Mencerdaskan
kehidupan bangsa merupakan salah satu tujuan dari Kemerdekaan
Kebangsaan Indonesia. Selain melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum dan ikut
melaksanaka ketertiban dunia, alinea keempat Pembukaan UUD Tahun 1945
mengamanatkan bahwa beban mencerdaskan kehidupan bangsa ada pada
pemerintah. Dan oleh karena itulah Pemerintah Negara Indonesia dibentuk
melalui Undang-Undang Dasar Negara Indonesia.
Dengan kemerdekaan,
proses mencerdaskan kehidupan bangsa lebih mungkin untuk dilakukan.
Sebab tanpa kemerdekaan tidak akan mungkin terselenggara pendidikan
berkualitas dan berkeadilan yang dapat mencerdaskan segenap bangsa
Indonesia. Tanpa kemerdekaan pendidikan hanya akan dinikmati oleh
anak-anak kaum penjajah dan para priyayi. Kemerdekaan membuka akses
terhadap pendidikan kepada siapapun.
Kemerdekaan dan pendidikan
adalah dua elemen yang saling mendukung, satu membutuhkan yang lainnya.
Kemerdekaan mampu menciptakan pendidikan yang lebih baik. Namun, tanpa
pendidikan tidak akan lahir gagasan tentang kemerdekaan. Gagasan tentang
bangsa merdeka yang diusung oleh tokoh-tokoh pergerakan nasional pun
tidak bisa dilepaskan dari proses pendidikan yang telah mereka terima.
Salah
satu tokoh pergerakan nasional tersebut adalah Soewardi Surjaningrat
atau yang lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara. Pendidikan tidak
hanya melahirkan gagasan kemerdekaan dalam khasanah berpikir Ki Hajar,
namun juga menjadi alat perjuangannya untuk mewujudkan kemerdekaan.
Soewardi menjadikan kemerdekaan sebagai azas pendidikan. Bagi Ki Hajar,
mengisi jiwa merdeka pada anak-anak Indonesia yang sedang dijajah
berarti mempersenjatai bangsa dengan keberanian untuk berjuang.
Setelah
menggunakan pers, partai politik dan organisasi massa, pendidikan
adalah alat perjuangan terakhir yang digunakan Ki Hajar untuk mewujudkan
cita-cita kemerdekaannya. Dengan memberikan pendidikan yang memadai
kepada rakyat akan menciptakan wawasan yang luas bagi mereka, yang pada
akhirnya akan melahirkan kehendak untuk memerdekakan jiwa dan raganya.
Taman Siswa lahir dengan latar belakang ini.
Sama seperti alat
perjuangan yang pernah ia gunakan, pendidikan sebagai alat perjuanganpun
harus menghadapi berbagai macam hambatan yang dipasang oleh pemerintah
kolonial. Melalui wilde scholen ordonantie (ordonansi 'sekolah liar')
pemerintah kolonial berupaya membendung perjuangan kemerdekaan melalui
jalur pendidikan.
Ordonansi ini mengatur tentang izin
penyelenggaraan pendidikan. Sekolah yang dianggap mengganggu 'ketertiban
umum' tidak akan diberikan izin, dan dianggap sebagai 'sekolah liar'.
Namun ordonansi ini tidak dapat diberlakukan secara efektif karena
mendapatkan perlawanan yang luar biasa dari para tokoh dan organisasi
pergerakan nasional.
Ya, elok dan luhur nian konsep pendidikan
menurut Ki Hajar. Konsep yang tetap relevan hingga saat ini. Jika pada
era sekarang -- yang katanya begitu canggih -- saja konsep ini begitu
cemerlang, apalagi pada saat konsep ini dilahirkan. Bisa jadi pada masa
kelahirannya konsep ini tidak terlalu cemerlang, karena keluhuran hati
dan pikiran, mudah kita dapatkan pada masa itu. Sementara di era
milenium yang menampilkan berbagai macam kecanggihan ini, keluhuran
sulit didapatkan, termasuk dalam dunia pendidikan.
Ironi Pendidikan Nasional
Taman
Siswa berdiri tahun sejak 3 Juli 1922, 89 tahun lalu. Lebih jauh lagi,
"Medan Prijaji", koran pertama yang dikelola oleh kaum pribumi terbit
pada tahun 1903. Namun kenyataan yang ada seolah menampilkan sebuah
ironi. Hingga September 2010, 5,3 persen atau 8,7 juta orang penduduk
negeri ini menyandang status buta aksara. Selain keterisolasian,
kemiskinan memberikan kontribusi besar terhadap angka kebutaaksaraan.
Seorang
teman yang menjadi guru di salahsatu sekolah menengah swasta di
Kabupaten Sorong, mengatakan bahwa kemampuan membaca sejumlah siswanya
masih menjadi persoalan. Mereka masih kesulitan dalam membaca. Selain
itu, guru juga harus 'berjuang' memilih kata atau kalimat yang sangat
sederhana agar dapat dimengerti oleh murid-muridnya. Maklum, sekalipun
para murid adalah putera-puteri bangsa Indonesia, namun pengetahuan
mereka tentang kosa kata bahasa Indonesiapun masih sangat terbatas.
Padahal,
program wajib belajar sudah dicanangkan sejak tahun 1950, lima tahun
setelah Indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. UU Nomor 4 tahun 1950
jo UU Nomor 12 tahun 1954 menjadi payung hukum penyelenggaraan
pendidikan. Setiap anak yang berusia 8 sampai 14 tahun diwajibkan
mengikuti program ini. Program wajib belajar pada era ini tidak berjalan
efektif, bukan hanya karena kemiskinan, namun juga karena berbagai
pergolakan politik dan pemberontakan yang mendera perjalanan negara
belia ini.
Pergantian kepemimpinan nasional ternyata tidak
membawa arti bagi wajah pendidikan nasional. Jangankan pendidikan
sebagai sebuah nilai, yang namanya (bangunan) sekolahpun tidak diurus
secara pantas. Kasus bangunan sekolah rusak dan roboh serta
ditukarguling untuk kepentingan bisnis masih kerap terjadi. Jika di
Jakarta saja persoalan seperti ini masih terjadi, kita sudah dapat
membayangkan nasib pendidikan di daerah-daerah lain.
Ujian Nasional
Melalui
Ujian Nasional Pemerintah berusaha meningkatkan kualitas dan membuat
standar pendidikan nasional. Nilai UN menjadi penentu kelulusan para
siswa. Alih-alih meningkatkan mutu dan standar pendidikan, pembentukan
standar pendidikan melalui UN justru menuai kritik dan kecaman. Bahkan
sejumlah orangtua murid, guru dan para pemerhati pendidikan menggugat
Pemerintah secara perdata melalui mekanisme citizen law suit (CLS). Pada
setiap tingkatan pemeriksaan pengadilan hingga Mahkamah Agung,
permohonan para penggugat dikabulkan.
Sejatinya, UN bukan hanya
tidak memiliki legitimasi sosial dan moral, namun juga legal. Namun pada
kenyataannya UN masih tetap diselenggarakan dan masih menjadi penentu
kelulusan dan standar pendidikan nasional, walaupun belakangan
pemerintah melalui Kementerian Pendidikan menetapkan kelulusan tidak
lagi hanya ditentuka oleh UN, namun penggabungan dari nilai sekolah
sebesar 40 persen dan 60 persen nilai UN.
Masuknya 40 persen
nilai ujian sekolah sebagai komponen nilai kelulusan tidak serta-merta
mengurangi 'kepanikan' para siswa, guru, kepala sekolah dan orangtua
murid dalam menghadapi UN. Beragam jurus mereka gunakan untuk menghadapi
UN. Mulai dari jurus yang paling elok dengan memberikan pelajaran
tambahan hingga praktik curang memberikan bocoran jawaban dan mencontek
(massal atau individual).
Sepanjang penyelenggaraannya, selain
kasus bunuh diri, UN ternyata menyumbang pada kenaikan angka
kriminalitas, seperti kasus pembocoran soal ujian, joki dan penipuan.
Kualitas pendidikan tidak mengalami peningkatan sebagaimana yang
diinginkan, penyelenggaraan UN justru semakin menjauhkan pemangku
kepentingan dari esensi pendidikan.
Nilai-nilai luhur yang
harusnya ditumbuhkan dan dijaga oleh lembaga sekolah justru dihancurkan.
Mencontek yang pada awalnya adalah 'kejahatan' intelektual justru
dianjurkan. Nilai-nilai solidaritas dan kesetiakawanan diartikan
memberikan jawaban kepada teman-teman yang tidak bisa menjawab soal UN.
Nilai-nilai kemandirian digadaikan dengan kelulusan. Kepala sekolah dan
guru-guru beramai-ramai 'menggebuki' rekan sejawatnya yang membongkar
kecurangan UN di sekolahnya.
'Kecelakaan' dalam dunia pendidikan
tidak hanya terjadi di institusi pendidikan, namun sudah merembes hingga
komunitas masyarakat paling bawah. Siami harus terusir dari rumahnya
sendiri. Warga sekampung yang juga orangtua murid mengusirnya karena ia
membongkar praktik contek massal di sekolah anaknya. Para orangtua
seakan lupa bahwa ketika mereka bersekolahpun mencontek adalah perbuatan
yang bertentangan dengan nilai-nilai pendidikan. Demi anaknya lulus UN,
para orangtua seakan mendukung anak-anaknya terlibat aksi meruntuhkan
nilai-nilai pendidikan di sekolah.
Aksi contek yang memperoleh
legitimasi dari kepala sekolah, guru dan orangtua murid tidak sepenuhnya
bisa disalahkan. Setuju atau tidak setuju dengan berbagai macam praktik
curang dalam menghadapi UN, tindakan tersebut bisa kita lihat sebagai
bentuk perlawanan atau pembangkangan dari pihak sekolah. Sebab
Pemerintah (pusat) yang tidak pernah memberikan perhatian kepada sekolah
mereka, justru banyak mengatur, mengevaluasi dan menentukan lulus
tidaknya siswa yang telah mereka didik selama sekian tahun.
Alangkah
bijaksananya jika sebelum memberikan standarisasi mutu melalui UN,
pemerintah mengurus standarisasi proses pendidikan. Misalnya standar
perpustakaan, laboratorium dan lapangan olahraga yang harus dimiliki
oleh sekolah. Termasuk standar kualitas dan kompetensi guru serta rasio
guru dan murid.
Jika Pemerintah tidak mau mengurus standar proses
pendidikan, maka menjadi tidak adil jika Pemerintah mdlakukan
standarisasi output melalui UN. Dan tidak adil pula jika para murid dari
belantara Papua harus 'bertanding' dengan siswa yang bersekolah di kota
besar dengan fasilitas yang lengkap dan canggih.
RSBI
Penyelenggaraan
pendidikan yang berkualitas semestinya terjadi di seluruh sekolah dan
jenjang pendidikan, tidak dijelmakan dalam rintisan sekolah berstandar
internasional (RSBI). Dalam praktik, RSBI semakin menjauhkan akses orang
miskin terhadap pendidikan. Sebab, selain anak harus memiliki nilai UN
yang memenuhi syarat, orangtua juga harus membayar berbagai macam
pungutan yang jumlahnya mencapai jutaan rupiah. (Kompas 6 Juli 2011)
Jika
RSBI dianggap sebagai model pendidikan yang paling baik, harusnya ia
diselenggarakan di setiap sekolah. Bukan pada sekolah-sekolah tertentu
yang justru melahirkan ekslusivitas sekolah. Konstitusi menjamin bahwa
setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan Pemerintah wajib
membiayai. Pemerintahpun dituntut untuk mengusahakan sistem pendidikan
nasional, bukan sekolah dengan standar internasional.
Jika sistem
penyelenggaraan pendidikan seperti ini masih tetap dipertahankan, maka
keadilan di bidang pendidikan tidak akan pernah terwujud. Pendidikan
tidak lagi menjadi bagian dari hak asasi manusia, tapi sebuah komoditi.
Angka putus sekolah pun makin sulit dibendung. Dan angka kemiskinan pun
akan terus melambung, karena pendidikan sebagai sarana transformasi
tidak dapat dikecap oleh si miskin.
*
Penulis adalah Advokat dan Peneliti, bekerja pada Institute for Ecosoc
Rights, sekaligus Anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari
Simpul Jabodetabek.
**
Siapa saja dipersilahkan mengutip, menggandakan, menyebarluaskan
sebagian atau seluruh materi yang termuat dalam portal ini selama untuk
kajian dan mendukung gerakan rakyat. Untuk keperluan komersial pengguna
harus mendapatkan ijin tertulis dari pengelola portal Prakarsa Rakyat.
sumber (portal Prakarsa Rakyat atau www.prakarsa-rakyat.org).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar