar menghasilkan hidayah yang kedua yaitu taufik Allah (Allah telah menjanjikannya dalam QS. Maryam: 76). Menurutku ini sulit, tapi bukan tidak mungkin untuk dicapai. InsyaAllah.Sesungguhnya Allah melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Allah mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras daripada batu. Padahal kehidupan Akhirat itu lebih baik dan kekal (QS. Al Aka:17). Semoga aku dapat memelihara niatku.
Aku begitu cemburu dengan apa yang dijanjikan Allah kepada manusia bahwa sholat malam yang tidak terputus adalah mahar untuk meminang bidadari di surga. Digambarkan bahwa bidadari memiliki semua hal yang indah dan menakjubkan. Namun kemudian kecemburun itu hilang ketika aku mengetahui bahwa Rasullulah pernah berkata kepada Ummu Salamah bahwasanya wanita-wanita dunia adalah lebih utama daripada bidadari-bidadari karena sholat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Dalam sebuah hadits kiatakan bahwa:
“… Wahai Ummu Salamah, akhlak yang baik itu akan pergi membawa dua kebaikan, dunia dan akhirat.”( HR Ath Thabrani)
Kemudian aku mempertanyakan kualitas diriku sebagai muslimah.. Aku merasa aku jauh sosok ‘ideal’ seorang muslimah… Aku terjebak pada persepsi penghususan bahwa sebagai wanita berjilbab aku harus lembut, bertutur kata halus, dan feminism dalam arti yang sebenarnya. Standar seperti ini kadang membuatku tertekan karena aku tidak ingin memakai ‘topeng’.
Namun kemudian aku sadar bahwa aku adalah aku. Jilbab bukan lakon sandiwara yang mengharuskan aku menjadi orang lain untuk memakainya. Islam sendiri tidak menghapus karakter-karakter khas dari pribadi pemeluknya yang tidak bertentangan dengan aqidah ketika dia memutuskan beIslam secara paripurna. Alangkah konyol memaksakan diri menjadi manjadi orang lain setelah hijrah dengan berjilbab. Bukankan dunia akan sunyi jika semuanya seragam.
“Celupkan warna Allah. Dan Siapakah yang lebih baik celupan warnanya daripada Allah. Dan padaNya sajalah kami beribadah.” (Al Baqarah: 138)
Aku sedikit muak dengan pembahasan para akhwat yang begitu menyanjung segala kelebihan kaum ikhwan. Aku merasa alangkah tidak baik memandang seseorang dari kualitas dunia yang disandang. Segala kelebihan yang dimiliki ikhwan belum tentu dapat bertahan untuk jangka waktu yang lama, baik itu ketampanan; kepintaran; kekayaan; dan embel-embel status sosial yang disandangnya. Aku suka ingin mempertanyakan kembali kepada para akhwat “Kenapa sich kalian tidak melihat segala kelebihan para ikhwan itu sebagai contoh, kenapa kalian ga berusaha agar bisa seperti mereka, paling tidak kalian tidak memandang diri kalian sebagai sosok yang berlevel lebih rendah dibanding mereka, agar kalian tidak larut dengan segala pesona yang mereka punya????.” Aku ingin para akhwat memandang para ikhwan dari dimensi kepribadian dan akhlak yang mencerminkan keutuhan pribadinya. Para ikhwan yang ‘berkualitas’ itu masih manusia dengan segala kecenderungan fithri yang tak bisa ditipu dan dikelabui. Alangkah lebih baik masing-masing pribadi sibuk meningkatkan kualitas pribadi karena An Nur ayat 26 adalah janji pasti Allah.
Ibnu Mas’ud pernah memberikan nasihat, disaat riak-riak rasa hadir, “Jika kau tertarik pada seseorang, ingatlah kejelekan-kejelekannya.” Kalimat ini penting sekali untuk diingat sebagai penjaga hati, bahwa Sang Maha Sempurna harus lebih diprioritaskan daripada sang idola.
Rasulullah pernah berkata “Cintailah sesuatu dengan sewajarnya”. Karena mungkin suatu ketika ia akan menjadi sesuatu yang kau benci. Dan sederhanalah dalam membenci karena suatu saat mungkin ia menjadi sesuatu yang kau cinta.
Aku senang dengan pencapaian yang diberikan-Nya padaku, tapi aku belum cukup puas. Aku bersyukur karena aku masih dalam lingkaran yang dikasihi-Nya. Allah telah mengantarkan aku ke gerbang hidayah, aku merasa telah mendapatkan setengah dari kebahagiaan. Aku sadar, aku masih harus ‘mengolah’ hidayah itu. Aku sadar aku pribadi yang serba ‘kekurangan’ dalam segala hal. Hidayah Allah yang pertama adalah keinginan untuk mencari kebenaran, namun aku masih harus mengolahnya agar menghasilkan hidayah yang kedua yaitu taufik Allah (Allah telah menjanjikannya dalam QS. Maryam: 76). Menurutku ini sulit, tapi bukan tidak mungkin untuk dicapai. InsyaAllah.Sesungguhnya Allah melunakkan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih lunak dari susu dan Allah mengeraskan hati orang-orang tertentu sampai ada yang lebih keras daripada batu. Padahal kehidupan Akhirat itu lebih baik dan kekal (QS. Al Aka:17). Semoga aku dapat memelihara niatku.
BIDADARI DARI SURGA
Bidadari Syurga
Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka"
Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:"Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?" "Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan:"Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan sorga."
Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:"Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ." Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: "Pergilah kepada Ainul Mardiyah." Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata: "Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Assalamu’alaikum" kataku bersalam kepada mereka. "Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?" Mereka menjawab salamku dan berkata: "Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu" Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah.
Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: "Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . ..."
Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: "Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu." Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: "Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama".
Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia. ( Irsyadul Ibad ).
Dalam suatu kisah yang dipaparkan Al Yafi’i dari Syeikh Abdul Wahid bin Zahid, dikatakan: Suatu hari ketika kami sedang bersiap-siap hendak berangkat perang, aku meminta beberapa teman untuk membaca sebuah ayat. Salah seorang lelaki tampil sambil membaca ayat Surah At Taubah ayat 111, yang artinya sebagai berikut :
"Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mu’min, diri dan harta mereka dengan memberikan sorga untuk mereka"
Selesai ayat itu dibaca, seorang anak muda yang berusia 15 tahun atau lebih bangkit dari tempat duduknya. Ia mendapat harta warisan cukup besar dari ayahnya yang telah meninggal. Ia berkata:"Wahai Abdul Wahid, benarkah Allah membeli dari orang-orang mu’min diri dan harta mereka dengan sorga untuk mereka?" "Ya, benar, anak muda" kata Abdul Wahid. Anak muda itu melanjutkan:"Kalau begitu saksikanlah, bahwa diriku dan hartaku mulai sekarang aku jual dengan sorga."
Anak muda itu kemudian mengeluarkan semua hartanya untuk disedekahkan bagi perjuangan. Hanya kuda dan pedangnya saja yang tidak. Sampai tiba waktu pemberangkatan pasukan, ternyata pemuda itu datang lebih awal. Dialah orang yang pertama kali kulihat. Dalam perjalanan ke medan perang pemuda itu kuperhatikan siang berpuasa dan malamnya dia bangun untuk beribadah. Dia rajin mengurus unta-unta dan kuda tunggangan pasukan serta sering menjaga kami bila sedang tidur.
Sewaktu sampai di daerah Romawi dan kami sedang mengatur siasat pertempuran, tiba-tiba dia maju ke depan medan dan berteriak:"Hai, aku ingin segera bertemu dengan Ainul Mardhiyah . ." Kami menduga dia mulai ragu dan pikirannya kacau, kudekati dan kutanyakan siapakah Ainul Mardiyah itu. Ia menjawab: "Tadi sewaktu aku sedang kantuk, selintas aku bermimpi. Seseorang datang kepadaku seraya berkata: "Pergilah kepada Ainul Mardiyah." Ia juga mengajakku memasuki taman yang di bawahnya terdapat sungai dengan air yang jernih dan dipinggirnya nampak para bidadari duduk berhias dengan mengenakan perhiasan-perhiasan yang indah. Manakala melihat kedatanganku , mereka bergembira seraya berkata: "Inilah suami Ainul Mardhiyah . . . . ."
"Assalamu’alaikum" kataku bersalam kepada mereka. "Adakah di antara kalian yang bernama Ainul Mardhiyah?" Mereka menjawab salamku dan berkata: "Tidak, kami ini adalah pembantunya. Teruskanlah langkahmu" Beberapa kali aku sampai pada taman-taman yang lebih indah dengan bidadari yang lebih cantik, tapi jawaban mereka sama, mereka adalah pembantunya dan menyuruh aku meneruskan langkah.
Akhirnya aku sampai pada kemah yang terbuat dari mutiara berwarna putih. Di pintu kemah terdapat seorang bidadari yang sewaktu melihat kehadiranku dia nampak sangat gembira dan memanggil-manggil yang ada di dalam: "Hai Ainul Mardhiyah, ini suamimu datang . ..."
Ketika aku dipersilahkan masuk kulihat bidadari yang sangat cantik duduk di atas sofa emas yang ditaburi permata dan yaqut. Waktu aku mendekat dia berkata: "Bersabarlah, kamu belum diijinkan lebih dekat kepadaku, karena ruh kehidupan dunia masih ada dalam dirimu." Anak muda melanjutkan kisah mimpinya: "Lalu aku terbangun, wahai Abdul Hamid. Aku tidak sabar lagi menanti terlalu lama".
Belum lagi percakapan kami selesai, tiba-tiba sekelompok pasukan musuh terdiri sembilan orang menyerbu kami. Pemuda itu segera bangkit dan melabrak mereka. Selesai pertempuran aku mencoba meneliti, kulihat anak muda itu penuh luka ditubuhnya dan berlumuran darah. Ia nampak tersenyum gembira, senyum penuh kebahagiaan, hingga ruhnya berpisah dari badannya untuk meninggalkan dunia. ( Irsyadul Ibad ).
Rotibul Athos
RATIB AL-IMAM AL-QUTHUB AL-HABIB UMAR BIN ABDURRAHMAN AL-‘ATTHOS
ياايّها الّذين امنوا اذكرواالله ذكرا كثيرا وسبّحوا بكرة واصيلا
Wahai orang-orang yang beriman perbanyaklah ingatan kamu kepada Allah SWT dan pujilah Dia pagi dan petang (Al-Ahzab : 41 )
Makna Ratib
Kata Ratib diambil dari kata Rotaba Yartubu Rotban Rutuuban atau Tarottaba Yatarottabu Tarottuban, yang berarti tetap atau tidak bergerak. Jadi kata Ratib menurut Lughot (bahasa) artinya kokoh atau yang tetap. Sedangkan menurut istilah, Ratib diambil dari kata Tartiibul-Harsi Lil-Himaayah ( penjagaan secara rutin untuk melindungi sesuatu atau seseorang ). Apabila disebuah tempat ada bala tentara yang berjaga guna melindungi masyarakat, maka mereka disebut Rutbah, dan jika yang berjaga satu orang maka disebut Ratib, para ulama berpendapat makna Ratib adalah kumpulan atau himpunan ayat-ayat Al-qur’an dan untaian kalimat-kailmat dzikir yang lazim diamalkan atau dibaca secara berulang-ulang sebagai salah satu cara untuk bertaqorrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT)
Keberkatan Ratib Al-Habib Umar Bin Abdurrahman Al-Atthos.
Ratib Habib Umar yang dibari nama Azizul Manl Wafathul Babil Wisol seperti dikatakan oleh Al-Habib Ali bin Hasan AL-Atthos di dalam kitab Al-Qirthos bagian kedua juz pertama : “ Ratib Habib Umar merupakan hadiah yang tertinggi dari Allah bagi umat Islam melalui Habib Umar “.ketahuilah bahwa Ratib yang besar dan Hizib yang kokoh dan sumber yang murni ini, yaitu Ratib Habib Umar Al-Atthos terkandung didalamnya rahasia-rahasia dan Nur-Nur, manfaat yang besar, faedah-faedah yang luar biasa tinggi nilainya, dan tak dapat diperkirakan batas kekuatan pemeliharaanya.
Al-Habib Ali bin Hasan Al-Atthos mengatakan sepengetahuan kami Al-Habib Umar tidak ada sesuatu yang di tinggalkannya berupa bekas peninggalan ( seperti kitab atau masjid terkecuali Ratib ini ) maka dengan jelas Ratib ini diintisabkan kepada pribadinya langsung.
ياايّها الّذين امنوا اذكرواالله ذكرا كثيرا وسبّحوا بكرة واصيلا
Wahai orang-orang yang beriman perbanyaklah ingatan kamu kepada Allah SWT dan pujilah Dia pagi dan petang (Al-Ahzab : 41 )
Makna Ratib
Kata Ratib diambil dari kata Rotaba Yartubu Rotban Rutuuban atau Tarottaba Yatarottabu Tarottuban, yang berarti tetap atau tidak bergerak. Jadi kata Ratib menurut Lughot (bahasa) artinya kokoh atau yang tetap. Sedangkan menurut istilah, Ratib diambil dari kata Tartiibul-Harsi Lil-Himaayah ( penjagaan secara rutin untuk melindungi sesuatu atau seseorang ). Apabila disebuah tempat ada bala tentara yang berjaga guna melindungi masyarakat, maka mereka disebut Rutbah, dan jika yang berjaga satu orang maka disebut Ratib, para ulama berpendapat makna Ratib adalah kumpulan atau himpunan ayat-ayat Al-qur’an dan untaian kalimat-kailmat dzikir yang lazim diamalkan atau dibaca secara berulang-ulang sebagai salah satu cara untuk bertaqorrub (mendekatkan diri kepada Allah SWT)
Keberkatan Ratib Al-Habib Umar Bin Abdurrahman Al-Atthos.
Ratib Habib Umar yang dibari nama Azizul Manl Wafathul Babil Wisol seperti dikatakan oleh Al-Habib Ali bin Hasan AL-Atthos di dalam kitab Al-Qirthos bagian kedua juz pertama : “ Ratib Habib Umar merupakan hadiah yang tertinggi dari Allah bagi umat Islam melalui Habib Umar “.ketahuilah bahwa Ratib yang besar dan Hizib yang kokoh dan sumber yang murni ini, yaitu Ratib Habib Umar Al-Atthos terkandung didalamnya rahasia-rahasia dan Nur-Nur, manfaat yang besar, faedah-faedah yang luar biasa tinggi nilainya, dan tak dapat diperkirakan batas kekuatan pemeliharaanya.
Al-Habib Ali bin Hasan Al-Atthos mengatakan sepengetahuan kami Al-Habib Umar tidak ada sesuatu yang di tinggalkannya berupa bekas peninggalan ( seperti kitab atau masjid terkecuali Ratib ini ) maka dengan jelas Ratib ini diintisabkan kepada pribadinya langsung.
Minggu, 22 Maret 2009
SEJARAH HADRAMAUT YAMAN
1.KAUM AD (2000-1000 SM)
Hadhramaut wilayah yang sarat dengan nilai sejarah. Al-Quran menyebutnya dengan al-ahqaf lebih pada 17 tempat. Nabi Hud AS adalah Nabi pertama dari bangsa arab yang diutus kepada mereka. Negeri ini disebut negeri 'Ad pertama, "yang belum pernah dijadikan seumpamanya di negeri itu". (QS. al-Fajr : 8). Kaum Ad merupakan bangsa pertama yang menempati negeri subur di antara Yaman dan Oman ini. Menurut ahli sejarah, tidak ada bangsa lain yang menempati Hadhramaut sebelum kaum ‘Ad. Al-Qur'an menceritakan kaum ‘Ad sebagai kaum yang kuat dan perkasa. Namun karena mereka menolak ajakan Nabi Hud AS dan malah terus menyembah berhala, akhirnya mereka binasa. Sebagian yang mengikuti ajaran Nabi Hud AS (disebut ‘Ad kedua) selamat.
Kaum Ad, Tsamud dan Dinasti Qahthan berada dalam satu kurun. Di satu waktu, terjadi perang antara Ad dengan Tsamud. Dan pada waktu lain, terjadi perang antara Ad dengan Ya'rib Bin Qahthan yang lebih dikenal dengan sebutan Qahthan.
Tidak dapat diketahui secara pasti berapa lama Kaum ‘Ad bertahan di Hadhramaut. Sebagian ahli sejarah menyebutkan mereka bertahan di sana selama 1000 tahun. Sebagian lain mengatakan selama 2000 tahun. Ada pula yang menyebutkan 700 tahun. Konon, mereka berasal dari seorang ibu yang memiliki negeri besar mencakup Babilon, Asyur (Iraq), Mesir dan India, 22 abad sebelum Masehi.
Nabi yang diutus kala itu adalah Hud as yang wafat dan dimakamkan di daerah sebelah timur Hadhramaut, dekat Beir Barhut (sumur Barhut). Nabi Muhammad menyebut sumur itu sebagai tempat dilemparnya arwah orang-orang kafir. Orang orientalis menyebutkan, Beir Barhut adalah sebuah goa besar, dalam dan gelap. Tekstur dalamnya naik turun dan terputus-putus. Panjangnya sekitar 120 kaki, lebar 450 kaki dan kedalamannya 600 kaki.
Kehidupan pada masa kaum Ad sangat makmur. Berbekal kekayaan dari hasil pertanian yang subur, dilengkapi dengan keahlian mereka dalam merancang bangunan, mereka membangun rumah dan berhala sembahannya dari batu yang indah.
2. DINASTI QATHAN(10 – 18 Abad SM)
Qahthan adalah dinasti pertama setelah kaum ‘Ad. Semua bangsa arab Qahthan berasal dari keturunan dinasti ini. Diceritakan, dinasti ini berasal dari nama seseorang keturunan Nabi Nuh AS yang bernama lengkap Qahthan bin 'Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh AS. Salah satu anak keturunannya berjuluk Hadhramaut (kematian telah datang, red) karena setiap hadir perang, dari pihak musuh pasti banyak korban berjatuhan.
Menurut Imam al-Haddad, Hadhramaut adalah asal nama daerah di Mahra seperti Dei’ut dan Seihut. Selain nama itu, Hadhramaut dikenal dengan nama Abdal.
Selain Hadhramaut, masih banyak keturunan Qahthan, diantaranya Ya'rib bin Qahthan. Saudara tua Hadhramaut ini dikenal sebagai raja agung penguasa negeri Saba (Ma'rib sekarang). Dia melantik saudaranya, Hadhramaut, sebagai penguasa negeri antara Yaman dengan Oman yang kemudian dinamai dengan namanya.
Kekuasaan Dinasti Qahthan terus berlanjut di Hadhramaut hingga berabad-abad, sejak lebih dari 1000 tahun SM. Menurut sebagian ahli sejarah, kekuasaan mereka 18 abad SM sedangkan kaum ‘Ad 22 abad SM. Menurut versi Yunani, 20 lebih kerajaan dikuasai keturunan Qahthan. Diantaranya adalah kerajaan Hadhramaut, al-Ma'in dan al-Saba.
Ketiga kerajaan ini dikuasai keturunan Qahthan sampai masa Dinasti Himyar. Karena itu, dalam silsilah raja Hadhramaut, ada yang bernama Ma'in, dan di kerajaan Saba' ada yang bernama Hadhramaut. Begitu juga dengan dinasti Himyar. Ini berarti, dulu Hadhramaut terkadang independen, terkadang di bawah otoritas Saba', sesuai dengan kondisi politik saat itu. Namun yang pasti, penguasa semua negeri itu adalah keturunan Qahthan. Otoritas terakhir adalah dinasti Kindah, sampai kemudian datang ajaran Islam.
3. DINASTI MA`IN (1500 – 850 tahun SM)
Pada mulanya, Yaman terbagi menjadi beberapa negeri, termasuk di dalamnya Hadhramaut. Semua wilayah itu memiliki raja sendiri sampai kemudian terjadi perang antara mereka. Perang itu untuk memenuhi ambisi menguasai seluruh wilayah dan menjadikannya satu negeri besar dengan penguasa tunggal.
Negeri besar pertama di Yaman adalah negeri Ma'in yang terkenal dengan perdagangannya. Negeri yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Jauf ini berdiri sekitar 15 abad SM. Kekuasaannya meluas hingga ke luar Yaman, termasuk Hijaz (Saudi Arabia) dan sekitarnya.
4. DINASTI SABA`(850 – 115 tahun SM)
Dinasti ini terletak di Negeri Saba’ yang beribukota Ma'rib. Pada abad ke-9 SM, Saba’ berhasil mengalahkan dinasti Ma'in. Dinasti ini membangun bendungan Ma'rib yang menjadikan Saba’ sebagi pusat pertanian dan perdagangan kala itu. Dinasti ini bertahan dari tahun 850 hingga 115 SM.
5. Kehidupan Sosial di Masa Dinasti Qahthan
Kondisi sosial di masa Dinasti Qahthan sangat makmur. Hadhramaut saat itu sampai kepada puncak kemajuan di semua bidang, menjadi puncak keramaian, memiliki pasukan yang tangguh dan ekonomi yang maju. Wangi-wangian dan padupa sebagai andalan negara itu. Banyak pedagang yang berdagang ke negeri utara --Suriah dan sekitarnya-- membawa luban (sejenis kemenyan, red) dan wangi-wangian lainnya dari Qahthan. Dari utara, yang saat itu menjadi pusat perdagangan, mereka kembali membawa emas, perak dan makanan.
Hadhramaut sangat strategis, berada di tengah dua jalur menuju utara hingga Bahrain (teluk arab), Shur (Lebanon), jalur ke Arab selatan dekat laut merah dan padang pasir Najd, hingga Makkah. Hadhramaut kala itu disebut sebagai negeri luban.
6. Agama Yang Dianut pada Masa Dinasti Qahthan
Penduduk Hadhramaut kala itu menyembah berhala. Berhala yang paling terkenal adalah Sein yang diletakan di sebuah tempat peribadatan khusus bernama Sein dzu mudzab. Berhala ini sangat istimewa dan dipisahkan dari berhala lain. Disebutkan, mudzab adalah nama kota besar yang telah hancur yang sekarang dikenal dengan kota Khuraibeh Douan (saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Hadhramaut).
Konon, ada dua kalimat yang hingga kini masih terucap di kalangan masyarakat Khuraibeh, yaitu “yasin 'alaik” dan “ya haula ya haula.” Sebagian orang mengatakan kedua kalimat itu adalah nama dua berhala pada zaman dulu. Namun sebagian lain membantah pendapat itu dan mengatakan kedua kalimat itu adalah ayat pertama dari surat Yasin dan ucapan La Haula wala Quwwata illa Billah. Kalimat itu biasa diucapkan ketika hujan turun dan mengairi ladang pertanian.
Dari dua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa pada zaman itu sudah ada manusia yang beriman kepada Sang Pencipta. Diceritakan, negeri Mudzab memiliki pusat kota bernama Maefa'a, ibukota pertama dan kota peradaban yang hingga kini masih ada puing-puingnya, berupa bekas istana, tempat peribadatan, dan lainnya. Sekarang, yang masih nampak jelas adalah tulisan dan lukisan di daerah antara Maefa'a dan 'Izan.
Setelah itu, berdiri kota lain bernama Shabwa. Kota ini lebih besar dibanding kota-kota sebelumnya. Hal itu terbukti dengan peninggalannya yang luar biasa. Hadharim (etnis Hadhramaut) kala itu terkenal berwibawa dan ahli memanah. Satu diantaranya adalah Rasym yang salah satu keturunannya bernama 'Asyira (Syakim).
7. Dinasti Himyar (165 SM hingga 525 M)
Himyar salah satu daerah di negeri Saba’. Sebagian orang malah menyebutnya Saba’, bukan Himyar. Dinasti Himyar berdiri setelah Dinasti Saba’ sekitar 165 SM hingga 525 M. Ibu kotanya Dzafar. Orang-orang Habasyah (Afrika) pernah menyerang dan meruntuhkan Dinasti Himyar. Namun kemudian mereka diusir dan kekuasaan direbut kembali oleh keturunan Himyar. Pahlawan arab yang populer saat itu adalah Saif bin Dzi Yazin al-Himyari yang disokong Persia (Iran dan sekitarnya). Persia menguasai pemerintahan di Yaman, Hadhramaut, Iraq, dan Bahrain sampai era kedatangan Islam.
Raja-raja yang paling terkenal sebagai penguasa Hadhramaut kala itu adalah Syamar Yar'asy (dijuluki dengan nama Raja Saba dan Raja Dzi Raidan), raja Hadhramaut, dan Syarahbil bin Ya'fur bin Abi Karib As'ad yang menguasai Dinasti dzi Raidan, Hadhramaut, dan Yamanat (Yaman). Dialah raja yang membangun bendungan Ma'rib pada pertengahan abad kelima masehi.
8. Perdagangan
Hadharim punya andil besar dalam sejarah perdagangan Arab. Mereka menjalin hubungan dengan Roma, Yunani, Persia, China dan India. Hadhramaut memiliki kota pusat perdagangan dan memiliki pelabuhan penumpang dan barang yang datang dari India dan China. Semua komoditi perdagangan dibongkar muat di pelabuhan itu, kemudian diangkut ke Saba, Syam dan Iraq.
Padupa yang menjadi kekayaan alam produksi Hadhramaut termasuk salah satu yang diperhitungkan dalam perdagangan. Daerah pusat perdangan dan pelabuhan itu bernama al-Is'a (atau Shihr sekarang, 50 km dari Kota Mukalla). Selain itu, ada daerah lain pangkalan pedagang, seperti Shibam dan Syabwa. Ketiga daerah ini mengalami kemajuan pesat di dunia perdagangan yang tidak ada membandinginya kala itu.
II. HADRAMAUT SEBE;UM DAN SESUDAH ISLAM
1. Sebelum Islam (525 – 630 M)
Setelah runtuhnya Dinasti Himyar dan orang-orang Habsyah (Eritrea) mulai berkuasa di Yaman. Hadhramaut berada di bawah otoritas dua raja dari Dinasti Hadhramaut dan Kindah. Dari dua Dinasti ini, terlahir raja-raja bak jamur tumbuh subur dari tahta ketahta sampai datangnya Islam.
Ketika Islam datang, Hadhramaut masih tetap dikuasai oleh raja-raja dari kedua Dinasti tersebut. Diantara raja yang paling terkenal adalah Jamada, Masyraha, Makhusha dan Ratu 'Amrada. Disebut sebagai raja-raja, karena semua keturunannya memiliki kekuasaan sendiri-sendiri di daerah lembah. Mereka keturunan Amr bin Muawiyah bin Kindah, al-Asy'ats bin Qais yang memimpin kelompok Al-Harits bin Muawiyah, setelah pemerintahan bapaknya (raja Qais bin Ma'di Karib), Wail bin Hajr al-Hadhrami dari Dinasti Hadhramaut yang disebut oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengirim utusannya dengan sebutan Sayyidul Aqwal (pimpinan raja-raja), atau dikenal sebagai raja dari Kindah yang memiliki 17 gelar.
Kindah adalah keturunan Qahthan. Dia berasal dari Oman yang kemudian hijrah ke Hadhramaut dan bertemu dengan Dinasti Hadhramaut yang juga keturunan Qahthan, seperti Syarahil bin Murrah, Salamah bin Hajr dan raja-raja lain yang menguasai kota-kota di Hadhramaut, seperti Tarim dan lainnya.
Kedatangan Kindah membawa petaka bagi saudara-saudaranya sesama Dinasti Qahthan. Hingga sering terjadi perang sengit antara mereka dan selalu dimenangkan oleh Kindah yang kemudian berhasil menyatukan Hadhramaut.
Hadhramaut kala itu terbagi menjadi negeri-negeri kecil, yang disebut Mahafid. Itu sebutan untuk negeri-negeri di daerah lembah, seperti Shibam, Jardan, Dou'an, dan Syabwa. Sedangkan dari Kindah sendiri terdapat negeri bernama Sukun (Hadhramaut Tengah), Sakasik (Hadhramau Barat), Tujib di 'Andal, Hudun, Qasyaqisy, Dammun, Hajrain, Raidatuddin, dan lainnya.
Dinasti Hadhramaut menguasai beberapa daerah pantai dan bersekutu dengan Kindah dalam menguasai sebagian wilayahnya, seperti Syabwa dan al-Karr (antara Hajrain dengan Qatn sekarang). Selain dinasti di atas, masih banyak dinasti-dinasti lain, seperti Dinasti Mahra dan sebagainya.
2. Sesudah Islam
Setelah agama Islam datang dan menyebar ke seluruh kawasan Arab, Hadhramaut mengirimkan utusannya dalam jumlah besar ke Madinah al-Munawwarah. Ribuan kilo meter ditempuh untuk menemui Nabi Muhammad SAW dan bergabung dengan tentara Islam. Diantara utusan itu adalah kelompok dari Kindah yang dipimpin oleh Asy'ats bin Qais Al Kindy pada tahun 10 H. Mereka diterima dengan baik oleh Nabi SAW. Namun ada dua hal yang diperingatkan oleh Rasul. Pertama, mereka memakai pakaian sutra, sedang itu diharamkan dalam Islam. Kedua, mereka membanggakan keturunan dari Akil al-Murar.
Dihadapan Nabi SAW mereka dengan bangga mengatakan, “Kami adalah keturunan Akil al-Murar dan engkau juga keturunannya.” Mereka satu keturunan dari Ibu dengan Nabi SAW. Kedua hal ini dilarang oleh Nabi SAW. Mereka menurut dan langsung melepas kemudian merobek pakaian suteranya.
Hubungan suku Quraisy dan Kindah menjadi lebih dekat dengan terjalinnya perkawinan antara Asy'ats bin Qais dengan Umi Farwa binti Abu Quhafa (saudari Abu Bakar Assiddiq RA). Nabi SAW juga meminang Qatilah binti Qais (saudari Asy'ats). Namun Asy'ats meninggal sebelum Qatilah datang dari Hadhramaut.
Utusan-utusan lain dari Hadhramaut berbondong-bondong datang ke madinah al-Munawwarahm, seperti Qais bin Salamah al-Ju'fi dan Rabiah bin Murahhab al-Hadhrami.
Orang pertama yang diutus sebagai ‘tangan kanan’ Nabi SAW di Hadhramaut adalah Ziyad bin Lubaid al-Anshari al-Khazraji al-Bayadhi radliyallahu ‘anhu, salah satu pahlawan besar dari kalangan Sahabat. Dia menghabiskan waktunya di daerah Tarim dan Shibam sejak akhir masa Nabi SAW hingga permulaan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Sedang sahabat yang pertama kali berdakwah di Yaman adalah Mu'adz bib Jabal radliyallahu ‘anhu yang menempati daerah antara Sukun dan Kindah. Mu’adz dikenal sebagai sahabat agung yang pandai membaca dan bergaul. Kedalaman ilmu dan ketakwaannya membuat masyarakat berlomba-lomba belajar dan meriwayatkan hadits darinya. Begitu juga Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat yang berdakwah ke Hadhramaut.
Setelah Nabi SAW wafat, sebagian Hadharim murtad. Hingga banyak pula dari kalangan Hadharim sendiri yang tetap dalam Islam ikut berperang melawan temannya sendiri yang murtad.
Hadharim sangat berjasa dalam sejarah penyebaran Islam dan memperluas pemerintahan Islam. Tak sedikit dari mereka yang menjadi panglima perang dan menaklukan negeri asing, seperti Asy'ats bin Qais al-Kindy yang menaklukkan negeri Nahawand dan Azerbaijan.
Pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriyah, Hadhramaut telah menjalin hubungan dengan kota peradaban Islam pertama, Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Hadhramaut berbondong-bondong memeluk agama Islam dengan penuh rasa taat sesuai dengan nurani mereka yang cinta akan kebaikan dan kedamaian.
Hubungan mereka dengan Rasulullah SAW dan para sahabat terjalin saat Islam datang dan menyebar di Jazirah Arab. Kontak mereka dengan para sahabat meningkat saat perang riddah (memberantas orang-orang murtad). Yaitu ketika sebagian kelompok di Hadhramaut tidak menghiraukan utusan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bernama Ziyad Bin Lubaid. Mereka tidak mau membayar zakat, sebagaimana yang diwajibkan oleh Islam. Kemudian Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat. Pertempuran kedua kelompok tidak bisa dihindari, banyak korban tewas. Namun kemenangan berada di tangan para sahabat setelah 70 pasukannya syahid di medan perang.
Hubungan antara Hadharim dengan para sahabat pada periode pertama menyebarnya Islam memberi andil besar dalam penanaman keimanan, prinsip serta akhlaq islami. Mayoritas penduduk Hadhramaut belajar ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, dan hukum kepada para sahabat. Mereka juga banyak belajar tentang jihad.
Mereka bergabung dengan barisan tentara “al-Fath”. Dengan semangat membara, mereka pulang ke negerinya membawa kabar gembira akan agama baru yang kemudian diikuti oleh keluarga dan anak cucu mereka. Setelah itu, kabilah-kabilah Hadhramaut banyak yang hijrah ke Madinah dan tidak kembali ke negerinya. Demikian hijrah ke Madinah al-Munawwarah silih berganti.
Namun fenomena ini mendesakkan dampak negatif bagi Hadhramaut sendiri. Karena banyak Hadharim yang meninggalkan negeri asalnya, lama-kelamaan penduduk asli tanah kelahirannya tidak banyak tahu tentang ilmu pengetahuan. Semua orang ikut bergabung dengan pasukan Islam. Yang tinggal di Hadhramaut hanya orang-orang lemah dan tidak memiliki kepribadian.
Di antara faktor meluasnya kebodohan di Hadhramaut adalah tidak adanya perhatian dari pemerintah Bani Umayyah maupun Bani Abbas terhadap wilayah ini. Kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan keputusan melawan pemberontak di Hadhramaut. Pemberontakan itu sendiri terjadi karena berbagai problematika yang membelenggu rakyat berupa kedzaliman dan kehidupan yang sempit. Gerakan yang paling populer di kalangan rakyat Hadhramaut saat itu adalah gerakan yang dipimpin oleh Abdullah Bin Yahya al-Kindy (128 H) yang dijuluki Thalib al-Haq (penuntut kebenaran).
3. Munculnya Paham al-Ibadhiyah
Al-Ibadhiyah adalah salah satu paham Khawarij yang diambil dari nama pembesarnya, Abdullah Bin Ibadh. Dia pencetus pertama paham ini. Khawarij, golongan yang keluar dari kelompok Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah radliyallahu ‘anhu, terpecah menjadi 20 aliran dan yang paling dominan adalah al Ibadhiyah yang akhirnya juga terpecah menjadi 4 aliran.
Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Abdullah bin Yahya al-Kindy (wafat 130 H) yang bergelar Thalib al-Haq (sebagaimana disebutkan). Dia orang pertama yang menjadi imam panutan umat di kalangan Ibadhiyyin (pengikut aliran al-Ibadhiyah, red) di Hadhramaut. Dia pula yang mempelopori gerakan rovolusi melawan pemerintahan Bani Umayah, Marwan Bin Muhammad (129 H).
Setelah menguasai wilayah Hadhramaut dan menjadikan kota Shibam sebagai pusat kepemimpinannya, al-Kindy melebarkan sayap ke Sana'a dengan membawa 2000 pasukan khusus dan berhasil menguasainya. Lengkap sudah kekuasaan al-Kindy di Yaman. Namun ia belum puas, hingga berniat menambah kekuasaanya ke Hijaz (Makkah dan Madinah). Sampai di Makkah, tepat pada musim haji, lagi-lagi ia sukses. Seorang panglima perangnya, Abu Hamzah, berhasil menguasai Makkah dan melanjutkan jejaknya ke Madinah. Kota itu berhasil dikuasai setelah terjadi pertempuran sengit di daerah Qadid, dekat Madinah.
Keberhasilan menguasai Hijaz tidak membuat dirinya ‘ongkang-ongkang kaki’. Dia pun berencana mengirim pasukan untuk menyerang pemerintahan Umawiyah di Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya). Tapi sebelum pasukan al-Kindy menyerang, Marwan Bin Muhammad (pemegang tampuk pemerintahan Umawiyah) mengirim pasukan yang dikomandoi Abdul Malik bin Athiyah as-Sa'di dan berhasil mengalahkan pasukan al-Kindy.
Setelah pertempuran selesai, Abdul Malik pergi ke Sana'a untuk membunuh al-Kindy. Sampai di Sana'a, tepatnya di daerah Tubala, mereka bertemu dengan pasukan Al Kindy. Pertempuran pun terjadi. Untuk kedua kalinya, pasukan al-Kindy mengalami kekalahan. Al-Kindy sendiri terbunuh dalam pertempuran itu.
Sepeninggal al-Kindy, tampuk kekuasaan dipegang Abdullah bin Sa'id al-Hadhrami. Selain Abdullah bin Sa'id, ada tokoh al Ibadhiyah yang kharismatik pada akhir abad ke-2 H, yaitu Muhammad bin Amr bin Abdullah al-Haritsy al-Hadhrami yang berhasil membunuh Ma'n bin Za'idah asy-Syibani.
Pada awal hingga pertengahan abad ke-5 H, ada pula tokoh al Ibadhiyah yang sangat populer, bernama Abu Ishaq Ibrahim bin Qais bin Sulaiman al-Hamdani al-Hadhrami (454 H). Pada abad ke-6 H, aliran al-Ibadhiyah melegenda di bawah kepemimpinan keluarga an-Nu'man, keturunan Bani ad-Daghar (penguasa kota Shibam).
Yang sangat terkenal kala itu adalah Rasyid bin Ahmad bin an-Nu'man yang mati terbunuh ketika memimpin gerakan melawan kekuasaan Abdullah Bin Rasyid dari aliran Sunny (605 H).
4. Munculnya Sunni Asy'ariyah
Pada tahun 260 H, di kota Basrah Iraq lahir seorang anak bernama Ahmad bin Isa bin Muhammad dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya bernama Isa dan kakeknya bernama Ali bin Muhammad al-Uraidhi. Keduanya hijrah ke Madinah al-Munawarah dan wafat disana. Walaupun ditinggal ayah dan kakeknya, Ahmad bin Isa tetap tinggal di Kota Basrah Iraq hingga tumbuh dewasa.
Saat itu (255 H), kondisi Iraq secara umum sedang gonjang-ganjing. Kekuasaan dipegang oleh orang kulit hitam yang telah membawa banyak kerusakan dan malapetaka. Polemik ini lebih disebabkan karena panglima Ali bin Ahmad yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Kondisi seperti itu bertahan hingga pemerintahan Bani Abbas berhasil membunuhnya di tahun 270 H.
Stabilitas keamanan semakin tidak menentu setelah kekuasaan Bashrah dipegang oleh Abu Thahir al-Janabi (311 H). Dia melucuti senjata, menculik, menawan wanita dan merampas harta rakyat. Tragedi-tragedi yang menakutkan seperti ini terus menimpa kota Bashrah. Bani Alawiyyin (keluarga Ahmad bin Isa) tak luput dari siksa dan penderitaan yang berat itu, hingga pada puncaknya Ahmad Bin Isa memutuskan untuk hijrah.
Pada tahun 317 H, Ahmad bin Isa melakukan perjalanan hijrah pertama menuju Hijaz (Madinah al-Munawwarah). Ia ditemani anaknya, Ubaidillah dan cucunya, Bashri bin Ubaidillah. Sementara keluarganya yang lain, Muhammad, Ali dan Hasan, ditinggal di Bashrah dan menetap di sana hingga mempunyai keturunan yang turun temurun.
Setelah menetap di Madinah kurang lebih satu tahun, Ahmad bin Isa melanjutkan perjalanan ke Makkah (318 H). Kemudian ke Yaman dengan berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Ketika sampai di Hadhramaut, Ahmad bin Isa merasa cocok dan akhirnya menetap di sana.
Daerah pertama yang dijadikan tempat tinggal adalah Wadi (lembah) Doan yang penduduknya beraliran Syiah, meski mayoritas masyarakat Hadharamaut secara umum saat itu pengikut Ibadhiyah. Setelah beberapa lama tinggal di Do'an, ia berpindah ke daerah Hajrain, kemudian Qarah Bani Jusyair (sebuah desa dekat Bour), kemudiaan pindah lagi ke Khasisah dan membeli tanah yang kemudian diberi nama Shauh.
Ahmad bin Isa yang bergelar al-Muhajir (orang yang berhijrah, red) beraliran Sunni dan beraqidah Asy'ariyah. Ini jelas berbeda dengan Ibadhiyah. Perbedaan ini merupakan salah satu faktor kepindahannya dari satu tempat ke tempat lain. Konon, diantara kedua belah pihak sering terjadi perdebatan sengit. Adu argumen dan hujjah ini terus berlangsung sampai akhir hayat dan diteruskan oleh keturunanya (Bani Alawi), sampai aliran Ibadhiyah ini lenyap dengan sendirinya dari Hahramaut pada abad ke-7 H.
Al-Muhajir menetap di Hadhramaut selama 26 tahun. Ia dimakamkan di Khasisah (345 H). Keturunan dari al-Muhajir inilah yang disebut dengan sebutan Alawiyyin (Bani Alawi) di Hadhramaut, diambil dari nama kakeknya, Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Mula-mula, nama Alawiyyin digunakan untuk membedakan keturunan al-Muhajir dengan anak pamannya, Jadid bin Ubaidillah, yang saat itu, di Iraq, nama Alawiyyin identik orang yang fanatik dengan Ali bin Abu Thalib.
Demikian pengaruh dan dominasi keturunan al-Muhajir terus berkembang di Hadhramaut dan sekitarnya hingga berpengaruh pada kebudayaan, kehidupan sosial dan karakter penduduknya. Lewat pengajaran dan tuntunannya, mampu mencetak masyarakat yang madani, berbudi luhur dan berpendidikan. Tidak dapat dipungkiri jasa mereka di kancah politik untuk membela negeri Hadhramaut demi menciptakan kedamaian.
5. Dinasti Rasyidiyah (400-700 H)
Dinasti Rasyidiyah adalah keturunan Bani Qahthan, salah satu Dinasti Himyar. Mereka adalah anak-anak pamannya dari Bani Daghar yang dikalahkan oleh Dinasti Syibam. Silsilah nasab mereka bertemu dari Fahd bin al-Qail bin Ya'fur bin Murah bin Hadhramaut bin Saba al-Asghar. Hadhramaut di masa pemerintahan Rasyidiyah yang dipimpin Qahthan Bin al-Aum al-Himyari juga mengalami kemajuan pesat. Pusat pemerintahan berada di Tarim, lalu diteruskan oleh anaknya, Ahmad pada tahun 430 H. Kekuasaan ini terus berlangsung sampai abad ke-7 H. Pemerintahan Rasyidiyah bermazhab Sunni Syafii, berakidah Asy’ari. Karena itu, terjadi perbedaan dengan Mazhab Ibadhi yang masyhur saat itu. Orang yang paling populer adalah Abdullah bin Rasyid yang sekarang namanya dipakai untuk lembah di Hadhramaut, wadi Bin Rasyid.
Saat keturunan Rasyid memegang kekuasaan yang berpusat di Tarim, di daerah lain terdapat sejumlah pemerintahan sendiri. Seperti pemerintahan Bani Daghar di Syibam dan pemerintahan Alu Iqbal di Syihr yang disebut juga keluarga Faris. Saat itu, sering terjadi pertempuran melawan pasukan asing yang berusaha menguasai Hadhramaut.
Pada tahun 569 H, kelompok asing al-Ayyubiyyun (Turky) berhasil menguasai Hadhramaut dengan pimpinan Thauran Syah, saudara kandung Shalahudin al-Ayyubi. Ia mengirim pasukan untuk menguasai Hadhramaut pada tahun 575 H, dipimpin oleh panglima perang, Utsman al-Zanjabily. Mereka berhasil menguasai wilayah Syihr. Pemerintahan Rasyidiyah beserta dinasti-dinasti lain terus mengadakan perlawanan, namun selalu gagal.
Kekalahan yang menimpa dinasti-dinasti di Hadhramaut tidak mematahkan semangat untuk terus mengadakan perlawanan mengusir pasukan asing. Namun kondisi makin kacau, perampokan, penculikan dan penjarahan semakin merajalela saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Umar bin Mahdi al-Yamani yang mengusung akidah dari luar. Ia menginstruksikan penyerangan terhadap Dinasti An-Nahdliyah di Shibam yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari pasukannya sendiri (621 H).
Setelah Qabilah an-Nahdiyah dapat menguasai keadaan, semua tawanan Umar Bin Mahdi, dilepaskan dari penjara di Tarim. Termasuk keturunan Abdullah bin Rasyid yang kemudian bertolak ke Shihr dan tinggal di sana sampai akhir hayat. Demikianlah Hadhramaut saat itu, terus menerus dilanda perang dan perebutan kekuasaan yang tidak ada habisnya.
6. Awal Dinasti al-Katsiri
Al-Amir Salim Bin Idris Bin Muhammad Bin Ahmad al-Hubudzi bukan orang Hadhramaut. Dia lahir dan besar di Dhafar (Oman). Tapi kakeknya merupakan penduduk Hadhramaut. Kakeknya adalah salah satu punggawa dari kesultanan Muhammad Bin Ahmad al-Akhal, seorang Emir dari daerah Mirbath Oman wilayah pantai timur daerah Dhafar. Ia dipercaya menjalankan perdagangan sang sultan.
Ketika sultan wafat dan tidak ada yang menggantikannya, Muhammad al-Hubdzi maju untuk memegang tampuk pimpinan di daerah Dhafar. Setelah itu diteruskan oleh anaknya, Ahmad yang telah membangun daerah Dhafar hingga menjadi kota modern di tahun 650 H. Ahmad terkenal dermawan, sederhana dan berakhlak mulia.
Kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh keturunannya Muhammad bin Idris, kemudian Salim bin Idris. Salim inilah yang berambisi untuk menguasai seluruh daerah Hadhramaut. Ia lalu datang di Hadhramaut dan membeli tanah di Syibam tahun 673 H dan dijadikan sebagai pusat aktifitasnya. Ia memulai perang di sejumlah kota dan berhasil menduduki Seiyun, Damun, al-'Ajz al-Gheil. Namun kemudian ia gagal setelah Raja Tarim, Umar bin Mas'ud Yamani bersama pasukannya mengepung dan mengurungnya beberapa bulan, sampai akhirnya menyerah dan kembali ke Syibam, lalu pulang kenegerinya (Dhafar).
Keluarga al-Katsiri sejak akhir abad ke-6 H mempersiapkan diri untuk menguasai Hadhramaut dan membangun kekuasaan Dinasti al-Katsiri. Tapi saat al-Hubudzi datang ke Hadhramaut dari Dhafar, kekuasaan al-Katsiri diserahkan kepada al-Hubudzi. Dan saat al-Hubudzi pulang ke Dhafar, Al-Katsiri kembali menggantikan kekuasaanya dengan memakai nama al-Hubudzi (675 H). Pada tahun itu, pemimpin Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Katsir (disebut al-Katsiri Pertama), yang tengah bersiap-siap menguasai Hadhramaut wafat.
7. Akhir Dinasti al-Katsiri
Pernah suatu ketika, Raja al-Mudzaffar Yusuf bin Umar bin Rasul mengirim utusannya kepada Raja Persia untuk mengantarkan hadiah berharga melalui jalur laut. Di tengah jalan, utusan tersebut diterjang badai hingga terdampar di pantai Dzafar. Salim bin Idris al-Hubudzi, yang kebetulan menjadi raja Dzafar, menahan dan merampas perbekalan serta hadiahnya.
Raja Mudzaffar marah dan menganggap hasil rampasan itu akan digunakan untuk menyerang Aden. Maka sebelum terlambat, Raja al-Mudzaffar mengirimkan pasukan besarnya ke Dzafar. Dzafar digempur habis-habisan dari laut dan darat hingga semua al-Hubudzi terbunuh pada tahun 678 H.
Setelah kematian al-Hubudzi, al-Katsiri mulai menguasai semua kekuasaanya di Hadhramaut. Kekuasaan Al-Katiri ini berbeda dengan yang lain. Ia senang mendekati para pemuka agama hingga para ulama pun mendukung pemerintahannya. Salah satunya adalah Syekh Muhammad bin Umar Ba 'Abbad beserta putranya, Abdullah al-Qadim yang membangun kota Ghurfah di tahun 701 H.
Hubungan al-Katsiri dengan Alawiyyin yang disegani kala itu, sangat baik. Hal itu menjadikan kekuasaannya meluas ke seluruh daerah Hadhramaut. Hanya satu daerah yang tidak bisa dikuasai, yaitu daerah Bur yang diduduki oleh Qabilah Ali Banjar yang menolak pemerintahan Al-Katsiri. Namun akhirnya Bur dapat dikuasai setelah berhasil mengalahkan dan menghancurkan kekuasaannya di tahun 723 H.
Akhir abad ke-8 H, semua daerah menjadi kekuasaan al-Katsiri. Pada tahun 814 H, salah satu keluarga Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Ja'far bin Badr bin Muhammad bin Ali bin Katsir pergi meninggalkan Bur. Ia bergerilya ke segala penjuru Hadhramaut sampai berhasil menguasai daerah Dzafar. Mulai saat itu, dia mendapat gelar Sultan. Dialah orang al-Katsiri pertama yang mendapatkan gelar itu.
Ia wafat setelah menguasai Syibam, Dzafar dan hampir seluruh wilayah Hadhramaut. Dzafar berada di bawah kekuasaan al-Katsiri hingga dinasti kerajaannya tidak memiliki pengaruh lagi di tahun 1130 H.
8. Dinasti Badujanah dan Sultan Badr Abu Thuwairiq
Sejarah telah mencatat, Kota Syihr sering mengalami pergantian pemerintahan. Pernah suatu kali independen, terkadang juga di bawah otoritas raja-raja Yaman. Bahkan yang unik, kota ini pernah menjadi ibu kota dan di lain waktu menjadi kota biasa.
Penguasa pertama Syihr adalah al-Amir Said bin Mubarak bin Faris Badujanah al-Kindi (keturunan bani Kindah). Ia berkuasa pada paruh awal abad ke-9 Hijriah. Ia dikenal tegas, pemurah, berwibawa, adil dan bijaksana. Setelah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya, Muhammad yang mewarisi sifat sang ayah. Ibunya berasal dari keluarga besar Ma'asyir yang nota bene dikenal dengan kecerdasan, cerdas dan pakar dalam berpolitik.
Sementara itu, Dinasti al Rasul yang kokoh di Yaman dan Hadhramaut telah terhempas dari peredaran, direposisi kemudian oleh Dinasti Al Thahir yang telah menduduki Aden, dataran rendah di Yaman, dan Kota Taiz.
Aden saat itu mengalami ketidakstabilan politik. Ditambah lagi dengan perang yang berkecamuk antara Bani al Kald dan Bani al Ahmad, keduanya dari Bani Yafi'. Hal ini memaksa Al Kald untuk berlindung ke Syihr dan memotivasi Amir Badujanah untuk menduduki Syihr sambil menjanjikan bantuan. Ibunda Amir tidak setuju dengan rencana ini. Namun saying, Amir tidak menggubris nasehatnya.
Saat ia hampir sampai di pesisir Aden, tiba-tiba angin kencang datang. Akibatnya, kapal-kapal pasukan maritim ikut tenggelam. Amir selamat dari bencana itu, tapi ia tertangkap di sana (tahun 862 H). Saat berita itu sampai ke telinga ibunya, ia bergegas menuju Aden dan meminta Sultan Amir untuk membebaskan putranya, dengan syarat penyerahan kekuasaan Syihr ke tangan al Thahir.
Sebagian sumber sejarah mengatakan, Sultan Amir menduduki Syihr tahun 865 H. Sementara Badujanah melarikan diri ke desa Hayrey, Mahrah.
Tatkala Sultan Badr bin Muhammad bin Abdullah al-Katsiri mengetahui kabar keberhasilan al Thahir menduduki Syihr, ia mengirim surat persahabatan sekaligus perjanjian (867 H.). Lalu ia memasuki Syihr sebagai penguasa. Itulah awal mula al Katsiri bercokol di Syihr.
Pada tahun 883 H, al Dujanah berhasil merebut kembali Syihr dan mengusir al-Katsiri. Sultan Badr lari menuju Hadhramaut, tepatnya di kota Syibam yang merupakan sentral kerajaan al-Katsiri saat itu.
Al-Dujanah seterusnya menguasai Syihr sampai awal abad 10 H. Peperangan silih berganti terjadi dan akhirnya dimenangkan oleh Sultan Dja'far bin Abdullah bin Ali al-Katsiri tahun 901 H. Ia menggabungkan Syihr dalam kerajaan al-Katsiri.
Diantara pemuka di kerajaan al-Katsiri adalah Sultan Badr bin Abdullah bin Ja'far al-Katsiri yang bergelar Abu Thuwairiq. Ia dianggap Sultan pertama yang berhasil mempersatukan Hadhramaut sampai ujung perbatasannya.
Abu Thuwairiq membangun militernya dari etnis selain Hadhramaut. Mulai dari Turki, Bani Yafi', budak-budak Afrika, kabilah-kabilah Zaidiyah Yaman dan lainnya. Tujuannya adalah menenangkan mereka sekaligus menumbuhkan loyalitas. Siasat politik ini sangat berpengaruh guna menjaga stabilitas keamanan.
Kekuasaan Abu Thuwairiq melebur dari Awaliq bagian barat manuju Sayhut bagian timur, dari pesisir selatan menuju padang pasir al-Ahqaf bagian utara. Bani Abdul Wahid dan Awaliq juga berikrar tunduk kepadanya.
Pada tahun 937 H, ia menginstruksikan agar namanya dicetak dalam uang perak negara nominal satu riyal setengah dan seperempat. Di tahun 942 H, ia kembali mencetak dengan nama Qisyah. Perhatiannya pada sisi keilmuan juga patut diacungi jempol.
Diantara aktivitas kemiliterannya adalah blokade terhadap Syibam yang saat itu dikuasai Al Muhammad. Tarim juga sempat dikepung 20 hari sampai penguasa Tarim saat itu, Muhammad bin Muhammad bin Ja'far, menyatakan menyerah beserta al-Yamani. Al Amir lalu mengusir mereka tanpa terkecuali, hanya saja budak-budak keluarga Yamani dibiarkan tetap di Tarim. Dengan demikian tercatat Dinasti Al-Katsiri adalah yang pertama menguasai Tarim. Di bulan yang sama, ia menguasai Haynan.
Begitulah perjalanan politiknya, hingga pada akhirnya ia menguasai semua kawasan Hadhramaut dari ujung sampai ujung lainnya.
Perlu dicatat, di abad ke-10 itu juga Hadhramaut mengalami masa yang kaya ulama dan sastrawan. Ulama saat itu betul-betul memperoleh penghormatan, meski ada beberapa gonjang-ganjing politik yang membuat Abu Thuwairiq bersikap antipati terhadap ulama. Syekh Ma'ruf Ba Jammal misalnya, seorang sosok ulama yang dikenal shalih, sempat dituduh mendukung salah satu pembangkang dari sepupunya. Ia ditangkap dan diarak dengan cara tidak layak, sambil digantungkan di lehernya seutas tali dengan diikuti yel-yel "Ini adalah sesembahanmu, hai rakyat Syibam". Ulama itu lalu diisolir ke Dau'an.
Tahun 929 H, Portugal datang menyerang Syihr. Tapi penduduk setempat melawan dengan gigih. Para syuhada banyak berguguran. Sampai saat ini, di sana terdapat makam ‘tujuh syuhada’, tepatnya di desa Aql Bagharib. Pertempuran terus berkecamuk, hingga akhirnya Portugal hengkang menuju India.
Tapi tahun 942 H, Portugal kembali mencoba menduduki Syihr. Abu Thuwairiq mengobarkan semangat perlawanan hingga menyebabkan Portugal kewalahan. Pertempuran berlangsung terus menerus baik di darat maupun di laut. Tentara Abu Thuwairiq benar-benar gigih berperang. Hingga di hari kedua, Portugal kalah telak. Koban bergelimpangan di jalanan. Perahu-perahu mereka dirampas berikut penangkapan para nakodanya. Pasukan Portugal menyatakan menyerah dan memohon aman. Abu Thuwairiq memberikan jaminan keamanan pada mereka, termasuk kapten kapal. Tawanan perang ini berjumlah 70 orang. Abu Thuwairiq membaginya untuk masing-masing kompi pasukannya, sepuluh untuk para komandan, sepuluh untuk tentara Zaidiyah, sepuluh untuk Bani Yafi' dan sepuluh untuk para budak. Abu Thuwairiq berhasil menguasai kapal, uang, harta dan budak.
Setelah itu, ada rombongan Portugal lagi yang datang. Mereka membawa harta kekayaan dari Afrika timur. Abu Thuwairiq menangkap mereka untuk menyusul teman-temannya yang sudah tertawan. Ia lalu menghadiahkan 35 tawanan untuk Sultan Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Istanbul Turki. Sebelas tawanan untuk saudaranya, Muhammad, yang menjabat gubernur Dzifar. Dan membawa 30 tawanan ke pedalaman Hadhramaut saat musim panas di tahun 942 H.
Perang melawan Portugal yang terjadi berulang-ulang, kemudian berdamai setelah perang, atau berperang yang diakhiri damai, membuat Badr memiliki banyak tawanan Eropa. Hingga suatu saat, Badr mencium gelagat pembangkangan sebagian orang Portugal. Ia menginstruksikan agar mereka semua dibunuh tanpa sisa. Ia lalu mengirim kepala-kepala mereka ke Raja Turki saat itu, Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Ternyata, beberapa bangsawan al-Katsiri merasa tidak senang dengan sikap Abu Thuwairiq yang diktator dan menyerahkan urusan-urusan penting kenegaraan kepada pihak selain keluarga al-Katsiri.
Dimulai oleh Ali bin Umar Al Katsiri di Syibam. Ia menyatakan lepas dari Abu Thuwairiq dan memproklamirkan pembangkangannya. Ia dibantu oleh orang-orang berpengaruh Hadhramaut saat itu, diantaranya Syekh Ma'ruf Ba Jammal. Mendengar berita itu, Badr menyerang Syibam dan berhasil menguasainya (958 H). Ali bin Umar al-Katsiri ditahan di penjara Muraymah yang kemudian menjadi penjara bangsawan al-Katsiri yang membangkang.
Di Haynan, Amir Muhammad bin Badr bin Muhammad juga melakukan pergolakan dan akhirnya ikut mendekam di penjara Muraymah. Tidak ketinggalan Muhammad, saudaranya sendiri. Peperangan antara mereka berdua menjadi sebuah rivalitas yang akhirnya Amir Muhammad hanya berhasil menduduki Syihr sampai ajal menjemputnya.
Pergolakan demi pergolakan datang silih berganti, sampai-sampai putranya sendiri yang bernama Abdullah ikut ditangkap dan ditahan di penjara Muraymah pada bulan Shafar 976 H. Ketika sakit keras menimpa, ia kembali ke Seiyun sampai kematian menjemput di tahun 977 H. Setelah perjuangan panjang, ia berhasil menjadikan Seiyun sebagai ibu kota. Kuasa dan hukum al-Katsiri di Seiyun dan beberapa desa di lembah Hadhramaut bertahan sampai munculnya revolusi dan kemerdekaan tahun 1967 M.
9. Umar bin Awadh bin Abdullah al-Quaithi al-Yafi'i
Umar lahir di abad 12 Hijriah, di daerah Lahrum, kawasan Andal. Imru'ul Qois, seorang penyair arab kawakan yang sajaknya banyak dikutib kitab-kitab klasik, dalam gubahan syairnya mengatakan:
Sepertinya aku tak pernah begadang di Dammun meski sekali
Dan tak pernah menyaksikan pertempuran satu hari pun di Andal
Ayah Umar selalu pulang pergi antara Lahrum dan Syibam. Oleh karena itu, ketika sang ayah meninggal, Umar beserta ibunya yang memiliki pengaruh besar dalam pendidikannya, pindah ke Syibam. Di sana ia belajar baca tulis, berhitung, dan dasar-dasar ilmu agama. Kecerdasan dan kepiawaiannya sudah tampak sejak kecil.
Pada tahun 1207, saat krisis ekonomi menimpa keluarganya, untuk mencukupi keperluan hidup --sebab sang ayah tak meninggalkan kekayaan sepeserpun-- ia berimigrasi ke India, negara favorit yang selalu dituju para imigran asal Hadhramaut saat itu. Ia lalu bergabung dengan pasukan Raja Nakbur. Ia lihai di bidang militer dan kepemimpinan. Tapi di saat ia menjabat sebagai komandan militer, sering terjadi insiden-insiden yang kemudian memaksanya untuk hengkang menuju Haidar Abad.
Raja Haidar Abad, yang sudah mendengar perihal Umar, menawarinya untuk mengepalai satu peleton dari pasukan militernya. Umar pun tak ragu menerimanya. Mulai saat itu, ia diberi gelar "Nuwab Jan Natsar Jank", sebuah gelar penghormatan di India. Ia dengan penuh keseriusan menjalankan tugas yang diembannya. Allah SWT menganugrahinya lima orang putra; Muhammad, Abdullah, Sholeh, Awadh dan Ali.
Kabilah Yafi' di Hadhramaut saat itu banyak mengalami tekanan dari beberapa infasi militer yang bertujuan mencabut kekuasaan mereka dari tanah Hadhramaut. Geliat pemberontakan itu dipimpin Manshur bin Umar dari keluarga Isa bin Badr dan Gholib bin Muhsin al-Katsiri. Manshur berhasil menanam benih perpecahan dan fitnah di antara kabilah-kabilah yang ada di Syibam. Ia mulai mengobarkan api permusuhan, sehingga berhasil mengusir Kabilah Bani Yafi’ dari Syibam tanggal 27 Ramadhan 1255 H.
Setelah adu kekuatan berdarah, tidak ada yang selamat kecuali beberapa gelintir pasukan garnisum Yafi' di Syibam. Harta dan rumah mereka pun dirampas. Tidak cukup itu, ia juga memblokade kerabat dari pihak ibu bani Yafi', yaitu keluarga Ali Jabir Bakhsyamir. Bahkan mereka mengirim orang untuk berbuat onar di Qathn. Di sana, mereka meledakkan rumah Bin Ma'mar al-Khallaqi dengan batu dan membunuh orang yang ada di dalamnya, diantaranya dua bibi Umar bin Awadh al-Quaithi.
Sedangkan di timur lembah, Ghalib bin Muhsin juga berupaya merebut kekuasaan Yafi' di Tarim, Seiyun dan desa sekitarnya.
Silih berganti kabar menyedihkan ini terdengar di telinga Umar bin Awadh di India. Ia memikirkan cara untuk menyelamatkan kerabatnya. Ia memulainya dengan cara membeli tempat sebagai markas, yaitu tanah "Raydhah" milik keluarga al-Aydrus, yang selanjutnya ia bangun di sana benteng-benteng kokoh di tahun 1255 H.
Pada tahun 1258 H, saat utusan bani Yafi' datang ke India untuk meminta tolong padanya, Umar mengutus anaknya, Muhammad, agar menetap di Raydhah sekaligus membeli alat-alat perlengkapan perang, lalu mengajak tentara bani Yafi' untuk berjuang bersama.
Langkah awal adalah mengembargo keluarga Ali Jabir dan merebut beberapa benteng milik Mansur bin Umar di sekitar Kushamir. Begitu pula benteng-benteng al-Aqqad yang lokasinya dekat dengan Syibam. Kemudian mereka mengusir paksa keluarga Katsiri dari Hadziyeh, salah satu kota di Qathen yang klasik dan historik.
Mereka juga membuat penjagaan ketat di desa Khumur, setelah terlebih dulu mengusir peduduknya yang nota bene masih kerabat keluarga Katsiri. Semua ini sebagai terobosan perdana untuk menyerang Syibam. Setelah al-Quaithi merasakan stabilitas Qothen, ia mulai mencari sekutu dari kabilah lain. Di antaranya keluarga Abdul Aziz di Suwayri, timur Tarim, juga dengan kepala kabilah keluarga bani Tamim, Ahmad bin Abdullah at-Tamimi. Berkat langkah ini, mayoritas keluarga Tamim yang berdomosili di kawasan timur menjadi sekutu al-Quaithi. Kemudian mereka menjadikan Suwayri sebagai pusat penyerangan terhadap al-Katsiri dari belakang.
Langkah selanjutnya, mereka mengadakan perjanjian dengan kepala tertinggi Bani Nahd, Tsabit bin Abdurrahman an-Nahdi, Raja Ma'rib Syarif Abdurrahman al-Khalidi, Raja Darriyah di Najd Muhammad bin Husein bin Qumla dan Sultan Awaliq Awadh bin Abdullah al-Aulaqi. Dengan begitu, tersebarlah propaganda kerajaan Quaithi baru sampai ke ujung Najd Yaman. Demikianlah, Umar bin Awadh terus berupaya memperkuat kekuasaannya dan bersiap diri menghantam Syibam dengan cara bersekutu dengan keluarga besar Hudzeil al-Katsiri, yang kebetulan tinggal di Dhahirah, kawasan Syibam. Lokasi itu sekaligus dijadikan sebagai pangkalan perang.
Markaz di Syibam ini diserang tahun 1279 H dari arah utara yang disebut daerah Syuwairi', hingga nyaris roboh. Melihat realita itu, al-Quaithi memutuskan untuk menangguhkan serangan atas Syibam. Ia memerintahkan tentaranya untuk merobohkan pos-pos mereka dan mengevakuasi penduduk Syuwairi' yang asalnya tinggal di Syibam menuju Raydhah Qathen. Diantaranya adalah kabilah al-Syuaib, al-Mu'allim, al-Birrahiah dan lainnya. Ia juga memberikan bantuan materi untuk mereka dan berjanji akan kembali ke Syibam dalam waktu dekat.
Al-Quaithi masih bertekad bulat membersihkan kawasan Syibam dari sisa-sisa al-Katsiri. Karena itu ia mulai menduduki Khamir tahun 1273 H. Ia menyerang benteng Sa'adiyah Bazraq dan ar-Rahz. Tiga-tiganya adalah benteng penting kota. Ia berhasil menguasainya setelah melakoni pertempuran sengit di tahun 1274 H.
Manshur bin Umar merasa posisinya berada dalam bahaya. Ia meminta gencatan senjata dengan memberi syarat pembagian Syibam mejadi dua bagian. Dengan begitu, al-Quaithi berhasil menduduki Syibam di awal Muharam 1275 H. Dilanjutkan dengan penculikan Mansur bin Umar di tahun yang sama, sehingga Syibam mampu dikuasai secara penuh.
Namun di tahun yang sama, tepatnya di bulan Dzul Hijjah, al-Katsiri kembali berambisi merebut Syibam. Tak ayal lagi, pertempuran sengit terjadi di kawasan al-Karan dan Jarab Hasyam sebelah barat Syibam. Namun mereka tidak berhasil.
Al-Quaithi lalu membeli kota Hurah dari keluarga Umar bin Ja'far, keluarga besar Isa bin Badr al-Katsiri. Dengan langkah ini, Hurah menjelma menjadi kota kedua setelah Syibam yang berhasil dikuasainya. Pusat-pusat kota yang penting sama sekali tidak dikuasai Kabilah al-Katsiri, kecuali Sahil bin Mahri yang terletak di sebelah selatan Syibam.
Mereka terus menerus mempertahankan kota itu, hingga terjadi peperangan demi peperangan selama 4 tahun dan baru berakhir dengan penyerahan Sahil beserta benteng-bentengnya kepada al-Quaithi di tahun 1281 H. Sebagai gantinya, al-Quaithi membayar 10,000 Riyal sebagai tebusan harta kekayaan Al Mahri di Sahil, Masilah, dataran tinggi Sabbalah, yang semuanya di bawah kuasa al-Quaithi.
Di bulan Shafar 1282 H, al-Jama'dar Umar bin Awadh al-Quaithi, pelopor Dinasti Quaithi, meninggal dunia di Haidar Abad. Ia berwasiat agar kuasa hukum sepeninggalnya diserahkan kepada tiga orang putranya Abdullah, Awadh dan Sholeh dan berpesan kepada Muhammad dan Ali, dua putranya yang lain agar tunduk kepada mereka bertiga.
Dengan begitu, Dinasti Quaithi terus berkesinambungan dalam perluasan pemerintahan di masa al-Jama'dar Awadh bin Umar orang yang bergelar Sultan pertama kali sesuai keputusan pemerintah India tahun 1902.
Syihr Yaman dapat dikuasai di bulan Dzul Hijjah 1283 H, begitu pula Syuhair. Kemudian di tahun 1292 H, Ghail ikut diduduki. Akibatnya keluarga Umar Ba'mar, para penguasa setempat, melarikan diri. Sebelumnya, di tahun 1287 H, Kota Hami Mukalla juga berhasil diduduki. Demikian juga Bagasywan, Qren, Dies, lalu Qushair, dapat ditaklukkan pada tahun 1288 H. Dengan perluasan ini, semua pelabuhan timur Yaman di bawah kuasa hukum al-Quaithi.
Di lain tempat, Naqieb (ketua, pen) Sholah bin Muhammad al-Kasadi yang saat itu memerintah Mukalla memiliki banyak hutang kepada al-Quaithi untuk biaya operasional salah satu infasi militernya. Setelah ia wafat, al-Quaithi menuntut Umar bin Sholah selaku anaknya agar melunasi hutang itu. Sengketa terjadi antara kedua kerajaan dan berakhir dengan diserahkannya setengah dari Mukalla, Brum dan Harsyiyyet, untuk al-Quaithi. Tapi sengketa bertambah memanas. Sampai akhirnya Inggris ikut campur dalam penyelesaian masalah ini dan memaksa al-Kasadi agar meninggalkan Mukalla menuju Zanjibar bulan Nofember 1881 M.
Begitulah ceritanya, hingga akhirnya pelabuhan-pelabuhan penting Hadhramaut berada di bawah kuasa al-Quaithi. Begitu pula kawasan bagian dalam yang meliputi Syibam, Qathen, dan Hinah.
Tanggal 13 Februari 1881 M. bertepatan dengan Jumadil Tsani 1305 H, al-Quaithi menandatangani perjanjian protektorat dengan Inggris. Tahun 1317 H, al-Quaithi berhasil meduduki Desa Khureibeh Dau'an.
Tahun 1318 H, al-Quaithi mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah Hajar dan selanjutnya mampu menguasai seluruh lembah.
Tahun 1325 H/1909 M, Sultan Awadh al-Quaithi meninggal dunia. Posisinya diganti oleh Ghalib, putranya yang wafat tahun 1340 H./1922 M. Dilanjutkan kemudian oleh Umar yang wafat tahun 1354 H. Lalu dilanjutkan oleh Shaleh bin Ghalib dan terus berkuasa sampai Revolusi Yaman selatan meletus.
Begitu pula dengan dinasti al-Katsiri di Seiyun, Tarim dan sekitarnya, serta kawasan Kabilah Abd Aziz di sebelah Syibam, sampai Yaman Selatan merdeka dari cengkraman kolonial Inggris. Setelah merdeka, Yaman Selatan bersatu dan kerajaan-kerajaan yang terpencar-pencar menyatu menjadi Republik Yaman Selatan Nasional.
Tapi kepedihan rakyat Yaman selatan secara umum dan Hadhramaut pada khususnya masih belum reda saat pemerintah sosialis selama lebih dari 30 tahun memerintah. Ketika konflik internal dalam waktu yang cukup lama terus menerus membuncah, terkadang dengan dalih merampas sekte oportunis kiri, terkadang pula atas nama sekte oportunis kanan, begitulah seterusnya sampai Yaman secara keseluruhan bersatu di bawah bendera Republik Yaman (al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah). Dan Hadhramaut menjadi salah satu provinsi di negara itu
Hadhramaut wilayah yang sarat dengan nilai sejarah. Al-Quran menyebutnya dengan al-ahqaf lebih pada 17 tempat. Nabi Hud AS adalah Nabi pertama dari bangsa arab yang diutus kepada mereka. Negeri ini disebut negeri 'Ad pertama, "yang belum pernah dijadikan seumpamanya di negeri itu". (QS. al-Fajr : 8). Kaum Ad merupakan bangsa pertama yang menempati negeri subur di antara Yaman dan Oman ini. Menurut ahli sejarah, tidak ada bangsa lain yang menempati Hadhramaut sebelum kaum ‘Ad. Al-Qur'an menceritakan kaum ‘Ad sebagai kaum yang kuat dan perkasa. Namun karena mereka menolak ajakan Nabi Hud AS dan malah terus menyembah berhala, akhirnya mereka binasa. Sebagian yang mengikuti ajaran Nabi Hud AS (disebut ‘Ad kedua) selamat.
Kaum Ad, Tsamud dan Dinasti Qahthan berada dalam satu kurun. Di satu waktu, terjadi perang antara Ad dengan Tsamud. Dan pada waktu lain, terjadi perang antara Ad dengan Ya'rib Bin Qahthan yang lebih dikenal dengan sebutan Qahthan.
Tidak dapat diketahui secara pasti berapa lama Kaum ‘Ad bertahan di Hadhramaut. Sebagian ahli sejarah menyebutkan mereka bertahan di sana selama 1000 tahun. Sebagian lain mengatakan selama 2000 tahun. Ada pula yang menyebutkan 700 tahun. Konon, mereka berasal dari seorang ibu yang memiliki negeri besar mencakup Babilon, Asyur (Iraq), Mesir dan India, 22 abad sebelum Masehi.
Nabi yang diutus kala itu adalah Hud as yang wafat dan dimakamkan di daerah sebelah timur Hadhramaut, dekat Beir Barhut (sumur Barhut). Nabi Muhammad menyebut sumur itu sebagai tempat dilemparnya arwah orang-orang kafir. Orang orientalis menyebutkan, Beir Barhut adalah sebuah goa besar, dalam dan gelap. Tekstur dalamnya naik turun dan terputus-putus. Panjangnya sekitar 120 kaki, lebar 450 kaki dan kedalamannya 600 kaki.
Kehidupan pada masa kaum Ad sangat makmur. Berbekal kekayaan dari hasil pertanian yang subur, dilengkapi dengan keahlian mereka dalam merancang bangunan, mereka membangun rumah dan berhala sembahannya dari batu yang indah.
2. DINASTI QATHAN(10 – 18 Abad SM)
Qahthan adalah dinasti pertama setelah kaum ‘Ad. Semua bangsa arab Qahthan berasal dari keturunan dinasti ini. Diceritakan, dinasti ini berasal dari nama seseorang keturunan Nabi Nuh AS yang bernama lengkap Qahthan bin 'Abir bin Syalekh bin Arfakhsyad bin Sam bin Nuh AS. Salah satu anak keturunannya berjuluk Hadhramaut (kematian telah datang, red) karena setiap hadir perang, dari pihak musuh pasti banyak korban berjatuhan.
Menurut Imam al-Haddad, Hadhramaut adalah asal nama daerah di Mahra seperti Dei’ut dan Seihut. Selain nama itu, Hadhramaut dikenal dengan nama Abdal.
Selain Hadhramaut, masih banyak keturunan Qahthan, diantaranya Ya'rib bin Qahthan. Saudara tua Hadhramaut ini dikenal sebagai raja agung penguasa negeri Saba (Ma'rib sekarang). Dia melantik saudaranya, Hadhramaut, sebagai penguasa negeri antara Yaman dengan Oman yang kemudian dinamai dengan namanya.
Kekuasaan Dinasti Qahthan terus berlanjut di Hadhramaut hingga berabad-abad, sejak lebih dari 1000 tahun SM. Menurut sebagian ahli sejarah, kekuasaan mereka 18 abad SM sedangkan kaum ‘Ad 22 abad SM. Menurut versi Yunani, 20 lebih kerajaan dikuasai keturunan Qahthan. Diantaranya adalah kerajaan Hadhramaut, al-Ma'in dan al-Saba.
Ketiga kerajaan ini dikuasai keturunan Qahthan sampai masa Dinasti Himyar. Karena itu, dalam silsilah raja Hadhramaut, ada yang bernama Ma'in, dan di kerajaan Saba' ada yang bernama Hadhramaut. Begitu juga dengan dinasti Himyar. Ini berarti, dulu Hadhramaut terkadang independen, terkadang di bawah otoritas Saba', sesuai dengan kondisi politik saat itu. Namun yang pasti, penguasa semua negeri itu adalah keturunan Qahthan. Otoritas terakhir adalah dinasti Kindah, sampai kemudian datang ajaran Islam.
3. DINASTI MA`IN (1500 – 850 tahun SM)
Pada mulanya, Yaman terbagi menjadi beberapa negeri, termasuk di dalamnya Hadhramaut. Semua wilayah itu memiliki raja sendiri sampai kemudian terjadi perang antara mereka. Perang itu untuk memenuhi ambisi menguasai seluruh wilayah dan menjadikannya satu negeri besar dengan penguasa tunggal.
Negeri besar pertama di Yaman adalah negeri Ma'in yang terkenal dengan perdagangannya. Negeri yang saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Jauf ini berdiri sekitar 15 abad SM. Kekuasaannya meluas hingga ke luar Yaman, termasuk Hijaz (Saudi Arabia) dan sekitarnya.
4. DINASTI SABA`(850 – 115 tahun SM)
Dinasti ini terletak di Negeri Saba’ yang beribukota Ma'rib. Pada abad ke-9 SM, Saba’ berhasil mengalahkan dinasti Ma'in. Dinasti ini membangun bendungan Ma'rib yang menjadikan Saba’ sebagi pusat pertanian dan perdagangan kala itu. Dinasti ini bertahan dari tahun 850 hingga 115 SM.
5. Kehidupan Sosial di Masa Dinasti Qahthan
Kondisi sosial di masa Dinasti Qahthan sangat makmur. Hadhramaut saat itu sampai kepada puncak kemajuan di semua bidang, menjadi puncak keramaian, memiliki pasukan yang tangguh dan ekonomi yang maju. Wangi-wangian dan padupa sebagai andalan negara itu. Banyak pedagang yang berdagang ke negeri utara --Suriah dan sekitarnya-- membawa luban (sejenis kemenyan, red) dan wangi-wangian lainnya dari Qahthan. Dari utara, yang saat itu menjadi pusat perdagangan, mereka kembali membawa emas, perak dan makanan.
Hadhramaut sangat strategis, berada di tengah dua jalur menuju utara hingga Bahrain (teluk arab), Shur (Lebanon), jalur ke Arab selatan dekat laut merah dan padang pasir Najd, hingga Makkah. Hadhramaut kala itu disebut sebagai negeri luban.
6. Agama Yang Dianut pada Masa Dinasti Qahthan
Penduduk Hadhramaut kala itu menyembah berhala. Berhala yang paling terkenal adalah Sein yang diletakan di sebuah tempat peribadatan khusus bernama Sein dzu mudzab. Berhala ini sangat istimewa dan dipisahkan dari berhala lain. Disebutkan, mudzab adalah nama kota besar yang telah hancur yang sekarang dikenal dengan kota Khuraibeh Douan (saat ini masuk dalam wilayah Provinsi Hadhramaut).
Konon, ada dua kalimat yang hingga kini masih terucap di kalangan masyarakat Khuraibeh, yaitu “yasin 'alaik” dan “ya haula ya haula.” Sebagian orang mengatakan kedua kalimat itu adalah nama dua berhala pada zaman dulu. Namun sebagian lain membantah pendapat itu dan mengatakan kedua kalimat itu adalah ayat pertama dari surat Yasin dan ucapan La Haula wala Quwwata illa Billah. Kalimat itu biasa diucapkan ketika hujan turun dan mengairi ladang pertanian.
Dari dua pendapat ini, dapat disimpulkan bahwa pada zaman itu sudah ada manusia yang beriman kepada Sang Pencipta. Diceritakan, negeri Mudzab memiliki pusat kota bernama Maefa'a, ibukota pertama dan kota peradaban yang hingga kini masih ada puing-puingnya, berupa bekas istana, tempat peribadatan, dan lainnya. Sekarang, yang masih nampak jelas adalah tulisan dan lukisan di daerah antara Maefa'a dan 'Izan.
Setelah itu, berdiri kota lain bernama Shabwa. Kota ini lebih besar dibanding kota-kota sebelumnya. Hal itu terbukti dengan peninggalannya yang luar biasa. Hadharim (etnis Hadhramaut) kala itu terkenal berwibawa dan ahli memanah. Satu diantaranya adalah Rasym yang salah satu keturunannya bernama 'Asyira (Syakim).
7. Dinasti Himyar (165 SM hingga 525 M)
Himyar salah satu daerah di negeri Saba’. Sebagian orang malah menyebutnya Saba’, bukan Himyar. Dinasti Himyar berdiri setelah Dinasti Saba’ sekitar 165 SM hingga 525 M. Ibu kotanya Dzafar. Orang-orang Habasyah (Afrika) pernah menyerang dan meruntuhkan Dinasti Himyar. Namun kemudian mereka diusir dan kekuasaan direbut kembali oleh keturunan Himyar. Pahlawan arab yang populer saat itu adalah Saif bin Dzi Yazin al-Himyari yang disokong Persia (Iran dan sekitarnya). Persia menguasai pemerintahan di Yaman, Hadhramaut, Iraq, dan Bahrain sampai era kedatangan Islam.
Raja-raja yang paling terkenal sebagai penguasa Hadhramaut kala itu adalah Syamar Yar'asy (dijuluki dengan nama Raja Saba dan Raja Dzi Raidan), raja Hadhramaut, dan Syarahbil bin Ya'fur bin Abi Karib As'ad yang menguasai Dinasti dzi Raidan, Hadhramaut, dan Yamanat (Yaman). Dialah raja yang membangun bendungan Ma'rib pada pertengahan abad kelima masehi.
8. Perdagangan
Hadharim punya andil besar dalam sejarah perdagangan Arab. Mereka menjalin hubungan dengan Roma, Yunani, Persia, China dan India. Hadhramaut memiliki kota pusat perdagangan dan memiliki pelabuhan penumpang dan barang yang datang dari India dan China. Semua komoditi perdagangan dibongkar muat di pelabuhan itu, kemudian diangkut ke Saba, Syam dan Iraq.
Padupa yang menjadi kekayaan alam produksi Hadhramaut termasuk salah satu yang diperhitungkan dalam perdagangan. Daerah pusat perdangan dan pelabuhan itu bernama al-Is'a (atau Shihr sekarang, 50 km dari Kota Mukalla). Selain itu, ada daerah lain pangkalan pedagang, seperti Shibam dan Syabwa. Ketiga daerah ini mengalami kemajuan pesat di dunia perdagangan yang tidak ada membandinginya kala itu.
II. HADRAMAUT SEBE;UM DAN SESUDAH ISLAM
1. Sebelum Islam (525 – 630 M)
Setelah runtuhnya Dinasti Himyar dan orang-orang Habsyah (Eritrea) mulai berkuasa di Yaman. Hadhramaut berada di bawah otoritas dua raja dari Dinasti Hadhramaut dan Kindah. Dari dua Dinasti ini, terlahir raja-raja bak jamur tumbuh subur dari tahta ketahta sampai datangnya Islam.
Ketika Islam datang, Hadhramaut masih tetap dikuasai oleh raja-raja dari kedua Dinasti tersebut. Diantara raja yang paling terkenal adalah Jamada, Masyraha, Makhusha dan Ratu 'Amrada. Disebut sebagai raja-raja, karena semua keturunannya memiliki kekuasaan sendiri-sendiri di daerah lembah. Mereka keturunan Amr bin Muawiyah bin Kindah, al-Asy'ats bin Qais yang memimpin kelompok Al-Harits bin Muawiyah, setelah pemerintahan bapaknya (raja Qais bin Ma'di Karib), Wail bin Hajr al-Hadhrami dari Dinasti Hadhramaut yang disebut oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengirim utusannya dengan sebutan Sayyidul Aqwal (pimpinan raja-raja), atau dikenal sebagai raja dari Kindah yang memiliki 17 gelar.
Kindah adalah keturunan Qahthan. Dia berasal dari Oman yang kemudian hijrah ke Hadhramaut dan bertemu dengan Dinasti Hadhramaut yang juga keturunan Qahthan, seperti Syarahil bin Murrah, Salamah bin Hajr dan raja-raja lain yang menguasai kota-kota di Hadhramaut, seperti Tarim dan lainnya.
Kedatangan Kindah membawa petaka bagi saudara-saudaranya sesama Dinasti Qahthan. Hingga sering terjadi perang sengit antara mereka dan selalu dimenangkan oleh Kindah yang kemudian berhasil menyatukan Hadhramaut.
Hadhramaut kala itu terbagi menjadi negeri-negeri kecil, yang disebut Mahafid. Itu sebutan untuk negeri-negeri di daerah lembah, seperti Shibam, Jardan, Dou'an, dan Syabwa. Sedangkan dari Kindah sendiri terdapat negeri bernama Sukun (Hadhramaut Tengah), Sakasik (Hadhramau Barat), Tujib di 'Andal, Hudun, Qasyaqisy, Dammun, Hajrain, Raidatuddin, dan lainnya.
Dinasti Hadhramaut menguasai beberapa daerah pantai dan bersekutu dengan Kindah dalam menguasai sebagian wilayahnya, seperti Syabwa dan al-Karr (antara Hajrain dengan Qatn sekarang). Selain dinasti di atas, masih banyak dinasti-dinasti lain, seperti Dinasti Mahra dan sebagainya.
2. Sesudah Islam
Setelah agama Islam datang dan menyebar ke seluruh kawasan Arab, Hadhramaut mengirimkan utusannya dalam jumlah besar ke Madinah al-Munawwarah. Ribuan kilo meter ditempuh untuk menemui Nabi Muhammad SAW dan bergabung dengan tentara Islam. Diantara utusan itu adalah kelompok dari Kindah yang dipimpin oleh Asy'ats bin Qais Al Kindy pada tahun 10 H. Mereka diterima dengan baik oleh Nabi SAW. Namun ada dua hal yang diperingatkan oleh Rasul. Pertama, mereka memakai pakaian sutra, sedang itu diharamkan dalam Islam. Kedua, mereka membanggakan keturunan dari Akil al-Murar.
Dihadapan Nabi SAW mereka dengan bangga mengatakan, “Kami adalah keturunan Akil al-Murar dan engkau juga keturunannya.” Mereka satu keturunan dari Ibu dengan Nabi SAW. Kedua hal ini dilarang oleh Nabi SAW. Mereka menurut dan langsung melepas kemudian merobek pakaian suteranya.
Hubungan suku Quraisy dan Kindah menjadi lebih dekat dengan terjalinnya perkawinan antara Asy'ats bin Qais dengan Umi Farwa binti Abu Quhafa (saudari Abu Bakar Assiddiq RA). Nabi SAW juga meminang Qatilah binti Qais (saudari Asy'ats). Namun Asy'ats meninggal sebelum Qatilah datang dari Hadhramaut.
Utusan-utusan lain dari Hadhramaut berbondong-bondong datang ke madinah al-Munawwarahm, seperti Qais bin Salamah al-Ju'fi dan Rabiah bin Murahhab al-Hadhrami.
Orang pertama yang diutus sebagai ‘tangan kanan’ Nabi SAW di Hadhramaut adalah Ziyad bin Lubaid al-Anshari al-Khazraji al-Bayadhi radliyallahu ‘anhu, salah satu pahlawan besar dari kalangan Sahabat. Dia menghabiskan waktunya di daerah Tarim dan Shibam sejak akhir masa Nabi SAW hingga permulaan pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab.
Sedang sahabat yang pertama kali berdakwah di Yaman adalah Mu'adz bib Jabal radliyallahu ‘anhu yang menempati daerah antara Sukun dan Kindah. Mu’adz dikenal sebagai sahabat agung yang pandai membaca dan bergaul. Kedalaman ilmu dan ketakwaannya membuat masyarakat berlomba-lomba belajar dan meriwayatkan hadits darinya. Begitu juga Abu Musa al-Asy'ari, seorang sahabat yang berdakwah ke Hadhramaut.
Setelah Nabi SAW wafat, sebagian Hadharim murtad. Hingga banyak pula dari kalangan Hadharim sendiri yang tetap dalam Islam ikut berperang melawan temannya sendiri yang murtad.
Hadharim sangat berjasa dalam sejarah penyebaran Islam dan memperluas pemerintahan Islam. Tak sedikit dari mereka yang menjadi panglima perang dan menaklukan negeri asing, seperti Asy'ats bin Qais al-Kindy yang menaklukkan negeri Nahawand dan Azerbaijan.
Pada abad ke-9 atau ke-10 Hijriyah, Hadhramaut telah menjalin hubungan dengan kota peradaban Islam pertama, Madinah al-Munawwarah. Orang-orang Hadhramaut berbondong-bondong memeluk agama Islam dengan penuh rasa taat sesuai dengan nurani mereka yang cinta akan kebaikan dan kedamaian.
Hubungan mereka dengan Rasulullah SAW dan para sahabat terjalin saat Islam datang dan menyebar di Jazirah Arab. Kontak mereka dengan para sahabat meningkat saat perang riddah (memberantas orang-orang murtad). Yaitu ketika sebagian kelompok di Hadhramaut tidak menghiraukan utusan Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq bernama Ziyad Bin Lubaid. Mereka tidak mau membayar zakat, sebagaimana yang diwajibkan oleh Islam. Kemudian Khalifah Abu Bakar ash-Shidiq mengirimkan pasukan yang terdiri dari para sahabat. Pertempuran kedua kelompok tidak bisa dihindari, banyak korban tewas. Namun kemenangan berada di tangan para sahabat setelah 70 pasukannya syahid di medan perang.
Hubungan antara Hadharim dengan para sahabat pada periode pertama menyebarnya Islam memberi andil besar dalam penanaman keimanan, prinsip serta akhlaq islami. Mayoritas penduduk Hadhramaut belajar ilmu keislaman, seperti tafsir, hadits, dan hukum kepada para sahabat. Mereka juga banyak belajar tentang jihad.
Mereka bergabung dengan barisan tentara “al-Fath”. Dengan semangat membara, mereka pulang ke negerinya membawa kabar gembira akan agama baru yang kemudian diikuti oleh keluarga dan anak cucu mereka. Setelah itu, kabilah-kabilah Hadhramaut banyak yang hijrah ke Madinah dan tidak kembali ke negerinya. Demikian hijrah ke Madinah al-Munawwarah silih berganti.
Namun fenomena ini mendesakkan dampak negatif bagi Hadhramaut sendiri. Karena banyak Hadharim yang meninggalkan negeri asalnya, lama-kelamaan penduduk asli tanah kelahirannya tidak banyak tahu tentang ilmu pengetahuan. Semua orang ikut bergabung dengan pasukan Islam. Yang tinggal di Hadhramaut hanya orang-orang lemah dan tidak memiliki kepribadian.
Di antara faktor meluasnya kebodohan di Hadhramaut adalah tidak adanya perhatian dari pemerintah Bani Umayyah maupun Bani Abbas terhadap wilayah ini. Kecuali dalam hal-hal yang berhubungan dengan keputusan melawan pemberontak di Hadhramaut. Pemberontakan itu sendiri terjadi karena berbagai problematika yang membelenggu rakyat berupa kedzaliman dan kehidupan yang sempit. Gerakan yang paling populer di kalangan rakyat Hadhramaut saat itu adalah gerakan yang dipimpin oleh Abdullah Bin Yahya al-Kindy (128 H) yang dijuluki Thalib al-Haq (penuntut kebenaran).
3. Munculnya Paham al-Ibadhiyah
Al-Ibadhiyah adalah salah satu paham Khawarij yang diambil dari nama pembesarnya, Abdullah Bin Ibadh. Dia pencetus pertama paham ini. Khawarij, golongan yang keluar dari kelompok Ali Bin Abi Thalib dan Muawiyah radliyallahu ‘anhu, terpecah menjadi 20 aliran dan yang paling dominan adalah al Ibadhiyah yang akhirnya juga terpecah menjadi 4 aliran.
Tokoh aliran ini yang terkenal adalah Abdullah bin Yahya al-Kindy (wafat 130 H) yang bergelar Thalib al-Haq (sebagaimana disebutkan). Dia orang pertama yang menjadi imam panutan umat di kalangan Ibadhiyyin (pengikut aliran al-Ibadhiyah, red) di Hadhramaut. Dia pula yang mempelopori gerakan rovolusi melawan pemerintahan Bani Umayah, Marwan Bin Muhammad (129 H).
Setelah menguasai wilayah Hadhramaut dan menjadikan kota Shibam sebagai pusat kepemimpinannya, al-Kindy melebarkan sayap ke Sana'a dengan membawa 2000 pasukan khusus dan berhasil menguasainya. Lengkap sudah kekuasaan al-Kindy di Yaman. Namun ia belum puas, hingga berniat menambah kekuasaanya ke Hijaz (Makkah dan Madinah). Sampai di Makkah, tepat pada musim haji, lagi-lagi ia sukses. Seorang panglima perangnya, Abu Hamzah, berhasil menguasai Makkah dan melanjutkan jejaknya ke Madinah. Kota itu berhasil dikuasai setelah terjadi pertempuran sengit di daerah Qadid, dekat Madinah.
Keberhasilan menguasai Hijaz tidak membuat dirinya ‘ongkang-ongkang kaki’. Dia pun berencana mengirim pasukan untuk menyerang pemerintahan Umawiyah di Syam (sekarang Suriah dan sekitarnya). Tapi sebelum pasukan al-Kindy menyerang, Marwan Bin Muhammad (pemegang tampuk pemerintahan Umawiyah) mengirim pasukan yang dikomandoi Abdul Malik bin Athiyah as-Sa'di dan berhasil mengalahkan pasukan al-Kindy.
Setelah pertempuran selesai, Abdul Malik pergi ke Sana'a untuk membunuh al-Kindy. Sampai di Sana'a, tepatnya di daerah Tubala, mereka bertemu dengan pasukan Al Kindy. Pertempuran pun terjadi. Untuk kedua kalinya, pasukan al-Kindy mengalami kekalahan. Al-Kindy sendiri terbunuh dalam pertempuran itu.
Sepeninggal al-Kindy, tampuk kekuasaan dipegang Abdullah bin Sa'id al-Hadhrami. Selain Abdullah bin Sa'id, ada tokoh al Ibadhiyah yang kharismatik pada akhir abad ke-2 H, yaitu Muhammad bin Amr bin Abdullah al-Haritsy al-Hadhrami yang berhasil membunuh Ma'n bin Za'idah asy-Syibani.
Pada awal hingga pertengahan abad ke-5 H, ada pula tokoh al Ibadhiyah yang sangat populer, bernama Abu Ishaq Ibrahim bin Qais bin Sulaiman al-Hamdani al-Hadhrami (454 H). Pada abad ke-6 H, aliran al-Ibadhiyah melegenda di bawah kepemimpinan keluarga an-Nu'man, keturunan Bani ad-Daghar (penguasa kota Shibam).
Yang sangat terkenal kala itu adalah Rasyid bin Ahmad bin an-Nu'man yang mati terbunuh ketika memimpin gerakan melawan kekuasaan Abdullah Bin Rasyid dari aliran Sunny (605 H).
4. Munculnya Sunni Asy'ariyah
Pada tahun 260 H, di kota Basrah Iraq lahir seorang anak bernama Ahmad bin Isa bin Muhammad dari keturunan Husain bin Ali bin Abi Thalib. Ayahnya bernama Isa dan kakeknya bernama Ali bin Muhammad al-Uraidhi. Keduanya hijrah ke Madinah al-Munawarah dan wafat disana. Walaupun ditinggal ayah dan kakeknya, Ahmad bin Isa tetap tinggal di Kota Basrah Iraq hingga tumbuh dewasa.
Saat itu (255 H), kondisi Iraq secara umum sedang gonjang-ganjing. Kekuasaan dipegang oleh orang kulit hitam yang telah membawa banyak kerusakan dan malapetaka. Polemik ini lebih disebabkan karena panglima Ali bin Ahmad yang mengaku dirinya sebagai Nabi. Kondisi seperti itu bertahan hingga pemerintahan Bani Abbas berhasil membunuhnya di tahun 270 H.
Stabilitas keamanan semakin tidak menentu setelah kekuasaan Bashrah dipegang oleh Abu Thahir al-Janabi (311 H). Dia melucuti senjata, menculik, menawan wanita dan merampas harta rakyat. Tragedi-tragedi yang menakutkan seperti ini terus menimpa kota Bashrah. Bani Alawiyyin (keluarga Ahmad bin Isa) tak luput dari siksa dan penderitaan yang berat itu, hingga pada puncaknya Ahmad Bin Isa memutuskan untuk hijrah.
Pada tahun 317 H, Ahmad bin Isa melakukan perjalanan hijrah pertama menuju Hijaz (Madinah al-Munawwarah). Ia ditemani anaknya, Ubaidillah dan cucunya, Bashri bin Ubaidillah. Sementara keluarganya yang lain, Muhammad, Ali dan Hasan, ditinggal di Bashrah dan menetap di sana hingga mempunyai keturunan yang turun temurun.
Setelah menetap di Madinah kurang lebih satu tahun, Ahmad bin Isa melanjutkan perjalanan ke Makkah (318 H). Kemudian ke Yaman dengan berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain. Ketika sampai di Hadhramaut, Ahmad bin Isa merasa cocok dan akhirnya menetap di sana.
Daerah pertama yang dijadikan tempat tinggal adalah Wadi (lembah) Doan yang penduduknya beraliran Syiah, meski mayoritas masyarakat Hadharamaut secara umum saat itu pengikut Ibadhiyah. Setelah beberapa lama tinggal di Do'an, ia berpindah ke daerah Hajrain, kemudian Qarah Bani Jusyair (sebuah desa dekat Bour), kemudiaan pindah lagi ke Khasisah dan membeli tanah yang kemudian diberi nama Shauh.
Ahmad bin Isa yang bergelar al-Muhajir (orang yang berhijrah, red) beraliran Sunni dan beraqidah Asy'ariyah. Ini jelas berbeda dengan Ibadhiyah. Perbedaan ini merupakan salah satu faktor kepindahannya dari satu tempat ke tempat lain. Konon, diantara kedua belah pihak sering terjadi perdebatan sengit. Adu argumen dan hujjah ini terus berlangsung sampai akhir hayat dan diteruskan oleh keturunanya (Bani Alawi), sampai aliran Ibadhiyah ini lenyap dengan sendirinya dari Hahramaut pada abad ke-7 H.
Al-Muhajir menetap di Hadhramaut selama 26 tahun. Ia dimakamkan di Khasisah (345 H). Keturunan dari al-Muhajir inilah yang disebut dengan sebutan Alawiyyin (Bani Alawi) di Hadhramaut, diambil dari nama kakeknya, Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad bin Isa. Mula-mula, nama Alawiyyin digunakan untuk membedakan keturunan al-Muhajir dengan anak pamannya, Jadid bin Ubaidillah, yang saat itu, di Iraq, nama Alawiyyin identik orang yang fanatik dengan Ali bin Abu Thalib.
Demikian pengaruh dan dominasi keturunan al-Muhajir terus berkembang di Hadhramaut dan sekitarnya hingga berpengaruh pada kebudayaan, kehidupan sosial dan karakter penduduknya. Lewat pengajaran dan tuntunannya, mampu mencetak masyarakat yang madani, berbudi luhur dan berpendidikan. Tidak dapat dipungkiri jasa mereka di kancah politik untuk membela negeri Hadhramaut demi menciptakan kedamaian.
5. Dinasti Rasyidiyah (400-700 H)
Dinasti Rasyidiyah adalah keturunan Bani Qahthan, salah satu Dinasti Himyar. Mereka adalah anak-anak pamannya dari Bani Daghar yang dikalahkan oleh Dinasti Syibam. Silsilah nasab mereka bertemu dari Fahd bin al-Qail bin Ya'fur bin Murah bin Hadhramaut bin Saba al-Asghar. Hadhramaut di masa pemerintahan Rasyidiyah yang dipimpin Qahthan Bin al-Aum al-Himyari juga mengalami kemajuan pesat. Pusat pemerintahan berada di Tarim, lalu diteruskan oleh anaknya, Ahmad pada tahun 430 H. Kekuasaan ini terus berlangsung sampai abad ke-7 H. Pemerintahan Rasyidiyah bermazhab Sunni Syafii, berakidah Asy’ari. Karena itu, terjadi perbedaan dengan Mazhab Ibadhi yang masyhur saat itu. Orang yang paling populer adalah Abdullah bin Rasyid yang sekarang namanya dipakai untuk lembah di Hadhramaut, wadi Bin Rasyid.
Saat keturunan Rasyid memegang kekuasaan yang berpusat di Tarim, di daerah lain terdapat sejumlah pemerintahan sendiri. Seperti pemerintahan Bani Daghar di Syibam dan pemerintahan Alu Iqbal di Syihr yang disebut juga keluarga Faris. Saat itu, sering terjadi pertempuran melawan pasukan asing yang berusaha menguasai Hadhramaut.
Pada tahun 569 H, kelompok asing al-Ayyubiyyun (Turky) berhasil menguasai Hadhramaut dengan pimpinan Thauran Syah, saudara kandung Shalahudin al-Ayyubi. Ia mengirim pasukan untuk menguasai Hadhramaut pada tahun 575 H, dipimpin oleh panglima perang, Utsman al-Zanjabily. Mereka berhasil menguasai wilayah Syihr. Pemerintahan Rasyidiyah beserta dinasti-dinasti lain terus mengadakan perlawanan, namun selalu gagal.
Kekalahan yang menimpa dinasti-dinasti di Hadhramaut tidak mematahkan semangat untuk terus mengadakan perlawanan mengusir pasukan asing. Namun kondisi makin kacau, perampokan, penculikan dan penjarahan semakin merajalela saat tampuk kekuasaan dipegang oleh Umar bin Mahdi al-Yamani yang mengusung akidah dari luar. Ia menginstruksikan penyerangan terhadap Dinasti An-Nahdliyah di Shibam yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari pasukannya sendiri (621 H).
Setelah Qabilah an-Nahdiyah dapat menguasai keadaan, semua tawanan Umar Bin Mahdi, dilepaskan dari penjara di Tarim. Termasuk keturunan Abdullah bin Rasyid yang kemudian bertolak ke Shihr dan tinggal di sana sampai akhir hayat. Demikianlah Hadhramaut saat itu, terus menerus dilanda perang dan perebutan kekuasaan yang tidak ada habisnya.
6. Awal Dinasti al-Katsiri
Al-Amir Salim Bin Idris Bin Muhammad Bin Ahmad al-Hubudzi bukan orang Hadhramaut. Dia lahir dan besar di Dhafar (Oman). Tapi kakeknya merupakan penduduk Hadhramaut. Kakeknya adalah salah satu punggawa dari kesultanan Muhammad Bin Ahmad al-Akhal, seorang Emir dari daerah Mirbath Oman wilayah pantai timur daerah Dhafar. Ia dipercaya menjalankan perdagangan sang sultan.
Ketika sultan wafat dan tidak ada yang menggantikannya, Muhammad al-Hubdzi maju untuk memegang tampuk pimpinan di daerah Dhafar. Setelah itu diteruskan oleh anaknya, Ahmad yang telah membangun daerah Dhafar hingga menjadi kota modern di tahun 650 H. Ahmad terkenal dermawan, sederhana dan berakhlak mulia.
Kemudian pemerintahannya dilanjutkan oleh keturunannya Muhammad bin Idris, kemudian Salim bin Idris. Salim inilah yang berambisi untuk menguasai seluruh daerah Hadhramaut. Ia lalu datang di Hadhramaut dan membeli tanah di Syibam tahun 673 H dan dijadikan sebagai pusat aktifitasnya. Ia memulai perang di sejumlah kota dan berhasil menduduki Seiyun, Damun, al-'Ajz al-Gheil. Namun kemudian ia gagal setelah Raja Tarim, Umar bin Mas'ud Yamani bersama pasukannya mengepung dan mengurungnya beberapa bulan, sampai akhirnya menyerah dan kembali ke Syibam, lalu pulang kenegerinya (Dhafar).
Keluarga al-Katsiri sejak akhir abad ke-6 H mempersiapkan diri untuk menguasai Hadhramaut dan membangun kekuasaan Dinasti al-Katsiri. Tapi saat al-Hubudzi datang ke Hadhramaut dari Dhafar, kekuasaan al-Katsiri diserahkan kepada al-Hubudzi. Dan saat al-Hubudzi pulang ke Dhafar, Al-Katsiri kembali menggantikan kekuasaanya dengan memakai nama al-Hubudzi (675 H). Pada tahun itu, pemimpin Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Katsir (disebut al-Katsiri Pertama), yang tengah bersiap-siap menguasai Hadhramaut wafat.
7. Akhir Dinasti al-Katsiri
Pernah suatu ketika, Raja al-Mudzaffar Yusuf bin Umar bin Rasul mengirim utusannya kepada Raja Persia untuk mengantarkan hadiah berharga melalui jalur laut. Di tengah jalan, utusan tersebut diterjang badai hingga terdampar di pantai Dzafar. Salim bin Idris al-Hubudzi, yang kebetulan menjadi raja Dzafar, menahan dan merampas perbekalan serta hadiahnya.
Raja Mudzaffar marah dan menganggap hasil rampasan itu akan digunakan untuk menyerang Aden. Maka sebelum terlambat, Raja al-Mudzaffar mengirimkan pasukan besarnya ke Dzafar. Dzafar digempur habis-habisan dari laut dan darat hingga semua al-Hubudzi terbunuh pada tahun 678 H.
Setelah kematian al-Hubudzi, al-Katsiri mulai menguasai semua kekuasaanya di Hadhramaut. Kekuasaan Al-Katiri ini berbeda dengan yang lain. Ia senang mendekati para pemuka agama hingga para ulama pun mendukung pemerintahannya. Salah satunya adalah Syekh Muhammad bin Umar Ba 'Abbad beserta putranya, Abdullah al-Qadim yang membangun kota Ghurfah di tahun 701 H.
Hubungan al-Katsiri dengan Alawiyyin yang disegani kala itu, sangat baik. Hal itu menjadikan kekuasaannya meluas ke seluruh daerah Hadhramaut. Hanya satu daerah yang tidak bisa dikuasai, yaitu daerah Bur yang diduduki oleh Qabilah Ali Banjar yang menolak pemerintahan Al-Katsiri. Namun akhirnya Bur dapat dikuasai setelah berhasil mengalahkan dan menghancurkan kekuasaannya di tahun 723 H.
Akhir abad ke-8 H, semua daerah menjadi kekuasaan al-Katsiri. Pada tahun 814 H, salah satu keluarga Al-Katsiri, Ali bin Umar bin Ja'far bin Badr bin Muhammad bin Ali bin Katsir pergi meninggalkan Bur. Ia bergerilya ke segala penjuru Hadhramaut sampai berhasil menguasai daerah Dzafar. Mulai saat itu, dia mendapat gelar Sultan. Dialah orang al-Katsiri pertama yang mendapatkan gelar itu.
Ia wafat setelah menguasai Syibam, Dzafar dan hampir seluruh wilayah Hadhramaut. Dzafar berada di bawah kekuasaan al-Katsiri hingga dinasti kerajaannya tidak memiliki pengaruh lagi di tahun 1130 H.
8. Dinasti Badujanah dan Sultan Badr Abu Thuwairiq
Sejarah telah mencatat, Kota Syihr sering mengalami pergantian pemerintahan. Pernah suatu kali independen, terkadang juga di bawah otoritas raja-raja Yaman. Bahkan yang unik, kota ini pernah menjadi ibu kota dan di lain waktu menjadi kota biasa.
Penguasa pertama Syihr adalah al-Amir Said bin Mubarak bin Faris Badujanah al-Kindi (keturunan bani Kindah). Ia berkuasa pada paruh awal abad ke-9 Hijriah. Ia dikenal tegas, pemurah, berwibawa, adil dan bijaksana. Setelah meninggal dunia, ia digantikan oleh putranya, Muhammad yang mewarisi sifat sang ayah. Ibunya berasal dari keluarga besar Ma'asyir yang nota bene dikenal dengan kecerdasan, cerdas dan pakar dalam berpolitik.
Sementara itu, Dinasti al Rasul yang kokoh di Yaman dan Hadhramaut telah terhempas dari peredaran, direposisi kemudian oleh Dinasti Al Thahir yang telah menduduki Aden, dataran rendah di Yaman, dan Kota Taiz.
Aden saat itu mengalami ketidakstabilan politik. Ditambah lagi dengan perang yang berkecamuk antara Bani al Kald dan Bani al Ahmad, keduanya dari Bani Yafi'. Hal ini memaksa Al Kald untuk berlindung ke Syihr dan memotivasi Amir Badujanah untuk menduduki Syihr sambil menjanjikan bantuan. Ibunda Amir tidak setuju dengan rencana ini. Namun saying, Amir tidak menggubris nasehatnya.
Saat ia hampir sampai di pesisir Aden, tiba-tiba angin kencang datang. Akibatnya, kapal-kapal pasukan maritim ikut tenggelam. Amir selamat dari bencana itu, tapi ia tertangkap di sana (tahun 862 H). Saat berita itu sampai ke telinga ibunya, ia bergegas menuju Aden dan meminta Sultan Amir untuk membebaskan putranya, dengan syarat penyerahan kekuasaan Syihr ke tangan al Thahir.
Sebagian sumber sejarah mengatakan, Sultan Amir menduduki Syihr tahun 865 H. Sementara Badujanah melarikan diri ke desa Hayrey, Mahrah.
Tatkala Sultan Badr bin Muhammad bin Abdullah al-Katsiri mengetahui kabar keberhasilan al Thahir menduduki Syihr, ia mengirim surat persahabatan sekaligus perjanjian (867 H.). Lalu ia memasuki Syihr sebagai penguasa. Itulah awal mula al Katsiri bercokol di Syihr.
Pada tahun 883 H, al Dujanah berhasil merebut kembali Syihr dan mengusir al-Katsiri. Sultan Badr lari menuju Hadhramaut, tepatnya di kota Syibam yang merupakan sentral kerajaan al-Katsiri saat itu.
Al-Dujanah seterusnya menguasai Syihr sampai awal abad 10 H. Peperangan silih berganti terjadi dan akhirnya dimenangkan oleh Sultan Dja'far bin Abdullah bin Ali al-Katsiri tahun 901 H. Ia menggabungkan Syihr dalam kerajaan al-Katsiri.
Diantara pemuka di kerajaan al-Katsiri adalah Sultan Badr bin Abdullah bin Ja'far al-Katsiri yang bergelar Abu Thuwairiq. Ia dianggap Sultan pertama yang berhasil mempersatukan Hadhramaut sampai ujung perbatasannya.
Abu Thuwairiq membangun militernya dari etnis selain Hadhramaut. Mulai dari Turki, Bani Yafi', budak-budak Afrika, kabilah-kabilah Zaidiyah Yaman dan lainnya. Tujuannya adalah menenangkan mereka sekaligus menumbuhkan loyalitas. Siasat politik ini sangat berpengaruh guna menjaga stabilitas keamanan.
Kekuasaan Abu Thuwairiq melebur dari Awaliq bagian barat manuju Sayhut bagian timur, dari pesisir selatan menuju padang pasir al-Ahqaf bagian utara. Bani Abdul Wahid dan Awaliq juga berikrar tunduk kepadanya.
Pada tahun 937 H, ia menginstruksikan agar namanya dicetak dalam uang perak negara nominal satu riyal setengah dan seperempat. Di tahun 942 H, ia kembali mencetak dengan nama Qisyah. Perhatiannya pada sisi keilmuan juga patut diacungi jempol.
Diantara aktivitas kemiliterannya adalah blokade terhadap Syibam yang saat itu dikuasai Al Muhammad. Tarim juga sempat dikepung 20 hari sampai penguasa Tarim saat itu, Muhammad bin Muhammad bin Ja'far, menyatakan menyerah beserta al-Yamani. Al Amir lalu mengusir mereka tanpa terkecuali, hanya saja budak-budak keluarga Yamani dibiarkan tetap di Tarim. Dengan demikian tercatat Dinasti Al-Katsiri adalah yang pertama menguasai Tarim. Di bulan yang sama, ia menguasai Haynan.
Begitulah perjalanan politiknya, hingga pada akhirnya ia menguasai semua kawasan Hadhramaut dari ujung sampai ujung lainnya.
Perlu dicatat, di abad ke-10 itu juga Hadhramaut mengalami masa yang kaya ulama dan sastrawan. Ulama saat itu betul-betul memperoleh penghormatan, meski ada beberapa gonjang-ganjing politik yang membuat Abu Thuwairiq bersikap antipati terhadap ulama. Syekh Ma'ruf Ba Jammal misalnya, seorang sosok ulama yang dikenal shalih, sempat dituduh mendukung salah satu pembangkang dari sepupunya. Ia ditangkap dan diarak dengan cara tidak layak, sambil digantungkan di lehernya seutas tali dengan diikuti yel-yel "Ini adalah sesembahanmu, hai rakyat Syibam". Ulama itu lalu diisolir ke Dau'an.
Tahun 929 H, Portugal datang menyerang Syihr. Tapi penduduk setempat melawan dengan gigih. Para syuhada banyak berguguran. Sampai saat ini, di sana terdapat makam ‘tujuh syuhada’, tepatnya di desa Aql Bagharib. Pertempuran terus berkecamuk, hingga akhirnya Portugal hengkang menuju India.
Tapi tahun 942 H, Portugal kembali mencoba menduduki Syihr. Abu Thuwairiq mengobarkan semangat perlawanan hingga menyebabkan Portugal kewalahan. Pertempuran berlangsung terus menerus baik di darat maupun di laut. Tentara Abu Thuwairiq benar-benar gigih berperang. Hingga di hari kedua, Portugal kalah telak. Koban bergelimpangan di jalanan. Perahu-perahu mereka dirampas berikut penangkapan para nakodanya. Pasukan Portugal menyatakan menyerah dan memohon aman. Abu Thuwairiq memberikan jaminan keamanan pada mereka, termasuk kapten kapal. Tawanan perang ini berjumlah 70 orang. Abu Thuwairiq membaginya untuk masing-masing kompi pasukannya, sepuluh untuk para komandan, sepuluh untuk tentara Zaidiyah, sepuluh untuk Bani Yafi' dan sepuluh untuk para budak. Abu Thuwairiq berhasil menguasai kapal, uang, harta dan budak.
Setelah itu, ada rombongan Portugal lagi yang datang. Mereka membawa harta kekayaan dari Afrika timur. Abu Thuwairiq menangkap mereka untuk menyusul teman-temannya yang sudah tertawan. Ia lalu menghadiahkan 35 tawanan untuk Sultan Dinasti Utsmaniyah (Ottoman) di Istanbul Turki. Sebelas tawanan untuk saudaranya, Muhammad, yang menjabat gubernur Dzifar. Dan membawa 30 tawanan ke pedalaman Hadhramaut saat musim panas di tahun 942 H.
Perang melawan Portugal yang terjadi berulang-ulang, kemudian berdamai setelah perang, atau berperang yang diakhiri damai, membuat Badr memiliki banyak tawanan Eropa. Hingga suatu saat, Badr mencium gelagat pembangkangan sebagian orang Portugal. Ia menginstruksikan agar mereka semua dibunuh tanpa sisa. Ia lalu mengirim kepala-kepala mereka ke Raja Turki saat itu, Sultan Sulaiman al-Qanuni.
Ternyata, beberapa bangsawan al-Katsiri merasa tidak senang dengan sikap Abu Thuwairiq yang diktator dan menyerahkan urusan-urusan penting kenegaraan kepada pihak selain keluarga al-Katsiri.
Dimulai oleh Ali bin Umar Al Katsiri di Syibam. Ia menyatakan lepas dari Abu Thuwairiq dan memproklamirkan pembangkangannya. Ia dibantu oleh orang-orang berpengaruh Hadhramaut saat itu, diantaranya Syekh Ma'ruf Ba Jammal. Mendengar berita itu, Badr menyerang Syibam dan berhasil menguasainya (958 H). Ali bin Umar al-Katsiri ditahan di penjara Muraymah yang kemudian menjadi penjara bangsawan al-Katsiri yang membangkang.
Di Haynan, Amir Muhammad bin Badr bin Muhammad juga melakukan pergolakan dan akhirnya ikut mendekam di penjara Muraymah. Tidak ketinggalan Muhammad, saudaranya sendiri. Peperangan antara mereka berdua menjadi sebuah rivalitas yang akhirnya Amir Muhammad hanya berhasil menduduki Syihr sampai ajal menjemputnya.
Pergolakan demi pergolakan datang silih berganti, sampai-sampai putranya sendiri yang bernama Abdullah ikut ditangkap dan ditahan di penjara Muraymah pada bulan Shafar 976 H. Ketika sakit keras menimpa, ia kembali ke Seiyun sampai kematian menjemput di tahun 977 H. Setelah perjuangan panjang, ia berhasil menjadikan Seiyun sebagai ibu kota. Kuasa dan hukum al-Katsiri di Seiyun dan beberapa desa di lembah Hadhramaut bertahan sampai munculnya revolusi dan kemerdekaan tahun 1967 M.
9. Umar bin Awadh bin Abdullah al-Quaithi al-Yafi'i
Umar lahir di abad 12 Hijriah, di daerah Lahrum, kawasan Andal. Imru'ul Qois, seorang penyair arab kawakan yang sajaknya banyak dikutib kitab-kitab klasik, dalam gubahan syairnya mengatakan:
Sepertinya aku tak pernah begadang di Dammun meski sekali
Dan tak pernah menyaksikan pertempuran satu hari pun di Andal
Ayah Umar selalu pulang pergi antara Lahrum dan Syibam. Oleh karena itu, ketika sang ayah meninggal, Umar beserta ibunya yang memiliki pengaruh besar dalam pendidikannya, pindah ke Syibam. Di sana ia belajar baca tulis, berhitung, dan dasar-dasar ilmu agama. Kecerdasan dan kepiawaiannya sudah tampak sejak kecil.
Pada tahun 1207, saat krisis ekonomi menimpa keluarganya, untuk mencukupi keperluan hidup --sebab sang ayah tak meninggalkan kekayaan sepeserpun-- ia berimigrasi ke India, negara favorit yang selalu dituju para imigran asal Hadhramaut saat itu. Ia lalu bergabung dengan pasukan Raja Nakbur. Ia lihai di bidang militer dan kepemimpinan. Tapi di saat ia menjabat sebagai komandan militer, sering terjadi insiden-insiden yang kemudian memaksanya untuk hengkang menuju Haidar Abad.
Raja Haidar Abad, yang sudah mendengar perihal Umar, menawarinya untuk mengepalai satu peleton dari pasukan militernya. Umar pun tak ragu menerimanya. Mulai saat itu, ia diberi gelar "Nuwab Jan Natsar Jank", sebuah gelar penghormatan di India. Ia dengan penuh keseriusan menjalankan tugas yang diembannya. Allah SWT menganugrahinya lima orang putra; Muhammad, Abdullah, Sholeh, Awadh dan Ali.
Kabilah Yafi' di Hadhramaut saat itu banyak mengalami tekanan dari beberapa infasi militer yang bertujuan mencabut kekuasaan mereka dari tanah Hadhramaut. Geliat pemberontakan itu dipimpin Manshur bin Umar dari keluarga Isa bin Badr dan Gholib bin Muhsin al-Katsiri. Manshur berhasil menanam benih perpecahan dan fitnah di antara kabilah-kabilah yang ada di Syibam. Ia mulai mengobarkan api permusuhan, sehingga berhasil mengusir Kabilah Bani Yafi’ dari Syibam tanggal 27 Ramadhan 1255 H.
Setelah adu kekuatan berdarah, tidak ada yang selamat kecuali beberapa gelintir pasukan garnisum Yafi' di Syibam. Harta dan rumah mereka pun dirampas. Tidak cukup itu, ia juga memblokade kerabat dari pihak ibu bani Yafi', yaitu keluarga Ali Jabir Bakhsyamir. Bahkan mereka mengirim orang untuk berbuat onar di Qathn. Di sana, mereka meledakkan rumah Bin Ma'mar al-Khallaqi dengan batu dan membunuh orang yang ada di dalamnya, diantaranya dua bibi Umar bin Awadh al-Quaithi.
Sedangkan di timur lembah, Ghalib bin Muhsin juga berupaya merebut kekuasaan Yafi' di Tarim, Seiyun dan desa sekitarnya.
Silih berganti kabar menyedihkan ini terdengar di telinga Umar bin Awadh di India. Ia memikirkan cara untuk menyelamatkan kerabatnya. Ia memulainya dengan cara membeli tempat sebagai markas, yaitu tanah "Raydhah" milik keluarga al-Aydrus, yang selanjutnya ia bangun di sana benteng-benteng kokoh di tahun 1255 H.
Pada tahun 1258 H, saat utusan bani Yafi' datang ke India untuk meminta tolong padanya, Umar mengutus anaknya, Muhammad, agar menetap di Raydhah sekaligus membeli alat-alat perlengkapan perang, lalu mengajak tentara bani Yafi' untuk berjuang bersama.
Langkah awal adalah mengembargo keluarga Ali Jabir dan merebut beberapa benteng milik Mansur bin Umar di sekitar Kushamir. Begitu pula benteng-benteng al-Aqqad yang lokasinya dekat dengan Syibam. Kemudian mereka mengusir paksa keluarga Katsiri dari Hadziyeh, salah satu kota di Qathen yang klasik dan historik.
Mereka juga membuat penjagaan ketat di desa Khumur, setelah terlebih dulu mengusir peduduknya yang nota bene masih kerabat keluarga Katsiri. Semua ini sebagai terobosan perdana untuk menyerang Syibam. Setelah al-Quaithi merasakan stabilitas Qothen, ia mulai mencari sekutu dari kabilah lain. Di antaranya keluarga Abdul Aziz di Suwayri, timur Tarim, juga dengan kepala kabilah keluarga bani Tamim, Ahmad bin Abdullah at-Tamimi. Berkat langkah ini, mayoritas keluarga Tamim yang berdomosili di kawasan timur menjadi sekutu al-Quaithi. Kemudian mereka menjadikan Suwayri sebagai pusat penyerangan terhadap al-Katsiri dari belakang.
Langkah selanjutnya, mereka mengadakan perjanjian dengan kepala tertinggi Bani Nahd, Tsabit bin Abdurrahman an-Nahdi, Raja Ma'rib Syarif Abdurrahman al-Khalidi, Raja Darriyah di Najd Muhammad bin Husein bin Qumla dan Sultan Awaliq Awadh bin Abdullah al-Aulaqi. Dengan begitu, tersebarlah propaganda kerajaan Quaithi baru sampai ke ujung Najd Yaman. Demikianlah, Umar bin Awadh terus berupaya memperkuat kekuasaannya dan bersiap diri menghantam Syibam dengan cara bersekutu dengan keluarga besar Hudzeil al-Katsiri, yang kebetulan tinggal di Dhahirah, kawasan Syibam. Lokasi itu sekaligus dijadikan sebagai pangkalan perang.
Markaz di Syibam ini diserang tahun 1279 H dari arah utara yang disebut daerah Syuwairi', hingga nyaris roboh. Melihat realita itu, al-Quaithi memutuskan untuk menangguhkan serangan atas Syibam. Ia memerintahkan tentaranya untuk merobohkan pos-pos mereka dan mengevakuasi penduduk Syuwairi' yang asalnya tinggal di Syibam menuju Raydhah Qathen. Diantaranya adalah kabilah al-Syuaib, al-Mu'allim, al-Birrahiah dan lainnya. Ia juga memberikan bantuan materi untuk mereka dan berjanji akan kembali ke Syibam dalam waktu dekat.
Al-Quaithi masih bertekad bulat membersihkan kawasan Syibam dari sisa-sisa al-Katsiri. Karena itu ia mulai menduduki Khamir tahun 1273 H. Ia menyerang benteng Sa'adiyah Bazraq dan ar-Rahz. Tiga-tiganya adalah benteng penting kota. Ia berhasil menguasainya setelah melakoni pertempuran sengit di tahun 1274 H.
Manshur bin Umar merasa posisinya berada dalam bahaya. Ia meminta gencatan senjata dengan memberi syarat pembagian Syibam mejadi dua bagian. Dengan begitu, al-Quaithi berhasil menduduki Syibam di awal Muharam 1275 H. Dilanjutkan dengan penculikan Mansur bin Umar di tahun yang sama, sehingga Syibam mampu dikuasai secara penuh.
Namun di tahun yang sama, tepatnya di bulan Dzul Hijjah, al-Katsiri kembali berambisi merebut Syibam. Tak ayal lagi, pertempuran sengit terjadi di kawasan al-Karan dan Jarab Hasyam sebelah barat Syibam. Namun mereka tidak berhasil.
Al-Quaithi lalu membeli kota Hurah dari keluarga Umar bin Ja'far, keluarga besar Isa bin Badr al-Katsiri. Dengan langkah ini, Hurah menjelma menjadi kota kedua setelah Syibam yang berhasil dikuasainya. Pusat-pusat kota yang penting sama sekali tidak dikuasai Kabilah al-Katsiri, kecuali Sahil bin Mahri yang terletak di sebelah selatan Syibam.
Mereka terus menerus mempertahankan kota itu, hingga terjadi peperangan demi peperangan selama 4 tahun dan baru berakhir dengan penyerahan Sahil beserta benteng-bentengnya kepada al-Quaithi di tahun 1281 H. Sebagai gantinya, al-Quaithi membayar 10,000 Riyal sebagai tebusan harta kekayaan Al Mahri di Sahil, Masilah, dataran tinggi Sabbalah, yang semuanya di bawah kuasa al-Quaithi.
Di bulan Shafar 1282 H, al-Jama'dar Umar bin Awadh al-Quaithi, pelopor Dinasti Quaithi, meninggal dunia di Haidar Abad. Ia berwasiat agar kuasa hukum sepeninggalnya diserahkan kepada tiga orang putranya Abdullah, Awadh dan Sholeh dan berpesan kepada Muhammad dan Ali, dua putranya yang lain agar tunduk kepada mereka bertiga.
Dengan begitu, Dinasti Quaithi terus berkesinambungan dalam perluasan pemerintahan di masa al-Jama'dar Awadh bin Umar orang yang bergelar Sultan pertama kali sesuai keputusan pemerintah India tahun 1902.
Syihr Yaman dapat dikuasai di bulan Dzul Hijjah 1283 H, begitu pula Syuhair. Kemudian di tahun 1292 H, Ghail ikut diduduki. Akibatnya keluarga Umar Ba'mar, para penguasa setempat, melarikan diri. Sebelumnya, di tahun 1287 H, Kota Hami Mukalla juga berhasil diduduki. Demikian juga Bagasywan, Qren, Dies, lalu Qushair, dapat ditaklukkan pada tahun 1288 H. Dengan perluasan ini, semua pelabuhan timur Yaman di bawah kuasa hukum al-Quaithi.
Di lain tempat, Naqieb (ketua, pen) Sholah bin Muhammad al-Kasadi yang saat itu memerintah Mukalla memiliki banyak hutang kepada al-Quaithi untuk biaya operasional salah satu infasi militernya. Setelah ia wafat, al-Quaithi menuntut Umar bin Sholah selaku anaknya agar melunasi hutang itu. Sengketa terjadi antara kedua kerajaan dan berakhir dengan diserahkannya setengah dari Mukalla, Brum dan Harsyiyyet, untuk al-Quaithi. Tapi sengketa bertambah memanas. Sampai akhirnya Inggris ikut campur dalam penyelesaian masalah ini dan memaksa al-Kasadi agar meninggalkan Mukalla menuju Zanjibar bulan Nofember 1881 M.
Begitulah ceritanya, hingga akhirnya pelabuhan-pelabuhan penting Hadhramaut berada di bawah kuasa al-Quaithi. Begitu pula kawasan bagian dalam yang meliputi Syibam, Qathen, dan Hinah.
Tanggal 13 Februari 1881 M. bertepatan dengan Jumadil Tsani 1305 H, al-Quaithi menandatangani perjanjian protektorat dengan Inggris. Tahun 1317 H, al-Quaithi berhasil meduduki Desa Khureibeh Dau'an.
Tahun 1318 H, al-Quaithi mengadakan persekutuan dengan kabilah-kabilah Hajar dan selanjutnya mampu menguasai seluruh lembah.
Tahun 1325 H/1909 M, Sultan Awadh al-Quaithi meninggal dunia. Posisinya diganti oleh Ghalib, putranya yang wafat tahun 1340 H./1922 M. Dilanjutkan kemudian oleh Umar yang wafat tahun 1354 H. Lalu dilanjutkan oleh Shaleh bin Ghalib dan terus berkuasa sampai Revolusi Yaman selatan meletus.
Begitu pula dengan dinasti al-Katsiri di Seiyun, Tarim dan sekitarnya, serta kawasan Kabilah Abd Aziz di sebelah Syibam, sampai Yaman Selatan merdeka dari cengkraman kolonial Inggris. Setelah merdeka, Yaman Selatan bersatu dan kerajaan-kerajaan yang terpencar-pencar menyatu menjadi Republik Yaman Selatan Nasional.
Tapi kepedihan rakyat Yaman selatan secara umum dan Hadhramaut pada khususnya masih belum reda saat pemerintah sosialis selama lebih dari 30 tahun memerintah. Ketika konflik internal dalam waktu yang cukup lama terus menerus membuncah, terkadang dengan dalih merampas sekte oportunis kiri, terkadang pula atas nama sekte oportunis kanan, begitulah seterusnya sampai Yaman secara keseluruhan bersatu di bawah bendera Republik Yaman (al-Jumhuriyyah al-Yamaniyyah). Dan Hadhramaut menjadi salah satu provinsi di negara itu
TAREEM BERDUKA....
Tareem-Hadlramaut info.
seminggu yang lalu, Ahad 15 Maret 2009 semua Mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Al Ahgaff berbondong-bondong menghadiri acara Khotam di lokasi Turbah Zambal di pemakaman Al Habib Husain Aidrus Maula Aidid yang telah menghadap ke hadirat Allah SWT pada Kamis lalu 12/3 di sela-sela kesibukan warga Tareem dan sekitar memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di bulan Rabi'ul Awal.
Acara yang juga dihadiri oleh rector Universitas Al Ahgaff, Prof. Dr. Abdullah Baharun, Rektor Darul Mushtofa Al Habib Umar bin Hafidz, serta beberapa tokoh masyarakat Tareem dan Hadlramaut itu dimulai pagi hari tadi pada pukul 06.00 waktu setempat dan berahir sekitar pukul 09.10 waktu setempat.
Beliau adalah seorang Alim yang juga penyair besar Hadlramaut, bernama lengkap Husain bin Aidrus bin Ahmad bin Salim bin Husain Maula Aidid. Lahir pada tanggal 20 September 1926 M di sebuah wilayah yang termasuk dalam distrik Tareem, Aidid dari ayah yang merupakan tokoh besar pada masanya, Alhabib Aidrus Bin Ahmad bin Salim bin Husain maula Aidid.
Selama masih kecil, beliau belajar langsung kepada orang tuanya sendiri. Dan baru setelah menginjak usia remaja, bertepatan dengan tahun 1940 M beliau belajar di Jam'iyyah Al-Uhuwawh wa Al-Mu'awanah Aidid dalam asuhan beberapa ulama' besar saat itu seperti Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Syathiti, Al Habib Muhammad Aidid bin Salim Al Sirriy, Al Habib Ali bin Syaih bilfagih, dan beberapa Ulama lainnya. Hamper semua masa remaja beliau dihabiskan dengan menimba ilmu di Jamiyyah Al-Uhuwwah wa Al-Mu'awanah sampai ahirnya yayasan tersebut ditutup sebagai konsekuensi semakin panasnya perang dunia ke II pada waktu itu.
Selain belajar di Jaiyyah Al-Uhuwwah wa Al-Mu'awanah, Habib Husain juga tidak lupa untuk menimba ilmu di Rubat Tareem yang pada waktu itu masih diasuh Oleh Sayyid al Walid Al Habib Abdullah bin Umar al Syathiri sampai beliau dewasa.
Setelah menghabiskanmasa mudanya dengan menimba ilmu, penyair yang juga merupakan Guru besar bahasa di Fakultas Syariah Universitas Al Ahgaff ini beberapa mengbdikan diri dan ilmunya kepada masyarakat. Karir kepengabdiannya dimulai dengan mengajar disebuah daerah bernama Qasam yang juga masuk dalam distrik kota Tareem. Hal itu bertepatan dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan yang terpaksa harus disegel krisis yang ditimbulkan oleh perang dunia yang juga memaksa bebeapa tokoh pemuda waktu itu melakukan imigrasi ke Afrika bagian timur.
Setelah itu, belia pindah ke lembaga pendidikan di bawah Dinasti Al Katsiri yang waktu itu hamper menguasai seluruh bagian Hadlramaut dan Eden. Namun setelah terjadi ketegangan di dinasti Al-Katsiri, beliau kembali melanjutkan mengajar di Qasam. Namun hal ini tidak lama, karena selang beberap waktu, bertepatan pada tahun 1956 beliau memutuskan untuk meninggalkan tanah tercintanya menuju Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama sebuah yayasan dagang yang membiayainya. Selepas haji, beliau bermukim di Arab Saudi dan baru pulang kembali pada tahun 1962.
Sepulangnya dari haji itu, beliau malanjutkan kegiatan mengajar. Namun kali ini tidak lagi di lembaga milik dinasti Al-Katsiri, melainkan berada di lembaga milik dinasti Al-Qu'aitiy. Selama mengabdikan diri di bawah poenguasaan dinasti Qu'aithiy ini, beliau beberapa kali dipindah-tugaskan mulai dari Mukalla, Syihr, Dau'an, dsb. Dan baru setelah Yaman Selatan merdeka, beliau mengabdikan diri di Sekolah menengah atas di Seiyun kemudian di Tareem mulai dari tahun 1979 s/d 1989 M. dalam mengabdikan diri di berbagai lembaga ini, beliau tidak di gaji begitu layak, namun beliau tetap bertahan dan bahkan membuka majlis di beberapa masjid.
Pada tahunn 1989, beliau sempat meninggalkan Aidid menuju Arab Saudi untuk yang ke dua kalinya, dan sepulangnya dari Arab Saudi, beliau mendirikan Sholat Jum'at di Masjid yang di bangun eyangnya, Al Habib Muhammad bin Ali Maula Aidid yang di khotbahi oleh beliau sendiri. Dan beberapa saat setelah itu beliau menjadi dosen bahasa di fakultas Syari'ah Universitas Al Ahgaff yang terus beliau emban sampai ahir hayat.
Semoga Allah menerima semua amal baik beliau dan mengampuni semua salah dan dosa beliau, dan menempatkannya di sisi-Nya. Amin..
seminggu yang lalu, Ahad 15 Maret 2009 semua Mahasiswa Fakultas Syari'ah Universitas Al Ahgaff berbondong-bondong menghadiri acara Khotam di lokasi Turbah Zambal di pemakaman Al Habib Husain Aidrus Maula Aidid yang telah menghadap ke hadirat Allah SWT pada Kamis lalu 12/3 di sela-sela kesibukan warga Tareem dan sekitar memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW di bulan Rabi'ul Awal.
Acara yang juga dihadiri oleh rector Universitas Al Ahgaff, Prof. Dr. Abdullah Baharun, Rektor Darul Mushtofa Al Habib Umar bin Hafidz, serta beberapa tokoh masyarakat Tareem dan Hadlramaut itu dimulai pagi hari tadi pada pukul 06.00 waktu setempat dan berahir sekitar pukul 09.10 waktu setempat.
Beliau adalah seorang Alim yang juga penyair besar Hadlramaut, bernama lengkap Husain bin Aidrus bin Ahmad bin Salim bin Husain Maula Aidid. Lahir pada tanggal 20 September 1926 M di sebuah wilayah yang termasuk dalam distrik Tareem, Aidid dari ayah yang merupakan tokoh besar pada masanya, Alhabib Aidrus Bin Ahmad bin Salim bin Husain maula Aidid.
Selama masih kecil, beliau belajar langsung kepada orang tuanya sendiri. Dan baru setelah menginjak usia remaja, bertepatan dengan tahun 1940 M beliau belajar di Jam'iyyah Al-Uhuwawh wa Al-Mu'awanah Aidid dalam asuhan beberapa ulama' besar saat itu seperti Al Habib Muhammad bin Ahmad Al Syathiti, Al Habib Muhammad Aidid bin Salim Al Sirriy, Al Habib Ali bin Syaih bilfagih, dan beberapa Ulama lainnya. Hamper semua masa remaja beliau dihabiskan dengan menimba ilmu di Jamiyyah Al-Uhuwwah wa Al-Mu'awanah sampai ahirnya yayasan tersebut ditutup sebagai konsekuensi semakin panasnya perang dunia ke II pada waktu itu.
Selain belajar di Jaiyyah Al-Uhuwwah wa Al-Mu'awanah, Habib Husain juga tidak lupa untuk menimba ilmu di Rubat Tareem yang pada waktu itu masih diasuh Oleh Sayyid al Walid Al Habib Abdullah bin Umar al Syathiri sampai beliau dewasa.
Setelah menghabiskanmasa mudanya dengan menimba ilmu, penyair yang juga merupakan Guru besar bahasa di Fakultas Syariah Universitas Al Ahgaff ini beberapa mengbdikan diri dan ilmunya kepada masyarakat. Karir kepengabdiannya dimulai dengan mengajar disebuah daerah bernama Qasam yang juga masuk dalam distrik kota Tareem. Hal itu bertepatan dengan semakin banyaknya lembaga pendidikan yang terpaksa harus disegel krisis yang ditimbulkan oleh perang dunia yang juga memaksa bebeapa tokoh pemuda waktu itu melakukan imigrasi ke Afrika bagian timur.
Setelah itu, belia pindah ke lembaga pendidikan di bawah Dinasti Al Katsiri yang waktu itu hamper menguasai seluruh bagian Hadlramaut dan Eden. Namun setelah terjadi ketegangan di dinasti Al-Katsiri, beliau kembali melanjutkan mengajar di Qasam. Namun hal ini tidak lama, karena selang beberap waktu, bertepatan pada tahun 1956 beliau memutuskan untuk meninggalkan tanah tercintanya menuju Arab Saudi untuk menunaikan ibadah haji bersama sebuah yayasan dagang yang membiayainya. Selepas haji, beliau bermukim di Arab Saudi dan baru pulang kembali pada tahun 1962.
Sepulangnya dari haji itu, beliau malanjutkan kegiatan mengajar. Namun kali ini tidak lagi di lembaga milik dinasti Al-Katsiri, melainkan berada di lembaga milik dinasti Al-Qu'aitiy. Selama mengabdikan diri di bawah poenguasaan dinasti Qu'aithiy ini, beliau beberapa kali dipindah-tugaskan mulai dari Mukalla, Syihr, Dau'an, dsb. Dan baru setelah Yaman Selatan merdeka, beliau mengabdikan diri di Sekolah menengah atas di Seiyun kemudian di Tareem mulai dari tahun 1979 s/d 1989 M. dalam mengabdikan diri di berbagai lembaga ini, beliau tidak di gaji begitu layak, namun beliau tetap bertahan dan bahkan membuka majlis di beberapa masjid.
Pada tahunn 1989, beliau sempat meninggalkan Aidid menuju Arab Saudi untuk yang ke dua kalinya, dan sepulangnya dari Arab Saudi, beliau mendirikan Sholat Jum'at di Masjid yang di bangun eyangnya, Al Habib Muhammad bin Ali Maula Aidid yang di khotbahi oleh beliau sendiri. Dan beberapa saat setelah itu beliau menjadi dosen bahasa di fakultas Syari'ah Universitas Al Ahgaff yang terus beliau emban sampai ahir hayat.
Semoga Allah menerima semua amal baik beliau dan mengampuni semua salah dan dosa beliau, dan menempatkannya di sisi-Nya. Amin..
SEKILAS TENTANG NU
Yang terbayang dalam benak kita ketika kita membicarakan tentang NU adalah seseorang yang mengenakan sarung dan terkesan konservatif , akan tetapi NU adalah Suatu fenomena dan organisasi keagamaan terbesar di Indonesia yang mampu bertahan di beberapa era kepemimpinan di Indonesia dari liberal,orde lama dan orde baru dan Reformasi. NU pernah tampil sebagai partai politik aktif dan perolehan suara NU pun tidak bisa di pandang sebelah mata. NU tampil sebagai pemenang kedua setelah partai nasionalis indonesia pimpinan soekarno.Di masa orde baru pimpinan soeharto membuat sebuah kebijakan yang memperkecil jumlah partai yang akan mengikuti pemilu. Dari Multipartai menjadi 3 partai yang akhirnya memaksa NU bergabung dengan PPP, kekecewaan demi kekecewaan dialami NU setelah bergabung dengan PPP. Hingga NU keluar dari partai politik dan kembali menjadi organisasi keagamaan yang dikenal dengan KHITOH 26.
Pendiriaan NU juga sebetulnya tak lepas dari masalah politik nasional.
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan KitabAt-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan /Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
PAHAM KEAGAMAAN NU
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam.
TUJUAN ORGANISASI NU
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
1.
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
3.
Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
5.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
Pendiriaan NU juga sebetulnya tak lepas dari masalah politik nasional.
Keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut dikenal dengan Kebangkitan Nasional. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana--setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain, sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisai pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon Kebangkitan Nasional tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatut Wathan (Kebangkitan Tanah Air) 1916. Kemudian tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (Pergerakan Kaum Sudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagi kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Ketika Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab wahabi di Mekah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra-Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bi'dah. Gagasan kaum wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dari kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah di bawah pimpinan Ahmad Dahlan, maupun PSII di bahwah pimpinan H.O.S. Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermadzhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Sikapnya yang berbeda, kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta 1925, akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu'tamar 'Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekah yang akan mengesahkan keputusan tersebut.
Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebsan bermadzhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamai dengan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dari segala penjuru umat Islam di dunia, Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya hingga saat ini di Mekah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan madzhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermadzhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah serta peradaban yang sangat berharga.
Berangkat dari komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kiai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (13 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy'ari sebagi Rais Akbar.
Untuk menegaskan prisip dasar orgasnisai ini, maka KH. Hasyim Asy'ari merumuskan KitabAt-Tibyan Fin Nahyi An-Muqothoatil Arham Wal Aqorib Wal Ikhwan /Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I'tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah. Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU , yang dijadikan dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan politik.
PAHAM KEAGAMAAN NU
Nahdlatul Ulama (NU) menganut paham Ahlussunah Wal Jama'ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya Al-Qur'an, Sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu, seperti Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti empat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi'i, dan Hanbali. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat.
Gagasan kembali ke khittah pada tahun 1985, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah Wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Serta merumuskan kembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil membangkitkan kembali gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam.
TUJUAN ORGANISASI NU
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah Wal Jama'ah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
Usaha Organisasi
1.
Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
2.
Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.
3.
Di bidang sosial-budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai ke-Islaman dan kemanusiaan.
4.
Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.
5.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
HABIB ANIS BIN ALWI AL HABSYI
HABIB ANIS BIN ALWI AL HABSYI
( ULAMA KARISMATIK DARI SOLO)
Saya sendiri belum pernah bertemu Beliau dan Hanya sebatas mengenal nama beliau melalui sebuah Kitab Maulid bernama “Simtut Durror”, dan ternyata Habib Anis bin Alwi al Habsyi adalah cucu Pengarang Kitab Maulid Simtut Durror yang termasyhur tersebut. Menyesal juga saya belum pernah bertemu dan mencium tangan Beliau, Tapi beliau sudah dipanggil Alloh SWT tahun 2006. Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al Habysi lahir di Garut Jawa Barat tanggal 5 may 1928 . Habib Alwi Al habsyi membawa keluarganya untuk menetap di Solo dan mendidik putra- putri beliau dengan sungguh-sungguh agar kelak bisa meneruskan Syiar dakwah yang telah dirintis oleh pendahulu mereka. Begitupun dengan Habib Anis al habsyi pendidikannya di mulai di deket rumahnya di Madrasah Ar Ribathoh Solo.
Sejak Ayahnya meninggal Otomatis Habib Anis meneruskan perjuangan dakwahnya dalam mensyiarkan agama alloh. Walaupun usianya relatif muda namun kapasitas keilmuan yang dimiliki tidak diragukan berkat gemblengan dan disiplin yang tinggi yang telah diajarkan ayahnya.
Habib Anis Al Habsyi merupakan Sosok ulama yang tawadhu yang menganggap bahwa dirinya tidak berarti apa-apa , Walaupun berasal dari keluarga Ahli Bait Rosululloh SAW namun karekter beliau seperti dari keluarga Jawa. Tata krama yang layaknya dimiliki orang jawa adalah Kromo Inggil , memperlakukan siapapun yang datang kepadanya dengan ramah layaknya saudara sendiri. Senyumnya yang khas mampu meluluhkan hati siapapun yang berjumpa dengannya.
Jika beliau membaca “Simtut Durror” serasa Rosululloh saw hadir di Majlis tersebut, suaranya yang khas mendayu menyentuh kalbu kalbu yang merindukan kekasihnya Sayyidul Wujud Muhammad SAW , kadang beliau meneteskan air mata . Tausiyah yang selalu disampaikan selalu mengajak Jamaah untuk selalu mendekatkan diri kepada Alloh dan menteladani akhlak mulia Rosululloh saw. Beliau pernah mengatakan kepada murid-muridnya “Jika kalian ingin mengenalku lebih dekat ,
pertama lihatlah rumahku dan masjid dekat rumahku, disitulah aku selalu mendekatkan diri kepada Alloh.
kedua Jawiyah di Majlis itu aku mendidik Murid muridku agar memilki akhlak seperti Rosululloh saw.
ketiga kusediakan Ribuan kitab dalam perpustakaan agar kalian dapat menggali ilmu yang sebanyak banyaknya.
keempat aku bangun bangunan megah dan pertokoan agar kalian sebagai umat Islam bekerja.
Habib Anis sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya untuk mengajar di majlis majlis ilmu, Muridnya tersebar di berbagai plosok tanah air. Sifatnya yang istiqomah menempatkan beliau pada Maqom yang tinggi dikalangan Para ulama, bahkan beliau di sebut sebut sebagai “Paku Bumi” di Indonesia bagian tengah. Jika di barat ada Al walid Habib Abdurrahman bin ahmad assegaf ( bukit duri Jakarta) dan di Timur ada Habib Syech bin Muhammad bin Husein Al idrus (surabaya) dan di Tengah adalah beliau Habib Anis bin Alwi Al habsyi. Karunia alloh yang telah diberikan kepada Hamba-hambanya yang selalu istiqomah dalam mensyiarkan agama Alloh. Keteladan dan akhlak yang tingi tercermin dalam prilaku Habib Anis Al Habsyi. Kalau kita berjalan jalan di kota Solo dari pegawai sampai tukang becak mengenal sosok beliau yang sederhana dan ramah , Habib Anis tak segan segan Naik becak untuk mengunjungi suatu tempat. Maka tak heran sosok beliau begitu berkenan di hati Warga Solo . Tutur katanya yang santun dan Senyum yang Manis selalu beliau tebarkan kepada setiap orang yang berkunjung kerumahnya.
Hari jumat tagl 3 november 2006 , Habib Anis mengalami serangan jantung untuk yang keduakalinya. Saat itu juga Habib Anis di bawa kerumah sakit DR Oen dan dirawat disana. Semakin hari kondisi makin menurun dan beberapa kali pingsang hingga akhirnya Hari senin tgl 06 November 2006 oukul 12.55 Habib Anis berpulang kerahmatulloh. Berita Wafatnya Habis Anis menyebar begitu cepat , maka ribuan orang berdatangan dari berbagai daerah , linangan air mata dan gema takbir Alloh huakbar….. dari murid murid beliau mengiringi kerpergian beliau ketempat peristirahatan terakhir. Beliau dimaqomkan di sebelah timur Maqom Ayahandanya Habib Alwi al habsyi di komplek masjid al riyadh Solo. Semoga alloh tempatkan beliau dalam derajat yang Mulia amiinn
( ULAMA KARISMATIK DARI SOLO)
Saya sendiri belum pernah bertemu Beliau dan Hanya sebatas mengenal nama beliau melalui sebuah Kitab Maulid bernama “Simtut Durror”, dan ternyata Habib Anis bin Alwi al Habsyi adalah cucu Pengarang Kitab Maulid Simtut Durror yang termasyhur tersebut. Menyesal juga saya belum pernah bertemu dan mencium tangan Beliau, Tapi beliau sudah dipanggil Alloh SWT tahun 2006. Habib Anis bin Alwi bin Ali bin Muhammad Al Habysi lahir di Garut Jawa Barat tanggal 5 may 1928 . Habib Alwi Al habsyi membawa keluarganya untuk menetap di Solo dan mendidik putra- putri beliau dengan sungguh-sungguh agar kelak bisa meneruskan Syiar dakwah yang telah dirintis oleh pendahulu mereka. Begitupun dengan Habib Anis al habsyi pendidikannya di mulai di deket rumahnya di Madrasah Ar Ribathoh Solo.
Sejak Ayahnya meninggal Otomatis Habib Anis meneruskan perjuangan dakwahnya dalam mensyiarkan agama alloh. Walaupun usianya relatif muda namun kapasitas keilmuan yang dimiliki tidak diragukan berkat gemblengan dan disiplin yang tinggi yang telah diajarkan ayahnya.
Habib Anis Al Habsyi merupakan Sosok ulama yang tawadhu yang menganggap bahwa dirinya tidak berarti apa-apa , Walaupun berasal dari keluarga Ahli Bait Rosululloh SAW namun karekter beliau seperti dari keluarga Jawa. Tata krama yang layaknya dimiliki orang jawa adalah Kromo Inggil , memperlakukan siapapun yang datang kepadanya dengan ramah layaknya saudara sendiri. Senyumnya yang khas mampu meluluhkan hati siapapun yang berjumpa dengannya.
Jika beliau membaca “Simtut Durror” serasa Rosululloh saw hadir di Majlis tersebut, suaranya yang khas mendayu menyentuh kalbu kalbu yang merindukan kekasihnya Sayyidul Wujud Muhammad SAW , kadang beliau meneteskan air mata . Tausiyah yang selalu disampaikan selalu mengajak Jamaah untuk selalu mendekatkan diri kepada Alloh dan menteladani akhlak mulia Rosululloh saw. Beliau pernah mengatakan kepada murid-muridnya “Jika kalian ingin mengenalku lebih dekat ,
pertama lihatlah rumahku dan masjid dekat rumahku, disitulah aku selalu mendekatkan diri kepada Alloh.
kedua Jawiyah di Majlis itu aku mendidik Murid muridku agar memilki akhlak seperti Rosululloh saw.
ketiga kusediakan Ribuan kitab dalam perpustakaan agar kalian dapat menggali ilmu yang sebanyak banyaknya.
keempat aku bangun bangunan megah dan pertokoan agar kalian sebagai umat Islam bekerja.
Habib Anis sepanjang hidupnya mengabdikan dirinya untuk mengajar di majlis majlis ilmu, Muridnya tersebar di berbagai plosok tanah air. Sifatnya yang istiqomah menempatkan beliau pada Maqom yang tinggi dikalangan Para ulama, bahkan beliau di sebut sebut sebagai “Paku Bumi” di Indonesia bagian tengah. Jika di barat ada Al walid Habib Abdurrahman bin ahmad assegaf ( bukit duri Jakarta) dan di Timur ada Habib Syech bin Muhammad bin Husein Al idrus (surabaya) dan di Tengah adalah beliau Habib Anis bin Alwi Al habsyi. Karunia alloh yang telah diberikan kepada Hamba-hambanya yang selalu istiqomah dalam mensyiarkan agama Alloh. Keteladan dan akhlak yang tingi tercermin dalam prilaku Habib Anis Al Habsyi. Kalau kita berjalan jalan di kota Solo dari pegawai sampai tukang becak mengenal sosok beliau yang sederhana dan ramah , Habib Anis tak segan segan Naik becak untuk mengunjungi suatu tempat. Maka tak heran sosok beliau begitu berkenan di hati Warga Solo . Tutur katanya yang santun dan Senyum yang Manis selalu beliau tebarkan kepada setiap orang yang berkunjung kerumahnya.
Hari jumat tagl 3 november 2006 , Habib Anis mengalami serangan jantung untuk yang keduakalinya. Saat itu juga Habib Anis di bawa kerumah sakit DR Oen dan dirawat disana. Semakin hari kondisi makin menurun dan beberapa kali pingsang hingga akhirnya Hari senin tgl 06 November 2006 oukul 12.55 Habib Anis berpulang kerahmatulloh. Berita Wafatnya Habis Anis menyebar begitu cepat , maka ribuan orang berdatangan dari berbagai daerah , linangan air mata dan gema takbir Alloh huakbar….. dari murid murid beliau mengiringi kerpergian beliau ketempat peristirahatan terakhir. Beliau dimaqomkan di sebelah timur Maqom Ayahandanya Habib Alwi al habsyi di komplek masjid al riyadh Solo. Semoga alloh tempatkan beliau dalam derajat yang Mulia amiinn
MANAQIB IMAM AL-BUSHIRI
IMAM AL BUSHIRI
(SHOHIBUL BURDAH)
Kasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah. Diciptakan oleh Imam Busyiri pada abad 7 Hijrah dan di baca dalam berbagai acara. Puisi-puisi ini diyakini dapat memberi kesembuhan jiwa dan raga
Al- Bushiri yang bernama lengkap Sarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah as Shanhaji al Bushiri, adalah seorang sufi besar, pengikut Thariqat Syadziliyah, dan menjadi salah satu murid Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily, ra. Ia lahir tahun 1212 M di Maroko. Ia berguru dengan beberapa ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya’mari dan al ‘Iz bin Jama’ah al Kanani al Hamawi, dan belajar Thariqat Sufi pada Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily. Sejak masa kanak, Bushiri dikenal sebagai orang yang wara’ (takut dosa). Pernah suatu ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan tetapi melihat perilaku pegawai kerajaan membuatnya menolak.
Yang paling menarik adalah kisah pembuatan kasidah Burdah. Menurut al Busyiri bahwa karyanya ini muncul ketika ia tengah sakit lumpuh. Penyakit itu dikenal dengan nama angin merah. Di tengah pembaringannya, Busyiri menulis kasidah Burdah dan membacanya beberapa kali hingga tertidur. Dalam tidur tersebut, ia bermimpi ketemu Rasulullah SAW. Kemudian Nabi Muhammad mengusap mukanya. Setelah itu Busyiripun terbangun dan ia bisa berjalan.
Bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan, ketika dalam mimpi al Busyiri terlibat pembicaraan dengan Rasulullah SAW. Busyiripun membacakan karyanya pada bait ke 51 wamabalaghul ilmi an nahu masyarun tidak bisa meneruskan kata-katanya. Rasulullahpun menyuruhnya meneruskan. “Saya tak mampu lagi, jawab Busyiri. Kemudian Rasulullah menyempurnakan bait itu dengan kalimat, “wa annahu khayri khalqillahi kulllihimi.”
Kasidah Busyiri memang bukan sekedar karya. Ia dibaca karena keindahan keindahan kata-katanya. Menurut DR. De Sacy seorang ahli bahasa Arab di Universitas Sorborne memujinya sebagai karya puisi terbaik sepanjang masa.
Beberapa nama ulama besar terutama pada bidang tasawwuf tercatat sebagai guru Al Bushiri. Antara lain Imam Abu Hayyan, Abul Fath bin Sayyidunnas Al Ya’mari Al Asybali Al Misri pengarang,kitab ‘Uyunul Atsar fi Sirah Sayyidil Basyar, Al ‘Iz bin Jama’ah Al Kanani Al Hamawi salah seorang hakim di Mesir, dan banyak lagi kalangan ulama besar Mesir yang memberikan ilmu pengetahuannya kepada AJ Bushiri.
Burdah memang tak hanya mantera. la, dibaca karena keindahan kata-katanya meskipun dipenuhi doa doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa.
Burdah memang tak hanya mantera. la, dibaca karena keindahan kata-katanya meskipun dipenuhi doa doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa. Karena itu tak heran jika banyak ulama membenkan catatan khusus tentang burdah, baik dalam bentuk syarah (komentar) atau hasiyah (catatan kaki atau catatan pinggir). Menurut Darul Faqih sangat banyak karya syarh atas Burdah yang tak ketahuan lagi siapa pengarangnya. Hanya yang bisa dicatat dan diketahui namanya karena menjadi bahan kajian di beberapa universitas adalah karya Imam Jalaluddin Al Mahalli Asy Syagi yang wafat tahun 864 Hijriyah, imam Zakaria Al Anshari yang wafat tahun 926 Hijriyah, Imam Al Qasthalani yang wafat tahun 923 H, Syaikh Al Malla Ali Qari Al Hanafi yang wafat tahun 1014 H, dan Syaikh Ibrahim Al Bajuri yang wafat tahun 1276 H. Dr. Zaki Mubarak ahli sastra Arab dan Mesir dalam skripsinya Al Madaihun Nabawiyah menyebutkan bahwa gaya puisi Al Burdah banyak mempengaruhi karya karya kemudian. Al Bushiri sebenamya tak hanya, terkenal dengan karya Burdahnya saja. la juga dikenal sebagai seorang ahli fikih dan ilmu kalam. Namun nama Burdah telah menenggelamkannya untuk dikenal sebagai seorang sufi besar yang memiliki banyak murid
(SHOHIBUL BURDAH)
Kasidah Burdah adalah mutiara syair kecintaan kepada Rasulullah. Diciptakan oleh Imam Busyiri pada abad 7 Hijrah dan di baca dalam berbagai acara. Puisi-puisi ini diyakini dapat memberi kesembuhan jiwa dan raga
Al- Bushiri yang bernama lengkap Sarafuddin Abu Abdillah Muhammad bin Abdullah as Shanhaji al Bushiri, adalah seorang sufi besar, pengikut Thariqat Syadziliyah, dan menjadi salah satu murid Sulthonul Auliya Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily, ra. Ia lahir tahun 1212 M di Maroko. Ia berguru dengan beberapa ulama tasawuf seperti Abu Hayyan, Abu Fath bin Ya’mari dan al ‘Iz bin Jama’ah al Kanani al Hamawi, dan belajar Thariqat Sufi pada Syeikh Abul Hasan asy-Syadzily. Sejak masa kanak, Bushiri dikenal sebagai orang yang wara’ (takut dosa). Pernah suatu ketika ia akan diangkat menjadi pegawai pemerintahan kerajaan Mesir, akan tetapi melihat perilaku pegawai kerajaan membuatnya menolak.
Yang paling menarik adalah kisah pembuatan kasidah Burdah. Menurut al Busyiri bahwa karyanya ini muncul ketika ia tengah sakit lumpuh. Penyakit itu dikenal dengan nama angin merah. Di tengah pembaringannya, Busyiri menulis kasidah Burdah dan membacanya beberapa kali hingga tertidur. Dalam tidur tersebut, ia bermimpi ketemu Rasulullah SAW. Kemudian Nabi Muhammad mengusap mukanya. Setelah itu Busyiripun terbangun dan ia bisa berjalan.
Bahkan dalam sebuah riwayat diceritakan, ketika dalam mimpi al Busyiri terlibat pembicaraan dengan Rasulullah SAW. Busyiripun membacakan karyanya pada bait ke 51 wamabalaghul ilmi an nahu masyarun tidak bisa meneruskan kata-katanya. Rasulullahpun menyuruhnya meneruskan. “Saya tak mampu lagi, jawab Busyiri. Kemudian Rasulullah menyempurnakan bait itu dengan kalimat, “wa annahu khayri khalqillahi kulllihimi.”
Kasidah Busyiri memang bukan sekedar karya. Ia dibaca karena keindahan keindahan kata-katanya. Menurut DR. De Sacy seorang ahli bahasa Arab di Universitas Sorborne memujinya sebagai karya puisi terbaik sepanjang masa.
Beberapa nama ulama besar terutama pada bidang tasawwuf tercatat sebagai guru Al Bushiri. Antara lain Imam Abu Hayyan, Abul Fath bin Sayyidunnas Al Ya’mari Al Asybali Al Misri pengarang,kitab ‘Uyunul Atsar fi Sirah Sayyidil Basyar, Al ‘Iz bin Jama’ah Al Kanani Al Hamawi salah seorang hakim di Mesir, dan banyak lagi kalangan ulama besar Mesir yang memberikan ilmu pengetahuannya kepada AJ Bushiri.
Burdah memang tak hanya mantera. la, dibaca karena keindahan kata-katanya meskipun dipenuhi doa doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa.
Burdah memang tak hanya mantera. la, dibaca karena keindahan kata-katanya meskipun dipenuhi doa doa yang bisa memberi manfaat pada jiwa. Karena itu tak heran jika banyak ulama membenkan catatan khusus tentang burdah, baik dalam bentuk syarah (komentar) atau hasiyah (catatan kaki atau catatan pinggir). Menurut Darul Faqih sangat banyak karya syarh atas Burdah yang tak ketahuan lagi siapa pengarangnya. Hanya yang bisa dicatat dan diketahui namanya karena menjadi bahan kajian di beberapa universitas adalah karya Imam Jalaluddin Al Mahalli Asy Syagi yang wafat tahun 864 Hijriyah, imam Zakaria Al Anshari yang wafat tahun 926 Hijriyah, Imam Al Qasthalani yang wafat tahun 923 H, Syaikh Al Malla Ali Qari Al Hanafi yang wafat tahun 1014 H, dan Syaikh Ibrahim Al Bajuri yang wafat tahun 1276 H. Dr. Zaki Mubarak ahli sastra Arab dan Mesir dalam skripsinya Al Madaihun Nabawiyah menyebutkan bahwa gaya puisi Al Burdah banyak mempengaruhi karya karya kemudian. Al Bushiri sebenamya tak hanya, terkenal dengan karya Burdahnya saja. la juga dikenal sebagai seorang ahli fikih dan ilmu kalam. Namun nama Burdah telah menenggelamkannya untuk dikenal sebagai seorang sufi besar yang memiliki banyak murid
Langganan:
Postingan (Atom)