Jumat, 12 April 2013

dikotomi ulama klasik

Apakah Ulama Klasik Mengenal Dikotomi Ilmu?
(Wawancara Imajiner dengan Ulama Klasik)
 
Apakah dikenal budaya dikotomi ilmu dalam konstruk pemikiran ulama-ulama salaf?
Jawabnya, tidak dikenal! Dikotomi ilmu adalah konsep yang sama sekali tidak dikenal dalam tradisi keilmuan salaf. Banyaknya ulama yang punya otoritas keilmuan lebih dari satu bidang adalah bukti kuat ulama kita tidak mengenal konsep dikotomi ilmu. Apa yang diistilahkan orang-orang sekarang sebagai ilmu agama (ilmu-ilmu Islam- Teologi, Tafsir, Hadis, Fikih, dll) dan ilmu-ilmu umum (ilmu sekuler), dalam pandangan Islam, pada batas tertentu, wajib dikuasai semuanya. Hanya istilahnya dibedakan, kalau mempelajari ilmu agama (dasar-dasarnya) itu fardu \'ain. Artinya wajib bagi setiap manusia Islam mempelajarinya. Sementara mempelajari ilmu-ilmu umum adalah fardu kifayah. Artinya kalau secara fungsional sudah tercukupi kebutuhannya maka gugur kewajiban bagi yang belum mempelajarinya. Artinya terminologi \'ilm (علم) dalam ranah keilmuan Islam sangat luas cakupannya: menyangkut hal yang bisa diverifikasi dan hal-hal yang bersifat metafisik. Maka menerjemahkan kalimat علم (bahasa Arab) dengan science (Inggris) menurut saya tidak tepat. Karena istilah science sangat positivistik: hanya mendasarkan kebenaran pada realitas empiris belaka.
Sedangkan \'ilm dalam Islam mencakup yang empiris dan yang metafisik. Ilmu dalam Islam didefiniskan sebagai pengetahuan yang diyakini kebenarannya yang sesuai dengan "realitas" -baik realitas wahyu maupun realitas empirik. Hal-hal apa saja yang bisa dijadikan sumber pengetahuan lah yang kemudian membedakan Barat modern-matrialisme dengan dengan Islam. Karena Barat sangat positivistik maka mereka hanya mengakui bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah alam materi (data empirik). Sementara epistimologi Islam bersandar pada dua hal: wahyu dan kaun-empirik. Konsekunsinya, bagi Barat, kajian-kajian yang tidak bisa diverifikasi melalui indera, seperti halnya ilmu tauhid (konsep ketuhanan, alam gaib) dianggap sebagai tidak ilmiah. Sementara bagi orang Islam itu jelas sangat ilmiah karena penjelasan tentang konsep-konsep di atas langsung diterangkan melalui sumber terpercaya, wahyu.
Adapun konsep spesialisasi ilmu, kalau yang dimaksud adalah menguasai satu atau dua bidang secara mendalam, dan faham dengan bidang-bidang lain yang berkaitan denganya, walau tidak dalam betul, maka tidak ada problem. Tapi kalau yang dimaksud dengan spesialisasi ilmu, adalah faham betul dengan satu bidang, Fikih misalnya dan tidak faham sama sekali atau buta dengan bidang lain yang berkaitan dengan Fikih, seperti Tafsir, Hadis, maka ini berbahaya. Karena akan menghasilkan pemahaman yang tak komprehensif.
Kalau tadi dikatakan, bahwa Islam tidak mengenal dikotomi ilmu, terus bagimana menanggapi konsep fardu \'ain dan fardu kifayah? Apakah ini bukan dikotomi namanya? Bukankah Khawarizmi dan Ghazali juga membagi ilmu menjadi syariah non syariah? Apakah ini juga bukan dikotomi?
Pembagian ilmu menjadi fardu \'ain dan fardu kifayah ini tidak perlu difahami secara dikotomis atau berhadap-hadapan, karena ia hanyalah pembagian hirarki ilmu pengetahuan berdasarkan kepada tingkat taklif, kebutuhan, prioritas dan kebenarannya. Pada prakteknya, ia mesti dilihat dalam satu-kesatuan (integral) yang pada akhirnya harus saling melengkapi. Konsep fardu kifayah adalah khas Islam dan tidak akan ditemukan pada peradaban lain.
Adapun Klasifikasi yang dilakukan Khawarizmi dalam Mafatih al-\'Ulum-nya, atau oleh generasi istilahnya, seperti Imam Ghazali dalam Ihya Ulumiddin-nya hanya demi kebutuhan teknis, untuk memudahkan pemetaan jenis keilmuan yang mengacu kepada: objek dan tujuan untuk apa ilmu itu diciptakan atau dalam istilah lain menyacu ke mabadi al-asyrah. Apa yang disebut ilmu-ilmu syari\'ah (ilmu-ilmu Islam) adalah ilmu yang diciptakan dalam rangka untuk memahami al-Quran dan Hadis (Khadimun lahuma). Jadi jangan salah faham! Klasifikasi ini tidak dimaksudkan bahwa ilmu-ilmu keislaman penting sekali, sembari menepikan urgensitas ilmu-ilmu umum. Ingat, orang dulu menganggap semua ilmu penting. Maka dalam logika Fikih, kalau umat Islam tidak punya pakar-pakar kedokteran, kimia, fisika, dan ilmu-ilmu lainnya yang dibutuhkan dalam kehidupan, hukumnya adalah semua orang Islam yang tertaklif terkena dosa. Karena itu fardhu kifayah. Pemahaman dasar ini sangat penting dalam rangka membangun integrasi keilmuan demi bangkit dari keterpurukan dan kembali membangun peradaban Islam yang diplot Allah Swt sebagai rahmatan lil\'alamin. Karena efek negatif dari dikotomi keilmuan adalah berkembangnya pemikiran yang menghadapkan secara diametral antara akal dan wahyu. Ini tentu sangat tidak menguntungkan. Padahal dalam sistem epistemogi Islam sudah jelas bahwa wahyu adalah sumber pengetahuan dan akal adalah alat untuk memahami wahyu. Kedua-duanya sama-sama dibutuhkan dalam konstruk pemikiran Islam.
Kalau begitu, lantas sejak kapan terjadi dikotomi ilmu dalam dunia pendidikn Islam?
Konon, fonemena dualisme keilmuan yang sekarang melanda umat Islam itu relatif baru (Kira-kira awal abad 19 M, ketika bangsa Islam mulai dijajah). Dualisme lembaga pendidikan sekarang ini: ada yang disebut sekolah umum dan ada di istilahkan sekolah agama, dimana terciptalah sarjana agama yang begitu pintar ilmu syariah, tapi tidak tahu menahu-tahu tentang ilmu umum. Begitu sebaliknya seorang profesor kimia, misalnya pintar sekali dibidangnya, tapi selalu mengatakan, “Saya ini orang awam,” untuk urusan agama. Ulama-ulama kita dulu, tak pernah membedakan. Bagi mereka semuanya penting. Hanya menurut Muhamad Abduh, misalnya, harus ada skala prioritas dimana ilmu agama perlu diajarkan pertama kali karena berkaitan dengan kebutuhan dasar sebagai orang beragama, dia harus tahu hakikat agamanya, supaya punya identitas, sistem moral yang kuat dan visi yang jelas. Bukti bahwa orang dulu tak pernah menganaktirikan disiplin ilmu tertentu dapat dilihat dari otoritas keilmuan yang dikuasai ulama-ulama terdahulu. Seorang Ibn Rusyd, misalnya, adalah ahli filsafat, ahli fikih, sekaligus seorang pakar kedokteran. Tak heran juga, misalnya, kalau Ibn Nafis adalah dokter ahli mata, plus ahli fikih. Ibn Khaldun, sosiolog Islam ternama, juga seorang ahli fikih, Imam Syuyuthi menguasai lebih dari 7 disiplin ilmu. Jadi bisa dikatakan ternyata orang dulu hampir tidak mengenal istilah dikotomi ilmu. Karena bagi mereka semua aliran ilmu itu berada dalam satu atap bangunan pemikiran dan bersumber dari Allah, Dzat yang Maha Esa. Tidak ada ilmu yang berdiri sendiri. Semuanya saling terkait. Saling melengkapi. Itu mungkin rahasia kenapa orang dulu bisa menghasilkan karya berbobot dan bertahan dipasaran dalam jangka waktu sangat lama: mereka punya otoritas keilmuan interdisipliner. Konsep dikotomi ilmu masuk bersamaan dengan diterapkannya metode dualisme keilmuan agama non agama (ilmi vs adabi). Proyek itu digalakan oleh Muhamad Ali Fasya, saat memimpin Mesir. Tepatnya paska dijajah Peracis. Niatnya baik sebetulnya. Ia ingin memajukan umat Islam melalui sains dan teknologi, tapi cara yang ditempuh tidak tepat karena menghasilkan dualisme keilmuan yang sangat berbahaya.
Kalau dalam konteks Indonesia, dikotomi dimulai semenjak Indonesia mengenal sistem pendidikan modern. Ilmu-ilmu Islam, misalnya, ia berada dibawah Depag (Departemen Pendidikan Agama). Sementara ilmu-ilmu umum (sekuler) berada di bawah DEPDIKNAS (Departemen Pendidikan Nasional). Repotnya hal ini sangat berpengaruh pada fasilitas dan anggaran dana. kalau kita perhatikan APBN 2006, misalnya, ternyata yang terakhir ini anggarannya relatif lebih subur (Rp. 36.755,9 milyar) daripada yang pertama (hanya sebesar Rp. 9.720,9 milyar: berbanding 79,1% : 21,9%. Wallahu \'alam.

Tidak ada komentar: