Sabtu, 20 April 2013

GURU DAN INOVASI PENDIDIKAN DI INDONESIA


PENDAHULUAN
1. Pengertian Inovasi
Inovasi berasal dari kata latin, innovation yang berarti pembaruan dan perubahan. Kata kerjanya innovo yang artinya memperbarui dan mengubah. Inovasi adalah suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat), baik itu berupa hasil invensi atau diskoveri. Inovasi diadakan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memecahkan suatu masalah tertentu (Ibrahim, 1988). Invensi adalah suatu penemuan yang benar-benar baru artinya hasil kreasi manusia yang berupa benda atau hal yang ditemukan itu benar-benar sebelumnya belum ada, kemudian diadakan dengan hasil kreasi baru. Sedangkan diskoveri adalah suatu penemuan sesuatu yang sebenarnya benda atau hal yang ditemukan itu sudah ada, tetapi belum diketahui orang.
Ibrahim (1988) mengemukakan bahwa inovasi pendidikan adalah inovasi dalam bidang pendidikan atau inovasi untuk memecahkan masalah pendidikan. Jadi inovasi pendidikan adalah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau kelompok orang (masyarakat), baik berupa invensi atau diskoveri yang digunakan untuk mencapai tujuan pendidikan atau untuk memecahkan masalah pendidikan.
2. Tujuan Inovasi Pendidikan
Menurut Fuad Ihsan (2005), tujuan inovasi pendidikan adalah meningkatkan efisiensi, relevansi, kualitas dan efektivitas, sarana serta jumlah peserta didik sebanyak-banyaknya, dengan hasil pendidikan sebesar-besarnya (menurut criteria kebutuhan peserta didik, masyarakat, dan pembangunan), dengan menggunakan sumber, tenaga, uang, alat, waktu dalam jumlah yang sekecil-kecilnya.
Kalau dikaji, arah tujuan inovasi pendidikan Indonesia tahap demi tahap, yaitu :
a. Mengejar ketinggalan-ketinggalan yang dihasilkan oleh kemajuan-kemajuan ilmu dan teknologi sehingga makin lama pendidikan di Indonesia makin berjalan sejajar dengan kemajuan-kemajuan tersebut.
b. Mengusahakan terselenggaranya pendidikan sekolah maupun luar sekolah bagi setiap warga negara. Misalnya daya tamping usia sekolah SD, SLTP, SLTA, dan Perguruan Tinggi.
Di samping itu, akan diusahakan peningkatan mutu yang dirasakan makin menurun dewasa ini. Dengan system penyampaian yang baru, diharapkan peserta didik menjadi manusia yang aktif, kreatif, dan terampil memecahkan masalahnya sendiri.
Tujuan jangka panjang yang hendak dicapai adalah terwujudnya manusia Indonesia seutuhnya.
3. Masalah-masalah yang Menuntut Diadakan Inovasi
Adapun masalah-masalah yang menuntut diadakan inovasi pendidikan di Indonesia, yaitu :
a. Perkembangan ilmu pengetahuan menghasilkan kemajuan teknologi yang mempengaruhi kehidupan social, ekonomi, politik, pendidikan dan kebudayaan bangsa Indonesia. Sistem pendidikan yang dimiliki dan dilaksanakan di Indonesia belum mampu mengikuti dan mengendalikan kemajuan-kemajuan tersebut sehingga dunia pendidikan belum dapat menghasilkan tenaga-tenaga pembangunan yang terampil, kreatif, dan aktif sesuai dengan tuntutan dan keinginan masyarakat.
b. Laju eksplorasi penduduk yang cukup pesat, yang menyebabkan daya tampung, ruang, dan fasilitas pendidikan yang sangat tidak seimbang.
c. Melonjaknya aspirasi masyarakat untuk memperoleh pendidikan yang lebih baik, sedangkan di pihak lain kesempatan sangat terbatas.
d. Mutu pendidikan yang dirasakan makin menurun, yang belum mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
e. Belum mekarnya alat organisasi yang efektif, serta belum tumbuhnya suasana yang subur dalam masyarakat untuk mengadakan perubahan-perubahan yang dituntut oleh keadaan sekarang dan yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Berbagai Upaya Inovasi Pendidikan di Indonesia
1. Proyek Perintis Sekolah Pembangunan
Ada delapan IKIP yang ditugaskan untuk menyelenggarakan Proyek Perintis Sekolah Pembangunan (PPSP), yaitu IKIP Padang, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, IKIP Semarang, IKIP Yogyakarta, IKIP Surabaya, IKIP Malang dan IKIP Ujung Pandang.
Pada mulanya proyek itu dimaksudkan untuk mencoba bentuk system persekolahan yang komprehensif dengan nama Sekolah Pembangunan. Selain itu, secara umum kerangka system pendidikan ini digariskan dalam Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 0172 Tahun 1974.
Dalam Surat Keputusan itu terdapat beberapa pokok pikiran mengenai hakikat Sekolah Pembangunan, yang menyangkut relevansi sekolah dengan kebutuhan masyarakat, yaitu :
a. Adanya integrasi antara sekolah dan masyarakat serta pembangunan.
b. Sekolah menghasilkan tenaga terdidik sehingga dapat merupakan tenaga kerja yang produktif.
c. Sekolah menghasilkan manusia terdidik dengan pengertian kesadaran ekologi, baik lingkungan social, fisik maupun biologis.
d. Sekolah menyelenggarakan pendidikan yang menyenangkan, merangsang sesuai dengan tuntutan jaman untuk pendidikan watak, pengetahuan, kecerdasan, keterampilan, kemampuan berkomunikasi dan kesadaran ekologi.
e. Sekolah menciptakan keseimbangan fisik, emosional intelektual, kultural dan spiritual, serta keseluruhan pembangunan masyarakat.
f. Sekolah memberikan sumbangan bagi ketahanan nasional dan ikut serta dalam pembangunan.
Konsepsi Sekolah Pembangunan disebarluaskan ke seluruh Indonesia pada tahun 1974. Tampaknya konsepsi ini masih perlu dikembangkan melalui proses penelitian dan percobaan yang dilakukan secara sistematis. Oleh karena itu disusun “Master Design Pembaruan Pendidikan melalui PPSP”, yang kemudian diperkuat dengan SK Mendikbud No. 041 Tahun1974 tentang landasan, tujuan, strategi, proses, dan tata kerja pembaruan pendidikan.
PPSP adalah salah satu proyek dalam rangka program pendidikan yang ditugaskan untuk mengembangkan satu system pendidikan dasar dan menengah (Surat Keputusan Menteri No. 0141 Tahun 1974) yang :
a. Efektif dan relevan dengan kebutuhan masyarakat dan individu yang diwujudkan melalui program pendidikan yang sesuai;
b. Merupakan dasar bagi pendidikan seumur hidup; dan
c. Efisien dan realistis, sesuai dengan tingkat kemampuan pembiayaan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Sesuai dengan tugas yang diemban itu maka Badan Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan (BP3K) memilih modul sebagai satu system penyampaian pada delapan PPSP, dengan alasan :
a. Modul mempunyai potensi untuk memecahkan masalah pemerataan pendidikan, karena modul memungkinkan murid belajar sendiri tanpa tergantung pada tempat dan waktu.
b. Modul mempunyai potensi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Sistem pengajaran dengan modul menekankan bahwa setiap siswa harus dapat mencapai tingkat penguasaaan tertentu (mastery learning). Apabila 75% siswa tidak dapat menguasai tingkat penguasaan minimum maka modul harus diulang dengan bimbingan guru.
c. Modul mempunyai potensi untuk meningkatkan relevansi pendidikan. Modul berorientasi kepada tujuan yang direncanakan dengan seksama supaya memungkinkan terjaminnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat.
d. Modul mempunyai potensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan waktu dan fasilitas sebab dengan modul memungkinkan guru membantu dan memperbaiki siswa selama dia belajar.
Semua itu dilihat dari tujuan pengajaran modul yaitu :
a. Tujuan pendidikan dan pengajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien
b. Menjadikan siswa aktif dalam belajar
c. Siswa dapat bekerja sendiri, baik dibantu oleh guru maupun tidak
d. Siswa dapat mengikuti pelajaran (program pendidikan) sesuai dengan kemampuan masing-masing
e. Siswa dapat mengetahui hasil pelajaran secara berkelanjutan.
Modul ialah suatu satuan program belajar mengajar yang dapat dipelajari oleh murid dengan bantuan yang minimal dari guru. Satuan ini berisikan tujuan yang harus dicapai secara praktis, petunjuk-petunjuk yang harus dilakukan, materi dan alat-alat yang dibutuhkan, alat penilaian guru yang mengukur keberhasilan murid dalam mengerjakan modul. Modul sebagai suatu system penyampaian merupakan suatu unit kecil program penyampaian yang dapat dipelajari oleh murid. Murid harus menguasai suatu unit bahan pelajaran sebelum mereka beralih ke unit berikutnya (BP3K, 1976).
2. Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 disetujui oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk secara nasional dilaksanakan bertahap mulai tahun pengajaran 1976 dengan catatan, bahwa bagi sekolah-sekolah yang menurut penilaian kepala perwalian telah mampu, diperkenankan melaksanakannya tahun 1975.
a. Ciri-ciri Khusus
Kurikulum 1975 mempunyai cirri-ciri khusus sebagai berikut :
1) Menganut pendekatan yang berorientasi pada tujuan. Setiap guru harus mengetahui dengan jelas tujuan yang harus dicapai oleh setiap murid di dalam menyusun rencana kegiatan belajar mengajar dan membimbing murid untuk melaksanakan rencana tersebut.
2) Menganut pendekatan yang integratif, dalam arti setiap pelajaran dan tujuan yang lebih akhir.
3) Pendidikan Moral Pancasila dalam hal ini bukan hanya dibebankan kepada bidang pelajaran PMP dalam pencapaiannya, melainkan juga kepada bidang pelajaran ilmu pengetahuan social (sejarah, geografi, ekonomi) dan pendidikan agama.
4) Kurikulum ini menekankan pada efisiensi dan efektivitas penggunaan dana, daya dan waktu yang tersedia.
5) Mengharuskan guru untuk menggunakan teknik penyusunan program pengajaran yang dikenal dengan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI).
6) Organisasi pelajaran meliputi bidang-bidang studi : agama, bahasa, matematika, ilmu pengetahuan social, kesenian, olah raga dan kesehatan, keterampilan, di samping Pendidikan Moral Pancasila, yang tujuannya untuk mencapai sinkronisasi dan integrasi pelajaran-pelajaran yang sekelompok.
7) Pendekatan dalam strategi pembelajaran memandang situasi belajar mengajar sebagai suatu system yang meliputi komponen-komponen tujuan pembelajaran, bahan pembelajaran, alat pembelajaran, alat evaluasi, dan metode pembelajaran.
8) Sistem evaluasi, dilakukan penilaian murid-murid pada setiap akhir satuan pembelajaran terkecil dan memperhitungkan nilai-nilai yang dicapai murid pada setiap akhir satuan pembelajaran.
b. Prinsip-prinsip yang melandasi
Dalam menyusun dan membakukan kurikulum tersebut digunakan beberapa prinsip yang memungkinkan system pendidikan pada setiap program (SD, SLTP, SLTA) benar-benar lebih efisien dan efektif.
1) Fleksibilitas Program. Penyelenggaraan pendidikan keterampilan pada setiap program harus mengingat faktor-faktor ekosistem dan kemampuan pemerintah, masyarakat, serta orang tua untuk menyediakan dana bagi kelangsungan bidang studi tersebut.
2) Efisiensi dan Efektivitas. Efisiensi disini adalah efisiensi waktu, pendayagunaan dana, dan tenaga secara optimal.
3) Berorientasi pada Tujuan. Kurikulum 1975 mempunyai empat macam tujuan, yaitu :
* Tujuan umum yaitu tujuan pendidikan nasional
* Tujuan institusional yaitu tujuan untuk setiap lembaga tingkatan pendidikan, seperti tujuan SD, SLTP, dan SLTA.
* Tujuan kurikuler yaitu tujuan untuk setiap bidang studi.
* Tujuan instruksional yaitu tujuan setiap pokok bahasan.
4) Kontinuitas. Sekolah dasar dan sekolah menengah (pertama dan atas) adalah sekolah-sekolah umum yang masing-masing fungsinya dinyatakan dalam tujuan institusional. Namun, kurikulum satu jenjang pendidikan dengan yang di atasnya berhubungan secara hierarkis. Oleh karena itu, dalam menyusun kurikulum, ketiga jenjang sekolah tersebut hendaknya selalu dihubungkan secara hierarkis dan fungsional.
5) Pendidikan Seumur Hidup. Pendidikan yang diterima anak di sekolah memberikan dasar/bekal untuk belajar seumur hidup, sehingga memungkinkan seseorang meningkatkan pengetahuan, keterampilan serta mengembangkan potensi-potensi sesuai dengan kebutuhan kehidupannya.
c. Tujuan
Tujuan utama kurikulum 1975 untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional. Mutu suatu hasil pendidikan dapat dianggap tinggi apabila kemampuan pengetahuan dan sikap yang dimiliki para lulusan berguna bagi perkembangan selanjutnya.
d. Metode Penyampaian
Dalam metode penyampaian digunakan penyampaian berdasarkan Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI) yang dikembangkan melalui Model Satuan Pelajaran (MSP) berlandaskan kepada pandangan bahwa proses belajar mengajar itu sebagai suatu system, senantiasa harus diarahkan kepada pencapaian tujuan.
3. Proyek Pamong
Proyek ini merupakan program pendidikan bersama antara pemerintah Indonesia dan Innotech; lembaga yang didirikan oleh badan kerjasama Menteri-menteri pendidikan se-Asia Tenggara. Di kalangan organisasi menteri pendidikan Negara-negara Asia Tenggara (South East Asian Ministers Education Organization atau Seameo) proyek ini dikenal dengan istilah Impact (Instruction of Management by Parent Community and Teachers).
Pamong singkatan dari Pembelajaran, dan Pendidikan Anak oleh Masyarakat, Orang Tua, dan Guru. Proyek ini diujicobakan di tingkat sekolah dasar pada Kecamatan Kebakramat (Kelurahan Alastimo, Banjarharjo, Malanggaten, dan Kebak) di Kabupaten Karanganyar Solo.
Tujuan Proyek Pamong, yaitu :
a) Membantu anak-anak yang tidak sepenuhnya dapat mengikuti pendidikan sekolah, atau membantu siswa yang drop out.
b) Membantu anak-anak yang tidak mau terikat oleh tempat dan waktu dalam belajar, oleh karena dapat belajar sambil menggembalakan ternak, waktu istirahat, dll.
c) Mengurangi penggunaan tenaga guru.
d) Dengan meningkatkan pemerataan kesempatan belajar, dengan pembiayaan yang sedikit dapat ditampung sebanyak mungkin siswa.
Dengan kata lain, tujuan proyek pamong untuk menemukan alternative system penyampaian pendidikan dasar yang bersifat efektif, ekonomis dan merata, yang sesuai dengan kondisi kebanyakan daerah di Indonesia.
Proyek eksperimentasi ini berakhir pada tahun 1976. Sistem penyampaian yang digunakan dengan pemakaian modul. Setiap anak dapat mengambil modul di Pusat Pendidikan Masyarakat (Pusdikmas). Di Pusdikmas ini ada guru professional yang mengelola pendidikan anak/siswa. Anak dapat belajar sendiri dengan orang tua, atau tutor (seorang siswa yang lebih tinggi tingkat belajarnya) atau anggota masyarakat yang mempunyai kecakapan khusus.
Jadi, dengan system Pamong ini anak-anak/siswa dapat belajar sendiri dengan bimbingan tutor, atau anggota masyarakat, serta bombingan orang tua. Pengajaran yang diberikan memperhatikan kesanggupan anak.
4. SMP Terbuka
Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMPT) adalah Sekolah Menengah Umum Tingkat Pertama, yang kegiatan belajarnya sebagian besar diselenggarakan di luar gedung sekolah dengan cara penyampaian pelajaran melalui berbagai media dan interaksi yang terbatas antara guru dan murid.
a) Latar Belakang
Latar belakang pendirian SMPT, yaitu :
a) Kekurangan fasilitas pendidikan dan tempat belajar.
b) Tenaga pendidikan yang tidak cukup.
c) Memperluas kesempatan belajar dalam rangka pemerataan pendidikan.
d) Menanggulangi anak terlantar yang tidak diterima di SMP Negeri.
Dalam penyelenggaraan SMPT ditunjuk beberapa SMP Negeri atau Swasta sebagai SMP Induk.
b) Ciri-ciri
Ciri-ciri SMPT sebagai berikut :
a) Terbuka bagi siswa tanpa pembatasan umur dan tanpa syarat-syarat akademis yang ketat.
b) Terbuka dalam memilih program belajar untuk mencapai ijazah formal, untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan jangka pendek yang bersifat praktis, insidential dan perorangan.
c) Terbuka dalam proses belajar mengajar tidak selalu diselenggarakan di ruang kelas secara tatap muka, melainkan dapat juga melalui media, seperti radio, media cetak, kaset, slide, model dan gambar-gambar.
d) Terbuka dalam keluar masuk sekolah sesuai dengan waktu yang tersedia oleh siswa.
e) Terbuka dalam mengelola sekolah.
c) Tujuan
Tujuan SMPT sama dengan tujuan pendidikan umum SMP yaitu agar lulusan:
a) Menjadi warga Negara yang baik sebagai menusia yang utuh, sehat dan kuat, lahir dan batin.
b) Menguasai hasil pendidikan umum yang merupakan kelanjutan dari pendidikan di Sekolah Dasar.
c) Memiliki bekal untuk melanjutkan pelajarannya ke sekolah lanjutan atas dan untuk terjun ke masyarakat.
d) Meningkatkan disiplin siswa.
e) Menilai kemajuan siswa dan memantapkan hasil pelajaran dengan media.
Kurikulum SMPT merupakan kurikulum SMP 1975. Bidang studinya Bahasa Indonesia, Pendidikan Moral Pencasila, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Inggris, Agama, Keterampilan, Olah Raga dan Kesehatan.
Kewajiban siswa adalah mengikuti belajar perorangan, kelompok, tatap muka, dan belajar melalui pengalaman langsung, serta mengikuti Evaluasi Belajar Tahap Akhir (EBTA).
Tenaga pengajar terdiri dari guru Pembina dan guru pembimbing yang diambil dari masyarakat setempat.
Tugas guru Pembina, antara lain :
a) Merencanakan kegiatan belajar, baik yang bersifat tatap muka, maupun kegiatan belajar dalam pusat kegiatan belajar kelompok
b) Memberikan petunjuk, bimbingan, dan supervise kepada guru pembimbing
c) Memberikan bimbingan kepada murid
d) Mengatur penyampaian bahan-bahan pelajaran
e) Mengatur penggunaan fasilitas pelajaran yang diperlukan
f) Melaksanakan kegiatan belajar tatap muka
Tugas guru pembimbing, antara lain :
a) Membantu memecahkan dan menampung, menyalurkan persoalan yang dihadapi murid secara perorangan maupun kelompok, baik bersifat edukatif maupun administrative.
b) Membagikan bahan-bahan pelajaran pada siswa
c) Membimbing murid agar belajar dengan teratur menurut jadwal yang ditetapkan.
d) Mencatat dan melaporkan hasil kegiatan belajar siswa kepada guru pembina.
e) Mengatur dan mengawasi pelaksanaan belajar murid
f) Menjadi penghubung antara SMP terbuka dan masyarakat
g) Mengatur penggunaan fasilitas desa untuk kepentingan kegiatan belajar
h) Merencanakan kegiatan bersama dengan guru pembina
Agar penyelenggaraan SMPT ini dapat berjalan seperti yang diharapkan maka partisipasi masyarakat sangat diharapkan. Partisipasi ini dapat dinyatakan dengan jalan menyekolahkan anaknya di SMPT, menyediakan tempat bagi kegiatan-kegiatan belajar di SMPT, mengawasi siswa untuk belajar mandiri atau kelompok, dan menyediakan peralatan untuk praktek.
Penyelenggaraan SMPT hendaknya dirasakan sebagai tugas bersama antara orang tua, pemerintah dan masyarakat. Sumber pembiayaan untuk penyelenggaraan SMPT diperoleh dari biaya rutin pembangunan, sumbangan pembinaan pendidikan masyarakat dan pemerintah daerah.
5. Universitas Terbuka
a) Latar Belakang
Dalam rangka meningkatkan daya tampung perguruan tinggi maka pemerintah (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) mendirikan Universitas Terbuka (UT). Lembaga ini didirikan berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 41 tanggal 11 Juni 1984. Lalu berdasarkan PP No. 5 Tahun 1980, dijabarkan pula struktur organisasi UT yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0389/0/1984 tanggal 27 Agustus 1984 setelah mendapat persetujuan dari Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dalam suratnya No. B-648/I/MENPAN/8/84 tanggal 25 Agustus 1984.
b) Fakultas, Jenjang dan Program Studi
UT memiliki empat fakultas, yaitu :
1) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
2) Fakultas Ekonomi
3) Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
4) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Pada tahun ajaran 1985/1986 UT memberikan kesempatan lebih banyak kepada guru-guru yang telah bekerja di sekolah untuk meningkatkan kemampuan professional maupun kualitas formalnya.
Universitas Terbuka menyelenggarakan tiga jenis program pendidikan dengan system belajar jarak jauh, yaitu program sarjana (S1), program diploma (D1, D2, D3) dan program Akta V.
Program S1 adalah program pendidikan sarjana yang meliputi berbagai disiplin ilmu pengetahuan, terbuka untuk umum. Program Diploma dan Akta IV adalah program peningkatan mutu tenaga kependidikan, terutama diperuntukkan bagi guru di sekolah menengah dan tenaga pengajar di perguruan tinggi. Jenjang program kependidikan yang akan diselenggarakan pada tahun 1985/1986 adalah Diploma 3 dengan memasukkan guru SMPT berijazah setara dengan Diploma 2 atau sarjana muda, sedangkan program Diploma 1 akan dikelola bersama dengan Program Pendidikan Guru Sekolah Menengah Tingkat Pertama (PGSMTP) dari Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, kedua program pendidikan tersebut dirintis sejak tahun 1980. Sedangkan Program Akta V diperuntukkan bagi sarjana non-kependidikan.
Mirip dengan perguruan tinggi lain, penyelesaian program studi di UT, adalah berdasarkan pada jumlah angka Satuan Kredit Semester (SKS) yang harus ditempuh oleh mahasiswa. Dalam penyelesaian Program Sarjana dipersyaratkan 144–160 SKS, Program D1 40–50 SKS, D2 80-90, D3 110-120 SKS, dan Program Akta V 20 SKS setelah menyelesaikan 160 SKS.
c) Sistem Belajar
UT menyediakan pelayanan pendidikan dengan Sistem Belajar Jarak Jauh (SBJJ). Kegiatan belajar mengajar di UT meliputi kegiatan belajar mengajar mandiri (kegiatan belajar utama mahasiswa), kegiatan belajar kelompok antar mahasiswa (merupakan kegiatan belajar tambahan), dan kegiatan belajar tatap muka antara mahasiswa dan tutor.
Secara terinci system belajar di Universitas Terbuka tersebut meliputi kegiatan-kegiatan belajar sebagai berikut :
a) Mempelajari bahan tertulis (modul dan bahan tercetak lainnya) yang telah deprogram.
b) Interaksi tatap muka, dengan tutor baik langsung maupun tidak langsung melalui media komunikasi.
c) Interaksi antar individu dalam kelompok belajar.
d) Mendengarkan dan menyaksikan program audio visual (kaset radio, dll).
e) Praktikum dan kerja lapangan.
f) Mengerjakan ujian unit.
g) Mengerjakan ujian akhir semester.
d) Susunan Organisasi dan Pengelolaan
Susunan organisasi UT ditetapkan dengan Kepres No. 41 Tahun 1984, pada dasarnya tidak berbeda dengan susunan organisasi universitas dan institute biasa. Pucuk pimpinan UT adalah Rektor yang dibantu oleh tida Pembantu Rektor (purek), yaitu Purek I Bidang Pendidikan dan Pengajaran, Purek II Bidang Administrasi Umum, dan Purek III Bidang Kemahasiswaan. Unsur pimpinan tersebut membawahi unsur-unsur berikut ini :
a) Unsur Pembantu Pimpinan
* Biro Administrasi Akademik dan Kemahasiswaan
* Biro Administrasi Umum
b) Unsur Pelaksanaan
* Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
* Fakultas Ekonomi
* Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
* Pusat Penelitian dan Pengabdian Masyarakat
c) Unsur-unsur penunjang yang terdiri dari tiga Unit Pelaksana Teknis (UPT), yaitu :
* Pusat Produksi Media Pendidikan, Informasi, dan Pengolahan Data
* Pusat Pengolahan Pengujian
* Unit Program Belajar Jarak Jauh (UPBJJ) yang dibina oleh Rektor Universitas/Institut Negeri setempat, kecuali UPBJJ Dili dan Bogor yang dibina oleh Kepala Kantor Wilayah Departemen Pembelajaran dan K.
Selain unit-unit struktural itu terdapat pula unit-unit nonstruktural sebagai unsur kelengkapan universitas, yaitu senat universitas dan dewan penyantun.
Karena UT menggunakan system belajar jarak jauh UT tidak memiliki kampus sebagaimana lazimnya suatu perguruan tinggi biasa. Walaupun demikian, UT mempunyai :
a) Kantor Pusat di Jakarta
b) 32 kantor UPBJJ di daerah-daerah
c) Sejumlah sanggar belajar yang tersebar di seluruh Indonesia
UPBJJ yang berkedudukan di daerah-daerah terutama bertugas untuk mengelola proses belajar mengajar di daerahnya yang meliputi :
a) Pengadaan, pengkoordinasian, dan pengembangan tutorial
b) Pelayanan terhadap mahasiswa
c) Penyelenggaraan ujian unit dan ujian akhir semester
d) Membantu kantor pusat UT dalam menyelenggarakan administrasi umum.
Dalam melaksanakan tugas, UT membutuhkan bantuan sarana dan fasilitas dari perguruan tinggi di wilayah UPBJJ yang bersangkutan. Sumber dana UT diperoleh dari Pemerintah melalui APBN, dari mahasiswa melalui Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP), dan dari pendapatan lainnya.
6. Kurikulum 1984
Salah satu upaya perbaikan dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah melalui perbaikan kurikulum pendidikan dasar dan menengah dalam lingkungan Departemen P dan K. Perbaikan kurikulum ini dilaksanakan sesuai Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0461/U/1983 tanggal 23 Oktober 1983.
a) Latar Belakang
Perbaikan kurikulum ini didasarkan pada lima persoalan pokok, yaitu :
1) Dalam ketetapan MPR No. II/MPR/1983 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945 dinyatakan bahwa system pendidikan perlu disesuaikan dengan kebutuhan pembangunan di segala bidang yang memerlukan jenis keahlian dan keterampilan serta sekaligus meningkatkan kreativitas, mutu dan efisiensi kerja. Penyesuaian itu dilakukan antara lain melalui perbaikan kurikulum sebagai salah satu di antara berbagai upaya perbaikan penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Dalam rangka meneruskan dan mengembangkan jiwa, semangat dan nilai-nilai 1945 kepada generasi muda maka di sekolah-sekolah, baik negeri maupun swasta, wajib diberikan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).
2) Dari hasil penelitian pendidikan yang diadakan menunjukkan adanya kesenjangan-kesenjangan program kurikulum dan pelaksanaannya, program kurikulum dengan kebutuhan, dan tenaga kerja. Di samping itu, materi kurikulum dipandang terlalu padat.
3) Penelitian badan pengembangan dan penelitian di bidang kurikulum menemukan bahwa ada beberapa konsep bidang studi yang tidak sesuai dengan kemampuan berfikir siswa, dan adanya kata-kata, kalimat-kalimat wacana yang tidak sesuai dengan tingkat pemahaman siswa.
4) Pengetahuan dan pengalaman dari Negara lain serta keadaan pendidikan menunjukkan bahwa baik darisegi konten atau materi kurikulum maupun strategi belajar mengajar yang diterapkan di Indonesia sudah ketinggalan jaman.
5) Dari segi perkembangan ilmu pengetahuan, kurikulum 1975 yang sudah berusia hamper 10 tahun perlu disesuaikan.
b) Landasan Pengembangan
1) Nilai dasar (basic value) sebagai landasan pengembangan kurikulum ini adalah Pancasila dan UUD 1945.
2) Fakta empiris dapat dicari dari sumber ketentuan yang berlaku (GBHN), hasil penelitian dan pengembangan, dan hasil penelitian kurikulum.
3) Segi teoritis berarti pengembangan kurikulum perlu mempertimbangkan adanya perkembangan teori-teori ilmu pengetahuan dan teknologi.
c) Kegiatan Kurikuler
1) Ada tiga bentuk kegiatan kurikuler, yaitu intrakurikuler, kokurikuler dan ekstrakurikuler.
2) Kegiatan intrakurikulr dilaksanakan sesuai dengan struktur program. Pelaksanaannya di sekolah dan seluruh kegiatannya dinilai.
3) Kegiatan kokurikuler di luar struktur program. Tujuannya untuk memberikan perluasan dan pendalaman terhadap apa yang telah dipelajarinya dalam kegiatan intrakurikuler. Kegiatan kokurikuler ini wajib dinilai.
4) Kegiatan ekstrakurikuler terutama ditujukan untuk keperluan bakat dan prestasi siswa. Kegiatan ini dilaksanakan di luar sekolah dan tidak dinilai.
d) Pendekatan Dalam Proses Belajar Mengajar
Proses Belajar Mengajar (PBM) adalah pendekatan keterampilan proses yang diwujudkan dalam bentuk cara belajar siswa aktif (CBSA). Pada dasarnya pendekatan ini memberikan penekanan yang sama beratnya bagi proses belajar dengan hasil belajar. Dengan demikian proses belajar mengajar lebih banyak mengacu pada bagaimana seseorang belajar, selain apa yang dia pelajari tanpa mengabaikan ketuntasan belajar dengan memperhatikan kecepatan belajar siswa. Pada dasarnya pelaksanaan proses belajar mengajar ini berbentuk kelompok tanpa menutup kemungkinan untuk bentuk lainnya.
Keterampilan proses terdiri dari pengamatan, menghitung, mengukur, mengklasifikasikan, hubungan ruang dan waktu, pembuatan hipotesis, pengendalian variable, interpretasi data, kesimpulan sementara (inferensi), penerapan (aplikasi) dan komunikasi.
e) Sistem Penilaian
Pada dasarnya system penilaian dalam Kurikulum 1984 bukan hanya menitikberatkan pada penilaian hasil belajar, tetapi diterapkan juga penilaian dalam proses belajar.
f) Sistem Kredit
Dalam Kurikulum SLTA seperti SMA diterapkan system kredit. Yang dimaksud dengan system kredit adalah ukuran/satuan belajar siswa yang ditentukan oleh jumlah jam pelajaran tatap muka dan pekerjaan rumah per minggu tiap semester.
Penerapan system kredit berfungsi sebagai :
1) Pengukur beban siswa, yaitu menunjukkan ukuran minimal ataupun maksimal bahan belajar siswa.
2) Pencerminan dari perolehan tentang pengetahuan/keterampilan tertentu dalam waktu tertentu.
3) Pengakuan atas penyelesaian suatu program studi pada tingkat semester, tingkat kelas atau tingkat sekolah.
7. Kurikulum 1994
Untuk memperbaiki mutu pendidikan selama pemerintahan orde baru, antara lain, dilaksanakan berbagai upaya perbaikan kurikulum. Dimulai dari kurikulum 1987 yang disempurnakan, disederhanakan dan disesuaikan (YDS). Semua itu memiliki ciri-ciri dan pendekatan yang berbeda.
Kalau diperhatikan, upaya-upaya tersebut sesuai dengan pengertian kurikulum dalam UU No. 2 Tahun 1989, yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar.
Pada awal Pelita VI mendatang akan diberlakukan kurikulum 1994. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan sengaja memberikan informasi lebih awal untuk mengurangi tanggapan negative dan menghilangkan kesalahpahaman atau keresahan di kalangan para pendidik, terutama bagi daerah pedalaman yang biasanya lambat menerima ide-ide pembaruan.
Salah satu tujuan dari Undang-undang RI No. 2 Tahun 1989 Tentang Sistem Pendidikan Nasional agar peserta didik yang telah menamatkan sekolah mampu menghadapi berbagai tantangan dan mampu menjawab segala permasalahan pada pembangunan jangka panjang tahap kedua.
Ciri yang membedakan Kurikulum 1994 dengan kurikulum sebelumnya, ada pada pelaksanaan tentang pendidikan dasr Sembilan tahun, memberlakukan kurikulum muatan lokal serta penyempurnaan tiga kemampuan dasar; membaca, menulis dan menghitung yang fungsional.
Dalam rangka meningkatkan relevansi pendidikan di SD, juga dikembangkan kurikulum muatan local yang dinyatakan dalam Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 0412/U/1987 tanggal 11 Juli 1987, pelaksanaannya dijabarkan dalam Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah No. 173/-C/Kep/U/87 tanggal 7 Oktober 1987. Dalam keputusan Menteri P dan K tersebut dinyatakan, kurikulum muatan lokal ialah suatu program pendidikan yang isi dan media penyampaiannya dikaitkan dengan alam, lingkungan sosial, lingkungan budaya, dan pola kehidupan, serta kebutuhan pembangunan yang wajib dipelajari murid di daerah tersebut.
Tujuan kurikulum muatan lokal, antara lain, untuk mendekatkan peserta didik dengan lingkungan. Untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang diterima di sekolah dalam kehidupan peserta didik sehari-hari sehingga peserta didik terbiasa berfikir kritis dan analitis, untuk melestarikan dan mengembangkan kebudayaan daerah, untuk menanamkan rasa cinta terhadap lingkungan peserta didik, dan untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan lingkungannya.
8. Kurikulum 2004 (Kurikulum Berbasis Kompetensi)
a) Pengertian Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) merupakan seperangkat rencana dan pengaturan tentang kompetensi dan hasil belajar yang harus dicapai siswa, penilaian, kegiatan belajar mengajar dan pemberdayaan sumber daya pendidikan dan mengembangkan sekolah (Depdiknas, 2002).
Dari rumusan tersebut, KBK lebih menekankan pada kompetensi atau kemampuan apa yang harus dimiliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses pembelajaran tertentu, sedangkan masalah bagaimana cara mencapainya, secara teknis operasional diserahkan kepada guru di lapangan.
KBK berorientasi bahwa siswa bukan hanya memahami materi pelajaran untuk mengembangkan kemampuan intelektual saja, melainkan bagaimana pengetahuan itu dipahaminya dapat mewarnai perilaku yang ditampilkan dalam kehidupan nyata. Gordon (1988) menyarankan beberapa aspek yang harus terkandung dalam kompetensi adalah :
1) Pengetahuan (knowledge), yaitu pengetahuan untuk melakukan proses berfikir.
2) Pemahaman (understanding), yaitu kedalaman kognitif dan afektif yang dimiliki individu.
3) Keterampilan (skill), yaitu sesuatu yang dimiliki individu untuk melakukan tugas yang dibebankan.
4) Nilai (value), adalah suatu standar perilaku yang telah diyakini sehingga akan mewarnai dalam segala tindakannya.
5) Sikap (attitude), yaitu perasaan atau reaksi terhadap suatu rangsang yang datang dari luar, perasaan senang atau tidak senang terhadap suatu masalah.
6) Minat (interest), yaitu kecenderungan seseorang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan untuk mempelajari materi pelajaran.
b) Karakteristik KBK
KBK sebagai sebuah kurikulum memiliki karakteristik utama sebagai berikut : Pertama, KBK memuat sejumlah kompetensi dasar sebagai kemampuan standar minimal yang harus dikuasai dan dicapai siswa. Kedua, implementasi pembelajaran dalam KBK menekankan pada proses pengalaman dengan memperhatikan keberagaman setiap individu. Ketiga, evaluasi dalam KBK menekankan pada evaluasi dan proses belajar.
Karakteristik KBK secara rinci adalah :
1) Menekankan pada ketercapaian kompetensi baik secara individual maupun klasikal, artinya isi KBK intinya sejumlah kompetensi yang harus dicapai siswa, dan kompetensi inilah sebagai standar minimal atau kemampuan dasar.
2) Berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman, artinya keberhasilan pencapaian kompetensi dasar diukur oleh indikator hasil belajar.
3) Penyampaian dalam pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi sesuai dengan keberagaman siswa.
4) Sumber belajar bukan hanya guru, tetapi sumber belajar lain yang memenuhi unsure edukatif, artinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
5) Penilaian menekankan pada proses dan hasil belajar dalam upaya penguasaan atau pencapaian suatu kompetensi.
c) Pengembangan KBK
Pengembangan kurikulum merupakan suatu proses kompleks dan melibatkan berbagai factor terkait. Oleh karena itu dalam proses pengembangan KBK tidak hanya menuntut keterampilan teknis dari pihak pengembang terhadap pengembangan berbagai komponen kurikulum, tetapi harus pula dipahami berbagai factor yang mempengaruhinya.
Pengembangan KBK memfokuskan kepada kompetensi tertentu berupa panduan : pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang dapat didemonstrasikan peserta didik sebagai wujud pemahaman terhadap konsep yang dipelajarinya. Penerapan KBK memungkinkan guru menilai hasil belajar peserta didik dalam proses pencapaian sasaran belajar yang mencerminkan penguasaan dan pemahaman terhadap apa yang dipelajari. Karena itu peserta didik perlu mengetahui criteria penguasaan kompetensi yang akan dijadikan sebagai standar penilaian hasil belajar, sehingga peserta didik dapat mempersiapkan dirinya melalui penguasaan sejumlah kompetensi sebagai prasyarat untuk melanjutkan ke penguasaan sejumlah kompetensi berikutnya.
1. Asas Pengembangan KBK
Pengembangan kurikulum berbasis kompetensi didasarkan pada tiga asas pokok, yaitu :
a. Asas filosofis, berkenaan dengan nilai yang berlaku di masyarakat. Sistem nilai eret kaitannya dengan arah dan tujuan yang mesti dicapai. Itu sebabnya, dalam pengembangan KBK, filsafat sebagai system nilai menjadi sumber utama dalam merumuskan tujuan dan kebijakan pendidikan.
b. Asas psikologis, berhubungan dengan aspek kejiwaan dan perkembangan peserta didik. Secara psikologis anak didik memiliki perbedaan baik minat, bakat maupun potensi yang dimilikinya.
c. Asas sosiologis dan teknologis, hal ini berdasarkan asumsi bahwa sekolah berfungsi untuk mempersiapkan anak didik agar mereka dapat berperan aktif di masyarakat.
2. Prinsip-prinsip pengembangan KBK
Proses pengembangan KBK harus dilakukan dengan memperhatikan prinsip pengembangan KBK sebagai berikut:
a. Peningkatan keimanan, budi pekerti luhur dan penghayatan nilai-nilai budaya. Sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, maka peningkatan keimanan dan pembentukan budi pekerti merupakan prinsip utama yang harus diperhatikan pengembang kurikulum.
b. Keseimbangan etika, logika, estetika, dan kinestetika. Pembentukan manusia yang utuh merupakan tujuan utama pendidikan.
c. Penguatan integritas nasional. Indonesia adalah Negara dengan beraneka ragam suku dan budaya yang sangat majemuk. Pendidikan harus dapat menanamkan penanaman dan penghargaan terhadap aneka budaya, sehingga dapat menjadi kekuatan yang dapat memberikan sumbangan positif terhadap bangsa.
d. Perkembangan pengetahuan dan teknologi informasi. Pengembangan KBK diarahkan agar anak didik memiliki kemampuan berpikir dan belajar dengan cara mengakses berbagai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi informasi.
e. Pengembangan kecakapan hidup yang meliputi keterampilan diri, keterampilan berpikir rasional, keterampilan social, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional.
f. Pilar pendidikan. Ada empat pilar pendidikan yaitu belajar untuk memahami, belajar untuk berbuat, belajar hidup dalam kebersamaan, dan belajar untuk membangun dan mengekspresikan jati diri.
g. Komprehensif dan berkesinambungan. Komprehensif mencakup keseluruhan dimensi kemampuan dan substansi yang disajikan secara berkesinambungan .
h. Belajar sepanjang hayat. Pendidikan diarahkan pada proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlanjut sepanjang hayat.
i. Diversifikasi kurikulum. Kurikulum dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik.
j.
9. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP)
a. Pengertian
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
KTSP adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan dilaksanakan di masing-masing satuan pendidikan. KTSP terdiri dari tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan, struktur dan muatan kurikulum tingkat satuan pendidikan, kalender pendidikan, dan silabus.
b. Prinsip-Prinsip Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP dikembangkan sesuai dengan relevansinya oleh setiap kelompok atau satuan pendidikan di bawah koordinasi dan supervisi dinas pendidikan atau kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota untuk pendidikan dasar dan provinsi untuk pendidikan menengah. Pengembangan KTSP mengacu pada SI dan SKL dan berpedoman pada panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP, serta memperhatikan pertimbangan komite sekolah/madrasah. Penyusunan KTSP untuk pendidikan khusus dikoordinasi dan disupervisi oleh dinas pendidikan provinsi, dan berpedoman pada SI dan SKL serta panduan penyusunan kurikulum yang disusun oleh BSNP .
KTSP dikembangkan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik dan lingkungannya.
Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan lingkungan. Memiliki posisi sentral berarti kegiatan pembelajaran berpusat pada peserta didik.
b) Beragam dan terpadu
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta didik, kondisi daerah, jenjang dan jenis pendidikan, serta menghargai dan tidak diskriminatif terhadap perbedaan agama, suku, budaya, adat istiadat, status sosial ekonomi, dan jender. Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal, dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
c) Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
Kurikulum dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berkembang secara dinamis. Oleh karena itu, semangat dan isi kurikulum memberikan pengalaman belajar peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
d) Relevan dengan kebutuhan kehidupan
Pengembangan kurikulum dilakukan dengan melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
e) Menyeluruh dan berkesinambungan
Substansi kurikulum mencakup keseluruhan dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
f) Belajar sepanjang hayat
Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan, pembudayaan, dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat. Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal, nonformal, dan informal dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
g) Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah
Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
c. Acuan Operasional Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
KTSP disusun dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut.
1. Peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia
Keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia menjadi dasar pembentukan kepribadian peserta didik secara utuh. Kurikulum disusun yang memungkinkan semua mata pelajaran dapat menunjang peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia.
2. Peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik
Pendidikan merupakan proses sistematik untuk meningkatkan martabat manusia secara holistik yang memungkinkan potensi diri (afektif, kognitif, psikomotor) berkembang secara optimal. Sejalan dengan itu, kurikulum disusun dengan memperhatikan potensi, tingkat perkembangan, minat, kecerdasan intelektual, emosional dan sosial, spritual, dan kinestetik peserta didik.
3. Keragaman potensi dan karakteristik daerah dan lingkungan
Daerah memiliki potensi, kebutuhan, tantangan, dan keragaman karakteristik lingkungan. Masing-masing daerah memerlukan pendidikan sesuai dengan karakteristik daerah dan pengalaman hidup sehari-hari. Oleh karena itu, kurikulum harus memuat keragaman tersebut untuk menghasilkan lulusan yang relevan dengan kebutuhan pengembangan daerah.
4. Tuntutan pembangunan daerah dan nasional
Dalam era otonomi dan desentralisasi untuk mewujudkan pendidikan yang otonom dan demokratis perlu memperhatikan keragaman dan mendorong partisipasi masyarakat dengan tetap mengedepankan wawasan nasional. Untuk itu, keduanya harus ditampung secara berimbang dan saling mengisi.
5. Tuntutan dunia kerja
Kegiatan pembelajaran harus dapat mendukung tumbuh kembangnya pribadi peserta didik yang berjiwa kewirausahaan dan mempunyai kecakapan hidup. Oleh sebab itu, kurikulum perlu memuat kecakapan hidup untuk membekali peserta didik memasuki dunia kerja. Hal ini sangat penting terutama bagi satuan pendidikan kejuruan dan peserta didik yang tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
6. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni
Pendidikan perlu mengantisipasi dampak global yang membawa masyarakat berbasis pengetahuan di mana IPTEKS sangat berperan sebagai penggerak utama perubahan. Pendidikan harus terus menerus melakukan adaptasi dan penyesuaian perkembangan IPTEKS sehingga tetap relevan dan kontekstual dengan perubahan. Oleh karena itu, kurikulum harus dikembangkan secara berkala dan berkesinambungan sejalan dengan perkembangan Ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
7. Agama
Kurikulum harus dikembangkan untuk mendukung peningkatan iman dan taqwa serta akhlak mulia dengan tetap memelihara toleransi dan kerukunan umat beragama. Oleh karena itu, muatan kurikulum semua mata pelajaran harus ikut mendukung peningkatan iman, taqwa dan akhlak mulia.
8. Dinamika perkembangan global
Pendidikan harus menciptakan kemandirian, baik pada individu maupun bangsa, yang sangat penting ketika dunia digerakkan oleh pasar bebas. Pergaulan antarbangsa yang semakin dekat memerlukan individu yang mandiri dan mampu bersaing serta mempunyai kemampuan untuk hidup berdampingan dengan suku dan bangsa lain.
9. Persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan
Pendidikan diarahkan untuk membangun karakter dan wawasan kebangsaan peserta didik yang menjadi landasan penting bagi upaya memelihara persatuan dan kesatuan bangsa dalam kerangka NKRI. Oleh karena itu, kurikulum harus mendorong berkembangnya wawasan dan sikap kebangsaan serta persatuan nasional untuk memperkuat keutuhan bangsa dalam wilayah NKRI.
10. Kondisi sosial budaya masyarakat setempat
Kurikulum harus dikembangkan dengan memperhatikan karakteristik sosial budaya masyarakat setempat dan menunjang kelestarian keragaman budaya. Penghayatan dan apresiasi pada budaya setempat harus terlebih dahulu ditumbuhkan sebelum mempelajari budaya dari daerah dan bangsa lain.
11. Kesetaraan Gender
Kurikulum harus diarahkan kepada terciptanya pendidikan yang berkeadilan dan memperhatikan kesetaraan jender.
12. Karakteristik satuan pendidikan
Kurikulum harus dikembangkan sesuai dengan visi, misi, tujuan, kondisi, dan ciri khas satuan pendidikan.
d. Komponen Kurikulum Tingkatan Satuan Pendidikan
1. Tujuan Pendidikan Tingkat Satuan Pendidikan
Tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
2. Struktur dan Muatan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
Struktur dan muatan KTSP pada jenjang pendidikan dasar dan menengah yang tertuang dalam SI meliputi lima kelompok mata pelajaran sebagai berikut.
(1) Kelompok mata pelajaran agama dan akhlak mulia
(2) Kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian
(3) Kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi
(4) Kelompok mata pelajaran estetika
(5) Kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan
Kelompok mata pelajaran tersebut dilaksanakan melalui muatan dan/atau kegiatan pembelajaran sebagaimana diuraikan dalam PP 19/2005 Pasal 7.
Muatan KTSP meliputi sejumlah mata pelajaran yang keluasan dan kedalamannya merupakan beban belajar bagi peserta didik pada satuan pendidikan. Di samping itu materi muatan lokal dan kegiatan pengembangan diri termasuk ke dalam isi kurikulum.
a) Mata pelajaran
Mata pelajaran beserta alokasi waktu untuk masing-masing tingkat satuan pendidikan berpedoman pada struktur kurikulum yang tercantum dalam SI.
b) Muatan Lokal
Muatan lokal merupakan kegiatan kurikuler untuk mengembangkan kompetensi yang disesuaikan dengan ciri khas dan potensi daerah, termasuk keunggulan daerah, yang materinya tidak sesuai menjadi bagian dari mata pelajaran lain dan atau terlalu banyak sehingga harus menjadi mata pelajaran tersendiri. Substansi muatan lokal ditentukan oleh satuan pendidikan, tidak terbatas pada mata pelajaran keterampilan. Muatan lokal merupakan mata pelajaran, sehingga satuan pendidikan harus mengembangkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar untuk setiap jenis muatan lokal yang diselenggarakan. Satuan pendidikan dapat menyelenggarakan satu mata pelajaran muatan lokal setiap semester. Ini berarti bahwa dalam satua tahun satuan pendidikan dapat menyelenggarakan dua mata pelajaran muatan lokal.
c) Kegiatan Pengembangan Diri
Pengembangan diri adalah kegiatan yang bertujuan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan dan mengekspresikan diri sesuai dengan kebutuhan, bakat, minat, setiap peserta didik sesuai dengan kondisi sekolah. Kegiatan pengembangan diri difasilitasi dan/atau dibimbing oleh konselor, guru, atau tenaga kependidikan yang dapat dilakukan dalam bentuk kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri dapat dilakukan antara lain melalui kegiatan pelayanan konseling yang berkenaan dengan masalah diri pribadi dan kehidupan sosial, belajar, dan pengembangan karier peserta didik serta kegiatan keparamukaan, kepemimpinan, dan kelompok ilmiah remaja.
Khusus untuk sekolah menengah kejuruan pengembangan diri terutama ditujukan untuk pengembangan kreativitas dan bimbingan karier.
Pengembangan diri untuk satuan pendidikan khusus menekankan pada peningkatan kecakapan hidup dan kemandirian sesuai dengan kebutuhan khusus peserta didik.
Pengembangan diri bukan merupakan mata pelajaran. Penilaian kegiatan pengembangan diri dilakukan secara kualitatif, tidak kuantitatif seperti pada mata pelajaran.
d) Pendidikan Kecakapan Hidup
1. Kurikulum untuk SD/MI/SDLB, SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/ SMALB, SMK/MAK dapat memasukkan pendidikan kecakapan hidup, yang mencakup kecakapan pribadi, kecakapan sosial, kecakapan akademik dan/atau kecakapan vokasional.
2. Pendidikan kecakapan hidup dapat merupakan bagian integral dari pendidikan semua mata pelajaran dan/atau berupa paket/modul yang direncanakan secara khusus.
3. Pendidikan kecakapan hidup dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan yang bersangkutan dan/atau dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal.
e) Pendidikan Berbasis Keunggulan Lokal dan Global
1) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global adalah pendidikan yang memanfaatkan keunggulan lokal dan kebutuhan daya saing global dalam aspek ekonomi, budaya, bahasa, teknologi informasi dan komunikasi, ekologi, dan lain-lain, yang semuanya bermanfaat bagi pengembangan kompetensi peserta didik.
2) Kurikulum untuk semua tingkat satuan pendidikan dapat memasukkan pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global.
3) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dan global dapat merupakan bagian dari semua mata pelajaran dan juga dapat menjadi mata pelajaran muatan lokal.
4) Pendidikan berbasis keunggulan lokal dapat diperoleh peserta didik dari satuan pendidikan formal lain dan/atau nonformal yang sudah memperoleh akreditasi.
3. Kalender Pendidikan
Satuan pendidikan dasar dan menengah dapat menyusun kalender pendidikan sesuai dengan kebutuhan daerah, karakteristik sekolah, kebutuhan peserta didik dan masyarakat, dengan memperhatikan kalender pendidikan sebagaimana yang dimuat dalam Standar Isi.
2.2. Hambatan Pendidikan Guru dan Inovasi Pendidikan
Hofstede seorang ahli psikologi industri pada 1991 melakukan penelitian selama enam tahun tentang perbedaan budaya di 40 negara salah satunya di Thailand sebagai anggota Asean. Menurut Hofstede, Thailand sangat menganut “High Power Distance”. Dimana keputusan harus selalu dibuat oleh yang memiliki kedudukan lebih tinggi dan seringkali diikuti tekanan seperti hubungan kepala dinas dengan kepala sekolah, guru dengan murid dan kepala sekolah dengan guru. Selain itu, senioritas masih dipegang teguh oleh Thailand dalam dunia pendidikan.
Kondisi Thailand, tidak jauh berbeda dengan di Indonesia, sampai hari ini kita masih menganut apa yang ada di Thailand. Dalam dunia pendidikan kita, inovasi dan inisiatif serta kreativitas sangat sulit dilakukan secara individu. Sangat mustahil seseorang bergerak tanpa ada keputusan dari pihak yang memiliki posisi lebih tinggi.
Misalnya, ketika seorang guru ingin mengikuti lomba karya ilmiah atau inovasi teknologi dalam mengajar. Yang pertama harus dia urusi adalah “izin dan persetujuan” atasan. Ini tentu sangat lucu dan memalukan. Orang mau maju, kok malah dipersulit dengan berbagai alasan ini dan itu. Ini sangat ironis dengan UU Guru dan Dosen yang mengagung-agungkan profesionalisme guru dan dosen.
Contoh lainnya, di Negara-negara seperti Norwegia, Finlandia, Belanda, Swedia dan Jerman orang yang berkarya dan bekerja di perguruan tinggi minimal bergelar doktor atau professor. Artinya, perguruan tinggi disana, sangat susah menemui dosen atau peneliti bergelar S1 atau Master. Namun, di Indonesia jangankan untuk bergelar doktor atau professor, mau melamar sekolah saja sulitnya minta ampun. Padahal, sekolahnya dibiayai pihak lain. Dan lagi-lagi mempersulit adalah karena sistem “Higher Power Distance“.
Kita juga menganut paham “Collectivism” dimana segala sesuatu harus dilakukan secara bersama-sama dan semua keputusan harus dilakukan atas persetujuan bersama pula sehingga risiko yang akan dihadapi akan ditanggung bersama. Dalam pendidikan kita, sifat individualitik sangat tidak didukung. Hal ini sangat memungkinkan sebuah inovasi dan inisiatif akan memakan waktu yang lama dalam prosesnya dan mungkin pudar sebelum menjadi sebuah projek karena sulitnya mencari kata setuju diantara anggota kelompok. Padahal, inovasi akan muncul dari individu-individu yang memang memiliki bakat untuk maju secara sendiri-sendiri sehingga hasilnya bias digunakan secara bersama-sama.
Dan parahnya, senioritas masih sangat dijunjung tinggi di dalam dunia pendidikan kita. Kita memang diharuskan mendukung ungkapan bahwa “yang lebih tua lebih berpengalaman dalam berinovasi dan berkreasi. Serta pendidikan kita juga selalu mengutamakan yang lebih senior dan yang memiliki posisi lebih tinggi untuk mengikuti kegiatan-kegiatan diluar seperti seminar, workshop, lokakarya, bahkan studi lanjutpun harus senior kalau perlu lebih dahulu. Bahkan atas nama kebersamaan dan senioritas seringkali mengangkat dan memilih orang tidak tepat serta kering inovasi untuk menduduki jabatan tertentu.
Memang di dalam dunia pendidikan menjunjung tinggi hubungan sosial dan kebersamaan, mempertahankan harmonisasi dalam kelompok dan mencegah konflik sangat dibutuhkan agar tujuan yang telah disepakati bias dicapai. Akan tetapi, jangan sampai inovasi, kreativitas dan inisiatif untuk kemajuan sebuah lembaga terhambat oleh hal tersebut diatas. Kalau ini terjadi maka sampai kapanpun, pendidikan kita akan tetap mengalami kekeringan dalam berinovasi. (From where does man’s weakness come? From the inequality between his strength and his desires).
A. Contoh Pendidikan Guru dan Inovasi Pendidikan
Mobilitas Horizontal bagi Guru Bermutu
Banyak program pendidikan baru yang inovatif diberlakukan oleh pemerintah dalam waktu paling tidak lima tahun terakhir ini, seperti broad based education, life skills, manajemen pendidikan berbasis sekolah, contextual teaching-learning (CTL), evaluasi belajar model portofolio, dan yang terakhir Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Semua itu kurang atau bahkan tidak mengikutsertakan guru sebagai variabel penting dalam pelaksanaan program-program itu, padahal semua program baru itu bertujuan meningkatkan kualitas pendidikan di negeri ini.
Dengan banyaknya program baru itu, semestinya para guru kita didorong untuk memiliki profesionalisme yang lebih tinggi. Hal itu juga diikuti kesejahteraan yang lebih memadai. Kenyataan tidaklah seperti itu. Banyaknya program baru itu justru menambah beban kerja guru.
Mengapa beban? Karena guru belum atau tidak mengerti secara sempurna terhadap berbagai inovasi pendidikan itu. Akibatnya, mereka berada dalam ketidakmenentuan profesi ketika harus melakukan program-program inovatif di tempat kerja masing-masing.
Penggagas pembaharuan pendidikan memiliki asumsi, guru dengan serta merta dapat melakukan apa saja yang menjadi program pembaharuan yang dicanangkan pemerintah. Asumsi inilah yang tidak benar. Sebab, kenyataannya guru harus mendapatkan retraining yang memadai dan tersistem untuk dapat melakukan berbagai pembaharuan dalam bidang pendidikan.
Karena itu, ke depan pemerintah perlu melihat kemampuan riil yang dimiliki guru untuk melakukan atau mengadopsi setiap inovasi di bidang pendidikan.
Profesionalisme
Saat ini kita hidup pada era knowledge based economy. Artinya sistem ekonomi secara global berjalan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan dan teknologi. Dampaknya, negara yang memiliki dan menguasai ilmu pengetahuan yang kuat akan menguasai ekonomi.
Mengapa demikian? Karena dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, sebuah bangsa akan memiliki daya saing yang tinggi di tengah-tengah bangsa lain. Jika sebuah bangsa memiliki daya saing yang tinggi, ia dapat dipastikan bisa menguasai dunia secara ekonomi. Negara-negara seperti Jepang, Jerman, Amerika Serikat, Korea, Singapura, dan Australia memiliki perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan dengan perekonomian kita. Sebab, negara-negara tersebut menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Lalu apa implikasinya terhadap pendidikan, terutama guru, di negeri ini? Implikasinya, kita harus melakukan profesionalisme pada pekerjaan guru. Dengan guru yang memiliki profesionalisme yang tinggi, pendidikan akan bisa ditingkatkan kualitasnya. Kualitas pendidikan yang baik pada akhirnya akan meningkatkan daya saing bangsa melalui penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Untuk bisa menjamin terjadinya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa ini mau tidak mau ke depan harus meningkatkan profesionalisme guru. Jika ini harus dilakukan, kita harus memperhatikan syarat-syarat terjadinya profesionalisme yang perlu dimiliki para guru kita. Antara lain, menurut Houle, harus memiliki landasan pengetahuan yang kuat, berdasarkan atas kompetensi in dividual (bukan atas dasar KKN), memiliki sistem seleksi dan sertifikasi, dan ada kerja sama dan kompetisi yang sehat antarsejawat. Selain itu, ada kesadaran profesional yang tinggi, memiliki prinsip-prinsip etik (kode etik), memiliki sistem sanksi profesi, ada militansi individual, dan memiliki organisasi profesi.
Dari syarat-syarat yang harus dimiliki guru agar mereka termasuk dalam kategori profesional tersebut, tentu perlu ada sistem peningkatan pengetahuan bagi guru secara tersistem dan berkelanjutan. Pendek kata, perlu ada in service training yang baik bagi para guru kita.
Desentralisasi
Pada era desentralisasi seperti saat ini, guru semestinya bisa lebih mendapatkan pemberdayaan baik dalam arti profesi maupun kesejahteraan. Mengapa begitu? Karena saat ini pendidikan menjadi urusan pemerintah daerah, sehingga berbagai persoalan yang terkait dengan profesionalisme dan kesejahteraan guru tentu bisa langsung dipantau oleh pemerintah kabupaten/kota.
Dalam aspek profesionalisme, pemda bisa melakukan tukar-menukar guru dari satu daerah dengan daerah lain agar terjadi transfer nilai-nilai positif yang diperoleh akibat perbedaan budaya sekolah.
Dengan adanya program tukar-menukar itu, wawasan dan pengetahuan guru tentang berbagai kuriikulum muatan lokal akan semakin bertambah, sehingga akan memperkaya pengetahuan dan pengalaman guru. Kalau hal ini dapat terjadi, proses profesionalisme akan bisa terdorong.
Meskipun demikian, kendala yang dihadapi guru selama lima tahun terakhir ini ialah tertutupnya mobilitas mereka dari satu daerah ke daerah lain. Hal ini terjadi karena dengan era desentralisasi, guru tertutup untuk melakukan mobilitas horizontal akibat keterkaitan mereka dengan gaji yang telah teranggarkan dalam dana anggaran umum (DAU) daerah masing-masing.
Kendala ini sebenarnya sekarang bisa diatasi manakala pemda mau menerapkan Pasal 41 Undang-undang No 20/ 2003, yang mengatakan, “Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah.” Jika pemda berani menerapkan pasal ini, berarti pemda yang bersangkutan secara non-monetary telah ikut serta memperhatikan kesejahteraan guru.
Guru yang baik perlu mendapat insentif untuk pindah ke daerah yang mereka kehendaki, sehingga mereka perlu mendapatkan kesempatan untuk melakukan mobilitas secara horizontal.
Perpindahan guru dari satu daerah ke daerah yang lain juga akan mendorong perbaikan pendidikan secara tidak langsung akibat dari interaksi antaretnis dalam proses pembelajaran di sekolah. Jika guru selamanya tidak bisa melakukan mobilitas sosial, justru akan terjadi inbreeding secara etnis. Selamanya anak-anak Jawa akan diajar oleh guru dari etnis Jawa, begitu pula etnis-etnis lain.
Keadaan ini tidak ikut mendorong terjadinya pendidikan multikultural yang baik. Tegaknya NKRI memerlukan pemahaman terhadap entitas multikultural di negeri ini. Tukar-menukar dan perpindahan guru lintas daerah akan mendorong terjadinya pendidikan multikultural secara tidak langsung.
Dengan terjadinya mobilitas horizontal para guru secara nasional, para siswa akan cepat belajar memahami budaya etnis lain langsung dari para guru mereka. Ini semua bisa terjadi jika para bupati dan wali kota berani menerapkan Pasal 41 UU No 20/2003. Semoga begitu.(29)
Menggagas Sekolah Model
Sekadar mengingatkan saja, pemerintah pernah mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar 9 tahun, education for all, school based management yang dibarengi dengan sejumlah inovasi pembelajaran yang menggunakan kata berbasis (pendidikan berbasis masyarakat, pendidikan berbasis internet, kurikulum berbasis kompetensi, penilaian berbasis kelas, dll), dan berbagai program inovasi lainnya yang bermuara pada peningkatan mutu pendidikan.
Yang agak aktual adalah penerapan kurikulum berbasis kompetensi yang dimasyarakatkan dengan sebutan Kurikulum 2004. Serangkaian permasalahan dalam penerapan KBK kemudian menjadi sebuah selubung yang dimainkan dengan cantik oleh stakeholders pendidikan, tanpa terkecuali.
Aplikasi Gagasan
Proses pembelajaran yang bermakna dan integrasi penilaian yang mencakupi ranah kognitif, afektif, dan psikomotor menjadi ciri khas dalam penerapan KBK. Sudahkah demikian?
Pengisian rapor ala KBK dengan angka puluhan dengan sederet komponen yang membingungkan guru bisa menjadikan derita guru berkepanjangan. Simak saja pengisian rapor KBK untuk siswa SD. Setiap mata pelajaran memiliki lebih dari satu komponen yang harus dinilai. Secara keseluruhan seorang guru SD harus mengisi 26 komponen nilai puluhan yang tersebar ke dalam 8 mata pelajaran.
Tidak hanya itu, guru SD harus melakukan penilaian kualitatif setidaknya 9 aspek yang meliputi kedisiplinan dan tanggung jawab, kebersihan dan kerapian, kerja sama, kesopanan, kemandirian, kerajinan, kejujuran, kepemimpinan, dan ketaatan.
Agaknya pepemerintah sudah menyiapkan seperangkat antisipasi manakala menggulirkan gagasan yang inovatif dengan menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yang bertajuk peningkatan mutu. Sosialisasi hasil penataran, workshop, studi banding, dan sejenisnya menjadi program unggulan tatkala sebuah gagasan baru mengemuka. Secara proses, penyampaian gagasan inovatif sudah dilaksanakan sesuai dengan program dan berjenjang sampai pada tataran pelaksana lapangan.
Griffin dan Mooehead (1986) mengatakan, sebuah gagasan inovatif akan terwujud apabila ada perubahan persepsi, suasana, dan makna. Ketiga hal tersebut perlu dipahami guru dengan merefleksi diri khususnya dalam menerapkan pembelajaran bermakna.
Persoalan yang muncul kemudian adalah pada tahap aplikasi. Ada kecenderungan stakeholders pendidikan kurang memberikan respon positif terhadap upaya pembaruan tersebut. Masih segar dalam ingatan, penerapan School Based Management di sekolah-sekolah negeri. Sudahkah gagasan otonomi sekolah tersebut merakyat? Atau hanya jadi slogan kebanggaan saja? Adakah konsekuensi logis terhadap sekolah yang belurn dan enggan menerapkan berbagai inovasi pendidikan?
Sekolah Model
Salah satu alternatif yang dapat dilakukan penyelenggara pendidikan untuk menjembati ketimpangan inovasi pendidikan khususnya di sekolah dasar adalah pembentukan sekolah model. Ide dasar konsep ini dilandasi pemikiran bahwa guru mudah terkejut dan keheranan manakala mengetahui keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Kulminasinya, guru melakukan studi banding. Apa yang hendak dibandingkan kalau guru sendiri belum mencoba menerapkan?
Sekolah model dapat dibentuk di setiap kecamatan dengan memperhatikan berbagai hal, di antaranya kondisi fisik sekolah, ketersediaan sarana prasarana, siswa, guru, kepala sekolah, dan komite sekolah. Setiap kecamatan, tentunya ada salah satu SD yang memenuhi kriteria tersebut. Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh cabang Diknas kecamatan untuk membentuk sekolah model, yakni: pertama, menentukan SD yang letaknya strategis. Penentuan lokasi juga memperhatikan kondisi fisik, ketersediaan sarana prasarana pembelajaran, dan jumlah siswa yang ideal (40 siswa per kelas). Langkah ini dimaksudkan untuk memudahkan transportasi dan komunikasi. Selebihnya, sekolah lebih terkonsentrasi dalam menerapkan inovasi.
Kedua, mengatur tenaga pengajar. Tempatkan guru-guru yang memiliki idealisme, dedikasi, dan komitmen yang tinggi dalam menjalankan tugas. Dalam konteks ini, mutasi perlu dilakukan agar sekolah yang dijadikan model didukung oleh sumber daya yang berkualitas.
Ketiga, merekrut kepala sekolah yang cerdas dalam melaksanakan perannya sebagai pendidik, manajer, administratif, supervisor, pemimpin, kreatif dan mampu menjadi penggerak. Optimalisasi peran kepala sekolah tentunya akan mendukung upaya peningkatan mutu pendidikan. Menempatkan kepala sekolah yang berani menindakkritisi setiap fenomena aktual dalam bidang pendidikan dengan aktivitas nyata, perlu dilakukan agar terjadi konsistensi antara harapan dan kenyataan.
Hasil penelitian Gibson (1988) menunjukkan keberhasilan sekolah dalam meningkatkan mutu pendidikan banyak ditentukan oleh kapasitas kepala sekolahnya, di samping guru-guru yang memiliki komitmen tinggi dalam tugas.
Keempat, mengoptimalkan peran komite sekolah sebagai badan pertimbangan (advisory agency), pendukung (supporting agency), pengawas (controlling agency), dan mediator berbagai kebijakan pendidikan. Hal ini perlu dilakukan karena ada kesan komite sekolah masih sama dengan BP3 tempo dulu. Pelibatan komite sekolah secara nyata dalam kegiatan sekolah akan mendukung terwujudnya sekolah model yang nantinya akan menjadi pusat mutu (center for excellence).
Serangkaian langkah dalam perumusan sekolah model bukan harga mati. Namun, setidaknya empat komponen tersebut komponen yang paling dominan dalarn mendukung upaya pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Menata Sistem
Terwujudnya sekolah model akan mengurangi keterkejutan dan keheranan guru akan keberhasilan inovasi pendidikan. Konsekuensi logis sekolah model adalah dijadikannya ujicoba berbagai inovasi pendidikan. Di sekolah model inilah, gagasan ideal berbagai inovasi dilaksanakan. Dengan demikian, guru-guru tidak perlu bersusah payah studi banding ke daerah lain apabila di sekolah model sudah menerapkannya.
Bila guru bertanya dan hendak belajar mengenai pembelajaran bermakna ala KBK, sekolah model mampu memberikan pencerahan. Berkembangnya sekolah model di tiap-tiap kecamatan, secara evolusif akan membantu pemerintah dalam meningkatkan mutu pendidikan.
Sudah barang tentu untuk mencapainya dalam kondisi ideal memerlukan pentahapan yang panjang. Seperti dikemukakan Supriadi (2002) bahwa orang yang mendalami teori difusi inovasi akan segera tahu bahwa setiap perubahan atau inovasi dalam bidang apa pun, termasuk dalam pendidikan, memerlukan tahaptahap yang dirancang dengan benar sejak ide dikembangkan hingga dilaksanakan.
Mewujudkan sekolah model sebagai grass root dan pioner penerapan inovasi pendidikan tidak semudah membalikan telapak tangan. Oleh karena itu dibutuhkan keberanian dalam menata sistem pendidikan secara holistik. Setidaknya gagasan sederhana ini dapat dicoba di setiap kecamatan agar ketidakjelasan output dan outcame dari penerapan inovasi pendidikan dapat termentahkan
2.3. Guru dan Profesionalisme
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987)
Pengembangan Profesionalisme Guru Menurut para ahli, profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Maister (1997) mengemukakan bahwa profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Apabila guru di Indonesia telah memenuhi standar profesional guru maka kualitas Sumber Daya Manusia Indonesia semakin baik. Selain memiliki standar profesional guru sebagaimana diuraikan dalam jurnal Educational Leadership 1993 (dalam Supriadi 1998) dijelaskan bahwa untuk menjadi profesional seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal: (1) Guru mempunyai komitmen pada siswa dan proses belajarnya, (2) Guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarnya kepada siswa, (3) Guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai cara evaluasi, (4) Guru mampu berfikir sistematis tentang apa yang dilakukannya dan belajar dari pengalamannya, (5) Guru seyogyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya.
Arifin (2000) mengemukakan guru Indonesia yang profesional dipersyaratkan mempunyai; (1) dasar ilmu yang kuat sebagai pengejawantahan terhadap masyarakat teknologi dan masyarakat ilmu pengetahuan di abad 21; (2) penguasaan kiat-kiat profesi berdasarkan riset dan praksis pendidikan yaitu ilmu pendidikan sebagai ilmu praksis bukan hanya merupakan konsep-konsep belaka. Pendidikan merupakan proses yang terjadi di lapangan dan bersifat ilmiah, serta riset pendidikan hendaknya diarahkan pada praksis pendidikan masyarakat Indonesia; (3) pengembangan kemampuan profesional berkesinambungan, profesi guru merupakan profesi yang berkembang terus menerus dan berkesinambungan antara LPTK dengan praktek pendidikan. Kekerdilan profesi guru dan ilmu pendidikan disebabkan terputusnya program pre-service dan in-service karena pertimbangan birokratis yang kaku atau manajemen pendidikan yang lemah.
Dengan adanya persyaratan profesionalisme guru ini, perlu adanya paradigma baru untuk melahirkan profil guru Indonesia yang profesional di abad 21 yaitu; (1) memiliki kepribadian yang matang dan berkembang; (2) penguasaan ilmu yang kuat; (3) keterampilan untuk membangkitkan peserta didik kepada sains dan teknologi; dan (4) pengembangan profesi secara berkesinambungan. Keempat aspek tersebut merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan dan ditambah dengan usaha lain yang ikut mempengaruhi perkembangan profesi guru yang profesional.
Apabila syarat-syarat profesionalisme guru di atas itu terpenuhi akan mengubah peran guru yang tadinya pasif menjadi guru yang kreatif dan dinamis. Hal ini sejalan dengan pendapat Semiawan (1991) bahwa pemenuhan persyaratan guru profesional akan mengubah peran guru yang semula sebagai orator yang verbalistis menjadi berkekuatan dinamis dalam menciptakan suatu suasana dan lingkungan belajar yang invitation learning environment.
Pengembangan profesionalisme guru menjadi perhatian secara global, karena guru memiliki tugas dan peran bukan hanya memberikan informasi-informasi ilmu pengetahuan dan teknologi, melainkan juga membentuk sikap dan jiwa yang mampu bertahan dalam era hiperkompetisi. Tugas guru adalah membantu peserta didik agar mampu melakukan adaptasi terhadap berbagai tantangan kehidupan serta desakan yang berkembang dalam dirinya. Pemberdayaan peserta didik ini meliputi aspek-aspek kepribadian terutama aspek intelektual, sosial, emosional, dan keterampilan. Tugas mulia itu menjadi berat karena bukan saja guru harus mempersiapkan generasi muda memasuki abad pengetahuan, melainkan harus mempersiapkan diri agar tetap eksis, baik sebagai individu maupun sebagai profesional.
Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Dalam proses ini, pendidikan prajabatan, pendidikan dalam jabatan termasuk penataran, pembinaan dari organisasi profesi dan tempat kerja, penghargaan masyarakat terhadap profesi keguruan, penegakan kode etik profesi, sertifikasi, peningkatan kualitas calon guru, imbalan, dll secara bersama-sama menentukan pengembangan profesionalisme seseorang termasuk guru.
2.4. Peran Guru dalam Inovasi
Dalam bukunya yang berjudul “Reinventing Education”, Louis V. Gerstmer, Jr. dkk (1995), menyatakan bahwa di masa-masa mendatang peran-peran guru mengalami perluasan yaitu guru sebagai: pelatih (coaches), konselor, manajer pembelajaran, partisipan, pemimpin, pembelajar, dan pengarang.
a. Pelatih (coaches); Sebagai pelatih (coaches), guru harus memberikan peluang yang sebesar-besarnya bagi siswa untuk mengembangkan cara-cara pembelajarannya sendiri sesuai dengan kondisi masing-masing. Guru hanya memberikan prinsip-prinsip dasarnya saja dan tidak memberikan satu cara yang mutlak. Hal ini merupakan analogi dalam bidang olah raga, di mana pelatih hanya memberikan petunjuk dasar-dasar permainan, sementara dalam permainan itu sendiri para pemain akan mengembangkan kiat-kiatnya sesuai dengan kemampuan dan kondisi yang ada.
b. Konselor; Sebagai konselor, guru harus mampu menciptakan satu situasi interaksi belajar-mengajar, di mana siswa melakukan perilaku pembelajaran dalam suasana psikologis yang kondusif dan tidak ada jarak yang kaku dengan guru. Disamping itu, guru diharapkan mampu memahami kondisi setiap siswa dan membantunya ke arah perkembangan optimal.
c. Manajer Pembelajar; Sebagai manajer pembelajaran, guru memiliki kemandirian dan otonomi yang seluas-luasnya dalam mengelola keseluruhan kegiatan belajar-mengajar dengan mendinamiskan seluruh sumber-sumber penunjang pembelajaran.
c. Partisipan; Sebagai partisipan, guru tidak hanya berperilaku mengajar akan tetapi juga berperilaku belajar dari interaksinya dengan siswa. Hal ini mengandung makna bahwa guru bukanlah satu-satunya sumber belajar bagi anak, akan tetapi ia sebagai fasilitator pembelajaran siswa.
d. Pemimpin; Sebagai pemimpin, diharapkan guru mampu menjadi seseorang yang mampu menggerakkan orang lain untuk mewujudkan perilaku menuju tujuan bersama. Disamping sebagai pengajar, guru harus mendapat kesempatan untuk mewujudkan dirinya sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam berbagai kegiatan lain di luiar mengajar.
e. Pembelajar ;Sebagai pembelajar, guru harus secara terus menerus belajar dalam rangka menyegarkan kompetensinya serta meningkatkan kualitas profesionalnya.
f. Pengarang; Sebagai pengarang, guru harus selalu kreatif dan inovatif menghasilkan berbagai karya yang akan digunakan untuk melaksanakan tugas-tugas profesionalnya. Guru yang mandiri bukan sebagai tukang atau teknisi yang harus mengikuti satu buku petunjuk yang baku, melainkan sebagai tenaga yang kreatif yang mampu menghasilkan berbagai karya inovatif dalam bidangnya. Hal itu harus didukung oleh daya abstraksi dan komitmen yang tinggi sebagai basis kualitas profesionaliemenya.
Dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, guru memiliki multi fungsi yaitu sebagai fasilitator, motivator, informator, komunikator, transformator, change agent, inovator, konselor, evaluator, dan administrator (Soewondo, 1972 dalam Arifin 2000).
Menurut Makagiansar (1996) memasuki abad 21 pendidikan akan mengalami pergeseran perubahan paradigma yang meliputi pergeseran paradigma: (1) dari belajar terminal ke belajar sepanjang hayat, (2) dari belajar berfokus penguasaan pengetahuan ke belajar holistik, (3) dari citra hubungan guru-murid yang bersifat konfrontatif ke citra hubungan kemitraan, (4) dari pengajar yang menekankan pengetahuan skolastik (akademik) ke penekanan keseimbangan fokus pendidikan nilai, (5) dari kampanye melawan buta aksara ke kampanye melawan buat teknologi, budaya, dan komputer, (6) dari penampilan guru yang terisolasi ke penampilan dalam tim kerja, (7) dari konsentrasi eksklusif pada kompetisi ke orientasi kerja sama. Dengan memperhatikan pendapat ahli tersebut nampak bahwa pendidikan dihadapkan pada tantangan untuk menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas dalam menghadapi berbagai tantangan dan tuntutan yang bersifat kompetitif.
Gambaran Pembelajaran di Abad Pengetahuan praktek pembelajaran yang terjadi sekarang masih didominasi oleh pola atau paradigma yang banyak dijumpai di abad industri. Pada abad pengetahuan paradigma yang digunakan jauh berbeda dengan pada abad industri. Galbreath (1999) mengemukakan bahwa pendekatan pembelajaran yang digunakan pada abad pengetahuan adalah pendekatan campuran yaitu perpaduan antara pendekatan belajar dari guru, belajar dari siswa lain, dan belajar pada diri sendiri. Praktek pembelajaran di abad industri dan abad pengetahuan dapat dilihat pada Tabel berikut;
Abad Industri
1. Guru sebagai pengarah
2. Guru sebagai sumber pengetahuan
3.
Belajar diarahkan oleh kuri- kulum.
4. Belajar dijadualkan secara ketat dgn
waktu yang terbatas
5. Terutama didasarkan pd fakta
6.
Bersifat teoritik, prinsip- prinsip dan
survei
7.
Pengulangan dan latihan
8. Aturan dan prosedur
9. Kompetitif
10. Berfokus pada kelas
11. Hasilnya ditentukan sblmnya
12. Mengikuti norma
13. Komputer sbg subyek belajar
14.
Presentasi dgn media statis
15. Komunikasi sebatas ruang kls
16. Tes diukur dengan norma
Abad Pengetahuan
1. Guru sebagai fasilitator, pembimbing,
konsultan
2. Guru sebagai kawan belajar
3.
Belajar diarahkan oleh siswa kulum.
4. Belajar secara terbuka, ketat dgn
waktu yang terbatas fleksibel sesuai
keperluan
5. Terutama berdasarkan proyek dan
masalah
6. Dunia nyata, dan refleksi prinsip dan
survei
7. Penyelidikan dan perancangan
8. Penemuan dan penciptaan
9. Colaboratif
10. Berfokus pada masyarakat
11. Hasilnya terbuka
12. Keanekaragaman yang kreatif
13. Komputer sebagai peralatan semua
jenis belajar
14. Interaksi multi media yang dinamis
15. Komunikasi tidak terbatas ke seluruh
dunia
16. Unjuk kerja diukur oleh pakar,
penasehat, kawan sebaya dan diri
sendiri.


Berdasarkan Tabel dapat diambil beberapa kesimpulan bahwa;
1. Pada abad industri banyak dijumpai belajar melalui fakta, drill dan praktek, dan menggunakan aturan dan prosedur-prosedur. Sedangkan di abad pengetahuan menginginkan paradigma belajar melalui proyek-proyek dan permasalahan-permasalahan, inkuiri dan desain, menemukan dan penciptaan.
2. Betapa sulitnya mencapai reformasi yang sistemik, karena bila paradigma lama masih dominan, dampak reformasi cenderung akan ditelan oleh pengaruh paradigma lama.
3. Meskipun telah dinyatakan sebagai polaritas, perbedaan praktik pembelajaran Abad Pengetahuan dan Abad Industri dianggap sebagai suatu kontinum. Meskipun sekarang dimungkinkan memandang banyak contoh praktek di Abad Industri yang “murni” dan jauh lebih sedikit contoh lingkungan pembelajaran di Abad Pengetahuan yang “murni”, besar kemungkinannya menemukan metode persilangan perpaduan antara metode di Abad Pengetahuan dan metode di Abad Industri. Perlu diingat dalam melakukan reformasi pembelajaran, metode lama tidak sepenuhnya hilang, namun hanya digunakan kurang lebih jarang dibanding metode-metode baru.
4. Praktek pembelajaran di Abad Pengetahuan lebih sesuai dengan teori belajar modern. Melalui penggunaan prinsip-prinsip belajar berorientasi pada proyek dan permasalahan sampai aktivitas kolaboratif dan difokuskan pada masyarakat, belajar kontekstual yang didasarkan pada dunia nyata dalam konteks ke peningkatan perhatian pada tindakan-tindakan atas dorongan pembelajar sendiri.
5. Pada Abad Pengetahuan nampaknya praktek pembelajaran tergantung pada piranti-piranti pengetahuan modern yakni komputer dan telekomunikasi, namun sebagian besar karakteristik Abad Pengetahuan bisa dicapai tanpa memanfaatkan piranti modern. Meskipun teknologi informasi dan telekomunikasi merupakan katalis yang penting yang membawa kita pada metode belajar Abad Pengetahuan, perlu diingat bahwa yang membedakan metode tersebut adalah pelaksanaan hasilnya bukan alatnya. Kita dapat melengkapi peralatan lembaga pendidikan kita dengan teknologi canggih tanpa mengubah pelaksanaan dan hasilnya.
BAB III
KESIMPULAN
Dari beberapa upaya yang telah dilakukan pemerintah di atas, faktor yang paling penting agar guru-guru dapat meningkatkan kualifikasi dirinya yaitu dengan menyetarakan banyaknya jam kerja dengan gaji guru. Program apapun yang akan diterapkan pemerintah tetapi jika gaji guru rendah, jelaslah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya guru akan mencari pekerjaan tambahan untuk mencukupi kebutuhannya. Tidak heran kalau guru-guru di negara maju kualitasnya tinggi atau dikatakan profesional, karena penghargaan terhadap jasa guru sangat tinggi. Dalam Journal PAT (2001) dijelaskan bahwa di Inggris dan Wales untuk meningkatkan profesionalisme guru pemerintah mulai memperhatikan pembayaran gaji guru diseimbangkan dengan beban kerjanya. Di Amerika Serikat hal ini sudah lama berlaku sehingga tidak heran kalau pendidikan di Amerika Serikat menjadi pola anutan negara-negara ketiga. Di Indonesia telah mengalami hal ini tetapi ketika jaman kolonial Belanda. Setelah memasuki jaman orde baru semua ber ubah sehingga kini dampaknya terasa, profesi guru menduduki urutan terbawah dari urutan profesi lainnya seperti dokter, jaksa, dll.
Memperhatikan peran guru dan tugas guru sebagai salah satu faktor determinan bagi keberhasilan pendidikan, maka keberadaan dan peningkatan profesi guru menjadi wacana yang sangat penting. Pendidikan di abad pengetahuan menuntut adanya manajemen pendidikan modern dan profesional dengan bernuansa pendidikan.
Kemerosotan pendidikan bukan diakibatkan oleh kurikulum tetapi oleh kurangnya kemampuan profesionalisme guru dan keengganan belajar siswa. Profesionalisme menekankan kepada penguasaan ilmu pengetahuan atau kemampuan manajemen beserta strategi penerapannya. Profesionalisme bukan sekadar pengetahuan teknologi dan manajemen tetapi lebih merupakan sikap, pengembangan profesionalisme lebih dari seorang teknisi bukan hanya memiliki keterampilan yang tinggi tetapi memiliki suatu tingkah laku yang dipersyaratkan.
Guru yang profesional pada dasarnya ditentukan oleh attitudenya yang berarti pada tataran kematangan yang mempersyaratkan willingness dan ability, baik secara intelektual maupun pada kondisi yang prima. Profesionalisasi harus dipandang sebagai proses yang terus menerus. Usaha meningkatkan profesionalisme guru merupakan tanggung jawab bersama antara LPTK sebagai pencetak guru, instansi yang membina guru (dalam hal ini Depdiknas atau yayasan swasta), PGRI dan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, I. 2000. Profesionalisme Guru: Analisis Wacana Reformasi Pendidikan dalam Era Globalisasi. Simposium Nasional Pendidikan di Universitas Muham-madiyah Malang, 25-26 Juli 2001.
Dahrin, D. 2000. Memperbaiki Kinerja Pendidikan Nasional Secara Komprehensip: Transformasi Pendidikan. Komunitas, Forum Rektor Indonesia. Vol.1 No. Hlm 24.
Degeng, N.S. 1999. Paradigma Baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan Demokrasi. Jurnal Getengkali Edisi 6 Tahun III 1999/2000. Hlm. 2-9.
Galbreath, J. 1999. Preparing the 21st Century Worker: The Link Between Computer-Based Technology and Future Skill Sets. Educational Technology Nopember-Desember 1999. Hlm. 14-22.
Maister, DH. 1997. True Professionalism. New York: The Free Press.
Makagiansar, M. 1996. Shift in Global paradigma and The Teacher of Tomorrow, 17th. Convention of the Asean Council of Teachers (ACT); 5-8 Desember, 1996, Republic of Singapore.
Naisbitt, J. 1995. Megatrend Asia: Delapan Megatrend Asia yang Mengubah Dunia, (Alih bahasa oleh Danan Triyatmoko dan Wandi S. Brata): Jakarta: Gramdeia.
Mulyasa, E. (2008). Menjadi Guru Profesinal Menciptakan pembelajaran
Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Tidak ada komentar: