A. Riwayat Hidup al-Zarnūji
Sejauh keterangan yang penulis dapatkan, belum ada sebuah karya yang menerangkan sejarah hidup al-Zarnūji secara rinci, tetapi rata-rata hanya keterangan sekilas. Itu pun hanya rentetan dari keterangan nama kitab karangannya. Hal ini dimungkinkan karena nama beliau yang tidak begitu dikenal, tapi justru kitabnya yang sangat terkenal. Sampai sekarang kitab beliau masih mendapatkan tempat yang layak di kalangan penuntut ilmu, khususnya di kalangan pesantren.
Menurut Muhammad Abdul Qodir Ahmad (1986 : 10), al-Zarnūji nama aslinya adalah “Burhān al-Islām al-Zarnūji”, terkenal dengan panggilan al-Zarnūji, karena berasal dari kota Zarnuj. Pendapat lain mengatakan bahwa nama lengkapnya adalah “Burhān al-Din al-Zarnūji”. Menurut hemat penulis, walau ada perbedaan pendapat tentang nama, namun tidak menunjukkan perbedaan arti.
Plessner, yang dikutip dalam “Encyclopedia of Islam”(1913-1934 : 1218) mengatakan bahwa nama asli tokoh ini, sampai sekarang belum diketahui secara pasti, begitu pula tentang karir dan kehidupannya. Plessner memang telah mengkalkulasikan sejumlah kemungkinan tentang waktu kehidupan al-Zarnūji, namun secara detail tentang siapakah dia, masih menjadi penelitian yang menantang. Menurut Plessner, al-Zarnūji hidup antara abad ke-12 dan ke-13. Von Grunebaum dan Abel mengatakan bahwa al-Zarnūji hidup pada akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13, beliau mengatakan bahwa al-Zarnūji adalah seorang ulama fiqih bermadzhab Hanafiyah, dan tinggal di wilayah Persia (Muhammad al-Baqir, 1990 : 285-303).
Plessner memperkirakan tahun yang relatif lebih mendekati pasti mengenai kehidupan al-Zarnūji, juga merujuk pada data yang dinyatakan oleh Ahlwardt dalam katalog perpustakaan Berlin, nomor III, bahwa al-Zarnūji hidup pada sekitar tahun 640 H (1243 M), perkiraan ini didasarkan pada informasi dari Mahbub b. Sulaeman al-Kaffawi dalam kitab “A’lam al-Akhyar min Fuqaha’ Madzhab al-Nu’man al-Mukhdar”, yang menempatkan al-Zarnūji dalam kelompok generasi keduabelas ulama Madzhab hanafiyah (Muhammad bin Abdul Qodir Ahmad, 1986 : 13).
Kemudian, Plessner menguji perkiraan Ahlwardt itu dengan mengumpulkan data kehidupan sejarah ulama’ yang diidentifikasikan sebagai guru al-Zarnūji atau paling tidak pernah berhubungan langsung dengannya. Memang al-Zarnūji sendiri dalam kitabnya seringkali menggunakan panggilan syaikhuna kepada ulama’ sambil mengambil pandangan mereka. Salah seorang di antara mereka menurut Abu al A’la al-Maududi (1990: 285), yang sering disebut al-Zarnūji adalah Imam Burhān al-Dīn Ali bin Abi Bakr al-Farghinani al-Marghinani. Ulama’ Hanafiyah yang mengarang kitab, “Hidāyah Fī Furū al-Fiqh” dan beliau wafat pada tahun 593 H/ 1195.
Ulama lain yang diidentifikasikan sebagai gurunya adalah Imam Fakhr al-Islām al-Hasan bin Mansur al-Farghani Kadikhan. Beliau juga ulama Fiqih bermadzhab Hanafiyah. Data kewafatannya tercatat pada Bulan Romadlon Tahun 592 H/ 1196 M. Al-Zarnūji juga menyebut Imam Zahir al-Din al-Hasan bin Ali al-Marghinani, wafat sekitar tahun 600 H/ 1204 M, Imam Fakhr al-Din al-Kashani wafat tahun 587 H/ 1191 M, dan Imam Rukhn al-Din Muhammad bin Abi Bakr Imam Khwarzade, yang diperkirakan hidup sekitar tahun 491 – 576 H (Abu al A’la al-Maududi, 1990: 285-303).
Berdasarkan beberapa data di atas, Plessner sampailah pada kesimpulan bahwa waktu kehidupan Al-Zarnūji sedikit lebih awal dari waktu yang diperkirakan Ahlwardt. Namun ia sendiri tidak menyebut tahun yang pasti. Hal lain yang ia simpulkan secara lebih meyakinkan adalah bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim ditulis setelah tahun 593 H. Ahmad Fuad al-Ahwani (1955: 238) memperkirakan, bahwa Al-Zarnūji wafat pada tahun 591 H/ 1195 M. Dengan demikian belum diketahui masa hidupnya, hal ini disebabkan dari berbagai referensi yang penulis lacak, tidak menyebutkan secara pasti, kapan beliau dilahirkan. Namun jika diambil jalan tengah dan berbagai pendapat di atas, Al-Zarnūji wafat sekitar tahun 620-an Hijriyah.
Mengenai dimana Al-Zarnūji hidup dan berkembang, agaknya belum ada penelitian yang serius. Dalam Kitab Dairat al-Ma’arif al-Islamiyah, dinyatakan bahwa Al-Zarnūji, adalah ulama’ berkebangsaan Arab. Namun pendapat tersebut dibantah oleh Muhamad Abdul qodir Ahmad, katanya lebih lanjut, “kemampuan dalam berbahasa arab tidak dapat dijadikan suatu alasan bahwa beliau adalah orang Arab, karena berbagai rujukan telah penulis lacak, Namun tidak ada satupun pendapat yang mengatakan bahwa beliau berkebangsaan Arab (Muhammad bin Abdul Qodir Ahmad, 1986 : 11). Penulis mempunyai pandangan bahwa, pendapat yang mengatakan Al-Zarnūji orang Arab, bisa juga benar, sebab pada masa awal penyebaran Islam, banyak orang Arab yang berdakwah ke berbagai negeri dan tinggal (muqim) dimana mereka berdakwah. Disamping itu, Al-Zarnūji merupakan merupakan orang yang pandai dan cakap berbahasa Arab disamping bahasa Persia.
Adalah Von Grunebaum dan abel, memberikan dua informasi penting dalam hal ini. Pertama, Al-Zarnūji adalah seorang ulama’ yang hidup di wilayah Persia; Kedua, lebih khusus dia mengatakan Al-Zarnūji adalah seorang ahli Fiqih bermadzhab Hanafiyah yang dikenal luas di daerah Khurasan dan Transoxiana. Kemungkinan lain adalah pada wilayah ia mengembangkan ilmunya, yakni di daerah Marghinan, ini dijadikan kemungkinan dengan mempertimbangkan wilaah asal ulama’ yang dianggap gurunya seperti, Imam Burhān al-Dīn al-Marghinani. Data ini paling tidak menguatkan pendapat para ulama’ yang selama ini beranggapan bahwa Al-Zarnūji hidup dan berkembang di wilayah Persia (Muhammad bin Abdul Qodir Ahmad, 1986 : 11).
B. Karya Al-Zarnūji.
Kitab Talim al-Muta’allim, merupakan satu-satunya karya Al-Zarnūji yang sampai sekarang masih ada. Sebagaimana pendapat Haji Khalifah dalam bukunya “Kasf al-Żunūn ‘An Asma’il Kitāb al-Funūn”, dikatakan bahwa di antara 15.000 judul literatur yang dimuat karya abad ke-17 itu tercatat penjelasan bahwa kitab Ta’lim al-Muta’allim merupakan satu-satunya karya Imam Al-Zarnūji. Kitab ini telah diberi catatan komentar (Sharah) oleh Ibnu Ismail, yang kemungkinan juga dikenal dengan al-Nau’i yang diterbitkan pada tahun 996 H. Kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Turki oleh Abd. Majid bin Nusuh bin Isra’il dengan judul “Irsyād al-Ta’lim Fi Ta’lim al-Muta’allim” (Affandi Muchtar, 1995: 67).
Dalam sumber lain, yakni “Gesechichteder Arabischen Litteratur”, yang biasa dikenal dengan singkatan GAL, karya Carl Brockelmann, informasinya lebih lengkap dibanding sumber pertama. Menurut GAL, kitab Ta’lim al-Muta’allim, pertama kali diterbitkan di Mursidabad pada tahun 1265, kemudian diterbitkan di Tunis pada tahun 1286 dan 1873, di Kairo tahun 1281, 1307, dan 1318, di Istambul 1292, dan di Kasan pada tahun 1898. Selain itu menurut GAL, Kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diberi catatan komentar (sarah) dalam tujuh penerbitan. Kedua, atas nama Ibrahim bin Ismail pada tahun 996 H/ 1588 M. Ketiga, atas nama Sa’rani pada tahun 710-711 H. Keempat, atas nama Ishaq b. Ibn Ar-Rumi Qili pada tahun 720 H dengan judul “Mir’ah at-Tālibin”. Kelima atas nama Qodi b. Zakariya al-Anshari A’ashaf. Keenam, Otman Pazari, 1986 dengan judul “Tafhim al-Mutafahhim”. Ketujuh, H. b. ‘Al. al-Faqir, tanpa keterangan tahun penerbitan (Affandi Muhtar, 1995 : 68).
Kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim diakui oleh Kholil A. Tatah dalam bukunya, “The Contribution of The Arabs to Education” (1926) dan Mehdi Nakosteen dalam bukunya, “History of Islamic Origins of Western Education, A.D. 800-1350” (1964). Ketika masing-masing melakukan survey atas sumber-sumber kependidikan Islam Klasik dan abad pertengahan. Menurut Tatah dan Nakosteen, kitab ini merupakan karya kependidikan yang paling terkenal di antara sejumlah karya kependidikan yang berhasil diidentifikasi mereka. Bahkan penerjemahan ke dalam Bahasa Latin dengan judul Enchiridion Studiosi telah dilakukan sebanyak dua kali yakni oleh H. Roland pada tahun 1709 dan oleh Caspari pada tahun 1838. Sementara menurut Brockelmann, kitab ini hampir tersedia di seluruh perpustakaan pada zamannya (Affandi Muhtar, 1995 : 69).
Walau kepopuleran kitab Ta’lim al-Muta’allim, telah diakui oleh kalangan ilmuwan barat dan timur, namun penulis masih sedikit menyangsikan, kalau Al-Zarnūji hanya menulis sebuah buku saja. Alasannya bagaimana pendapat Muhammad Abdul Qodir Ahmad (1986: 24) yang mengatakan, orang alim seperti Al-Zarnūji yang berkecimpung dalam dunia pendidikan dan atas perhatiannya kepada para penuntut ilmu ang tekun, tetai kurang berhasil dalam belajar dan kemampuannya dalam menulis kitab, maka tidaklah mungkin kalau beliau hanya menulis sebuah buku. Disamping itu guru-gurunya dan orang yang seangkatan dengan guru-gurunya dan dirinya sendiri banyak menulis kitab dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Bahkan dimungkinkan, kalaulah ada karya lain Al-Zarnūji, ikut hangus terbakar karena penyerbuan biadab bangsa Mongol yang dipimpin oleh Jengis Khan. Jengis Khan dan pasukannya selama lima tahun (1220-1225) menaklukan dan menghancurkan Persia Timur, sehingga daerah tersebut menjadi padang ang tidak berpenduduk, Khurasan dan Transoxiana yang merupakan daerah terkaya, termakmur dan berbudaya Persia dan menikmati kebudayaan yang maju, hancur lebur berantakan, tinggal puing-puingnya saja yang sudah tak berarti lagi. Menurut seorang sejarawan dari barat, Roger Garaudy, kejadian itu dikatakan “Penyerbuan Biadab”/ Invasion Barbare (Muhammad Abdurrahman Khan, 1986 : 60).
Sungguh besar kerugian umat islam dan umat manusia pada umumnya, khazanah ilmu pengetahuan, seni sastra dan sumber-sumber lain lenyap semua disebabkan serbuan biadab dari Bangsa Mongol. Namun ntuk mengetahui apakah karya Al-Zarnūji sungguh hangus terbakar, atau memang hanya sebuah buku saja, diperlukan penelitian lanjutan dari penelitian yang penulis lakukan.
C. Gambaran Global Isi Kitab Ta’lim al-Muta’allim.
Berdasarkan pengamatan penulis, al-Zarnūji dalam menulis karyanya (Ta’lim al-Muta’allim) sangat kronologis. Beliau memulai dengan bacaan basmalah, kemudian memuji kepada Alloh SWT, Tuhan yang telah melebihkan manusia dengan ilmu dan amal atas semesta alam, Sholawat semoga tetap terlimpah ke haribaan Muhammad, penghulu/ tokoh Arab dan ‘Ajam, lalu keluarga dan sahabat-sahabat beliau yang merupakan sumber pengetahuan dan hikmah.
Al-Zarnūji kemudian mengemukakan alasan beliau menulis kitab Ta’lim al-Muta’allim yaitu banyak penuntut ilmu di zamannya yang tekun tetapi tidak bisa memetik kemanfaatan dan buahnya, yakni mengamalkan dan menyiarkannya. Lantaran mereka salah jalan dan meninggalkan syarat-syaratnya, padahal sesuatu yang salah jalan itu akan tersesat dan gagal tujuannya. Alasan ini diambil dari kitab guru beliau yang alim dan arif.
Kitab Ta’lim al-Muta’allim terbagi kedalam tiga belas fasal dengan perincian sebagai berikut : Fasal 1. Pengertian ilmu, fiqih dan keutamaannya; Fasal 2. Tentang niat dikala belajar; Fasal 3. Tentang memilih guru, teman dan mengenai ketabahan; Fasal 4. Menghormati ilmu dan ulama’; Fasal 5. Sungguh-sungguh, kontinuitas dan antusias; Fasal 6. Permulaan, ukuran dan tata tertib belajar; Fasal 7. Tawakkal; Fasal 8. Saat terbaik untk belajar; Fasal 9. Kasih sayang dan nasihat; Fasal 10. Istifadlah (mengambil pelajaran); Fasal 11. Wara’ dikala belajar; Fasal 12. Penyebab hafal dan lupa; Fasal 13. Hal-hal yang menyebabkan bertambah atau berkurangnya rizqi dan umur.
Pasal 1. Hakikat, ilmu, Fikih dan keutamaannya.
Belajar adalah kewajiban setiap insan laki-laki dan perempuan. Semenjak dilahirkan hingga akhir hayatnya, orang muslim menurut al-Zarnūji, tidak diwajibkan menuntut segala cabang ilmu pengetahuan, tetapi diwajibkan menuntut ilmu al-Hal.
Orang muslim juga diwajibkan menuntut ilmu yang selalu diperlukan setiap saat. Karena orang muslim diwajibkan menunaikan ibadah sholat, puasa dan haji, maka ia diwajibkan menuntut ilmu yang berkaitan dengan kewajiban tersebut. Sebab apa yang menjadi perantara perbuatan wajib, wajib pula bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu tersebut.
Wajib bagi muslim mempelajari ilmu-ilmu perdagangan jikalau mereka berdagang. Misalnya bagaimana cara menyingkiri hal-hal yang haram, makruh dan syubhat. Setiap orang yang mengerjakan muamalah, wajib mengetahui ilmu-ilmu tentang bagaimana cara menyingkiri haram yang mungkin terjadi dalam muamalah tersebut.
Termasuk yang wajib diketahui oleh setiap muslim pula, adalah ilmu gerak hati (ahwal al-qalb) seperti tawakkal, ridla, inabah, taqwa dan rendah hati.
Tentang kemuliaan ilmu sudah jelas dapat diketahui oleh setiap orang, sebab ilmu khusus dimiliki oleh manusia, misalnya Alloh SWT mengunggulkan Adam a.s atas malaikat, bahkan mereka diperintah pula agar sujud menghormat kepada adam lantaran Adam dianugerahi ilmu pengetahuan oleh Alloh SWT.
Akhlak yang luhur seperti dermawan, penyabar, rendah hati, ikhlas, dan yang buruk seperti bakhil, sombong serta cara menjauhinya, menurut al-Zarnūji juga harus dipelajari, sehingga ia selalu menjaga dan menghiasi diri dengan akhlak mulia.
Mempelajari ilmu yang kegunaannya hanya dalam waktu-waktu tertentu, maka hukumnya fardlu kifayah. Sementara mempelajari ilmu yang akan membahayakan atau tidak ada manfaatnya, maka haram mempelajarinya. Dikatakan mengetahui ilmu yang diperlukan setiap saat ibarat makan yang diperlukan oleh setiap individu. Adapun ilmu yang diperlukan pada waktu-waktu tertentu saja laksana obat yang hanya dibutuhkan ketika sakit.
Ilmu menurut al-Zarnūji adalah suatu sifat yang menjadikan jelas identitas pemiliknya. Adapun fikih adalah mengetahui keindahan dan kelembutan macam-macam ilmu. Sedangkan fiqih menurut Imam Abu Hanifah adalah mengetahui hal-hal yang berguna dan berbahaya bagi seseorang. Lebih lanjut beliau mengatakan, ilmu tidak lain hanya untuk diamalkan, dan mengamalkan ilmu berarti meninggalkan orientasi duniawi demi ukhrowi.
Pasal 2. Niat dikala Belajar
Niat adalah perbuatan hati yang menjadi pokok dari segala hal (perbuatan). Maka dari itu “Tidak sah” perbuatan yang dilaksanakan tanpa niat. Karena niat pula, amal perbuatan yang bersifat duniawi bisa menjadi amal ukhrowi, demikian pula sebaliknya. Dikala belajar hendaklah berniat : a. Mencari ridlo Alloh SWT; b. kebahagiaan akhirat; c. memerangi kebodohan sendiri dan segenap kaum bodoh; d. mengembangkan agama dan melanggengkan Islam; e. memperoleh kebahagiaan akhirat serta mensyukuri nikmat akal dan badan yang sehat.
Al-Zarnūji mengingatkan kepada segenap penuntut ilmu, agar dalam belajar tidak diniatkan untuk mencari pengaruh, mendapatkan kenikmatan duniawi atau kehormatan dihadapan orang lain. Sesungguhnya seseorang yang dapat merasakan lezatnya ilmu dan amal, maka kecintaannya terhadap harta akan semakin kecil.
Tetapi jikalau dalam meraih keagungan itu demi amar ma’ruf nahi munkar, memperjuangkan kebenaran dan meluhurkan agama, bukan untuk keperluan hawa nafsu sendiri maka diperbolehkan.
Disamping itu, al-Zarnūji juga mengingatkan agar penuntut ilmu yang telah bersusah payah belajar tidak memanfaatkan ilmunya untuk urusan-urusan duniawi yang hina dina dan rendah nilainya. Oleh sebab itu, hendaknya ia selalu menghiasi diri dengan akhlak mulia.
Pasal 3. Memilih ilmu, Guru, Teman dan Ketabahan Ber-ilmu
Bagi pelajar (penuntut ilmu) hendaknya memilih ilmu yang terbaik dan dibutuhkan dalam kehidupan, berguna untuk agama, di waktu itu dan pada masa yang akan datang. Hendaknya lebih dahulu mempelajari ilmu tauhid, ma’rifat serta memilih ilmu kuno (‘atiq).
Belajar jangan sampai kena pengaruh perbantahan yang tumbuh subur setelah habisnya ulama’ besar, sebab hal itu akan menjauhkannya dari mengenali ilmu fiqih. Dan ini termasuk tanda-tanda kiyamat akan tiba, yaitu lenyapnya fiqih dari kehidupan manusia.
Dalam memilih guru hendaknya yang lebih alim, wara’, lebih lapang dada, penyabar dan lebih tua usianya. Sebagaimana yang telah dilakukan Abu Hanifah setelah lebih dahulu dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada Tuan Hammad bin Abu Sulaiman. Dalam hal ini beliau berkata “Beliau saya kenal sebagai orang tua yang berbudi luhur, berlapang dada serta penyabar”, saya mengabdi di pangkuan Tuan Hammad bin Abu Sulaiman dan ternyata saya pun makin berkembang.
Menuntut ilmu adalah urusan yang paling mulia, tetapi juga paling sulit, karena itulah kita diperintah untuk bermusyawarah dalam menuntut ilmu. Sebagaimana Alloh SWT memerintahkan kepada Rosululloh untuk bermusyawarah dalam segala urusan kehidupan, walaupun tidak ada orang lain yang lebih pintar dari beliau.
Para penuntut ilmu hendaknya sabar dan tabah dalam menuntut ilmu kepada gurunya yang dipilihnya itu. Disamping itu juga sabar di dalam menghadapi berbagai cobaan, karena dibalik cita-cita terdapat bermacam-macam cobaan dan rintangan yang selalu silih berganti.
Dalam memilih teman hendaknya yang tekun, wara’, jujur dan tanggap terhadap masalah (problem) rekannya. Adalah perlu dihindari teman yang pemalas, banyak bicara, penganggur, senang mengacau dan memfitnah. Selain itu, penuntut ilmu hendaknya memilih tempat belajar (sekolah) yang sesuai dengan keinginannya. Untuk itu perlu dipertimbangkan masak-masak selama dua bulan dan dilakukan dengan musyawarah.
Pasal 4. Mengagungkan Ilmu dan Ahlinya.
Merupakan kewajiban bagi penuntut ilmu untuk menghormati ilmu, ahli ilmu, guru dan putranya. Ali bin Abi Tholib berkata, “Aku adalah hamba orang yang telah mengajarku sekalipun hanya satu huruf”. Murid hendaklah melakukan hal-hal yang membuat guru rela, tidak marah dan menjunjung tinggi perintahnya yang tidak bertentangan dengan agama. Melukai hati guru mengakibatkan ilmunya “kurang berkah” dan sedikit manfaatnya.
Termasuk dalam memuliakan ilmu, yaitu memuliakan kitab, hendaklah penuntut ilmu tidak mengambil kitab kecuali dalam keadaan suci. Demikian pula dalam belajar, hendaklah ia selalu dalam keadaan suci. Ilmu adalah cahaya, wudlu’pun cahaya, maka ilmu akan semakin bertambah cahayanya bila dibarengi dengan wudlu’.
Penuntut ilmu wajib menghormati ilmu dengan menulis secara rapi dan jelas, sehingga tidak terjadi penyesalan di kemudian hari. Abu Hanifah pernah berkata, ”Jangan kamu menulis dengan tidak jelas, sebab kalau kamu berumur panjang akan menyesal dan kalau mati akan dimaki”. Termasuk menghargai ilmu adalah menghormati teman dan guru. Hendaklah penuntut ilmu memperhatikan segala ilmu secara seksama terhadap suatu masalah, walaupun telah diulang seribu kali.
Bagi pelajar tidak dibenarkan untuk menentukan pilihannya sendiri terhadap ilmu yang akan dipelajari. Ia mempersilahkan kepada sang guru untuk memilihkannya, sebab sang guru lebih berpengalaman dan lebih mampu memilihkan tabiatnya. Dicontohkan, pada mulanya Muhamad bin Ismail al-Bukhori belajar sholat kepada Muhamad bin Hasan. Lalu guru tersebut memerintahkannya belajar hadits yang dinilai lebih tepat bagi muridnya. Akhirnya ia menuntut ilmu hadits dan menjadi salah seorang ahli hadits yang terkenal sampai sekarang.
Tidak diperkenankan pula, seorang murid untuk duduk berdekatan dengan guru, karena kan mengurangi rasa hormat mereka kepada guru. Hendaklah para murid tidak berakhlak tercela, karena akhlak tercela ibarat anjing dan para malaikat tidak akan mengunjungi sebuah rumah yang terdapat di dalamnya anjing, sehingga tertutuplah pintu hidayah terhadap orang yang berakhlak tercela.
Pasal 5. Sungguh-sungguh, Kontinuitas, dan cita-cita luhur.
Penuntut ilmu harus bersungguh-sungguh dan berkesinambugan dalam belajar. Di sisi lain agar kesuksesan dapat diraih, maka diperlukan kesungguhan dari ketiga pihak; murid, guru, dan orang tua.
Bagi pelajar hendaknya sanggup belajar dan mengulangi pelajaran secara kontinyu pada awal waktu malam dan di akhir waktu malam. Sebab antara waktu dari maghrib sampai isya, serta waktu sahur adalah membawa berkah.
Penuntut ilmu jangan sampai membuat dirinya kelelahan, sehingga lemah dan tidak dapat berbuat sesuatu, sabda Rosululloh SAW, “Ingatlah bahwa gama ini (Islam) adalah agama yang kokoh, santunilah dirimu dalam menunaikan tugas agama, janganlah kau buat diimu sengsara lantaran ibadahmu kepada Alloh. Sesungguhnya orang yang telah hilang kekuatannya tidak akan bisa meneruskan perjalanan dan menunggangi kendaraannya”. Lebih lanjut beliau bersabda, “Ilmu adalah kendaraanmu, maka santunilah”.
Pangkal kesuksesan adalah kesungguhan dan himmah. Oleh sebab itu barang siapa yang berhimmah menghafalkan sebuah kitab, misalnya, dan disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh dan tak kenal menyerah (kontinyu), maka secara lahiriyah ia akan mampu menghafalnya, baik sebagian, separoh atau semuanya. Sebagaimana Abu Hanifah dalam pesannya kepada Abu Yusuf; “Hati dan akalmu tertutup, tapi engkau bisa keluar dari belenggu itu dengan cara terus-menerus belajar. Dan jauhilah kemalasan, sesungguhnya bahayanya amat besar”.
Kemalasan timbul disebabkan kurangnya penghayatan terhadap kemuliaan dan keutamaan ilmu. Dapat diketahui, diantara manfaat ilmu adalah menjunjung tinggi pemiliknya dan namanya akan tetap harum, sekalipun pemiliknya telah meninggal dunia.
Kemalasan pada pelajar biasanya disebabkan karena lendir dahak yang cukup banyak, dan lendir tersebut dikarenakan terlalu banyak minum dan makan. Cara menguranginya adalah dengan cara makan yang sedikit. Manfaat dari makan yang sedikit, diantaranya badan menjadi sehat, terhindar dari barang haram dan ikut memikirkan nasib orang lain. Sesungguhnya Nabi sendiri pernah menyatakan bahwa Alloh membenci tiga jenis manusia bukan karena dosa, yakni: orang yang banyak makan, orang kikir, dan orang yang sombong. Dan dinyatakan bahwa perut kenyang dapat menghilangkan kecerdasan.
Pasal 6. Permulaan, Ukuran dan Tata tertib dalam Belajar
Belajar hendaknya dimulai pada hari Rabu. Syekh Burhanudin, Imam Abu Hanifah, dan Syekh Abu Yusuf al-Hamdani memulai perbuatan-perbuatan baiknya, termasuk mulai belajar pada hari Rabu. Sebab pada hari tersebut Alloh menciptakan al-Nuur (cahaya), dan merupakan hari sial bagi orang kafir, dan ini berarti merupakan hari berkahnya orang mukmin.
Mengenai ukuran pelajaran yang akan dipelajari, menurut keterangan Abu Khanifah adalah bahwa Syekh Qodli Imam Umar bin Abu Bakar al-Zanjiy berkata; Guru-guru kami berkata, “Sebaiknya bagi orang yang baru mulai belajar, hendaknya mengambil pelajaran yang sekiranya dapat dikuasai dengan baik setelah diulang dua kali, kemudian setiap hari ditambah sedikit demi sedikit, sehingga apabila telah banyak masih mungkin dikuasai dengan baik dengan mengulangnya dua kali, seraya bertambah sedikit demi sedikit. Apabila pelajaran pertama yang dipelajari banyak dan memerlukan pengulangan (muroja’ah) sepuluh kali, maka seterusnya harus juga dilakukan seperti itu, karena suatu kebiasaan akan sulit untuk dihilangkan. Ada sebuah ungkapan yang mengatakan, “Pelajaran baru satu huruf, Repetisinya seribu kali”.
Selain itu, untuk pemula hendaknya dipilih kitab-kitab yang kecil. Sebab dengan begitu akan mudah dimengerti dan dikuasai sebaik-baiknya serta tidak menimbulkan kebosanan. Ilmu pengetahuan yang telah dipelajari hendaknya dicatat dan sering diulang-ulang kembali. Hal ini mempunyai manfaat yang sangat besar, murid jangan sampai menulis sesuatu yang tidak dipahaminya, karena akan menumpulkan kecerdasan.
Pelajar/ Mahasiswa hendaknya bersungguh-sungguh dan memikirkan secara mendalam apa yang diterima dari guru, serta mengulanginya. Apabila ia meremehkan satu kali, dua kali hingga menjadi kebiasaannya, maka ia tidak akan bisa memahami sesuatu sekalipun gampang.
Penuntut ilmu harus senantiasa berdo’a kepada Alloh, karena Alloh pasti akan mengabulkan do’a hamba-Nya.
Dalam memperoleh kebenaran harus dngan jalan musyaarah seperti mudzakarah (saling mengingatkan), munadharah (saling berargumentasi), dan muthorohah (diskusi). Hal ini dilakukan dengan penuh penghayatan, kalem dan penuh keinsafan. Dan tidak akan berhasil, bila dilaksanakan dengan cara kekerasab dab berlatar belakang yang tidak baik. Mutarahat dan Munadharah lebih besar manfaatnya dari pada sekedar repetisi, sebab disamping berarti repetisi, juga menambah ilmu pengetahuan. Bahkan Mutarohah yang dilakukan sebentar lebih baik dari pada repetisi (tikrar) satu bulan.
Penuntut ilmu hendaklah membiasakan diri untuk memikirkan sungguh-sungguh pelajaran yang sulit di setiap waktu. Dikatakan, “Pikirkanlah dalam-dalam, engkau akan mengetahuinya”. Lain dari itu penuntut ilmu hendaknya pandai-pandai mengambil pelajaran dari siapapun. Abu Yusuf ketika ditanya cara memperoleh ilmu, beliau menjawab, “Saya tidak merasa malu untuk belajar dan tidak kikir untuk mengajar”, sedang Ibnu Abbas juga menjawab pertanyaan yang sama, “Dengan lisan banyak bertanya dan hatiku (qaalb) selalu berfikir banyak-banyak.
Para pelajar hendaknya selalu bersyukur dengan lisan, anggota badan, hati dan harta benda kepada Alloh SWT, karena Dia-lah yang meberikan hidayah kepada siapa yang memohon-Nya. Dan kepada-Nya pula hendaknya menuntut ilmu bertawakkal. Janganlah ia semata-mata hanya mengandalkan pada akal dan kemampuan dirinya sendiri.
Penuntut ilmu hendaknya senang membeli kitab, karena dengan demikian akan memudahkan ia belajar dan menelaah pelajarannya. Oleh sebab itu janganlah seseorang itu tamak mengharap harta orang lain. Dalam kata mutiara disebutkan, “ barang siapa mencukupi diri dengan harta orang lain, berarti ia melarat”.
Penuntut ilmu hendaknya dapat memperhitungkan berapa kali ia harus mengulangi pelajaran dan ia tidak akan tenang sebelum terpenuhinya target tersebut. Seyogyanya pelajaran kemarin diulang lima kali, pelajaran lusa diulang empat kali, kemarin lusa tiga kali, pelajaran sebelumnya dua kali dan sebelumnya lagi satu kali. Cara yang demikian akan mempermudah hafal. Dalam belajr dan menghafal para santri atau pelajar, hendaknya tidak membiasakan dengan suara yang pelan (dalam hati) dan tidak terlalu keras, yang baik adalah yang sedang-sedang saja dan penuh semangat. Dianjurkan seseorang belajar hendaklah hafal dengan baik sebuah kitab fiqih yang yang baru saja diterimanya. Selain itu, jangan sampai belajarnya terputus, karena hal itu akan merupakan afat (yang sangat menyusahkan) baginya.
Pasal 7. Tawakkal
Dalam belajar penuntut ilmu haruslah bertawakkal kepada Alloh dan jangan tergoda oleh urusan-urusan rizki. Sebagaimana sabda Rosululloh, “Barang siapa mempelajari agama, Alloh akan mencukupi kebutuhan dan memberinyarizki dari suatu jalan yang tidak disangka-sangka”. Seseorang yang tergoda oleh urusan rizki tidak gampang menghilangkannya demi kemuliaan akhlak dan urusan-urusan yang bernilai tinggi.
Orang yang bijaksana hendaknya tidak digelisahkan oleh urusan duniawi, karena gelisah dan sedih tidak akan bisa mengelakkan musibah, berguna pun tidak. Bahkan membahayakan hati, akal, badan dan merusak perbuatan-perbuatan yang baik. Oleh karena itu, penuntut ilmu hendaknya berusaha sekuat mungkin untuk mengurangi (meninggalkan) urusan-urusan duniawi.
Penuntut ilmu hendaknya bersabar dalam perjalanannya menuntut ilmu. Sebagaimana dialami oleh Nabi Musa sewaktu pergi belajar, beliau berkata, “benar-benar kudapati kesulitan dalam kelanaku ini”, padahal selain kepergian tersebut tidak pernah ia katakan seperti itu. Hendaknya perlu dimaklumi bahwa dalam belajar tidak mungkin terlepas dari kesulitan. Sebab belajar merupakan perkara yang besar dan menurut kebanyakan ulama’ lebih afdhol dari pada berperang, barang siapa yang bersabar menghadapi kesulitan, maka ia akan merasakan lezatnya ilmu.
Pasal 8. Waktu Belajar
Waktu belajar itu sejak manusia dalam ayunan hingga ke liang lahat (kubur). Adapun masa yang paling untuk belajar adalah awal masa pemuda, waktu antara maghrib dan isya’ dan waktu sahur. Namun sebaiknya pelajar, mahasiswa dan penuntut ilmu lainnya hendaknya memanfaatkan semua waktunya untuk belajar. Bilamana telah merasa bosan terhadap suatu ilmu, maka berganti mempelajari ilmu lainnya. Muhammad Ibnu al-Hasan tidak tidur semalaman untuk mempelajari buku-bukunya. Apabila ia telah jenuh mempelajari suatu ilmu, kemudian berpindah ke ilmu lain. Ia pun menyediakan air untuk menghilangkan kantuknya, katanya tidur itu dari panas yang bisa dihilangkan dengan air.
Pasal 9. Kasih sayang dan Nasihat
Orang yang alim hendaknya, memiliki rasa kasih sayang, mau memberi nasihat, serta jangan berbuat dengki, karena dengki itu tidak akan bermanfaat, justru akan membahayakan diri sendiri. Banyak ulama’ berkata, “Putra guru dapat menjadi ‘alim karena sang guru itu selalu menghendaki agar muridnya kelak menjadi orang yang alim. Diceritakan bahwa al-Shadr al-Ajall Burhan al-Aimmah mengajar kedua putranya yakni Hisamuddin dan Tajuddin di siang hari, saat panasnya matahari setelah mengajar murid-muridnya yang berdatangan dari berbagai penjuru, dan mereka itulah yang lebih didahulukan dari pada kedua puteranya. Namun berkat kasih sayang sang ayah, kedua putranya menjadi ahli fikih yang melebihi ahli-ahli fikih di zamannya.
Yang harus diperhatikan adalah menghiasi diri dengan akhlak mulia bukan menghancurkan musuhmu. Apabila telah kau hiasi dirimu dengan akhlak mulia maka akan luluh musuhmu dengan sendirinya. Dan janganlah sampai melibatkan diri dalam permusuhan. Sebab hal itu hanya akan menghabiskan waktu dan membuka aib sendiri. Dan bagi penuntut ilmu hendaknya tidak berburuk sangka kepada sesama mu’min, karena ini merupakan sumber permusuhan.
Pasal 10. Mengambil Pelajaran (al-Istifadah)
Pelajar hendaknya menggunakan setiap kesempatan waktunya untuk belajar, terus menerus sampai memperoleh keutamaan. Caranya bisa dilakukan dengan menyediakan alat tulis di setiap saat untuk mencatat hal-hal ilmiah yang diperolehnya. Ada dikatakan, “Hafalan bisa lari, tapi tulisan tetap berdiri”. Yang disebut ilmu yaitu segala apa yang didapat dari ucapan ahli ilmu, karena mereka telah menghafal yang bagus dari hasil pendengarannya dan mengucapkan yang bagus dari hafalan tersebut. Zain al-Islam pernah berkata bahwa pada suatu ketika Hilal bin Yasar menyampaikan pesan, “ Kulihat Rosululloh SAW menyampaikan ilmu dan hikmah kepada sahabatnya”, seraya berkata, “Ya Rasululloh ulangilah untukku apa yang telah Tuan sampaikan kepada mereka”. Beliau berkata, “ Apakah engkau bawa alat tulis ?”. Jawab. “ Tidak”. Lalu beliau bersabda, “Oh Hilal, janganlah engkau terpisah dari alat tulis, karena sampai hari kiyamat kebaikan itu selalu disana dan pada pemiliknya”.
Al-Zarnūji mengingatkan, umur itu pendek dan ilmu itu banyak. Oleh karena itu penuntut ilmu, janganlah menyia-nyiakan waktu dan kesempatan serta memanfaatkan waktu-waktu malamnya dan saat-saat yang sepi (hening) untuk belajar. Yahya bin Muaz al-Razi berkata, “Malam itu panjang, maka jangan engkau habiskan untuk tidur dan sinar itu cemerlang, maka jangan engkau kotori dengan dosa-dosa. Ali R.a. berkata : Apabila kamu menghadapi sesuatu, maka tekunilah ia, berpaling dari ilmu Alloh akan membuatnya merugi dan menyesal, maka mohonlah perlindungan kepada-Nya di malam dan siang hari.
Pasal 11. Wara’ pada Waktu belajar
Dalam masalah ini sebagian ulama’ meriwayatkan hadits dari Rosululloh SAW, “Barang siapa tidak berbuat wara’ dikala belajarnya, maka Alloh memberinya ujian diantara tiga perkara berikut : pertama, dimatikan dalam usia muda, kedua, ditempatkan perkampungan orang-orang yang bodoh, ketiga, dijadikan pembantu (khodim), akan tetapi apabila ia bersifat wara’ maka ilmunya lebih bermanfaat, lebih besar manfaatnya dan studinya dimudahkan”.
Adalah termasuk wara’ menjaga diri dari kekenyangan, tidak banyak tidur, tidak banyak bicara mengenai hal-hal yang tidak bermanfaat. Selain itu juga, bila mungkin menghindari makan-makanan pasar yang diperkirakan lebih mudah terkena najis atau kotoran. Para pelajar terdahulu bersifat wara’, maka ulama’ terdahulu memperoleh ilmu yang tidak sedikit dan mampu menyebarluaskannya, sehingga namanya tetap harum walau telah meninggal dunia,
Penuntut ilmu hendaklah menjaga diri dari ghibah dan bergaul dengan kawan yang banyak bicara. Hal itu hanya menghabiskan umur dan menyia-nyiakan waktu saja, disamping—itu termasuk wara—menjauhkan diri dari orang yang berbuat kerusakan, berlaku maksiyat dan pengangguran, tapi bergaullah dengan orang-orang yang saleh. Kawan sepergaulan itu pasti mempunyai pengaruh. Seyogyanya pnuntut ilmu mohon didoakan oleh Ahl al-Khoir dan menjaga diri dari do’a orang yang teraniaya.
Penuntut ilmu janganlah mengabaikan adab, sopan santun dan perbuatan sunnah, hendaknya ia memperbanyak sholat dan menjalankannya dengan khusyu’, karena hal itu akan membantu mencapai keberhasilan dan kesuksesan studi.
Pasal 12. Faktor Penyebab Mudah Hafal dan Lupa.
Faktor yang paling utama dalam hafalan seseorang adalah; kesungguhan, kontinuitas, mengurangi makan dan sholat di malam hari. Membaca al-Qur’an juga termasuk penyebab mudah hafal. Dikatakan, “Tiada sesuatu yang lebih bisa menguatkan hafalan seseorang kecuali membaca al-Qur’an dengan penuh pengertian (kearifan)”. Berdo’a sebelum dan sesudah menghafal juga menguatkan hafalan. Selain itu bersiwak, minum madu, memakan kundur (sejenis susu) dan minum dua puluh satu zabib merah setiap hari dengan penuh syukur menyebabkan hafal, disamping juga bisa menyembuhkan berbagai jenis penyakit.
Adapuhn hal-hal yang menyebabkan lupa yakni; banyak berbuat maksiyat dan dosa, gila dan gelisah dengan urusan duniawi. Gila dunia tak lepas dari akibat kegelapan hati, sedang gila akhirat tak lepas dari akibat hati yang penuh dengan cahaya yang dapat dirasakan ketika sholat. Gila dunia akan menghalangi berbuat kebajikan, tetapi kegilaan akhirat akan membawa kepada amal kebajikan.
Penyebab lupa yang lain adalah makan ketumbar, buah apel yang masam, melihat salib, membaca tulisan pada nisan, berjalan disela-sela onta terkait, membuang ke tanah kutu yang masih hidup dan bebekam pada palung tengkuk kepala. Singkirilah semua itu, karena dapat membuat orang jadi pelupa.
Pasal 13. Hal-hal yang menjadi Penyebab Bertambah atau Berkurangnya
Rizki dan Umur
Penuntut ilmu hendaknya mengetahui hal-hal yang dapat menambah rizki, umur dan berbadan sehat, sehingga dapat mencurahkan segala kemampuannya untuk belajar agar mencapai apa yang dicita-citakan.
Sesungguhnya lantaran berbuat dosa, rizki seseurang menjadi tertutup, terutama berbuat dusta adalah mendatangkan kefakiran. Demikian pula tidur di pagi hari dan terlalu banyak tidur, keduanya mengakibatkan kemelaratan harta dan juga kemelaratan ilmu.
Sebaiknya bangun pagi-pagi, itu dibekali dan membawa berbagai macam-macam kenikmatan, khususnya rizki. Bisa menulis bagus adalah kunci memperoleh rizki, muka berseri-seri dan tutur kata manis akan menambah banyak rizki. Disebutkan dari Hasan bin Ali R.a, menyapu lantai dan mencuci wadah menjadi sumber kekayaan”. Sedangkan yang merupakan penyebab kuat untuk memperoleh rizki adalah melakukan sholat malam dengan rasa ta’zim, khusyu’, dengan menyempurnakan segala rukun, wajib, kesunahan dan adabnya. Demikian pula melaksanakan sholat dluha, membaca surat al Waqi’ah khususnya dimalam hari ketika orang tidur, surat al-Mulk, al-Muzammil, al-Lail dan surat al-Insyiroh, datang ke masjid sebelum adzan, selalu suci. Sholat sunnat sebelu, shubuh, melakukan sholat witir di rumah, sholat fajar dan berbagai macam do’a untuk mendapatkan rizki.
Termasuk pula jangan terlampau banyak bergaul dengan wanita kecuali bila ada keperluan yang baik, jangan pula omong kosong.
Adapun faktor yang menjadi penyebab bertambahnya usia adalah; berbuat bakti, menyingkiri perbuatan yang menyakitkan orang lain, menghormati sesepuh dan bersilaturrahmi dan selalu membaca do’a di setiap pagi dan sore hari. Disamping itu janganlah menebang pohon yang masih hidup kecuali terpaksa, berwudlu secara sempurna, melakukan sholat dengan ta’zim, haji serta menjaga kesehatan.
Para penuntut ilmu hendaknya mengetahui ilmu medis, sehingga dapat dimanfaatkan untuk menjaga kesehatan dirinya.
Mengakhiri karyanya al-Zarnūji menutup dengan memuji kepada Alloh SWT dan salam yang disampaikan kepada Rosululloh SAW.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar