PENDAHULUAN
1. Pengertian Inovasi
Inovasi berasal dari kata latin, innovation yang berarti pembaruan dan perubahan. Kata kerjanya innovo yang artinya memperbarui dan mengubah. Inovasi
adalah suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati
sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang
(masyarakat), baik itu berupa hasil invensi atau diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu (Ibrahim, 1988). Invensi
adalah suatu penemuan yang benar-benar baru artinya hasil kreasi
manusia yang berupa benda atau hal yang ditemukan itu benar-benar
sebelumnya belum ada, kemudian diadakan dengan hasil kreasi baru. Sedangkan
diskoveri adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal
yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang.
Ibrahim
(1988) mengemukakan bahwa inovasi pendidikan adalah inovasi dalam
bidang pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan. Jadi
inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan
atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau kelompok
orang (masyarakat), baik berupa invensi atau diskoveri yang digunakan
untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah
pendidikan.
2. Tujuan Inovasi Pendidikan
Menurut Fuad
Ihsan (2005), tujuan inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi,
relevansi, kualitas dan efektivitas, sarana serta jumlah peserta didik
sebanyak-banyaknya, dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya (menurut
criteria kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan pembangunan), dengan
menggunakan sumber, tenaga, uang, alat, waktu dalam jumlah yang
sekecil-kecilnya.
Kalau dikaji, arah tujuan inovasi pendidikan Indonesia tahap demi tahap, yaitu :
a. Mengejar
ketinggalan-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu dan
teknologi sehingga makin lama pendidikan di Indonesia makin berjalan
sejajar dengan kemajuan-kemajuan tersebut.
b. Mengusahakan terselenggaranya pendidikan sekolah maupun luar sekolah bagi setiap warga negara. Misalnya daya tamping usia sekolah SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi.
Di samping itu, akan diusahakan peningkatan mutu yang dirasakan makin menurun dewasa ini. Dengan
system penyampaian yang baru, diharapkan peserta didik menjadi manusia
yang aktif, kreatif, dan terampil memecahkan masalahnya sendiri.
Tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.
3. Masalah-masalah yang Menuntut Diadakan Inovasi
Adapun masalah-masalah yang menuntut diadakan inovasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. Perkembangan
ilmu pengetahuan menghasilkan kemajuan teknologi yang mempengaruhi
kehidupan social, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan bangsa
Indonesia. Sistem pendidikan yang dimiliki dan dilaksanakan
di Indonesia belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan-kemajuan
tersebut sehingga dunia pendidikan belum dapat menghasilkan
tenaga-tenaga pembangunan yang terampil, kreatif, dan aktif sesuai
dengan tuntutan dan keinginan masyarakat.
b. Laju
eksplorasi penduduk yang cukup pesat, yang menyebabkan daya tampung,
ruang, dan fasilitas pendidikan yang sangat tidak seimbang.
c. Melonjaknya aspirasi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, sedangkan di pihak lain kesempatan sangat terbatas.
d. Mutu pendidikan yang dirasakan makin menurun, yang belum mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Belum
mekarnya alat organisasi yang efektif, serta belum tumbuhnya suasana
yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan yang
dituntut oleh keadaan sekarang dan yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Berbagai Upaya Inovasi Pendidikan di Indonesia
1. Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
Ada
delapan IKIP yang ditugaskan untuk menyelenggarakan Proyek Perintis
Sekolah Pembangunan (PPSP), yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP
Bandung, IKIP Semarang, IKIP Yogyakarta, IKIP Surabaya, IKIP Malang dan
IKIP Ujung Pandang.
Pada mulanya proyek itu dimaksudkan untuk mencoba bentuk system persekolahan yang komprehensif dengan nama Sekolah Pembangunan. Selain
itu, secara umum kerangka system pendidikan ini digariskan dalam Surat
Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0172 Tahun 1974.
Dalam
Surat Keputusan itu terdapat beberapa pokok pikiran mengenai hakikat
Sekolah Pembangunan, yang menyangkut relevansi sekolah dengan kebutuhan
masyarakat, yaitu :
a. Adanya integrasi antara sekolah dan masyarakat serta pembangunan.
b. Sekolah menghasilkan tenaga terdidik sehingga dapat merupakan tenaga kerja yang produktif.
c. Sekolah menghasilkan manusia terdidik dengan pengertian kesadaran ekologi, baik lingkungan social, fisik maupun biologis.
d. Sekolah
menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan, merangsang sesuai dengan
tuntutan jaman untuk pendidikan watak, pengetahuan, kecerdasan,
keterampilan, kemampuan berkomunikasi dan kesadaran ekologi.
e. Sekolah menciptakan keseimbangan fisik, emosional intelektual, kultural dan spiritual, serta keseluruhan pembangunan masyarakat.
f. Sekolah memberikan sumbangan bagi ketahanan nasional dan ikut serta dalam pembangunan.
Konsepsi Sekolah Pembangunan disebarluaskan ke seluruh Indonesia pada tahun 1974. Tampaknya konsepsi ini masih perlu dikembangkan melalui proses penelitian dan percobaan yang dilakukan secara sistematis. Oleh
karena itu disusun “Master Design Pembaruan Pendidikan melalui PPSP”,
yang kemudian diperkuat dengan SK Mendikbud No. 041 Tahun1974 tentang
landasan, tujuan, strategi, proses, dan tata kerja pembaruan pendidikan.
PPSP
adalah salah satu proyek dalam rangka program pendidikan yang
ditugaskan untuk mengembangkan satu system pendidikan dasar dan menengah
(Surat Keputusan Menteri No. 0141 Tahun 1974) yang :
a. Efektif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan individu yang diwujudkan melalui program pendidikan yang sesuai;
b. Merupakan dasar bagi pendidikan seumur hidup; dan
c. Efisien dan realistis, sesuai dengan tingkat kemampuan pembiayaan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sesuai
dengan tugas yang diemban itu maka Badan Penelitian dan Pengembangan
Kebudayaan (BP3K) memilih modul sebagai satu system penyampaian pada
delapan PPSP, dengan alasan :
a. Modul
mempunyai potensi untuk memecahkan masalah pemerataan pendidikan,
karena modul memungkinkan murid belajar sendiri tanpa tergantung pada
tempat dan waktu.
b. Modul mempunyai potensi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sistem pengajaran dengan modul menekankan bahwa setiap siswa harus dapat mencapai tingkat penguasaaan tertentu (mastery learning). Apabila 75% siswa tidak dapat menguasai tingkat penguasaan minimum maka modul harus diulang dengan bimbingan guru.
c. Modul mempunyai potensi untuk meningkatkan relevansi pendidikan. Modul
berorientasi kepada tujuan yang direncanakan dengan seksama supaya
memungkinkan terjaminnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
masyarakat.
d. Modul
mempunyai potensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan waktu dan
fasilitas sebab dengan modul memungkinkan guru membantu dan memperbaiki
siswa selama dia belajar.
Semua itu dilihat dari tujuan pengajaran modul yaitu :
a. Tujuan pendidikan dan pengajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien
b. Menjadikan siswa aktif dalam belajar
c. Siswa dapat bekerja sendiri, baik dibantu oleh guru maupun tidak
d. Siswa dapat mengikuti pelajaran (program pendidikan) sesuai dengan kemampuan masing-masing
e. Siswa dapat mengetahui hasil pelajaran secara berkelanjutan.
Modul ialah suatu satuan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh murid dengan bantuan yang minimal dari guru. Satuan
ini berisikan tujuan yang harus dicapai secara praktis,
petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan, materi dan alat-alat yang
dibutuhkan, alat penilaian guru yang mengukur keberhasilan murid dalam
mengerjakan modul. Modul sebagai suatu system penyampaian merupakan suatu unit kecil program penyampaian yang dapat dipelajari oleh murid. Murid harus menguasai suatu unit bahan pelajaran sebelum mereka beralih ke unit berikutnya (BP3K, 1976).
2. Kurikulum 1975
Kurikulum
1975 disetujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk secara
nasional dilaksanakan bertahap mulai tahun pengajaran 1976 dengan
catatan, bahwa bagi sekolah-sekolah yang menurut penilaian kepala
perwalian telah mampu, diperkenankan melaksanakannya tahun 1975.
a. Ciri-ciri Khusus
Kurikulum 1975 mempunyai cirri-ciri khusus sebagai berikut :
1) Menganut pendekatan yang berorientasi pada tujuan. Setiap
guru harus mengetahui dengan jelas tujuan yang harus dicapai oleh
setiap murid di dalam menyusun rencana kegiatan belajar mengajar dan
membimbing murid untuk melaksanakan rencana tersebut.
2) Menganut pendekatan yang integratif, dalam arti setiap pelajaran dan tujuan yang lebih akhir.
3) Pendidikan
Moral Pancasila dalam hal ini bukan hanya dibebankan kepada bidang
pelajaran PMP dalam pencapaiannya, melainkan juga kepada bidang
pelajaran ilmu pengetahuan social (sejarah, geografi, ekonomi) dan
pendidikan agama.
4) Kurikulum ini menekankan pada efisiensi dan efektivitas penggunaan dana, daya dan waktu yang tersedia.
5) Mengharuskan
guru untuk menggunakan teknik penyusunan program pengajaran yang
dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
6) Organisasi
pelajaran meliputi bidang-bidang studi : agama, bahasa, matematika,
ilmu pengetahuan social, kesenian, olah raga dan kesehatan,
keterampilan, di samping Pendidikan Moral Pancasila, yang tujuannya
untuk mencapai sinkronisasi dan integrasi pelajaran-pelajaran yang
sekelompok.
7) Pendekatan
dalam strategi pembelajaran memandang situasi belajar mengajar sebagai
suatu system yang meliputi komponen-komponen tujuan pembelajaran, bahan
pembelajaran, alat pembelajaran, alat evaluasi, dan metode pembelajaran.
8) Sistem
evaluasi, dilakukan penilaian murid-murid pada setiap akhir satuan
pembelajaran terkecil dan memperhitungkan nilai-nilai yang dicapai murid
pada setiap akhir satuan pembelajaran.
b. Prinsip-prinsip yang melandasi
Dalam
menyusun dan membakukan kurikulum tersebut digunakan beberapa prinsip
yang memungkinkan system pendidikan pada setiap program (SD, SLTP, SLTA)
benar-benar lebih efisien dan efektif.
1) Fleksibilitas Program. Penyelenggaraan
pendidikan keterampilan pada setiap program harus mengingat
faktor-faktor ekosistem dan kemampuan pemerintah, masyarakat, serta
orang tua untuk menyediakan dana bagi kelangsungan bidang studi
tersebut.
2) Efisiensi dan Efektivitas. Efisiensi disini adalah efisiensi waktu, pendayagunaan dana, dan tenaga secara optimal.
3) Berorientasi pada Tujuan. Kurikulum 1975 mempunyai empat macam tujuan, yaitu :
Tujuan umum yaitu tujuan pendidikan nasional
Tujuan institusional yaitu tujuan untuk setiap lembaga tingkatan pendidikan, seperti tujuan SD, SLTP, dan SLTA.
Tujuan kurikuler yaitu tujuan untuk setiap bidang studi.
Tujuan instruksional yaitu tujuan setiap pokok bahasan.
4) Kontinuitas. Sekolah
dasar dan sekolah menengah (pertama dan atas) adalah sekolah-sekolah
umum yang masing-masing fungsinya dinyatakan dalam tujuan institusional. Namun, kurikulum satu jenjang pendidikan dengan yang di atasnya berhubungan secara hierarkis. Oleh
karena itu, dalam menyusun kurikulum, ketiga jenjang sekolah tersebut
hendaknya selalu dihubungkan secara hierarkis dan fungsional.
5) Pendidikan Seumur Hidup. Pendidikan
yang diterima anak di sekolah memberikan dasar/bekal untuk belajar
seumur hidup, sehingga memungkinkan seseorang meningkatkan pengetahuan,
keterampilan serta mengembangkan potensi-potensi sesuai dengan kebutuhan
kehidupannya.
c. Tujuan
Tujuan utama kurikulum 1975 untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Mutu
suatu hasil pendidikan dapat dianggap tinggi apabila kemampuan
pengetahuan dan sikap yang dimiliki para lulusan berguna bagi
perkembangan selanjutnya.
d. Metode Penyampaian
Dalam
metode penyampaian digunakan penyampaian berdasarkan Prosedur
Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang dikembangkan melalui Model
Satuan Pelajaran (MSP) berlandaskan kepada pandangan bahwa proses
belajar mengajar itu sebagai suatu system, senantiasa harus diarahkan
kepada pencapaian tujuan.
3. Proyek Pamong
Proyek ini merupakan program pendidikan bersama antara pemerintah Indonesia dan Innotech; lembaga yang didirikan oleh badan kerjasama Menteri-menteri pendidikan se-Asia Tenggara. Di kalangan organisasi menteri pendidikan Negara-negara Asia Tenggara (South East Asian Ministers Education Organization atau Seameo) proyek ini dikenal dengan istilah Impact (Instruction of Management by Parent Community and Teachers).
Pamong singkatan dari Pembelajaran, dan Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru. Proyek
ini diujicobakan di tingkat sekolah dasar pada Kecamatan Kebakramat
(Kelurahan Alastimo, Banjarharjo, Malanggaten, dan Kebak) di Kabupaten
Karanganyar Solo.
Tujuan Proyek Pamong, yaitu :
a) Membantu anak-anak yang tidak sepenuhnya dapat mengikuti pendidikan sekolah, atau membantu siswa yang drop out.
b) Membantu
anak-anak yang tidak mau terikat oleh tempat dan waktu dalam belajar,
oleh karena dapat belajar sambil menggembalakan ternak, waktu istirahat,
dll.
c) Mengurangi penggunaan tenaga guru.
d) Dengan meningkatkan pemerataan kesempatan belajar, dengan pembiayaan yang sedikit dapat ditampung sebanyak mungkin siswa.
Dengan
kata lain, tujuan proyek pamong untuk menemukan alternative system
penyampaian pendidikan dasar yang bersifat efektif, ekonomis dan merata,
yang sesuai dengan kondisi kebanyakan daerah di Indonesia.
Proyek eksperimentasi ini berakhir pada tahun 1976. Sistem penyampaian yang digunakan dengan pemakaian modul. Setiap anak dapat mengambil modul di Pusat Pendidikan Masyarakat (Pusdikmas). Di Pusdikmas ini ada guru professional yang mengelola pendidikan anak/siswa. Anak
dapat belajar sendiri dengan orang tua, atau tutor (seorang siswa yang
lebih tinggi tingkat belajarnya) atau anggota masyarakat yang mempunyai
kecakapan khusus.
Jadi,
dengan system Pamong ini anak-anak/siswa dapat belajar sendiri dengan
bimbingan tutor, atau anggota masyarakat, serta bombingan orang tua. Pengajaran yang diberikan memperhatikan kesanggupan anak.
4. SMP Terbuka
Sekolah
Menengah Pertama Terbuka (SMPT) adalah Sekolah Menengah Umum Tingkat
Pertama, yang kegiatan belajarnya sebagian besar diselenggarakan di luar
gedung sekolah dengan cara penyampaian pelajaran melalui berbagai media
dan interaksi yang terbatas antara guru dan murid.
a) Latar Belakang
Latar belakang pendirian SMPT, yaitu :
a) Kekurangan fasilitas pendidikan dan tempat belajar.
b) Tenaga pendidikan yang tidak cukup.
c) Memperluas kesempatan belajar dalam rangka pemerataan pendidikan.
d) Menanggulangi anak terlantar yang tidak diterima di SMP Negeri.
Dalam penyelenggaraan SMPT ditunjuk beberapa SMP Negeri atau Swasta sebagai SMP Induk.
b) Ciri-ciri
Ciri-ciri SMPT sebagai berikut :
a) Terbuka bagi siswa tanpa pembatasan umur dan tanpa syarat-syarat akademis yang ketat.
b) Terbuka
dalam memilih program belajar untuk mencapai ijazah formal, untuk
memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek yang bersifat praktis,
insidential dan perorangan.
c) Terbuka
dalam proses belajar mengajar tidak selalu diselenggarakan di ruang
kelas secara tatap muka, melainkan dapat juga melalui media, seperti
radio, media cetak, kaset, slide, model dan gambar-gambar.
d) Terbuka dalam keluar masuk sekolah sesuai dengan waktu yang tersedia oleh siswa.
e) Terbuka dalam mengelola sekolah.
c) Tujuan
Tujuan SMPT sama dengan tujuan pendidikan umum SMP yaitu agar lulusan:
a) Menjadi warga Negara yang baik sebagai menusia yang utuh, sehat dan kuat, lahir dan batin.
b) Menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikan di Sekolah Dasar.
c) Memiliki bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah lanjutan atas dan untuk terjun ke masyarakat.
d) Meningkatkan disiplin siswa.
e) Menilai kemajuan siswa dan memantapkan hasil pelajaran dengan media.
Kurikulum SMPT merupakan kurikulum SMP 1975. Bidang
studinya Bahasa Indonesia, Pendidikan Moral Pencasila, Matematika, Ilmu
Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Inggris, Agama,
Keterampilan, Olah Raga dan Kesehatan.
Kewajiban
siswa adalah mengikuti belajar perorangan, kelompok, tatap muka, dan
belajar melalui pengalaman langsung, serta mengikuti Evaluasi Belajar
Tahap Akhir (EBTA).
Tenaga pengajar terdiri dari guru Pembina dan guru pembimbing yang diambil dari masyarakat setempat.
Tugas guru Pembina, antara lain :
a) Merencanakan kegiatan belajar, baik yang bersifat tatap muka, maupun kegiatan belajar dalam pusat kegiatan belajar kelompok
b) Memberikan petunjuk, bimbingan, dan supervise kepada guru pembimbing
c) Memberikan bimbingan kepada murid
d) Mengatur penyampaian bahan-bahan pelajaran
e) Mengatur penggunaan fasilitas pelajaran yang diperlukan
f) Melaksanakan kegiatan belajar tatap muka
Tugas guru pembimbing, antara lain :
a) Membantu
memecahkan dan menampung, menyalurkan persoalan yang dihadapi murid
secara perorangan maupun kelompok, baik bersifat edukatif maupun
administrative.
b) Membagikan bahan-bahan pelajaran pada siswa
c) Membimbing murid agar belajar dengan teratur menurut jadwal yang ditetapkan.
d) Mencatat dan melaporkan hasil kegiatan belajar siswa kepada guru pembina.
e) Mengatur dan mengawasi pelaksanaan belajar murid
f) Menjadi penghubung antara SMP terbuka dan masyarakat
g) Mengatur penggunaan fasilitas desa untuk kepentingan kegiatan belajar
h) Merencanakan kegiatan bersama dengan guru pembina
Agar penyelenggaraan SMPT ini dapat berjalan seperti yang diharapkan maka partisipasi masyarakat sangat diharapkan. Partisipasi
ini dapat dinyatakan dengan jalan menyekolahkan anaknya di SMPT,
menyediakan tempat bagi kegiatan-kegiatan belajar di SMPT, mengawasi
siswa untuk belajar mandiri atau kelompok, dan menyediakan peralatan
untuk praktek.
Penyelenggaraan SMPT hendaknya dirasakan sebagai tugas bersama antara orang tua, pemerintah dan masyarakat. Sumber
pembiayaan untuk penyelenggaraan SMPT diperoleh dari biaya rutin
pembangunan, sumbangan pembinaan pendidikan masyarakat dan pemerintah
daerah.
5. Universitas Terbuka
a) Latar Belakang
Dalam
rangka meningkatkan daya tampung perguruan tinggi maka pemerintah
(Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) mendirikan Universitas Terbuka
(UT). Lembaga ini didirikan berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 41 tanggal 11 Juni 1984. Lalu
berdasarkan PP No. 5 Tahun 1980, dijabarkan pula struktur organisasi UT
yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
0389/0/1984 tanggal 27 Agustus 1984 setelah mendapat persetujuan dari
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam suratnya No. B-648/I/MENPAN/8/84 tanggal 25 Agustus 1984.
b) Fakultas, Jenjang dan Program Studi
UT memiliki empat fakultas, yaitu :
1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2) Fakultas Ekonomi
3) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
4) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Pada
tahun ajaran 1985/1986 UT memberikan kesempatan lebih banyak kepada
guru-guru yang telah bekerja di sekolah untuk meningkatkan kemampuan
professional maupun kualitas formalnya.
Universitas
Terbuka menyelenggarakan tiga jenis program pendidikan dengan system
belajar jarak jauh, yaitu program sarjana (S1), program diploma (D1, D2,
D3) dan program Akta V.
Program S1 adalah program pendidikan sarjana yang meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, terbuka untuk umum. Program
Diploma dan Akta IV adalah program peningkatan mutu tenaga
kependidikan, terutama diperuntukkan bagi guru di sekolah menengah dan
tenaga pengajar di perguruan tinggi. Jenjang program
kependidikan yang akan diselenggarakan pada tahun 1985/1986 adalah
Diploma 3 dengan memasukkan guru SMPT berijazah setara dengan Diploma 2
atau sarjana muda, sedangkan program Diploma 1 akan dikelola bersama
dengan Program Pendidikan Guru Sekolah Menengah Tingkat Pertama (PGSMTP)
dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, kedua program
pendidikan tersebut dirintis sejak tahun 1980. Sedangkan Program Akta V diperuntukkan bagi sarjana non-kependidikan.
Mirip
dengan perguruan tinggi lain, penyelesaian program studi di UT, adalah
berdasarkan pada jumlah angka Satuan Kredit Semester (SKS) yang harus
ditempuh oleh mahasiswa. Dalam penyelesaian Program Sarjana
dipersyaratkan 144–160 SKS, Program D1 40–50 SKS, D2 80-90, D3 110-120
SKS, dan Program Akta V 20 SKS setelah menyelesaikan 160 SKS.
c) Sistem Belajar
UT menyediakan pelayanan pendidikan dengan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ). Kegiatan
belajar mengajar di UT meliputi kegiatan belajar mengajar mandiri
(kegiatan belajar utama mahasiswa), kegiatan belajar kelompok antar
mahasiswa (merupakan kegiatan belajar tambahan), dan kegiatan belajar
tatap muka antara mahasiswa dan tutor.
Secara terinci system belajar di Universitas Terbuka tersebut meliputi kegiatan-kegiatan belajar sebagai berikut :
a) Mempelajari bahan tertulis (modul dan bahan tercetak lainnya) yang telah deprogram.
b) Interaksi tatap muka, dengan tutor baik langsung maupun tidak langsung melalui media komunikasi.
c) Interaksi antar individu dalam kelompok belajar.
d) Mendengarkan dan menyaksikan program audio visual (kaset radio, dll).
e) Praktikum dan kerja lapangan.
f) Mengerjakan ujian unit.
g) Mengerjakan ujian akhir semester.
d) Susunan Organisasi dan Pengelolaan
Susunan
organisasi UT ditetapkan dengan Kepres No. 41 Tahun 1984, pada dasarnya
tidak berbeda dengan susunan organisasi universitas dan institute
biasa. Pucuk pimpinan UT adalah Rektor yang dibantu oleh
tida Pembantu Rektor (purek), yaitu Purek I Bidang Pendidikan dan
Pengajaran, Purek II Bidang Administrasi Umum, dan Purek III Bidang
Kemahasiswaan. Unsur pimpinan tersebut membawahi unsur-unsur berikut ini :
a) Unsur Pembantu Pimpinan
Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan
Biro Administrasi Umum
b) Unsur Pelaksanaan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Fakultas Ekonomi
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
c) Unsur-unsur penunjang yang terdiri dari tiga Unit Pelaksana Teknis (UPT), yaitu :
Pusat Produksi Media Pendidikan, Informasi, dan Pengolahan Data
Pusat Pengolahan Pengujian
Unit
Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) yang dibina oleh Rektor
Universitas/Institut Negeri setempat, kecuali UPBJJ Dili dan Bogor yang
dibina oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pembelajaran dan K.
Selain
unit-unit struktural itu terdapat pula unit-unit nonstruktural sebagai
unsur kelengkapan universitas, yaitu senat universitas dan dewan
penyantun.
Karena UT menggunakan system belajar jarak jauh UT tidak memiliki kampus sebagaimana lazimnya suatu perguruan tinggi biasa. Walaupun demikian, UT mempunyai :
a) Kantor Pusat di Jakarta
b) 32 kantor UPBJJ di daerah-daerah
c) Sejumlah sanggar belajar yang tersebar di seluruh Indonesia
UPBJJ yang berkedudukan di daerah-daerah terutama bertugas untuk mengelola proses belajar mengajar di daerahnya yang meliputi :
a) Pengadaan, pengkoordinasian, dan pengembangan tutorial
b) Pelayanan terhadap mahasiswa
c) Penyelenggaraan ujian unit dan ujian akhir semester
d) Membantu kantor pusat UT dalam menyelenggarakan administrasi umum.
Dalam melaksanakan tugas, UT membutuhkan bantuan sarana dan fasilitas dari perguruan tinggi di wilayah UPBJJ yang bersangkutan. Sumber
dana UT diperoleh dari Pemerintah melalui APBN, dari mahasiswa melalui
Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), dan dari pendapatan lainnya.
6. Kurikulum 1984
Salah
satu upaya perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah
melalui perbaikan kurikulum pendidikan dasar dan menengah dalam
lingkungan Departemen P dan K. Perbaikan kurikulum ini dilaksanakan sesuai Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0461/U/1983 tanggal 23 Oktober 1983.
a) Latar Belakang
Perbaikan kurikulum ini didasarkan pada lima persoalan pokok, yaitu :
1) Dalam
ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara
yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945 dinyatakan bahwa system pendidikan
perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang yang
memerlukan jenis keahlian dan keterampilan serta sekaligus meningkatkan
kreativitas, mutu dan efisiensi kerja. Penyesuaian itu
dilakukan antara lain melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di
antara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam
rangka meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945
kepada generasi muda maka di sekolah-sekolah, baik negeri maupun
swasta, wajib diberikan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
2) Dari
hasil penelitian pendidikan yang diadakan menunjukkan adanya
kesenjangan-kesenjangan program kurikulum dan pelaksanaannya, program
kurikulum dengan kebutuhan, dan tenaga kerja. Di samping itu, materi kurikulum dipandang terlalu padat.
3) Penelitian
badan pengembangan dan penelitian di bidang kurikulum menemukan bahwa
ada beberapa konsep bidang studi yang tidak sesuai dengan kemampuan
berfikir siswa, dan adanya kata-kata, kalimat-kalimat wacana yang tidak
sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.
4) Pengetahuan
dan pengalaman dari Negara lain serta keadaan pendidikan menunjukkan
bahwa baik darisegi konten atau materi kurikulum maupun strategi belajar
mengajar yang diterapkan di Indonesia sudah ketinggalan jaman.
5) Dari segi perkembangan ilmu pengetahuan, kurikulum 1975 yang sudah berusia hamper 10 tahun perlu disesuaikan.
b) Landasan Pengembangan
1) Nilai dasar (basic value) sebagai landasan pengembangan kurikulum ini adalah Pancasila dan UUD 1945.
2) Fakta
empiris dapat dicari dari sumber ketentuan yang berlaku (GBHN), hasil
penelitian dan pengembangan, dan hasil penelitian kurikulum.
3) Segi
teoritis berarti pengembangan kurikulum perlu mempertimbangkan adanya
perkembangan teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi.
c) Kegiatan Kurikuler
1) Ada tiga bentuk kegiatan kurikuler, yaitu intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.
2) Kegiatan intrakurikulr dilaksanakan sesuai dengan struktur program. Pelaksanaannya di sekolah dan seluruh kegiatannya dinilai.
3) Kegiatan kokurikuler di luar struktur program. Tujuannya untuk memberikan perluasan dan pendalaman terhadap apa yang telah dipelajarinya dalam kegiatan intrakurikuler. Kegiatan kokurikuler ini wajib dinilai.
4) Kegiatan ekstrakurikuler terutama ditujukan untuk keperluan bakat dan prestasi siswa. Kegiatan ini dilaksanakan di luar sekolah dan tidak dinilai.
d) Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar
Proses
Belajar Mengajar (PBM) adalah pendekatan keterampilan proses yang
diwujudkan dalam bentuk cara belajar siswa aktif (CBSA). Pada dasarnya pendekatan ini memberikan penekanan yang sama beratnya bagi proses belajar dengan hasil belajar. Dengan
demikian proses belajar mengajar lebih banyak mengacu pada bagaimana
seseorang belajar, selain apa yang dia pelajari tanpa mengabaikan
ketuntasan belajar dengan memperhatikan kecepatan belajar siswa. Pada dasarnya pelaksanaan proses belajar mengajar ini berbentuk kelompok tanpa menutup kemungkinan untuk bentuk lainnya.
Keterampilan
proses terdiri dari pengamatan, menghitung, mengukur,
mengklasifikasikan, hubungan ruang dan waktu, pembuatan hipotesis,
pengendalian variable, interpretasi data, kesimpulan sementara (inferensi), penerapan (aplikasi) dan komunikasi.
e) Sistem Penilaian
Pada
dasarnya system penilaian dalam Kurikulum 1984 bukan hanya
menitikberatkan pada penilaian hasil belajar, tetapi diterapkan juga
penilaian dalam proses belajar.
f) Sistem Kredit
Dalam Kurikulum SLTA seperti SMA diterapkan system kredit. Yang
dimaksud dengan system kredit adalah ukuran/satuan belajar siswa yang
ditentukan oleh jumlah jam pelajaran tatap muka dan pekerjaan rumah per
minggu tiap semester.
Penerapan system kredit berfungsi sebagai :
1) Pengukur beban siswa, yaitu menunjukkan ukuran minimal ataupun maksimal bahan belajar siswa.
2) Pencerminan dari perolehan tentang pengetahuan/keterampilan tertentu dalam waktu tertentu.
3) Pengakuan atas penyelesaian suatu program studi pada tingkat semester, tingkat kelas atau tingkat sekolah.
7. Kurikulum 1994
Untuk memperbaiki mutu pendidikan selama pemerintahan orde baru, antara lain, dilaksanakan berbagai upaya perbaikan kurikulum. Dimulai dari kurikulum 1987 yang disempurnakan, disederhanakan dan disesuaikan (YDS). Semua itu memiliki ciri-ciri dan pendekatan yang berbeda.
Kalau
diperhatikan, upaya-upaya tersebut sesuai dengan pengertian kurikulum
dalam UU No. 2 Tahun 1989, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan
mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Pada awal Pelita VI mendatang akan diberlakukan kurikulum 1994. Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan sengaja memberikan informasi lebih awal untuk
mengurangi tanggapan negative dan menghilangkan kesalahpahaman atau
keresahan di kalangan para pendidik, terutama bagi daerah pedalaman yang
biasanya lambat menerima ide-ide pembaruan.
Salah
satu tujuan dari Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional agar peserta didik yang telah menamatkan sekolah
mampu menghadapi berbagai tantangan dan mampu menjawab segala
permasalahan pada pembangunan jangka panjang tahap kedua.
Ciri
yang membedakan Kurikulum 1994 dengan kurikulum sebelumnya, ada pada
pelaksanaan tentang pendidikan dasr Sembilan tahun, memberlakukan
kurikulum muatan lokal serta penyempurnaan tiga kemampuan dasar;
membaca, menulis dan menghitung yang fungsional.
Dalam
rangka meningkatkan relevansi pendidikan di SD, juga dikembangkan
kurikulum muatan local yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987,
pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan
Dasar dan Menengah No. 173/-C/Kep/U/87 tanggal 7 Oktober 1987. Dalam
keputusan Menteri P dan K tersebut dinyatakan, kurikulum muatan lokal
ialah suatu program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya
dikaitkan dengan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan pola
kehidupan, serta kebutuhan pembangunan yang wajib dipelajari murid di
daerah tersebut.
Tujuan kurikulum muatan lokal, antara lain, untuk mendekatkan peserta didik dengan lingkungan. Untuk
menerapkan ilmu pengetahuan yang diterima di sekolah dalam kehidupan
peserta didik sehari-hari sehingga peserta didik terbiasa berfikir
kritis dan analitis, untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan
daerah, untuk menanamkan rasa cinta terhadap lingkungan peserta didik,
dan untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan
lingkungannya.
8. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
a) Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum
Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan seperangkat rencana dan pengaturan
tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa,
penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya
pendidikan dan mengembangkan sekolah (Depdiknas, 2002).
Dari
rumusan tersebut, KBK lebih menekankan pada kompetensi atau kemampuan
apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses
pembelajaran tertentu, sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya,
secara teknis operasional diserahkan kepada guru di lapangan.
KBK
berorientasi bahwa siswa bukan hanya memahami materi pelajaran untuk
mengembangkan kemampuan intelektual saja, melainkan bagaimana
pengetahuan itu dipahaminya dapat mewarnai perilaku yang ditampilkan
dalam kehidupan nyata. Gordon (1988) menyarankan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi adalah :
1) Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan proses berfikir.
2) Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki individu.
3) Keterampilan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki individu untuk melakukan tugas yang dibebankan.
4) Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya.
5) Sikap (attitude),
yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsang yang datang dari
luar, perasaan senang atau tidak senang terhadap suatu masalah.
6) Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan untuk mempelajari materi pelajaran.
b) Karakteristik KBK
KBK
sebagai sebuah kurikulum memiliki karakteristik utama sebagai berikut :
Pertama, KBK memuat sejumlah kompetensi dasar sebagai kemampuan standar
minimal yang harus dikuasai dan dicapai siswa. Kedua, implementasi pembelajaran dalam KBK menekankan pada proses pengalaman dengan memperhatikan keberagaman setiap individu. Ketiga, evaluasi dalam KBK menekankan pada evaluasi dan proses belajar.
Karakteristik KBK secara rinci adalah :
1) Menekankan
pada ketercapaian kompetensi baik secara individual maupun klasikal,
artinya isi KBK intinya sejumlah kompetensi yang harus dicapai siswa,
dan kompetensi inilah sebagai standar minimal atau kemampuan dasar.
2) Berorientasi
pada hasil belajar dan keberagaman, artinya keberhasilan pencapaian
kompetensi dasar diukur oleh indikator hasil belajar.
3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi sesuai dengan keberagaman siswa.
4) Sumber
belajar bukan hanya guru, tetapi sumber belajar lain yang memenuhi
unsure edukatif, artinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi informasi.
5) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
c) Pengembangan KBK
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses kompleks dan melibatkan berbagai factor terkait. Oleh
karena itu dalam proses pengembangan KBK tidak hanya menuntut
keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai
komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai factor yang
mempengaruhinya.
Pengembangan
KBK memfokuskan kepada kompetensi tertentu berupa panduan :
pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta
didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya. Penerapan
KBK memungkinkan guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses
pencapaian sasaran belajar yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman
terhadap apa yang dipelajari. Karena itu peserta didik
perlu mengetahui criteria penguasaan kompetensi yang akan dijadikan
sebagai standar penilaian hasil belajar, sehingga peserta didik dapat
mempersiapkan dirinya melalui penguasaan sejumlah kompetensi sebagai
prasyarat untuk melanjutkan ke penguasaan sejumlah kompetensi
berikutnya.
1. Asas Pengembangan KBK
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi didasarkan pada tiga asas pokok, yaitu :
a. Asas filosofis, berkenaan dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Sistem nilai eret kaitannya dengan arah dan tujuan yang mesti dicapai. Itu
sebabnya, dalam pengembangan KBK, filsafat sebagai system nilai menjadi
sumber utama dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan.
b. Asas psikologis, berhubungan dengan aspek kejiwaan dan perkembangan peserta didik. Secara psikologis anak didik memiliki perbedaan baik minat, bakat maupun potensi yang dimilikinya.
c. Asas
sosiologis dan teknologis, hal ini berdasarkan asumsi bahwa sekolah
berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan
aktif di masyarakat.
2. Prinsip-prinsip pengembangan KBK
Proses pengembangan KBK harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip pengembangan KBK sebagai berikut:
a. Peningkatan keimanan, budi pekerti luhur dan penghayatan nilai-nilai budaya. Sesuai
dengan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia yang beriman
dan bertakwa, maka peningkatan keimanan dan pembentukan budi pekerti
merupakan prinsip utama yang harus diperhatikan pengembang kurikulum.
b. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Pembentukan manusia yang utuh merupakan tujuan utama pendidikan.
c. Penguatan integritas nasional. Indonesia adalah Negara dengan beraneka ragam suku dan budaya yang sangat majemuk. Pendidikan
harus dapat menanamkan penanaman dan penghargaan terhadap aneka budaya,
sehingga dapat menjadi kekuatan yang dapat memberikan sumbangan positif
terhadap bangsa.
d. Perkembangan pengetahuan dan teknologi informasi. Pengembangan
KBK diarahkan agar anak didik memiliki kemampuan berpikir dan belajar
dengan cara mengakses berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi informasi.
e. Pengembangan
kecakapan hidup yang meliputi keterampilan diri, keterampilan berpikir
rasional, keterampilan social, keterampilan akademik, dan keterampilan
vokasional.
f. Pilar pendidikan. Ada
empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk memahami, belajar untuk
berbuat, belajar hidup dalam kebersamaan, dan belajar untuk membangun
dan mengekspresikan jati diri.
g. Komprehensif dan berkesinambungan. Komprehensif mencakup keseluruhan dimensi kemampuan dan substansi yang disajikan secara berkesinambungan .
h. Belajar sepanjang hayat. Pendidikan diarahkan pada proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlanjut sepanjang hayat.
i. Diversifikasi kurikulum. Kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
j.
9. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
a. Pengertian
Kurikulum
adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan
bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman
penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu.
KTSP
adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di
masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan
tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan
pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
b. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP
dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau
satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan
atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan
provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI
dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun
oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah.
Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi
oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta
panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum
dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi
sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang
beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan
tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan
potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta
tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan
pembelajaran berpusat pada peserta didik.
b) Beragam dan terpadu
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai
dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat
istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi
substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan
pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan
seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi
kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti
dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan
dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e) Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang
kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan
secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
f) Belajar sepanjang hayat
Kurikulum
diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan
peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan
keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan
informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan
daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling
mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
c. Acuan Operasional Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
Keimanan
dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian
peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua
mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak
mulia.
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
Pendidikan
merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara
holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotor)
berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum
disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat,
kecerdasan intelektual, emosional dan sosial, spritual, dan kinestetik
peserta didik.
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah
memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik
lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan
karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu,
kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan
yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Dalam
era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan yang otonom
dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi
masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu,
keduanya harus ditampung secara berimbang dan saling mengisi.
5. Tuntutan dunia kerja
Kegiatan
pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta
didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh
sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali
peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi
satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pendidikan
perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis
pengetahuan di mana IPTEKS sangat berperan sebagai penggerak utama
perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan
penyesuaian perkembangan IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual
dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara
berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu
pengetahuan, teknologi, dan seni.
7. Agama
Kurikulum
harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan taqwa serta
akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat
beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus
ikut mendukung peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia.
8. Dinamika perkembangan global
Pendidikan
harus menciptakan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang
sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan
antarbangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan
mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan
suku dan bangsa lain.
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan
diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik
yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan
kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus
mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan
nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum
harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya
masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya.
Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu
ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
11. Kesetaraan Gender
Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.
12. Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.
d. Komponen Kurikulum Tingkatan Satuan Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan
pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan
pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan
mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan
pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup
mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
2. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur
dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang
tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut.
(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
(4) Kelompok mata pelajaran estetika
(5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok
mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan
pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/2005 Pasal 7.
Muatan
KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya
merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di
samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk
ke dalam isi kurikulum.
a) Mata pelajaran
Mata
pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan
pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam SI.
b) Muatan Lokal
Muatan
lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang
disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan
daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran
lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran
tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan,
tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan
mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar
Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang
diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata
pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satua
tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan
lokal.
c) Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan
diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada
peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan
kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi
sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh
konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam
bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dapat
dilakukan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling yang
berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan
pengembangan karier peserta didik serta kegiatan keparamukaan,
kepemimpinan, dan kelompok ilmiah remaja.
Khusus
untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan
untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier.
Pengembangan
diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan
kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta
didik.
Pengembangan
diri bukan merupakan mata pelajaran. Penilaian kegiatan pengembangan
diri dilakukan secara kualitatif, tidak kuantitatif seperti pada mata
pelajaran.
d) Pendidikan Kecakapan Hidup
1. Kurikulum
untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/MAK dapat
memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi,
kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.
2. Pendidikan
kecakapan hidup dapat merupakan bagian integral dari pendidikan semua
mata pelajaran dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan secara
khusus.
3. Pendidikan
kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan
yang bersangkutan dan/atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau
nonformal.
e) Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
1) Pendidikan
berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang
memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam aspek
ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi,
dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi
peserta didik.
2) Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
3) Pendidikan
berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua
mata pelajaran dan juga dapat menjadi mata pelajaran muatan lokal.
4) Pendidikan
berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan
pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh
akreditasi.
3. Kalender Pendidikan
Satuan
pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai
dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik
dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana
yang dimuat dalam Standar Isi.
2.2. Hambatan Pendidikan Guru dan Inovasi Pendidikan
Hofstede
seorang ahli psikologi industri pada 1991 melakukan penelitian selama
enam tahun tentang perbedaan budaya di 40 negara salah satunya di
Thailand sebagai anggota Asean. Menurut Hofstede, Thailand sangat
menganut “High Power Distance”. Dimana keputusan harus selalu dibuat
oleh yang memiliki kedudukan lebih tinggi dan seringkali diikuti tekanan
seperti hubungan kepala dinas dengan kepala sekolah, guru dengan murid
dan kepala sekolah dengan guru. Selain itu, senioritas masih dipegang
teguh oleh Thailand dalam dunia pendidikan.
Kondisi Thailand, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, sampai hari ini kita masih menganut apa yang ada di Thailand. Dalam
dunia pendidikan kita, inovasi dan inisiatif serta kreativitas sangat
sulit dilakukan secara individu. Sangat mustahil seseorang bergerak
tanpa ada keputusan dari pihak yang memiliki posisi lebih tinggi.
Misalnya, ketika seorang guru ingin mengikuti lomba karya ilmiah atau
inovasi teknologi dalam mengajar. Yang pertama harus dia urusi adalah
“izin dan persetujuan” atasan. Ini tentu sangat lucu dan memalukan.
Orang mau maju, kok malah dipersulit dengan berbagai alasan ini dan itu.
Ini sangat ironis dengan UU Guru dan Dosen yang mengagung-agungkan profesionalisme guru dan dosen.
Contoh lainnya, di Negara-negara seperti Norwegia, Finlandia, Belanda,
Swedia dan Jerman orang yang berkarya dan bekerja di perguruan tinggi
minimal bergelar doktor atau professor. Artinya, perguruan tinggi
disana, sangat susah menemui dosen atau peneliti bergelar S1 atau
Master. Namun, di Indonesia jangankan untuk bergelar doktor atau
professor, mau melamar sekolah saja sulitnya minta ampun. Padahal,
sekolahnya dibiayai pihak lain. Dan lagi-lagi mempersulit adalah karena
sistem “Higher Power Distance“.
Kita juga menganut paham “Collectivism”
dimana segala sesuatu harus dilakukan secara bersama-sama dan semua
keputusan harus dilakukan atas persetujuan bersama pula sehingga risiko
yang akan dihadapi akan ditanggung bersama. Dalam pendidikan kita, sifat
individualitik sangat tidak didukung. Hal ini sangat
memungkinkan sebuah inovasi dan inisiatif akan memakan waktu yang lama
dalam prosesnya dan mungkin pudar sebelum menjadi sebuah projek karena
sulitnya mencari kata setuju diantara anggota kelompok. Padahal, inovasi
akan muncul dari individu-individu yang memang memiliki bakat untuk
maju secara sendiri-sendiri sehingga hasilnya bias digunakan secara
bersama-sama.
Dan
parahnya, senioritas masih sangat dijunjung tinggi di dalam dunia
pendidikan kita. Kita memang diharuskan mendukung ungkapan bahwa “yang
lebih tua lebih berpengalaman dalam berinovasi dan berkreasi. Serta
pendidikan kita juga selalu mengutamakan yang lebih senior dan yang
memiliki posisi lebih tinggi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan diluar
seperti seminar, workshop, lokakarya, bahkan studi lanjutpun harus
senior kalau perlu lebih dahulu. Bahkan atas nama kebersamaan dan
senioritas seringkali mengangkat dan memilih orang tidak tepat serta
kering inovasi untuk menduduki jabatan tertentu.
Memang di dalam dunia pendidikan menjunjung tinggi hubungan sosial dan
kebersamaan, mempertahankan harmonisasi dalam kelompok dan mencegah
konflik sangat dibutuhkan agar tujuan yang telah disepakati bias
dicapai. Akan tetapi, jangan sampai inovasi, kreativitas dan inisiatif
untuk kemajuan sebuah lembaga terhambat oleh hal tersebut diatas. Kalau
ini terjadi maka sampai kapanpun, pendidikan kita akan tetap mengalami
kekeringan dalam berinovasi. (From where does man’s weakness come? From the inequality between his strength and his desires).
A. Contoh Pendidikan Guru dan Inovasi Pendidikan
Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu
Banyak
program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah
dalam waktu paling tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan berbasis sekolah, contextual teaching-learning (CTL), evaluasi
belajar model portofolio, dan yang terakhir Kurikulum Berbasis
Kompetensi (KBK). Semua itu kurang atau bahkan tidak mengikutsertakan
guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu,
padahal semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas
pendidikan di negeri ini.
Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru kita didorong untuk memiliki profesionalisme yang lebih tinggi. Hal
itu juga diikuti kesejahteraan yang lebih memadai. Kenyataan tidaklah
seperti itu. Banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja
guru.
Mengapa
beban? Karena guru belum atau tidak mengerti secara sempurna terhadap
berbagai inovasi pendidikan itu. Akibatnya, mereka berada dalam
ketidakmenentuan profesi ketika harus melakukan program-program inovatif
di tempat kerja masing-masing.
Penggagas
pembaharuan pendidikan memiliki asumsi, guru dengan serta merta dapat
melakukan apa saja yang menjadi program pembaharuan yang dicanangkan
pemerintah. Asumsi inilah yang tidak benar. Sebab, kenyataannya guru
harus mendapatkan retraining yang memadai dan tersistem untuk dapat melakukan berbagai pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Karena
itu, ke depan pemerintah perlu melihat kemampuan riil yang dimiliki
guru untuk melakukan atau mengadopsi setiap inovasi di bidang
pendidikan.
Profesionalisme
Saat ini kita hidup pada era knowledge based economy. Artinya
sistem ekonomi secara global berjalan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dampaknya, negara yang memiliki dan menguasai
ilmu pengetahuan yang kuat akan menguasai ekonomi.
Mengapa
demikian? Karena dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sebuah bangsa akan memiliki daya saing yang tinggi di tengah-tengah
bangsa lain. Jika sebuah bangsa memiliki daya saing yang tinggi, ia
dapat dipastikan bisa menguasai dunia secara ekonomi. Negara-negara
seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea, Singapura, dan Australia
memiliki perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan
perekonomian kita. Sebab, negara-negara tersebut menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Lalu
apa implikasinya terhadap pendidikan, terutama guru, di negeri ini?
Implikasinya, kita harus melakukan profesionalisme pada pekerjaan guru.
Dengan guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi, pendidikan akan
bisa ditingkatkan kualitasnya. Kualitas pendidikan yang baik pada
akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Untuk
bisa menjamin terjadinya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi,
bangsa ini mau tidak mau ke depan harus meningkatkan profesionalisme
guru. Jika ini harus dilakukan, kita harus memperhatikan syarat-syarat
terjadinya profesionalisme yang perlu dimiliki para guru kita. Antara
lain, menurut Houle, harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat,
berdasarkan atas kompetensi in dividual (bukan atas dasar KKN), memiliki
sistem seleksi dan sertifikasi, dan ada kerja sama dan kompetisi yang
sehat antarsejawat. Selain itu, ada kesadaran profesional yang tinggi,
memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik), memiliki sistem sanksi
profesi, ada militansi individual, dan memiliki organisasi profesi.
Dari
syarat-syarat yang harus dimiliki guru agar mereka termasuk dalam
kategori profesional tersebut, tentu perlu ada sistem peningkatan
pengetahuan bagi guru secara tersistem dan berkelanjutan. Pendek kata, perlu ada in service training yang baik bagi para guru kita.
Desentralisasi
Pada
era desentralisasi seperti saat ini, guru semestinya bisa lebih
mendapatkan pemberdayaan baik dalam arti profesi maupun kesejahteraan.
Mengapa begitu? Karena saat ini pendidikan menjadi urusan pemerintah
daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme
dan kesejahteraan guru tentu bisa langsung dipantau oleh pemerintah
kabupaten/kota.
Dalam
aspek profesionalisme, pemda bisa melakukan tukar-menukar guru dari
satu daerah dengan daerah lain agar terjadi transfer nilai-nilai positif
yang diperoleh akibat perbedaan budaya sekolah.
Dengan
adanya program tukar-menukar itu, wawasan dan pengetahuan guru tentang
berbagai kuriikulum muatan lokal akan semakin bertambah, sehingga akan
memperkaya pengetahuan dan pengalaman guru. Kalau hal ini dapat terjadi,
proses profesionalisme akan bisa terdorong.
Meskipun
demikian, kendala yang dihadapi guru selama lima tahun terakhir ini
ialah tertutupnya mobilitas mereka dari satu daerah ke daerah lain. Hal
ini terjadi karena dengan era desentralisasi, guru tertutup untuk
melakukan mobilitas horizontal akibat keterkaitan mereka dengan gaji
yang telah teranggarkan dalam dana anggaran umum (DAU) daerah
masing-masing.
Kendala
ini sebenarnya sekarang bisa diatasi manakala pemda mau menerapkan
Pasal 41 Undang-undang No 20/ 2003, yang mengatakan, “Pendidik dan
tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.” Jika pemda
berani menerapkan pasal ini, berarti pemda yang bersangkutan secara non-monetary telah ikut serta memperhatikan kesejahteraan guru.
Guru
yang baik perlu mendapat insentif untuk pindah ke daerah yang mereka
kehendaki, sehingga mereka perlu mendapatkan kesempatan untuk melakukan
mobilitas secara horizontal.
Perpindahan
guru dari satu daerah ke daerah yang lain juga akan mendorong perbaikan
pendidikan secara tidak langsung akibat dari interaksi antaretnis dalam
proses pembelajaran di sekolah. Jika guru selamanya tidak bisa
melakukan mobilitas sosial, justru akan terjadi inbreeding secara etnis. Selamanya anak-anak Jawa akan diajar oleh guru dari etnis Jawa, begitu pula etnis-etnis lain.
Keadaan ini tidak ikut mendorong terjadinya pendidikan multikultural yang baik. Tegaknya
NKRI memerlukan pemahaman terhadap entitas multikultural di negeri ini.
Tukar-menukar dan perpindahan guru lintas daerah akan mendorong
terjadinya pendidikan multikultural secara tidak langsung.
Dengan
terjadinya mobilitas horizontal para guru secara nasional, para siswa
akan cepat belajar memahami budaya etnis lain langsung dari para guru
mereka. Ini semua bisa terjadi jika para bupati dan wali kota berani
menerapkan Pasal 41 UU No 20/2003. Semoga begitu.(29)
Menggagas Sekolah Model
Sekadar mengingatkan saja, pemerintah pernah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, education for all, school based management yang
dibarengi dengan sejumlah inovasi pembelajaran yang menggunakan kata
berbasis (pendidikan berbasis masyarakat, pendidikan berbasis internet,
kurikulum berbasis kompetensi, penilaian berbasis kelas, dll), dan
berbagai program inovasi lainnya yang bermuara pada peningkatan mutu
pendidikan.
Yang
agak aktual adalah penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang
dimasyarakatkan dengan sebutan Kurikulum 2004. Serangkaian permasalahan
dalam penerapan KBK kemudian menjadi sebuah selubung yang dimainkan
dengan cantik oleh stakeholders pendidikan, tanpa terkecuali.
Aplikasi Gagasan
Proses
pembelajaran yang bermakna dan integrasi penilaian yang mencakupi ranah
kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi ciri khas dalam penerapan
KBK. Sudahkah demikian?
Pengisian rapor ala KBK
dengan angka puluhan dengan sederet komponen yang membingungkan guru
bisa menjadikan derita guru berkepanjangan. Simak saja pengisian rapor
KBK untuk siswa SD. Setiap mata pelajaran memiliki lebih dari satu
komponen yang harus dinilai. Secara keseluruhan seorang guru SD harus mengisi 26 komponen nilai puluhan yang tersebar ke dalam 8 mata pelajaran.
Tidak
hanya itu, guru SD harus melakukan penilaian kualitatif setidaknya 9
aspek yang meliputi kedisiplinan dan tanggung jawab, kebersihan dan
kerapian, kerja sama, kesopanan, kemandirian, kerajinan, kejujuran,
kepemimpinan, dan ketaatan.
Agaknya
pepemerintah sudah menyiapkan seperangkat antisipasi manakala
menggulirkan gagasan yang inovatif dengan menyelenggarakan pendidikan
dan pelatihan yang bertajuk peningkatan mutu. Sosialisasi hasil penataran, workshop,
studi banding, dan sejenisnya menjadi program unggulan tatkala sebuah
gagasan baru mengemuka. Secara proses, penyampaian gagasan inovatif
sudah dilaksanakan sesuai dengan program dan berjenjang sampai pada
tataran pelaksana lapangan.
Griffin
dan Mooehead (1986) mengatakan, sebuah gagasan inovatif akan terwujud
apabila ada perubahan persepsi, suasana, dan makna. Ketiga hal tersebut
perlu dipahami guru dengan merefleksi diri khususnya dalam menerapkan
pembelajaran bermakna.
Persoalan yang muncul kemudian adalah pada tahap aplikasi. Ada kecenderungan stakeholders pendidikan kurang memberikan respon positif terhadap upaya pembaruan tersebut. Masih segar dalam ingatan, penerapan School Based Management di
sekolah-sekolah negeri. Sudahkah gagasan otonomi sekolah tersebut
merakyat? Atau hanya jadi slogan kebanggaan saja? Adakah konsekuensi
logis terhadap sekolah yang belurn dan enggan menerapkan berbagai
inovasi pendidikan?
Sekolah Model
Salah
satu alternatif yang dapat dilakukan penyelenggara pendidikan untuk
menjembati ketimpangan inovasi pendidikan khususnya di sekolah dasar
adalah pembentukan sekolah model. Ide dasar konsep ini dilandasi
pemikiran bahwa guru mudah terkejut dan keheranan manakala mengetahui
keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Kulminasinya, guru melakukan
studi banding. Apa yang hendak dibandingkan kalau guru sendiri belum
mencoba menerapkan?
Sekolah
model dapat dibentuk di setiap kecamatan dengan memperhatikan berbagai
hal, di antaranya kondisi fisik sekolah, ketersediaan sarana prasarana,
siswa, guru, kepala sekolah, dan komite sekolah. Setiap kecamatan,
tentunya ada salah satu SD yang memenuhi kriteria tersebut.
Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh cabang Diknas kecamatan untuk
membentuk sekolah model, yakni: pertama, menentukan SD yang letaknya
strategis. Penentuan lokasi juga memperhatikan kondisi fisik,
ketersediaan sarana prasarana pembelajaran, dan jumlah siswa yang ideal
(40 siswa per kelas). Langkah ini dimaksudkan untuk memudahkan
transportasi dan komunikasi. Selebihnya, sekolah lebih terkonsentrasi
dalam menerapkan inovasi.
Kedua,
mengatur tenaga pengajar. Tempatkan guru-guru yang memiliki idealisme,
dedikasi, dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Dalam
konteks ini, mutasi perlu dilakukan agar sekolah yang dijadikan model
didukung oleh sumber daya yang berkualitas.
Ketiga,
merekrut kepala sekolah yang cerdas dalam melaksanakan perannya sebagai
pendidik, manajer, administratif, supervisor, pemimpin, kreatif dan
mampu menjadi penggerak. Optimalisasi peran kepala sekolah tentunya akan
mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan. Menempatkan kepala sekolah
yang berani menindakkritisi setiap fenomena aktual dalam bidang
pendidikan dengan aktivitas nyata, perlu dilakukan agar terjadi
konsistensi antara harapan dan kenyataan.
Hasil
penelitian Gibson (1988) menunjukkan keberhasilan sekolah dalam
meningkatkan mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kapasitas kepala
sekolahnya, di samping guru-guru yang memiliki komitmen tinggi dalam
tugas.
Keempat, mengoptimalkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas (controlling agency),
dan mediator berbagai kebijakan pendidikan. Hal ini perlu dilakukan
karena ada kesan komite sekolah masih sama dengan BP3 tempo dulu.
Pelibatan komite sekolah secara nyata dalam kegiatan sekolah akan
mendukung terwujudnya sekolah model yang nantinya akan menjadi pusat
mutu (center for excellence).
Serangkaian
langkah dalam perumusan sekolah model bukan harga mati. Namun,
setidaknya empat komponen tersebut komponen yang paling dominan dalarn
mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Menata Sistem
Terwujudnya
sekolah model akan mengurangi keterkejutan dan keheranan guru akan
keberhasilan inovasi pendidikan. Konsekuensi logis sekolah model adalah
dijadikannya ujicoba berbagai inovasi pendidikan. Di sekolah model
inilah, gagasan ideal berbagai inovasi dilaksanakan. Dengan demikian,
guru-guru tidak perlu bersusah payah studi banding ke daerah lain
apabila di sekolah model sudah menerapkannya.
Bila guru bertanya dan hendak belajar mengenai pembelajaran bermakna ala KBK,
sekolah model mampu memberikan pencerahan. Berkembangnya sekolah model
di tiap-tiap kecamatan, secara evolusif akan membantu pemerintah dalam
meningkatkan mutu pendidikan.
Sudah
barang tentu untuk mencapainya dalam kondisi ideal memerlukan
pentahapan yang panjang. Seperti dikemukakan Supriadi (2002) bahwa orang
yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap
perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan,
memerlukan tahaptahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan
hingga dilaksanakan.
Mewujudkan sekolah model sebagai grass root dan
pioner penerapan inovasi pendidikan tidak semudah membalikan telapak
tangan. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian dalam menata sistem
pendidikan secara holistik. Setidaknya gagasan sederhana ini dapat
dicoba di setiap kecamatan agar ketidakjelasan output dan outcame dari penerapan inovasi pendidikan dapat termentahkan
2.3. Guru dan Profesionalisme
Guru
sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang
sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan
kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar
di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa
siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat
membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang
diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa,
hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan
unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator,
misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya,
pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan
demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai
dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan
evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu
inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka
akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti
diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak
melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi
sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran
tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah
yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas
sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter,
sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987)
Pengembangan
Profesionalisme Guru Menurut para ahli, profesionalisme menekankan
kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta
strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme
bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih
merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi
bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu
tingkah laku yang dipersyaratkan.
Apabila
guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru maka kualitas
Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar
profesional guru sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational
Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi
profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru
mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai
secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara
mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil
belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir
sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya,
(5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam
lingkungan profesinya.
Arifin
(2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan
mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap
masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2)
penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan
yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan
konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di
lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan
pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan
kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi
yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan
praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan
disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena
pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan
adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma
baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21
yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2)
penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta
didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara
berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh
yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut
mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila
syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah
peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal
ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan
guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator
yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu
suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Pengembangan
profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru
memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu
pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang
mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu
peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan
kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan
peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek
intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu
menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda
memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap
eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Profesionalisasi
harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini,
pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran,
pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan
masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi,
sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara
bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk
guru.
2.4. Peran Guru dalam Inovasi
Dalam
bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr.
dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru
mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor,
manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang.
a. Pelatih (coaches); Sebagai pelatih (coaches),
guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk
mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi
masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan
tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam
bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar
permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan
mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada.
b. Konselor; Sebagai konselor,
guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar,
di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis
yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Disamping itu,
guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke
arah perkembangan optimal.
c. Manajer Pembelajar; Sebagai manajer pembelajaran, guru
memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola
keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh
sumber-sumber penunjang pembelajaran.
c. Partisipan; Sebagai partisipan,
guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku
belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa
guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia
sebagai fasilitator pembelajaran siswa.
d. Pemimpin; Sebagai pemimpin,
diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang
lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai
pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya
sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di
luiar mengajar.
e. Pembelajar ;Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.
f. Pengarang; Sebagai pengarang,
guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang
akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang
mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu
buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang
mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu
harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai
basis kualitas profesionaliemenya.
Dalam
rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu
sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator,
change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator
(Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Menurut
Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami
pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1)
dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar
berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra
hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan
kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik
(akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari
kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya,
dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan
dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke
orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak
bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber
daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan
tuntutan yang bersifat kompetitif.
Gambaran
Pembelajaran di Abad Pengetahuan praktek pembelajaran yang terjadi
sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai
di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh
berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa
pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah
pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru,
belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek
pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada
Tabel berikut;
Abad Industri
1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sebagai sumber pengetahuan
3. Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn
waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6. Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan
survei
7. Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14. Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
|
Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing,
konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3. Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn
waktu yang terbatas fleksibel sesuai
keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan
masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan
survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua
jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh
dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar,
penasehat, kawan sebaya dan diri
sendiri.
|
Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1. Pada
abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek,
dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad
pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan
permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2. Betapa
sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama
masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh
paradigma lama.
3. Meskipun
telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad
Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun
sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri
yang “murni” dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di
Abad Pengetahuan yang “murni”, besar kemungkinannya menemukan metode
persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di
Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran,
metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih
jarang dibanding metode-metode baru.
4. Praktek
pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar
modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada
proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada
masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam
konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan
pembelajar sendiri.
5. Pada
Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada
piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi,
namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa
memanfaatkan piranti modern. Meskipun
teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting
yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat
bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan
alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan
teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari
beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang
paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya
yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program
apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah,
jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan
tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di
negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena
penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001)
dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme
guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan
dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku
sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola
anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi
ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua
ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan
terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
Memperhatikan
peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi
keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru
menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan
menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan
bernuansa pendidikan.
Kemerosotan
pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya
kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa.
Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau
kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan
sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan
sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan
hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah
laku yang dipersyaratkan.
Guru
yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti
pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability,
baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi
harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan
profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK
sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini
Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan
dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas
Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin,
D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip:
Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No.
Hlm 24.
Degeng,
N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan
Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath,
J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between
Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology
Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar,
M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th.
Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996,
Republic of Singapore.
Naisbitt,
J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia,
(Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta:
Gramdeia.
Mulyasa, E. (2008). Menjadi Guru Profesinal Menciptakan pembelajaran
Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.