Pengantar Fiqh Thibb (Pengobatan Islami)
oleh Muhammad Mahbubi pada 16 Juli 2010 jam 19:38
Islam merupakan sebuah diin yang syaamil mutakammil (integral dan sempurna). Tidak ada sekat antara satu aspek kehidupan dengan aspek yang lainnya. Asy-Syahid Hasan al-Banna menyatakan kesempurnaan Islam dengan menjabarkan Islam sebagai negara dan tanah air atau pemerintahan dan ummat; moral dan kekuatan atau kasih sayang dan keadilan; wawasan dan undang-undang atau ilmu pengetahuan dan peradilan; materi dan sumber daya alam atau penghasilan dan kekayaan; serta jihad dan da’wah atau pasukan dan pemikiran. Ia adalah ‘aqidah dan ‘ibadah, agama dan negara, spiritualisme dan amal, serta mush`haf dan pedang.
Maka dari itu, Islam pun tidak bisa dilepaskan dari aspek kesehatan dan pengobatan di dalamnya. Bahkan, Rasulullah Muhammad saw. telah mengajarkan kepada kita sebuah metode pengobatan yang bersumber langsung dari Sang Pemilik Kesembuhan, Dzat Yang Maha Memberi Kesehatan serta Yang Maha Menghendaki Keadaan hambaNya. Metode pengobatan nabi telah terbukti ampuh dan tidak memiliki efek samping apapun. Karena pengobatan ini memang bersumber langsung dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu sehingga keampuhannya tidak perlu dipertanyakan lagi. FirmanNya.
“Dan apabila aku sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku.” (QS. Asy-Syu’araa`, 26: 80)
Sayangnya, pada zaman yang modern ini, kita telah melupakan ajaran yang kita anut sendiri sedikit demi sedikit. Kita telah membuang serta mengikis kesempurnaan Islam ini dengan mengesampingkan metode pengobatan a la Nabi Muhammad saw. (ath-Thibb an-Nabawi) dan menggantikannya dengan metode pengobatan lain yang jauh dari nilai-nilai Islam dengan anggapan bahwa metode pengobatan nabi telah ketinggalan zaman, kuno, atau lain sebagainya. Atau bahkan di antara kita mungkin sangat terkejut saat mengetahui bahwa ternyata Islam pun mengatur aspek kesehatan dan pengobatan. Padahal, Allah swt. berfirman dalam surat Al-Baqarah, 2: 208:
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara kaaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaithan. Sesungguhnya syaithan itu musuh yang nyata bagimu.”
Allah swt. memberikan sebuah penjelasan kepada kita bahwa ternyata banyak di antara orang-orang beriman yang belum masuk ke dalam Islam secara keseluruhan. Hal ini terbukti dengan seruannya “Hai orang-orang yang beriman”. Maka, sudah sepatutnya kita sebagai orang yang beriman untuk memenuhi seruanNya dengan sesegera mungkin. Sebagaimana Allah swt. telah menggambarkan sikap seorang mu’min terhadap seruanNya, yaitu mereka (orang-orang mu’min) menjawab sami’na wa atha’na (kami dengar dan kami taat).
Masuk ke dalam Islam secara keseluruhan berarti juga termasuk melaksanakan pengobatan sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan oleh Allah dan RasulNya. Menggunakan metode pengobatan Nabi saw. dalam aspek kesehatan merupakan sebuah konsekwensi logis dari keimanan kita terhadap ayat tersebut.
Namun, kita harus akui bahwa metode pengobatan Nabi saw. kian hari kian tenggelam di tengah-tengah kedigjayaan metode pengobatan modern (alopati) yang berasal dari Barat. Hal ini dikarenakan mereka tidak akan pernah ridha terhadap ummat Islam hingga ummat mengikuti millah mereka. Firman Allah swt.
“Dan tidaklah ridha orang-orang Yahudi dan juga Nashrani hingga kalian mengikuti millah mereka. Katakanlah sesungguhnya petunjuk Allah adalah sebenar-benarnya petunjuk. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (QS. Al-Baqarah, 2: 120)
Kata millah dalam kaidah Bahasa Arab setidaknya mengandung tiga pengertian, yaitu fikrah (ideologi), akhlaq (kebiasaan/ kebudayaan), dan diin (agama/ keyakinan). Maka, yang diinginkan oleh musuh-musuh Allah adalah bukan sekedar memindahkan keyakinan ummat (riddah / memurtadkan) saja. Karena mereka tahu bahwa ummat Islam cukup sulit untuk berpindah keyakinan. Mereka kemudian mencari cara lain agar secara kasat mata, ummat itu masih beragama Islam, namun pada hakikatnya mereka telah dimurtadkan tanpa sadar. Yaitu dengan menjauhkan ideologi dan kebudayaannya dari ideologi dan kebudayaan Islam menuju ideologi dan kebudayaan jahiliyah.
Hal tersebut ternyata berhasil mereka lakukan. Musuh-musuh Allah telah berhasil menjauhkan ummat dari al-Quran dan as-Sunnah. Mereka telah berhasil menjauhkan kehidupan ummat dari Islam. Mulai dari cara berbicara, berpakaian, berfikir, berbudaya, berekonomi, berpolitik, hingga dalam aspek pengobatan dan kesehatan. Padahal, Imam Ahmad Ibn Hanbal (Imam Hanbali) rahimahullah, Syaikh al-Hadits Imam Bukhari, serta diulang dan disepakati oleh Imam Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah; bahwa mereka melarang seorang muslim untuk menerima racikan obat yang dibuat oleh seorang kafir dzimmi. Hal tersebut dikarenakan kekhawatiran akan adanya satu ramuan yang diharamkan oleh Allah swt., sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Sesungguhnya Allah swt. tidak akan menjadikan kesembuhan dengan sesuatu yang Dia haramkan atasmu.”
Ada sebuah pernyataan yang menarik. Syaikh Abu Abdullah Syaikh Musthafa ibn al-‘Adawi, ketika memberikan pengantar dalam kitab Asy-Syifaa` min Wahyi Khaatami `l-Anbiyaa’, beliau berkata, “Berbagai hadits menganjurkan, bahkan kadang-kadang memerintahkan berobat. Kemudian, pengobatan memerlukan fiqh tersendiri, sebagaimana bidang-bidang lainnya. Kadang-kadang, berobat adalah wajib, kadang-kadang makruh, kadang-kadang sunnah, kadang-kadang mubah, kadang-kadang haram. Berobat dengan barang-barang haram, hukumnya haram. Membuka aurat tanpa sebab yang mengharuskan, juga haram, dan sebagainya.”
Perhatikan bahwa Syaikh Abu Abdullah Syaikh Musthafa ibn al-‘Adawi menyebutkan perlu adanya sebuah fiqh tersendiri yang mengatur bidang pengobatan (fiqh thibb). Hal ini tentu saja sangat masuk akal dan dapat diterima berdasarkan pemahaman yang benar tentang diin ini. Tidak ada pertentangan di kalangan ‘ulama salaf bahwa metode pengobatan nabi saw. merupakan bagian yang integral dan tidak mungkin dapat dipisahkan dari aspek-aspek lainnya yang juga diatur dalam fiqh tersendiri.
Metode Pengobatan Nabi saw. telah ditulis dalam banyak kitab Hadits dan Fiqh. Imam al-Bukhari menyusun hadits-hadits yang berkaitan dengan ath-Thibb an-Nabawi dalam kitab Shahih Bukhari BAB ath-Thibb an- Nabiy. Imam Shuyuthi dan Imam Ibn al-Qayyim al-Jawziyyah pun demikian. Kedua fuqaha ini sengaja menyimpan ath-Thibb an-Nabawi menjadi salah satu pembahasan dalam uraian fiqhnya.
Maka dari itu, kewajiban mempelajari ath-Thibb an-Nabawi serta mengamalkannya sama dengan kewajiban kita dalam mempelajari dan mengamalkan ilmu-ilmu fiqh yang lainnya, seperti thaharah, shalat, shiyaam, zakat, haji, jihad, buyu’ atau jinayat. Hal ini berarti dalam satu wilayah harus ada seorang yang faqih terhadap masalah ini yang kemudian dapat mengajarkan ilmu ini kepada yang lainnya. Sedangkan masyarakat yang lain berkewajiban mengamalkannya sebagai bentuk peribadahan yang sempurna terhadapNya.
Para ‘ulama dan fuqaha kontemporer harus kembali membuka catatan kedokteran Islam untuk dikembangkan dan dikolaborasikan dengan metode kedokteran modern yang tidak bertentangan dengan syari’at demi menjawab tantangan zaman. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Ibn al-Qayyim ataupun Ibn Sina.
Wallahu a'lam...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar