Mengemas Ekskul Lokal
Jawa Timur terkenal akan kekayaan ragam budaya dan pariwisata. Hampir di setiap kabupaten atau kota madya memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Sayangnya ketika ditelisik lebih dalam ternyata hanya sebagian kecil masyarakat yang mau dan peduli akan hal ini. Pengakuan seni dan budaya lokal oleh bangsa asing harus dihentikan. Bukan tidak mungkin keragaman budaya kita hanya menjadi catatan sejarah. Kita harus memproteksinya dengan mencintai dan membanggakan budaya sendiri.
Ekstra kurikuler (ekskul) sebagai sarana belajar di luar jam efektif sekolah sangat diminati siswa. Rutinitas belajar yang padat membuat siswa merasa jenuh. Mereka perlu waktu untuk sekadar mengekpresikan bakat dan minatnya. Pihak sekolah dalam hal ini selaku pelaksana pendidikan berusaha mengakomodir kebutuhan siswa tersebut.
Namun sayang keragaman budaya yang kita miliki jarang mendapat apresiasi khususnya di kalangan pelajar. Konsep ekskul modern/asing dan olahraga cenderung lebih digandrungi siswa. Capoiera, break dance, cheerleader menjadi primadona di sekolah perkotaan. Di bidang olahraga tentu basket dan futsal saat ini menjadi yang terdepan. Hampir di setiap even penyelenggaraannya konsep modern selalu dipadati peserta dan penonton dari kalangan pelajar.
Lalu bagaimana dengan bidang kesenian dan budaya? Sudah sangat jarang kita mendengar ada pentas ketoprak, reog, atau festival tari tradisional antar-pelajar. Andai pun ada bisa dipastikan akan sepi peminat. Yang membuat kita semakin prihatin sekarang adalah siswa mulai lupa akan sejarah kebudayaan bangsa sendiri. Tidak ada lagi kebanggaan yang terlihat dalam mencitai seni dan budaya lokal.
Menteri pendidikan melalui dinas pendidikan masing-masing daerah lewat program kerjanya sudah berupaya menanggulangi hal ini. Berbagai macam kegiatan festival kebudayaan dan pelatihan mulai rutin diagendakan. Keterlibatan siswa secara langsung tentu saja sangat diharapkan untuk menumbuhkan sikap nasionalisme.
Mata pelajaran Seni Budaya dan Kesenian (SBK) menjadi muatan lokal di setiap sekolah. Dari situ diharapkan siswa mampu dan menguasai mata pelajaran ini seperti yang telah diagendakan. Cukupkah dengan hal ini? Secara teoritis mungkin sudah terjawab, tetapi secara praktik terlihat sangat kurang.
Keseimbangan soft skill dan hard skill peserta didik harus seimbang. Siswa tidak hanya pandai dalam mata pelajaran saja melainkan harus memiliki kemampuan atau bakat lain. Bahaya akan semakin tergerusnya budaya lokal oleh pengaruh asing sangat terasa. Jangan sampai bangsa ini kehilangan jati dirinya gara-gara generasi mudanya tidak tahu kultur budaya Indonesia.
Di samping siswa peran pendidik sangat dibutuhkan dalam memberikan pengarahan. Ekskul tidak hanya soal hiburan. Lebih dari itu guru harus mampu memberikan rangsangan kepada siswa agar lebih peka dan peduli. Bangsa ini butuh regenerasi dalam melestarikan budaya lokal.
Reog kendang, tari remo, ludruk yang menjadi kebanggaan masyarakat Jawa Timur jangan sampai hilang. Peningkatan sarana prasarana sangat dibutuhkan dalam pembinaan. Pengemasan yang lebih bersifat modern sesuai jiwa anak-anak yang dinamis harus dipertimbangkan. Menarik jika setiap sekolah mempunyai ekskul tentang seni budaya lokal dan mewajibkan siswanya untuk aktif di dalamn
Tidak ada komentar:
Posting Komentar