Sabtu, 20 April 2013

PENGEMBANGAN PROGRAM AKSELERASI DI MADRASAH

Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan program akselerasi ini merupakan salah satu implementasi dari Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 ayat 4, yaitu “Bahwa warga Negara yang memiliki kercerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus”. Program akselerasi adalah program pelayanan pendidikan peserta didik yang memiliki potensi cerdas istimewa dan/atau berbakat istimewa (CI/BI). Dalam program akselerasi, penyelesaian pendidikan dapat ditempuh dengan jangka waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan program seperti biasanya. Artinya peserta didik kelompok ini dapat menyelesaikan pendidikan di SD/MI dalam jangka waktu 5 tahun dan di SMP/MTs atau SMA/MA dalam waktu 2 tahun.
Dengan mengacu pada berbagai hasil penelitian, diperkirakan terdapat 2,2% anak usia sekolah yang memiliki kualifikasi CI+BI. Menurut data BPS tahun 2006 terdapat 52.989.800 anak usia sekolah. Artinya terdapat sekitar 1.059.796 anak usia sekolah yang memiliki kualifikasi CI+BI. Berdasarkan data Asosiasi CI+BI Nasional, baru sekitar 9551 anak CI+BI yang dapat mengikuti program akselerasi. Ditinjau dari segi kelembagaan, dari 260.471 sekolah, baru 311 sekolah yang memiliki program layanan bagi anak Cerdas Istimewa dan Bakat Isitimewa (CI+BI). Sedangkan di madrasah, dari 42.756 madrasah, baru 7 madrasah yang menyelenggarakan program akselerasi. Ini berarti masih sedikit sekolah/madrasah yang memberikan layanan pendidikan kepada siswa CI+BI.
Untuk itu dirasa perlu menurut penulis mengadakan pengkajian terkait program akselerasi pada Madrasah di Negara kita, apakah bisa dan tepat diterapkan di Indonesia? Apakah program itu berhasil atau malah memunculkan carut marut permasalahan baru pada pendidikan di Negara kita? dan dari mana asal muasal sejarah program akselerasi itu, sehingga menurut para pembuat kebijakan pendidikan bisa diterapkan juga pada Negara kita, bagaimana pula menurut tinjauan para pakar pendidikan, tinjauan dari historis, yuridis dan sosiologis. Semua akan dibahas dalam makalah ini.

B.    Rumusan Masalah
1.     Bagaimana pengertian program akselerasi?
2.     Bagaimana pedoman dan pelaksanaan program akselerasi menurut tinjauan historis, yuridis dan sosiologis?
3.     Mengapa diperlukan program akselerasi?
4.     Bagaimana pandangan pakar tentang program akselerasi?
C.    Tujuan Masalah
1.     Untuk mengetahui defenisi program akselerasi.
  1. Untuk mengetahui pedoman dan pelaksanaan program akselerasi ditinjau dari historis, yuridis dan sosiologis.
  2. Untuk mengetahui tujuan program akselerasi.
  3. Untuk mengetahui tinjauan pakar tentang program akselerasi.
BAB II
PEMBAHASAN
PENGEMBANGAN PROGRAM AKSELERASI DI MADRASAH

A.    Pengertian Program Akselerasi
Akselerasi berasal dari Bahasa Inggris acceleration yang berarti proses mempercepat;  peningkatan kecepatan; percepatan; laju perubahan kecepatan.[1]
Colangelo dalam Hawadi  memaparkan bahwa istilah akselerasi menunjuk pada pelayanan yang diberikan (service delivery) dan kurikulum yang disampaikan (curriculum delivery). Sebagai model pelayanan, akselerasi dapat diartikan sebagai model layanan pembelajaran cara lompat kelas, misalnya bagi siswa yang memiliki kemampuan tinggi (IQ di atas 130)  diberi kesempatan untuk mengikuti pelajaran pada kelas yang lebih tinggi dari yang seharusnya. Sementara itu, sebagai model kurikulum, akselerasi berarti mempercepat bahan ajar dari yang seharusnya dikuasai oleh siswa saat itu. Akselerasi akan membuat anak berbakat menguasai banyak isi pelajaran dalam waktu yang sedikit. Anak-anak ini dapat menguasai bahan ajar secara cepat dan merasa bahagia atas prestasi yang dicapainya.[2]
Menurut Sutratinah Tirtonegoro, percepatan (acceleration) adalah “cara penanganan anak supernormal dengan memperbolehkan naik kelas secara meloncat atau menyelesaikan program reguler di dalam jangka waktu yang lebih singkat.”[3] Beliau juga menambahkan bahwa variasi bentuk-bentuk percepatan antara lain:
a.      Early Admission (masuk lebih awal).
b.     Advance Placement (naik kelas sebelum waktunya, mempercepat waktu kenaikan kelas).
c.      Advance Courses (mempercepat pelajaran), merangkap kelas dan lain-lain cara untuk mempercepat kemajuan belajar anak supernormal (anak berbakat).[4]
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Ulya Latifah Lubis dalam Hawadi yang memberikan pengertian akselerasi sebagai program pelayanan yang diberikan kepada siswa dengan tingkat keberbakatan tinggi agar dapat menyelesaikan masa belajarnya lebih cepat dari siswa yang lain (program reguler).[5] Direktorat Jendral Luar Biasa menyebutkan bahwa “Jenis akselerasi yang digunakan (di Indonesia) adalah telescoping, yaitu mempersingkat waktu belajar dengan memberikan materi yang esensial saja kepada siswa cerdas istimewa (anak berbakat)”.[6] Siswa yang seharusnya menyelesaikan studi SMP (Sekolah Menengah Pertama) atau SMA (Sekolah Menengah Atas) dalam waktu 3 tahun dapat menyelesaikan materi kurikulum (yang telah diversifikasi) dalam waktu 2 tahun saja.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat dipahami bahwa akselerasi adalah program layanan belajar yang ditujukan bagi mereka yang memiliki kemampuan tinggi (IQ di atas 130) agar dapat menyelesaikan studinya lebih cepat dari anak usia rata-rata sesuai kecepatan dan kemampuannya.
Program ini secara umum memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki karakteristik spesifik dari segi perkembangan kognitif dan afektif. Secara khusus memberi pelayanan kepada siswa berbakat untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat dari biasanya.
B.    Tinjauan Historis, Yuridis dan Sosiologis Program Akselerasi
1.     Tinjauan Historis
Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi adalah Pressy (1949), mengemukakan bahwa program akselerasi sebagai kemajuan dalam program pendidikan dengan laju yang lebih cepat dari pada yang berlaku pada umumnya atau memulai suatu tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari pada yang berlaku pada umumnya.
Ciri-ciri keberbakatan Program kelas akselerasi dirintis dengan konsepsi keberbakatan yang digunakan berasal dari Renzulli, Reis &Smith (1978) bahwa keberbakatan menunjuk pada adanya keterkaitan antara kelompok ciri (kluister) yaitu;
1)     Kemampuan diatas rata-rata
Kemampuan diatas rata -rata mencakup 2 hal yaitu; kemampuan umum dan spesifik. Kemampuan umum terdiri dari kapasitas untuk memproses info, untuk mengintegrasikan pengalaman, dan hal ini terlihat dalam proses yang cocok dan adaptif dalam situasi baru, serta kemampuan dalam berfikir abstrak. Kemampuan spesifik terlihat dalam ekspresi sehari- hari: Kreativitas Kelancaran, Keluwesan dan Orisinilitas dalam berfikir.
2)     Tanggung jawab terhadap tugas
Ciri yang konsisten ditemukan pada orang yang tergolong kreatif - produktif adalah memiliki tanggung jawab, suatu bentuk halus dari motivasi. Jika motivasi biasanya didefinisikan sebagai suatu proses energi umum yang merupakan faktor pemicu pada organisasi, tanggung jawab energi tersebut ditampilkan pada tugas tertentu yang spesifik. Sementara itu Treffinger (1980) mengemukakan sejumlah karakteristik unik anak berbakat ialah bahwa anak berbakat memiliki karakteristik berikut; 1).Rasa ingin tahu yang tinggi (Curiosity) 2).Berimajinasi (Imagination) 3).Produktif (Produtivity) 4).Independen dalam berfikir dan menilai (Independence inthought and judgment) 5).Mau mengeluarkan biaya lebih untuk mendapatkan informasi dan mewujudkan ide- ide (Extensive foun of information andideas) 6).Memiliki ketekunan (Presistence) 7).Bersikukuh dalam menyelesaikan masalah (Commitment tosolving problems) 8).Berkonsentrasi ke masa depan dan hal-hal yang belum diketahui (Concern with the future and the unknown), tidak hanyut pada masa lalu, terpaku hari ini, atau cepat puas pada hal-hal yang sudah diketahui (not merely with the past, thepresent, or the known)[7]
Sejarahnya di Indonesia sendiri upaya pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa telah dilakukan sejak tahun 1974 dalam bentuk kebijakan atau program. Secara historis kebijakan pemerintah tersebut penulis gambarkan secara lengkap dan urut kedalam table berikut[8]:
1974
Pemberian beasiswa bagi peserta didik Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang berbakat dan berprestasi tinggi tetapi lemah kemampuan ekonomi keluarganya.
1982
Balitbang Dikbud membentuk Kelompok Kerja Pengembangan Pendidikan Anak Berbakat (KKPPAB). Kelompok Kerja ini mewakili unsur-unsur struktural serta unsur-unsur keahlian seperti Balitbang Dikbud, Ditjen Dikdasmen, Ditjen Dikti, Perguruan Tinggi, serta unsur keahlian di bidang sains, matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa, dan humaniora, serta psikologi.
1984
Balitbang Dikbud menyelenggarakan perintisan pelayanan pendidikan anak berbakat dari tingkat SD, SMP, SMA di satu daerah perkotaan (Jakarta) dan satu daerah pedesaan (Kabupaten Cianjur). Program pelayanan yang diberikan berupa pengayaan (enrichment) dalam bidang sains (Fisika, kimia, Biologi, dan Ilmu Pengetahuan Bumi dan Antariksa), matematika, teknologi (elektronika, otomotif, dan pertanian), bahasa (Inggris dan Indonesia), humaniora, serta keterampilan membaca, menulis, dan meneliti.
Pelayanan pendidikan dilakukan di kelas khusus di luar program kelas reguler pada waktu-waktu tertentu.
Perintisan pelayanan pendidikan bagi anak berbakat ini pada tahun 1986 dihentikan seiring dengan pergantian pimpinan dan kebijakan di jajaran Depdikbud.
1989
Di dalam UU no. 2 tahun 1989 tentang Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional pasal 8 ayat 2 dikemukakan bahwa: “warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus”.
Pasal 24, setiap peserta didik pada satuan pendidikan mempunyai hak-hak sebagai berikut: (1) mendapat perlakuan yang sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya, (5) menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan.
1993/1994
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan kebijakan tentang Sistem Penyelenggaraan Sekolah Unggul (Schools of Excellence) dan membukanya di seluruh provinsi sebagai langkah awal kembali untuk menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan aneka bakat dan kreativitas siswa.
1998/1999
Dua sekolah swasta di DKI Jakarta dan satu sekolah swasta di Jawa Barat melakukan ujicoba pelayanan pendidikan bagi anak berpotensi kecerdasan dan bakat istimewa dalam bentuk program percepatan belajar (akselerasi), yang mendapat arahan dari Ditjen Pendidikan Dasar dan Menengah.
2000
Program percepaan belajar dicanangkan oleh Menteri Pendidikan Nasional pada Rakernas Depdiknas menjadi Program Pendidikan Nasional.
Pada kesempatan tersebut Mendiknas melalui Dirjen Dikdasmen menyampaikan Surat Keputusan (SK) Penetepan Sekolah Penyelenggara Program Percepatan Belajar kepada 11 sekolah terdiri dari 1 SD, 5 SMP dan 5 SMA di DKI Jakarta dan Jawa Barat.
2001/2002
Diputuskan penetapan kebijakan diseminasi program percepatan belajar pada beberapa sekolah di beberapa provinsi di Indonesia.
2003
Pasal 32 ayat (1) Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi  peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, social dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa.
2006
Diterbitkan Permendiknas no. 34/2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa.
2009
DiterbItkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia (Permendiknas RI) No. 70/2009 Tentang “Pendidikan Inklusif  Bagi Peserta Didik Yang Memiliki Kelainan dan Memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa”.
Pasal 1 : “Dalam Peraturan ini, yang dimaksud dengan pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta didik pada umumnya”.
Pasal 5  ayat (1) : “Penerimaan peserta didik berkelainan dan/atau peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa pada satuan pendidikan mempertimbangkan sumber daya yang dimiliki sekolah”. Sekolah SSN atau RSBI adalah sekolah yang memiliki sumber daya yang memadai untuk menyelenggarakan pendidikan bagai peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dalam bentuk program akselerasi.
2010
diterbitkan Peraturan Pemerintah no. 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.
Pasal 134
(1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik keistimewaannya.
(2)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa bertujuan mengaktualisasikan seluruh potensi keistimewaannya tanpa mengabaikan keseimbangan perkembangan kecerdasan spiritual, intelektual, emosional, sosial, estetik, kinestetik, dan kecerdasan lain.
Pasal 135
(1)  Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan formal TK/RA, SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat.
(2)  Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa:
a. program percepatan; dan/atau
b. program pengayaan.
(3) Program percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan persyaratan:
  1. peserta didik memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa yang diukur dengan tes psikologi;
  2. peserta didik memiliki prestasi akademik tinggi dan/atau bakat istimewa di bidang seni dan/atau olahraga; dan
  3. satuan pendidikan penyelenggara telah atau hampir memenuhi Standar Nasional Pendidikan.
(4) Program percepatan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan dengan menerapkan sistem kredit semester sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(5) Penyelenggaraan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk:
a. kelas biasa;
b. kelas khusus; atau
c. satuan pendidikan khusus.
Pasal 136
Pemerintah provinsi menyelenggarakan paling sedikit 1 (satu) satuan pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
2.     Tinjauan Yuridis
Kesungguhan pemerintah untuk memberikan pelayanan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa secara tegas telah dinyatakan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Tekad ini berlanjut terus dari tahun ke tahun, dan dipertahankan dalam Garis -Garis Besar Haluan Negara berikutnya, penulis menyusunya ke dalam table berikut;
1983
"… Demikian pula perhatian khusus perlu diberikan kepada anak -anak yang berbakat istimewa agar mereka dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal".
1988
“Anak didik berbakat istimewa perlu mendapat perhatian khusus agar mereka dapat mengembangkan kemampuan sesuai dengan tingkat pertumbuhan pribadinya“.
1993
“Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa perlu mendapat perhatian khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya".
1998
"Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya”.[9]
Demikian pula di dalam Undang–Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam Pasal 8 ayat (2) menegaskan bahwa: Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. Begitu pula dalam Pasal 24 dinyatakan bahwa "Setiap peserta didik pada suatu satuan pendidikan mempunyai hak –hak sebagai berikut: (1) mendapat perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (2) mengikuti program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan, baik untuk mengembangkan kemampuan diri, maupun untuk memperoleh pengakuan tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan; (6) menyelesaikan program pendidikan lebih awal dari waktu yang telah ditentukan”.
Kesungguhan untuk mengembangkan pendidikan bagi anak yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ditekankan pula oleh Presiden Republik Indonesia ketika menerima anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional (BPPN) tanggal 19 Januari 1991, yang menyatakan bahwa: Agar lebih memperhatikan pelayanan pendidikan terhadap anak –anak yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa. ”Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional kembali menegaskan bahwa: Warga Negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus (pasal 5 ayat 4). Begitu pula dalam pasal 12 ayat 1 dinyatakan bahwa: Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: (b) mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya; (f) menyelesaikan program pendidikan sesuai dengan kecepatan belajar masing-masing dan tidak menyimpang dari ketentuan batas waktu yang ditetapkan.
Demikian pula dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi, hal tersebut juga diakomodir pada Bab III yang mengatur tentang beban belajar yang menggariskan bahwa Program percepatan belajar dapat diselenggarakan untuk mengakomodasi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 34 tahun 2006 tentang Pembinaan Prestasi Peserta Didik yang memiliki Potensi Kecerdasan dan/atau Bakat Istimewa, yang secara lebih khusus merupakan payung hukum dan rujukan bagi lebih terbinanya proses seleksi, pembinaan berkelanjutan, dan pemberian penghargaan bagi peserta ajang kompetisi / olimpiade.
Kemudian Rancangan Peraturan Pemerintah yang akan menjadi dasar pelaksanaan Undang Undang Nomor 20 tahun 2003. Pada draft yang ada, dapat kita baca di bab VII pasal 109 tentang rumusan Pendidikan khusus merupakan pendidikan bagi peserta didik yang memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, sosial, serta memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.
Kemudian pada Pasal 117 termaktub rumusan (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa berfungsi mengembangkan potensi keunggulan peserta didik menjadi prestasi nyata sesuai dengan karakteristik dan kebutuhannya, dalam rangka mencapai tujuan pendidikan nasional (2) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa bertujuan (a.) membentuk manusia berkualitas yang memiliki kecerdasan spiritual, emosional, sosial, dan intelektual serta memiliki ketahanan dan kebugaran fisik; (b) membentuk manusia berkualitas yang kompeten dalam pengetahuan dan seni, berkeahlian dan berketerampilan, menjadi anggota masyarakat yang bertanggung jawab, serta untuk mempersiapkan peserta didik mengikuti pendidikan lebih lanjut dalam rangka mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Selanjutnya pada pasal berikutnya yaitu 118 dinyatakan bahwa (1) Pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat diselenggarakan pada satuan pendidikan SD /MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, atau bentuk lain yang sederajat; (2) Program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa dapat berupa program percepatan, program pengayaan; atau gabungan program percepatan dan program pengayaan (3) Penyeleng -garaan program pendidikan khusus bagi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dalam bentuk kelas inklusif, kelas khusus, satuan pendidikan khusus; atau, satuan pendidikan inklusi.[10]
3.     Tinjauan Sosiologis
Kurikulum berdiferensiasi[11] yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dengan cara memberikan pengalaman belajar yang berbeda dalam arti kedalaman, keluasan, percepatan, maupun dalam jenisnya. Jadi perubahan kurikulum yang ditekankan dan itu dapat terwujud dalam berbagai bentuk berikut ini[12]:
a.       Perubahan bersifat vertikal, di mana peserta didik diperkenalkan pada isi kurikulum tertentu yang tidak diperoleh teman-temannya di kelas reguler.
b.  Perubahan bersifat horisontal, berupa penyajian materi dengan keluasan, kedalaman, dan intensitas yang lebih ditingkatkan dari pada biasanya. Di sini kurikulum disesuaikan dengan tingkat berfikir abstrak yang lebih tinggi, konseptualisasi lebih meluas, dan peningkatan kreativitas.
c.     Pengalaman belajar yang baru, yang tidak ada dalam kurikulum umum, misalnya pada tingkat SMA diberikan pelajaran seperti: Ilmu Kelautan, Metodologi Penelitian, Psikologi Sosial, Ilmu Politik, Ilmu Hukum, dan sebagainya.
Dalam kenyataannya, mendiferensiasikan kurikulum berarti mengubah konten proses, produk, dan situasi (lingkungan belajar). Hal ini bisa dilaksanakan pada setiap jenjang pendidikan dengan memperhatikan faktor kematangan intelektual, latar belakang, dan kesiapan belajar serta interes siswa.
Bruner dalam kaitan dengan ini menyatakan, hendaklah beranjak dari hipotesis bahwa mata pelajaran apa pun bisa diajarkan secara efektif dengan cara yang jujur pada setiap anak dalam kondisi perkembangan kapan pun[13].
Dikuatkan juga oleh Sutratinah Tirtonegoro, bahwa untuk melayani pendidikan Anak Supernormal maka perencanaan kurikulum harus mengalami perubahan-perubahan antara lain[14]:
a.                            Memperkaya kurikulum dengan menambah mata pelajaran.
b.   Memberi kesempatan memperkembangkan sosial, emosi, dan kebudayaan.
c.   Dengan mengadakan Sekolah Khusus, Kelas Khusus, dan Fasilitas-fasilitas khusus.
d.   Untuk SLTA lebih diperluas dan diperdalam.
e.   Memberi kesempatan seluas-luasnya untuk memperoleh pengalaman lebih banyak untuk perkembangan bakatnya.
Sebagai contoh ada 2 macam cara yang memperkaya kurikulum yaitu:
a.   Kurikulum dipadat cepatkan (Process Acceleration) terutama untuk pengetahuan-pengetahuan seperti: Sains, Matematika, dan Bahasa Asing.
b.   Kurikulum diperluas dan diperkaya isinya.

C.    Tujuan Program Akselerasi
Dengan diselenggarakannya program ini, ada beberapa alasan yang masuk akal:
  1. Alasan efisiensi sosial pragmatis penyelenggaraan pendidikan. Karena Negara Indonesia yang sedemikian besar, dengan penduduk amat banyak, dilihat masalah pengembangan sumber daya manusia, tetapi miskin dana untuk pendidikan, maka lebih baik mendayagunakan dana yang sedikit itu secara lebih signifikan untuk memacu anak-anak cerdas agar lahir kelompok elite yang handal untuk memperbaiki kondisi bangsa ini secara lebih cepat, dari pada dana yang sedikit itu dibagi ratakan ke semua anak tetapi dampaknya tidak signifikan.
  2. Membuat kelas yang relatif homogen sehingga siswa yang merasa luar biasa (cerdas) tidak dirugikan oleh keterlambatan belajar siswa biasa. Sering dikeluhkan banyak guru, anak-anak cerdas di kelas heterogen cenderung merasa cepat bosan belajar dan cenderung mengganggu. Karena itu, anak-anak cerdas ini perlu mendapat layanan khusus di kelas yang terpisah dari kelas anak biasa. Dengan begitu, pengelolaan kelasnya menjadi lebih mudah.
  3. Memberikan penghargaan (reward) dan perlindungan hak asasi untuk belajar lebih cepat sesuai dengan potensinya. Menurut Nasichin (dalam Hawadi) Ada dua tujuan yang ingin dicapai dengan adanya program akselerasi bagi mereka yang memiliki kemampuan yang lebih, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
·       Tujuan Umum
1.     Memberikan pelayanan terhadap peserta didik yang memiliki karakteristik khusus dari aspek kognitif dan efektifnya.
2.     Memenuhi hak asasinya selaku peserta didik sesuai dengan kebutuhan pendidikan dirinya
3.     Memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan peserta didik.
4.     Menyiapkan peserta didik menjadi pemimpin masa depan
·       Tujuan Khusus
1.     Menghargai peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa untuk dapat menyelesaikan pendidikan lebih cepat.
2.     Memacu kualitas siswa dalam menigkatkan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional secara berimbang.
3.     Meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran peserta didik.[15]
Dalam proses pembelajarannya, kurikulum yang diberikan pada siswa CI+BI (kelas akselerasi) tidak boleh sama dengan kelas reguler, karena bobot dan kedalamannya tidak sesuai dengan karakter siswa CI+BI. Materi yang disajikan kepada anak CI+BI harus berada pada tingkat tinggi. Dalam konteks yang lebih modern, pengertian akselerasi tidak hanya isi pelajaran disajikan dalam bentuk yang ringkas dan dipercepat. Tetapi juga terkait dengan bagaimana teknik instruksional direkayasa. Oleh karena itu, upaya mengembangkan standar isi mandiri bagi program CI+BI menjadi penting untuk dilakukan.
1.     Permasalahan pada Program Akselerasi
Sejak tahun ajaran 1998/1999 Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengadakan uji coba program akselerasi untuk anak berbakat intelektual. Dengan program ini, lama belajar siswa dapat dipercepat selama satu tahun pada setiap satuan pendidikan. Sekolah Dasar (SD) dari enam tahun dipercepat menjadi lima tahun, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dari tiga tahun menjadi masing-masing dua tahun. Peserta program ini adalah siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata, kreatif, dan tanggung jawab terhadap tugas.
Dalam pelaksanaannya, ternyata ditemukan berbagai masalah. Seorang wakil kepala sekolah salah satu penyelenggara program ini pernah mengisahkan pengalamannya. Dia berujar, ''Selama pelaksanaan akselerasi di sekolah ini, saya menemukan beberapa hal yang aneh. Antara lain siswa terlihat kurang komunikasi, mengalami ketegangan, kurang bergaul dan tidak suka pada pelajaran olah raga. Mereka tegang seperti robot. Kami juga dapat laporan dari orang tua bahwa kini mereka sulit berkomunikasi dengan anaknya”.[16]
Hal itu, antara lain yang mendorong Nuraida untuk melakukan penelitian. Tim Peneliti Pusbangsitek Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini lebih menitikberatkan pada kecerdasan emosional siswa peserta akselerasi pada tingkat SMU. Dugaannya, kala itu, masalah ini terjadi karena tidak tercapainya salah satu tujuan program akselerasi, yaitu meningkatkan kecerdasan emosional.
Nuraida menuturkan, akselerasi yang dilaksanakan di Indonesia adalah akselerasi yang berbasis kurikulum nasional. Tingkat SMU, misalnya, ada 13 mata pelajaran: Agama, IPS, PPKN, Bahasa dan Sastra Indonesia, sejarah nasional dan sejarah umum, bahasa Inggris, pendidikan jasmani dan kesehatan, matematika, fisika, kimia, biologi, geografi, olah raga dan seni rupa, ditambah dengan sejumlah ekstra kurikuler. Oleh karena itu, Indonesia memakai jenis akselerasi Telescoping curriculum dan Compacting curriculum.[17]
Alasan pemilihan jenis ini agar siswa tidak meninggalkan salah satu pelajaran tersebut. Jadi siswa mendapatkan semua pelajaran dalam sistem pendidikan nasional. Tekniknya, dengan mengambil pelajaran yang esensial saja sedangkan materi-materi yang tidak esensial bisa dipelajari sendiri oleh siswa. Tidak perlu tatap muka. Dengan cara seperti ini, siswa dapat menyelesaikan pendidikannya dalam waktu lebih cepat.
Kenyataannya, terdapat kesulitan karena sistem pendidikan yang sentralistik. Jumlah pelajaran sangat banyak, namum belum ada layanan individual sesuai dengan bakat dan minat. Karena itu, harus mengakselerasikan 13 mata pelajaran yang terdapat dalam kurikulum nasional. Akibatnya siswa sangat merasa berat karena harus mempelajari semua mata pelajaran dalam waktu yang sangat cepat.
Ini berbeda dengan di Amerika. Di Negeri Paman Sam tersebut, peserta didik yang mengikuti program akselerasi tidak diberikan semua mata pelajaran. Anak berbakat matematika memiliki kurikulum khusus di bidang matematika. Jumlah pelajaran pun tak banyak. Antara lain; computer science, Humanities, Math, science course dan writing course. Namun mereka mempelajarinya secara luas dan mendalam sekali.[18]
Bagi siswa yang telah menguasai sejumlah pelajaran matematika pada satu tingkatan maka dia perbolehkan mempelajari matematika pada tingkat yang lebih lanjut. Misalnya loncat ke kelas yang lebih tinggi, belajar matematika pada tingkat universitas, kelas gabungan, telescoping kurikulum, dan sebagainya.
Begitulah pelaksanaan program akselerasi di negeri itu. Tujuannya, meningkatkan efisiensi, efektivitas, memberikan penghargaan, kesempatan untuk berkarir lebih cepat dan meningkatkan produktivitas. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena sistem pendidikan mereka sangat fleksibel. Artinya dalam sistem pendidikan mereka, pemerintah memberikan kebebasan kepada tiap negara bagian untuk mengelola pendidikan sesuai bakat dan minat. Pemerintah hanya memberikan rambu-rambu secara garis besar yang harus dimiliki oleh warga setelah lulus.
Jadi, bisa dipahami mengapa akselerasi yang dilaksanakan di Amerika berhasil dengan baik dan dalam waktu yang relatif cepat mampu menghasilkan sejumlah saintis. Kurikulum yang mereka kembangkan sangat fokus, tergantung pada bakat yang dimiliki oleh seorang anak. Anak yang berbakat matematika hanya memperdalam matematika dan pelajaran yang serumpun dengannya. Dengan cara ini akan memudahkan anak-anak menguasai pelajaran yang diberikan oleh gurunya. Inilah teknik mencetak orang ahli dalam bidangnya.
Apakah tujuan pelaksanaan program akselerasi di Indonesia yang telah dirumuskan akan berhasil dengan menggunakan kurikulum nasional bermuatan 13 mata pelajaran? Penelitian Nuraida yang menitik beratkan pada aspek kecerdasan emosional tidak menemukan pengaruh yang berarti. Itu diketahui setelah melakukan tes kecerdasan emosional pada kelas akselerasi dan dibandingkan dengan siswa kelas reguler pada sekolah yang sama dan umur yang sama.[19]
Hasil tes pengukuran kecerdasan emosional menunjukan bahwa skor kecerdasan emosional siswa akselerasi lebih rendah dari pada siswa reguler. Namun rendahnya tidak signifikan. ''Jadi bisa dikatakan sama dengan siswa kelas reguler,'' tuturnya.[20]
Ini dapat disimpulkan bahwa program akselerasi Indonesia yang berbasis kurikulum nasional belum mencapai tujuan yang telah dirumuskan, seperti meningkatkan kecerdasan emosional. Siswa banyak yang stres, tegang, dan jarang komunikasi. Pada hal menurut hasil penelitian yang dihimpun oleh Barbara Clark (1982) tentang anak berbakat Matematika usia 12-13 tahun pada Universitas John Hopkins Amerika, jelas Nuraida[21], skor penyesuaian emosional dan sosial peserta program akselerasi di atas rata-rata, menurut penulis program akselerasi hanya belum tepat atau belum siap diterapkan di Indonesia jika ditinjau dari aspek sosiologis masyarakat siswa khususnya di Negara kita, masih perlu kesiapan setiap siswa tersebut yang matang dengan lebih mengerucut kepada bakat dan keahlian sebagaiaman mengerucutnya ke-linier-an yang dituntut pada tataran Perguruan Tinggi, sebagaimana yang telah lama diterapkan di negara-negara maju pula.
2.     Kurikulum Program Akselerasi
Kurikulum merupakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyeleggaraa kegiatan belajar-mengajar. Sedang menurut (Tyler 1949, dalam Siskandar) pengertian kurikulum mencakup empat pertanyaan yang mendasar yang harus dijawab dalam mengembangkan kurikulum dan rencana pengajaran yaitu (a) apa tujuan yang harus dicapai oleh sekolah, (b) pengalaman-pengalaman belajar seperti apa yang dapat dilaksanakan guna mencapai tujuan yang dimaksud, (c) bagaimana pengalaman tersebut diorganisasikan secara efektif, dan (d) bagaimana cara menentukan bahwa tujuan pendidikan telah tercapai.
Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan kurikulum memiliki empat unsur, yaitu: (1) tujuan yang ingin dicapai, (2) struktur dan isi kurikulum yang berupa mata pelajaran dan kegiatan serta pembagian waktu yang dugunakan dalam kegiatan belajar-mengajar, (3) pengorganisasian kegiatan belajar-mengajar, dan (4) penilaian utuk mengetahui apakah tujuan telah tercapai atau belum.
Muatan materi kurikulum untuk program akselerasi tidak berbeda dengan kurikulum standar yang digunakan untuk program regular. Perbedaannya terletak pada penyusunan kembali struktur program pengajaran dalam alokasi waktu yang lebih singkat. Program akselerasi ini akan menjadikan kurikulum standar yang biasanya ditempuh siswa SMA dalam tiga tahun menjadi hanya dua tahun. Pada tahun pertama, siswa akan mempelajari seluruh materi kelas satu ditambah dengan setengah materi kelas dua. Di tahun kedua, mereka akan mempelajari materi kelas 2 yang tersisa dan seluruh materi kelas 3.
Pengaturan kembali program pembelajaran pada kurikulum standar yang biasanya diberikan dengan alokasi waktu sembilan cawu menjadi enam cawu[22] dilakukan tanpa mengurangi isi kurikulum. Kuncinya terletak pada analisis materi kurikulum dengan kalender akademis yang dibuat khusus. Seperti diketahui, untuk siswa berbakat intelektual dengan keberbakatan tinggi, tidak semua materi kurikulum standar perlu disampaikan dalam bentuk tatap muka dan atau dengan irama belajar yang sama dengan siswa regular.
Oleh karena itu, setiap guru yang mengajar di kelas akselerasi perlu terlebih dahulu melakukan analisis materi pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi kriteria berikut ini: (1) konsep dasar; (2) konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut; (3) konsep yang berguna untuk aplikasi; (4) konsep yang sering muncul pada Ebtanas; (5) konsep yang sering muncul pada UMPTN untuk SMA. Materi pelajaran yang diidentifikasi sebagai konsep-konsep yang esensial diprioritaskan untuk diberikan secara tatap muka, sedangkan materi-materi yang non-esensial, kegiatan pembelajarannya dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan mandiri.
Dijelaskan juga oleh Conny R Semiawan, sesuai dengan karakter anak yang berkemampuan kecerdasan di atas rata-rata ini, kurikulum atau Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP) atau materi pelajaran telah didiskusikan dan disusun oleh pusat pengembangan kurikulum sejak 1981. Sebelum uji coba pelaksanaan Program Anak Berbakat dilaksanakan tahun 1984 kurikulum berdeferensiasi dibuat. Dikaitkan dengan hal di atas kemampuan gurulah yang selalu harus ditingkatkan, misalnya kecekatan dalam hal menganalisis kurikulum sesuai perkembangan anak dan kebutuhan penanjakan kemampuan fikir atau mental anak dan membuat anak senang belajar.
Kurikulum yang digunakan pada program akselerasi adalah kurikulum Nasional dan muatan lokal, yang dimodifikasi dengan penekanan pada materi yang esensi dan dikembangkan melalui sistem pembelajaran yang dapat memacu dan mewadahi integrasi pengembangan spiritual, logika, etika, dan estetika serta mengembangkan kemampuan berfikir holistik, kreatif, sistemik, linier, dan konvergen utuk memenuhi tuntutan masa kini dan masa depan.
Dengan demikian kurikulum program akselerasi adalah kurikulum yang diberlakukan untuk satuan pendidikan yang bersangkutan, sehingga lulusan program akselerasi memiliki kualitas dan standar kompetensi yang sama dengan lulusan program reguler. Perbedaannya hanya terletak pada waktu keseluruhan yang ditempuh dalam menyelesaikan pendidikannya lebih cepat bila dibanding dengan program reguler.
Kurikulum akselerasi ini dikembangkan secara diferensiatif. Artinya kurikulum yang digunakan disesuaikan dengan kemampuan yang dimiliki oleh siswa. Diferensiasi dalam kurikulum akselerasi menurut Cledening & Davies, 1983 (dalam Hawadi Dkk) adalah isi pelajaran yang menunjuk pada konsep dan proses kognitif tingkat tinggi, strategi intruksional yang akomodatif dengan gaya belajar anak berbakat dan rencana yang memfasilitasi kinerja siswa.
Kurikulum ini mencakup empat dimensi dan satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan. Dimensi itu adalah:
1.     Dimensi Umum
Merupakan kurikulum inti yang memberikan keterampilan dasar pengetahuan, pemahaman, nilai, dan sikap yang memungkinkan siswa dapat berfungsi sesuai dengan tuntutan di masyarakat ataupun tantangan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Dimensi umum ini merupakan kurikulum inti yang juga diberikan kepada siswa lain dalam jenjang pendidikan yang sama.
  1. Dimensi Diferensiasi
Dimensi ini berkaitan dengan ciri khas perkembangan peserta didik yang mempunyai kemampuan dan kecerdasan luar biasa, yang merupakan program khusus dan pilihan terhadap bidang studi tertentu. Siswa dapat memilih bidang studi yang diminatinya untuk dapat diketahui lebih luas dan mendalam.
  1. Dimensi Non Akademis
Dimensi ini memberikan kesempatan peserta didik utuk belajar di luar kegiatan sekolah formal melalui media lain seperti radio, televisi, internet, CD-Rom, wawancara pakar,kunjungan ke museum dan sebagainya.
  1. Dimensi Suasana Belajar
Pengalaman belajar yang dijabarkan dari lingkugan keluarga dan sekolah. Iklim akademis, sistem ganjaran dan hukuman, hubugan antar siswa, hubungan siswa dengan guru, antara guru dengan orang tua siswa, hubungan siswa dengan orang tua merupakan unsur yang menentukan lingkungan belajar.
Pengembangan kurikulum berdiferensiasi untuk program percepatan belajar dapat dilakukan dengan melakukan modifikasi kurikulum nasional dan muatan lokal dengan cara sebagai berikut:
  1. Modifikasi alokasi waktu, yang disesuaikan kecepatan belajar bagi siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa ;
  2. Modifikasi isi/materi, dipilih yang esensial;
  3. Modifikasi sarana-prasarana, yang disesuaikan dengan karakteristik siswa yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa yakni senang menemukan sendiri pengetahuan baru;
  4. Modifikasi lingkungan belajar yang memungkinkan siswa memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dapat memenuhi kehausan akan pengetahuan;
  5. Modifikasi pengelolaan kelas, yang memungkinkan siswa dapat bekerja di kelas, baik secara mandiri, berpasangan, maupun kelompok.[23]
D.    Tinjauan Pakar tentang Program Akselerasi
Berbagai penelitian mengenai siswa unggul dan adanya program akselerasi di berbagai Negara yang berusaha mengakomodasi kebutuhan golongan siswa tersebut, termasuk pula berbagai pro dan kontra mengenai dampak akselerasi dari berbagai aspek. Dimulai dari berbagai penelitian yang dilakukan pada beberapa SMA di Indonesia yang memiliki program akselerasi, guru besar baru Asmadi Alsa menyimpulkan beberapa hal, diantaranya bahwa siswa akselerasi memang memperoleh percepatan dalam hal perkembangan secara kognitif, namun tidak dalam hal afektif dan psikomotorik.
Namun begitu, aktivitas belajar yang padat dapat memacu siswa sehingga memiliki daya juang yang tinggi dalam belajar, karena memang tidak ditemukan adanya dampak negatif dari hal itu. Meski demikian, pemantauan pada semester awal menjadi amat penting dalam rangka melakukan tindakan lanjutan bagi siswa yang ditemukan memiliki potensi tidak cukup mampu melakukan penyesuaian diri dengan tuntutan program maupun juga lingkungan akademik dan sosial yang baru. Bagaimanapun, evaluasi terhadap program akselerasi di Indonesia harus terus dilakukan dari berbagai aspek. Keberhasilan akselerasi di Negara lain tidaklah dapat menjadi pegangan, mengingat kondisi demografis dan sosio-kultural yang berbeda.
Dengan tekad seluruh pihak, terutama Departemen Pendidikan Nasional untuk mengakomodasi kebutuhan adanya pendidikan yang berkualitas bagi semua pihak, termasuk bagi para siswa unggul, semoga saja program akselerasi yang kini telah berjalan (dan kelak akan dikembangkan) dapat menghasilkan calon-calon pemimpin bangsa yang berintegritas tinggi.[24]
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
  1. Akselerasi adalah program layanan belajar yang ditujukan bagi mereka yang memiliki kemampuan tinggi (IQ di atas 130) agar dapat menyelesaikan studinya lebih cepat dari anak usia rata-rata sesuai kecepatan dan kemampuannya.
  2. Tinjauan Historis: Tokoh yang pertama kali merumuskan akselerasi adalah Pressy (1949), mengemukakan bahwa program akselerasi sebagai kemajuan dalam program pendidikan dengan laju yang lebih cepat dari pada yang berlaku pada umumnya atau memulai suatu tingkat pendidikan pada usia yang lebih muda dari pada yang berlaku pada umumnya. Tinjauan Yuridis: dalam GBHN; "Peserta didik yang memiliki tingkat kecerdasan luar biasa mendapat perhatian dan pelajaran lebih khusus agar dapat dipacu perkembangan prestasi dan bakatnya tanpa mengabaikan potensi peserta didik lainnya”. Dalam Undang–Undang; Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisdiknas Pasal 8 ayat (2) menegaskan: Warga negara yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa berhak memperoleh perhatian khusus. Dalam Permendiknas; No.22 th.2006 tentang Standar Isi, yang mengatur tentang beban belajar yang menggariskan bahwa: Program percepatan belajar dapat diselenggarakan untuk mengakomodasi peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Tinjauan Sosiologis: Kurikulum berdiferensiasi yang dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pendidikan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa dengan cara memberikan pengalaman belajar yang berbeda dalam arti kedalaman, keluasan, percepatan, maupun dalam jenisnya.
  3. Tujuan Umum program akselerasi; Memberikan pelayanan terhadap peserta didik yang memiliki karakteristik khusus, memenuhi hak asasinya sesuai kebutuhan, memenuhi minat intelektual dan perspektif masa depan, menyiapkan pemimpin masa depan. Tujuan Khusus; Menghargai peserta didik yang memiliki kecerdasan luar biasa, memacu kualitas siswa meningkatkan kecerdasan spiritual, intelektual dan emosional, meningkatkan efektifitas dan efisiensi proses pembelajaran peserta didik.
  4. Menurut pakar; siswa akselerasi memang memperoleh percepatan dalam hal perkembangan secara kognitif, namun tidak dalam hal afektif dan psikomotorik untuk mengakomodasi kebutuhan adanya pendidikan yang berkualitas bagi semua pihak, termasuk bagi para siswa unggul. 
DAFTAR PUSTAKA
Alsa, Asmadi. 2007. Program akselerasi SMA ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.
Braggett, EJ. 1994, Developing Programs for Gifted Students. Australia: Hawker Brownlow Education.
Hawadi, Akbar, Reni. 2004. Akselerasi: A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual, Jakarta:  Grasindo Widiasarana Indonesia.
__________, 2001. Kurikulum Berdiferensiasi. Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia.
Jones, E. D., and Southern, W. T., t.t. Types of Acceleration: Dimensions and Issues, by, A Nation Deceived, V. II, Chapter 1.
Kamdi, Waras. Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak. Kompas Online, 24 dan 26 Juli 2004. Dalam http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/pengertian-dan-tujuan-program.html diakses pada Kamis 01 Nov 2012.
Muhamad, Amril. Sejarah Program Akselerasi di Indonesia. Dalam http://asosiasicibinasional.wordpress.com/2011/08/13/sejarah-program-akselerasi-di-indonesia/ diakses pada Kamis 01 Nov 2012.
Nuraida, Hawadi, L.F., Moesono, A. 2007. Dampak Program Akselerasi Indonesia yang Berbasis Kurikulum Nasional Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Peserta Akselerasi Tingkat SMA di Jakarta. Jurnal Keberbakatan dan Kreativitas “Gifted Review”. Vol. 1 No. 1. T.p.
Pendidikan Dasar dan Menengah, Direktorat. 2003. Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.
Rogers, KB. 2002. Re-Forming Gifted Education, Arizona: Great Potential Press, Inc.
Semiawan, Conny. 1997. Perspektif Pendidikan Anak Berbakat. Jakarta: PT Gramedia Widiasarana.
Sekolah Luar Biasa, Direktorat Pembinaan. 2010. Panduan Guru dan Orang tua Pendidikan Cerdas Istimewa. Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional.
Tirtonegoro, Sutratinah. 2001. Anak Supernormal dan Program Pendidikannya, Yogyakarta: Bumi Aksara.


[1]Definisi Akselerasi, online, www.artikata.com/arti-318216-akselerasi.html, diakses pada 05 Okt 2012.
[2]Reni Akbar-Hawadi (Ed), Akselerasi: A-Z Informasi Program Percepatan Belajar dan Anak Berbakat Intelektual (Jakarta:  Grasindo Widiasarana Indonesia, 2004), 5-6.
[3]Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal dan Program Pendidikannya (Yogyakarta: Bumi Aksara, 2001), 104.
[4]Ibid., 104-105.
[5]Hawadi, Akselerasi..., 121.
[6]Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa, Panduan Guru dan Orang tua Pendidikan Cerdas Istimewa (Jakarta: Kementrian Pendidikan Nasional, 2010), 60.
[7]Ibid.
[8]Amril Muhamad, Sejarah Program Akselerasi di Indonesia dalam http://asosiasicibinasional.wordpress.com/2011/08/13/sejarah-program-akselerasi-di-indonesia/ diakses pada Kamis 01 Nov 2012.
[9] M. Fakhrudin, Program Percepatan Belajar (Akselerasi) Sebagai Salah Satu Inovasi Labschool dalam Memberikan Layanan Belajar bagi Siswa Cerdas Isitmewa, PDF, 4-5.
[10]Ibid.
[11]Diferensiasi: proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, kemampuan dan pekerjaan,dalam http://www.artikata.com/arti-325219-diferensiasi.html, diakses pada Kamis,01 Nov 2012.
[12]Direktorat Pendidikan Dasar dan Menengah, Pedoman Penyelenggaraan Program Percepatan Belajar (Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional,2003),  41-42.
 
[13]Conny Semiawan, Perspektif Pendidikan Anak Berbakat (Jakarta: PT Gramedia Widiasarana, 1997), 141.
[14]Sutratinah Tirtonegoro, Anak Supernormal..., 120.
[15] Waras Kamdi, Kelas Akselerasi dan Diskriminasi Anak, Kompas Online, 24 dan 26 Juli 2004. dalam http://www.majalahpendidikan.com/2011/04/pengertian-dan-tujuan-program.html diakses pada Kamis 01 Nov 2012
[17]Ibid.
[18]E. D. Jones and W. T. Southern. Types of Acceleration: Dimensions and Issues,” by, A Nation Deceived, V. II, Chapter 1, 5–12.
[19]Nuraida, Hawadi, L.F. dan Moesono, A. (2007). Dampak Program Akselerasi Indonesia yang Berbasis Kurikulum Nasional Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Peserta Akselerasi Tingkat SMA di Jakarta. Jurnal Keberbakatan dan Kreativitas “Gifted Review”. Vol. 1 No. 1, 47-54.
[20]Ibid.
[21]Ibid.
[22]Memakai kata cawu: menurut pemakalah, penulis buku masih berorientasi pada sistem cawu, belum semester. Pemakalah mencari refrensi yang berorientasi pada semester belum ditemukan.
[23]Reni Akbar-Hawadi Dkk, Kurikulum Berdiferensiasi (Jakarta: Grasindo Widiasarana Indonesia, 2001), 3.
[24]Asmadi Alsa, Program akselerasi SMA ditinjau dari sudut pandang psikologi pendidikan (Jogja: Universitas Gajah Mada, 2007) disampaikan pada pengukuhan Guru Besar Fak. Psikologi Rabu 6 Juni 2007.

Tidak ada komentar: